HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Responden Profil masyarakat pemelihara anjing pemburu maupun masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu yang digambarkan dalam penelitian ini meliputi agama, umur,dan pendidikan serta pekerjaan dari pemilik anjing. Distribusi perbandingan profil masyarakat pemelihara anjing pemburu dengan masyarakat pemelihara anjing bukan pemburudapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Profil masyarakat pemelihara anjing pemburu dan masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu Karakterisrik Pemelihara anjing Pemelihara anjing pemburu (n=100) bukan pemburu (n=100) % % Agama Islam Katolik Protestan 8 1 Umur <20 tahun tahun >30 tahun Pendidikan Tidak sekolah 0 1 Tidak lulus SD 2 0 SD/ sederajat SLTP/ sederajat SLTA/ sederajat Perguruan Tinggi Pekerjaan Petani Pedagang PNS Mahasiswa 10 7 Pelajar 3 13 Tidak bekerja - 10 Data pada Tabel 2 mengenai karakteristik responden, dapat diketahui bahwa sebagian besar masyarakat di Kecamatan Pasaman beragama Islam. Nilai rincian dari data tersebut adalah 70% responden dari 100% responden pada masyarakat pemelihara anjing pemburu dan 89% responden dari 100% responden pada masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu.

2 13 Masyarakat di Sumatera Barat khusus Kecamatan Pasaman pada umumnya beragam Islam. Hal ini sangat menarik jika dikaitkan dengan banyaknya jumlah pemeliharaan anjing didaerah tersebut seperti data yang terdapat pada Tabel 2. Menurut Qaradhawi (2009), pemeliharaan anjing dalam Islam dibolehkan (tidak diharamkan) bila memenuhi persyaratan tertentu seperti bertujuan untuk menjaga rumah atau berburu. Hal ini lah yang mungkin menyebabkan pemeliharaan anjing pada masyarakat yang mayoritas beragama Islam di Kecamatan Pasaman sangat banyak ditemukan. Masyarakat tersebut baik pemelihara anjing pemburu maupun bukan pemburu menyatakan bahwa tujuan mereka memelihara anjing adalah untuk diambil manfaatnya yaitu untuk berburu, menjaga rumah dan perkebunan. Anjing peliharaan juga pada umumnya barada diluar rumah seperti aturan Islam yang menyatakan bahwa terdapatnya larangan memelihara anjing didalam rumah (Qaradhawi 2009). Selain agama, karakteristik yang kedua adalah umur responden. Berdasarkan hasil wawacara dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berumur tahun sampai >30 tahun. Hal tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat pemelihara anjing mayoritas berumur produktif. Menurut Yosep (2010), penggolongan umur sangat berpengaruh terhadap tindakan produktivitas kerja dari seseorang. Golongan umur produktif adalah manusia yang berumur tahun. Hal ini sesuai jika dikaitkan dengan aktifitas berburu yang pada umumnya dilakukan oleh masyarakat pada usia muda. Karakteristik yang ketiga adalah pendidikan. Berdasarkan data pada Tabel 2 diketahui bahwa sebagian besar responden berpendidikan akhir SLTP/ sederajat. Menurut Notoatmodjo (2003), pendidikan juga berperan penting dalam membentuk karakter seseorang yang berhubungan dengan partisipasinya dalam program pencegahan penyakit baik pada manusia maupun hewan. Pada umumnya, semakin tinggi tingkat pendidikan responden, maka proporsi tindakan baik dari responden akan semakin tinggi. Jika dihubungkan dengan kejadian rabies, tingkat pendidikan pemilik anjing mempunyai asosiasi yang kuat terhadap kejadian rabies di Sumatera Barat (Kamilet al. 2003). Biasanya, pengetahuan masyarakat yang mempunyai pendidikan dibawah SLTP masih rendah mengenai cara memelihara anjing yang benar agar terhindar dari risiko kejadian rabies.

3 14 Selain itu, jenis pekerjaan juga dapat berperan dalam timbulnya penyakit (Notoatmodjo 2003). Berdasarkan hasil wawancara, pada umumnya responden bekerja sebagai pedagang. Masyarakat Sumatera Barat pada umumnya dikenal bekerja sebagai pedagang, tetapi tingginya angka kepemilikan anjing di daerah tersebut dikarenakan kebutuhan pemanfaatan anjing untuk berburu dan menjaga rumah. Pola Pemeliharaan dan Perawatan Anjing Pola pemeliharaan dan perawatan anjing yang digambarkan dalam penelitian ini meliputi jumlah anjing yang dipelihara untuk setiap individu dan pola pemberian pakan pada anjing, sertapola pemeliharaannya. Distribusi jumlah anjing yang dipelihara oleh masyarakat pemelihara anjing pemburu dan masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu dapat dilihat pada Gambar Jumlah responden (%) Jumlah anjing (ekor) Gambar 1 Jumlah anjing yang dipelihara oleh masyarakat pemelihara anjing pemburu ( ) dan masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu ( ) di Kecamatan Pasaman. Berdasarkan data dari penelitian yang dapat dilihat secara terperinci pada Gambar 1 diketahui bahwa jumlah anjing yang paling banyak dimiliki masyarakat di Kecamatan Pasaman adalah 10 ekor pada masyarakat pemelihara anjing pemburu dan 4 ekor pada masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu. Mayoritas masyarakat pemelihara anjing di Kecamatan Pasaman hanya memiliki 1 ekor anjing yaitu 77% responden pada kelompok masyarakat pemelihara anjing

4 15 pemburu dan 82% responden pada kelompok masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu. Masyarakat pemelihara anjing pemburu biasanya memanfaatkan semua anjingnya untuk berburu. Bagi masyarakat pemelihara anjing khususnya pemelihara anjing pemburu, terdapat kebanggaan bagi mereka yang memelihara banyak ekor anjing atau lebih dari satu ekor anjing. Sedangkan bagi masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu, anjing biasanya dimanfaatkan sebagai hewan penjaga sehingga pada umumnya hanya memelihara 1 ekor anjing. Jumlah pemeliharaan anjing juga tidak terlepas dari pola pemberian pakan dan pemeliharaan anjing oleh pemiliknya. Keterkaitan ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4. Karakteristik Tabel 3 Pola pemberian pakan pada anjing Pemelihara anjing pemburu (n=100) % Pemelihara anjing bukan pemburu (n=100) % Pola pemberian pakan Dibiarkan mencari makan sendiri - 3 Tidak teratur Teratur Data pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa pada umumnya masyarakat pemelihara anjing di Kecamatan Pasaman memberikan pakan pada anjing secara teratur. Hal ini merupakan praktik yang benar sebagai bagian dari cara pemeliharaan anjing yang benar. Dengan demikian, kemungkinan anjing berkeliaran diluar rumah cukup kecil karena kebutuhan pakannya telah terpenuhi. Namun, pada masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu, terdapat 3% responden yang membiarkan anjing mencari makan sendiri. Hal tersebut tentunya berkaitan dengan pola pemeliharaan anjing seperti yang terlihat pada Tabel 4. Tabel 4 Pola pemeliharaan anjing pada masyarakat Kecamatan Pasaman Karakteristik Cara pemeliharaan Pemelihara anjing pemburu (n=144) Pemelihara anjing bukan pemburu (n=126) n % n % Diliarkan Diikat Dikandangkan

5 16 Berdasarkan cara pemeliharaan anjing, dari 144 ekor anjing yang dipelihara oleh kelompok masyarakat pemelihara anjing pemburu, terdapat 106 ekor (73.6%) anjing yang dikandangkan dan hanya 5 ekor (3.5%) anjing yang diliarkan. Sebaliknya, pada kelompok masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu,cara pemeliharaan anjing yang paling banyak adalah dengan cara diliarkan dengan jumlah 67 ekor (53.2%) anjing dari 126 ekor anjing. Berbeda dengan kelompok masyarakat pemelihara anjing pemburu, pada kelompok masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu hanyaterdapat 15 ekor (11.9%) anjing yang dipelihara dengan cara dikandangkan. Data diatas menunjukkan bahwa masyarakat pemelihara anjing pemburu lebih memperhatikan cara pemeliharaan anjing dibandingkan dengan masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu. Meskipun berdasarkan pola pemberian pakan pada anjing sebagian besar dari kelompok masing-masing responden memberikan pakan terhadap anjing secara teratur, ternyata masih saja terdapat banyak anjing yang dipelihara secara diliarkan khususnya pada masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu. Hal ini disebabkan karena berdasarkan hasil wawancara dengan responden, pemanfaatan anjing bagi masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu pada umumnya adalah sebagai anjing penjaga rumah maupun penjaga kebun milik masyarakat. Khusus untuk anjing yang dimanfaatkan sebagai hewan penjaga, pemilik biasanya enggan mengandangkan ataupun mengikat anjingnya sehingga banyak sekali anjing yang diliarkan tanpa dikandangkan ataupun diikat. Menurut keterangan dari petugas Dinas Peternakan Kabupaten Pasaman Barat, selain anjing peliharaan, di daerah ini juga terdapat banyak sekali anjing liar yang sering terlihat berkeliaran. Sangat sulit untuk membedakan antara anjing peliharaan dengan anjing liar di Kabupaten ini, sebab anjing peliharaan kebanyakan dibiarkan lepas berkeliaran diluar rumah oleh pemiliknya. Hal ini jelas bukan praktik pemeliharaan anjing yang benar. Di Indonesia, HPR (Hewan Penular Rabies) utama pada hewan domestik adalah anjing, kucing dan monyet. Serangan yang disebabkan oleh anjing hampir dilaporkan setiap tahun dari berbagai daerah tertular di Indonesia terutama Sumatera Barat, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur. Menurut laporan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, di Indonesia kasus gigitan anjing penderita rabies ke manusia di duga

6 17 akan mencapai kasus gigitan per tahun pada tahun 2010 yang terlaporkan kepada Dinas-Dinas Kesehatan di seluruh Kabupaten di Indonesiajika tidak segera ditanggulangi (Depkes RI2008). Penularan rabies di Indonesia umumnya berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak dipelihara dengan baik atau tanpa pemilik (rural rabies) yang berkembang hingga mencapai populasi yang sulit dikendalikan (Deptan 2007). Pola penyebaran rabies di Indonesia umumnya terjadi pada anjing liar, anjing peliharaan dan manusia. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Pola Penyebaran Rabies di Indonesia (Deptan 2002). Pada umumnya, manusia merupakan terminal akhir dari korban gigitan. Sementara itu, anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar, dan anjing peliharaan dapat saling menggigit satu sama lain. Apabila salah satu diantara anjing yang menggigit tersebut positif (+) rabies, maka akan terjadi kasus positif (+) rabies yang semakin tinggi (Depkes RI 2000). Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Kabupaten Pasaman Barat dapat diketahui bahwa populasi anjing liar di daerah tersebut cukup tinggi. Berikut adalah data jumlah populasi anjing di Kabupaten Pasaman Barat.

7 18 Tabel 5 Data populasi anjing di Kabupaten Pasaman Barat Populasi Anjing di Unit Nama Kababupaten/ Kota Tertular Nama Kecamatan Tertular Dipelihara dengan baik Sasaran Prioritas (ekor) Tidak dipelihara dengan baik (diliarkan) Jumlah Pasaman Barat Talamau Pasaman Luhak Nan Duo Kinali Sasak Ranah Pasisie Gunung Tuleh Sei Aur Lembah Melintang Koto Balingka Ranah Batahan Sungai Beremas JUMLAH Sumber: Laporan Perkembangan Program Pemberantasan Rabies Terpadu Kabupaten Pasaman Barat Data pada Tabel 5 memperlihatkan bahwa dari ekor anjing yang tercatat di Kecamatan Pasaman, terdapat ekor anjing yang diliarkan. Begitu juga dengan beberapa kecamatan lainnya yang memperlihatkan bahwa lebih dari 50% populasi anjing yang dimiliki, dipelihara dengan cara diliarkan. Pada umumnya semua anjing yang dijumpai dan didata oleh petugas Dinas Peternakan Kabupaten Pasaman Barat adalah anjing berpemilik tetapi anjing tersebut dipelihara dengan cara diliarkan tanpa diikat ataupun dikandangkan sehingga terhitung sebagai anjing liar. Manajemen Kesehatan Anjing Menurut John (2005), anjing domestik sejauh ini merupakan sumber yang paling umum menginfeksi manusia. Untuk itu manajemen kesehatan anjing penting untuk diperhatikan. Manajemen kesehatan dan vaksinasi anjing yang digambarkan dalam penelitian ini meliputi pendapat masyarakat tentang statusvaksinasi pada anjing, kegiatan sosialisasi dan vaksinasi masal terhadap

8 19 anjing yang dilakukan oleh dinas peternakan setempat, pernah atau tidaknya anjing menderita sakit dan jenis penyakit yang pernah diderita anjing. Distribusi pendapat responden mengenai status vaksinasi pada anjing dapat dilihat pada Tabel 6. Vaksinasi Karakteristik Tabel 6 Status vaksinasi pada anjing Pemelihara anjing pemburu (n=144) Pemelihara anjing bukan pemburu (n=126) n % n % Pernah Tidak pernah Petugas vaksinasi Diri sendiri Petugas Dinas Peternakan Dokter hewan Pada masyarakat pemelihara anjing pemburu, dari 144 ekor anjing yang dipelihara terdapat 131 ekor (91.9%) anjing yang divaksinasi dan hanya 13 ekor (9.1%) anjing yang tidak divaksinasi. Sebaliknya pada masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu terdapat 71 ekor (56.3%) dari 126 ekor anjing yang tidak pernah divaksinasi. Kesadaran masyarakat untuk melakukan vaksinasi terhadap anjing sudah cukup baik terutama pada masyarakat pemelihara anjing pemburu. Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Kamil et al. (2003) yang menyatakan bahwa pemilik anjing di Sumatera Barat khususnya pemilik anjing pemburu pada umumnya tidak mau melakukan vaksinasi terhadap anjing karena adanya anggapan bahwa anjing akan menjadi lemah setelah divaksinasi. Saat ini, kenyataan yang ada dilapangan menunjukkan bahwa sudah adanya peningkatan kesadaran masyarakat untuk melakukan vaksinasi dalam upaya pencegahan terhadap penyakit rabies. Media informasi sepertinya menjadi faktor yang berperan penting dalam peningkatan tersebut. Akan tetapi, kendala yang dihadapi adalah kurangnya sumberdaya dokter hewan sehingga pada umumnya vaksinasi dilakukan oleh petugas yang tidak memiliki dasar pendidikan kedokteran hewan. Padahal, kegiatan vaksinasi penting dilakukan untuk mencegah terjadinya rabies.

9 20 Kejadian atau kasus rabies dapat dicegah dan diberantas dengan melakukan vaksinasi terhadap hewan-hewan penular rabies seperti anjing dan manusia yang berpotensi terkena rabies. Menurut Depkes (2008), salah satu langkah operasional pembebasan rabies secara garis besar adalah vaksinasi. Menurut WHO (2004), 70% kegiatan vaksinasi dianggap perlu untuk mencegah wabah rabies pada anjing dan menurut WHO (1987), model dari transmisi rabies pada anjing menunjukkan bahwa rabies dapat diberantas jika 70% dari populasi anjing divaksinasi secara berulang kali. Pentingnya pemahaman tentang vaksinasi terhadap anjing perlu diberikan kepada masyarakat khususnya masyarakat pemelihara anjing. Menurut Depkes RI (2000), upaya pemberantasan rabies yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan cara vaksinasi dan eliminasi hewan penular rabies, penyuluhan, serta peningkatan peran serta masyarakat. Pendapat responden mengenai kegiatan sosialisasi dan vaksinasi masal terhadap anjing dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Pendapat responden mengenai kegiatan sosialisasi dan vaksinasi masal terhadap anjing di Kecamatan Pasaman Karakteristik Pemelihara anjing pemburu (n=100) % Pemelihara anjing bukan pemburu (n=100) % Kegiatan sosialisasi rabies Ya Tidak Tidak Tahu - 60 Kegiatan vaksinasi masal terhadap anjing Ya Tidak Tidak Tahu - 57 Berdasarkan hasil survei (Tabel 7), dapat diketahui bahwa sebagian besar masyarakat pemelihara anjing di Kecamatan Pasaman, baik masyarakat pemelihara anjing pemburu maupun masyarakat anjing bukan pemburu berpendapat bahwa tidak pernah ada kegiatan sosialisasi maupun vaksinasi masal terhadap anjing yang dilakukan oleh petugas dari dinas peternakan setempat. Sebagian besar responden pada masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu bahkan menyatakan bahwa mereka tidak mengatahui tentang adanya kegiatan sosialisasi maupun vaksinasi terhadap anjing di daerah tersebut.

10 21 Berdasarkan laporan perkembangan program pembebasan rabies terpadu Dinas Peternakan Kabupaten Pasaman Barat, setiap tahunnya pemerintah selalu melakukan program sosialisasi dan vaksinasi terhadap hewan terutama pada daerah-daerah yang memiliki populasi anjing terbanyak. Hanya saja, kesadaran dan kepedulian masyarakat belum terlalu besar terhadap hal tersebut, terbukti bahwa hanya beberapa masyarakat yang mengikuti program tersebut. Padahal pemahaman melalui penyuluhan dan tindakan vaksinasi terhadap anjing sangat dibutuhkan terutama pada daerah yang memiliki populasi anjing cukup besar untuk mencegah kemungkinan terjadinya kasus rabies didaerah tersebut (Ratsitorahina et al.2007). Selain pemahaman mengenai vaksinasi dan pelaksanaan kegiatan sosialisasi masal terhadap anjing, status kesehatan anjing juga perlu diperhatikan oleh masyarakat pemelihara anjing. Distribusi pendapat responden mengenai pernah atau tidaknya anjing menderita sakit dapat dilihat pada Gambar Jumlah responden (%) Ya Tidak Tidak Tahu Gambar 3 Pendapat masyarakat pemelihara anjing pemburu ( ) dan masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu ( )tentang kasus penyakit pada anjing. Status kesehatan anjing sangat penting untuk diketahui oleh pemelihara anjing, terutama jika terjadi kasus penyakit yang bersifat zoonosis. Pada masyarakat pemelihara anjing pemburu, dari 100% responden terdapat 85% responden yang menyatakan bahwa anjingnya pernah menderita sakit dan 15%

11 22 sisanya mengatakan bahwa anjing miliknya tidak pernah menderita sakit. Sebaliknya, pada masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu, sebanyak 64% respoden menjawab bahwa anjing miliknya tidak pernah menderita sakit, 20% responden menjawab pernah menderita sakit dan 16% responden menjawab tidak tahu. Jika mengamati data tersebut dapat disimpulkan bahwa perawatan anjing pada masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu lebih baik dibanding masyarakat pemelihara anjing pemburu. Hal lain yang harus diperhatikan berdasarkan pendapat dari responden adalah jenis penyakit yang pernah diderita oleh anjing. Distribusi pendapat responden mengenai jenis penyakit pada anjing dapat dilihat pada Gambar Jumlah responden (%) Tidak nafsu makan Penyakit kulit Luka cidera Rabies Jenis penyakit Gambar4 Pendapat masyarakat pemelihara anjing pemburu ( )dan masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu ( )tentang jenis penyakit pada anjing. Berdasarkan data dari penelitian yang dapat dilihat secara terperinci dari Gambar 4 menunjukkan bahwa sebanyak 43% responden dari masyakarat pemelihara anjing pemburu yang menyatakan anjingnya pernah menderita sakit menyatakan bahwa jenis sakit yang diderita oleh anjing miliknya adalah luka cidera yang diakibatkan oleh aktifitas berburu dan tidak ada yang menyatakan bahwa anjingnya pernah menderita penyakit berbahaya seperti rabies. Sebaliknya pada masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu, dari 20% responden yang menyatakan anjingnya pernah menderita sakit terdapat 7% responden menjawab rabies. Risiko terjadinya kasus rabies pada anjing bukan pemburu lebih besar

12 23 dibanding anjing pemburu. Hal ini dapat dipastikan dengan melihat status vaksinasi anjing sebelumnya, dimana anjing pada masyarakat bukan pemburu banyak yang tidak divaksinasi. Pendapat Responden Mengenai Kasus Gigitan Anjing Rabies merupakan penyakit zoonosa yang bersifat mematikan dan ditransmisikan kepada manusia melalui gigitan anjing (Dodet et al. 2008). Manusia yang pernah tergigit anjing sangat mungkin tertular rabies. Untuk itu, jumlah kasus gigitan anjing perlu menjadi perhatian penting dalam upaya pencegahan terhadap kejadian rabies. Distribusi kasus gigitan anjing pada manusia berdasarkan data dari Dinas Peternakan Kabupaten Pasaman Barat dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Distribusi kasus gigitan anjing pada manusia Kabupaten/Kota Kecamatan Jumlah kasus gigitan/tahun (orang) Pasaman Barat Talamau 4 Pasaman 16 Luhak Nan Duo 9 Kinali 13 Sasak Ranah Pasisie 2 Gunung Tuleh 0 Sei Aur 18 Lembah Melintang 21 Koto Balingka 1 Ranah Batahan 2 Sungai Beremas 0 Total 74 Sumber: Laporan Kejadian Penyakit Rabies Kabupaten Pasaman Barat Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Kabupaten Pasaman Barat mengenai jumlah kasus gigitan anjing ke manusia, Kecamatan Pasaman menduduki peringkat tiga terbanyak dengan jumlah kasus gigitan 16 orang selama tahun Kasus gigitan anjing ke manusia selalu dikaitkan dengan penyakit rabies. Rabies adalah penyakit yang telah ada sejak jaman dahulu dan dapat menyebabkan kematian pada manusia yang terinfeksi. Virus zoonosis ditransmisikan melalui saliva dari anjing yang terinfeksi, dapat menyebabkan encephalomyelitis yang bersifat fatal (Dacheux et al. 2011).

13 24 Hal ini memerlukan perhatian yang lebih besar dari pemerintah karena berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa masih banyak responden yang tidak mengetahui akan adanya kasus gigitan tersebut. Menurut Dodet et al.(2008), umumnya populasi berisiko tidak menggetahui dengan baik mengenai kejadian rabies danhal apa yang akan terjadi dengan adanya gigitan dari binatang penular rabies seperti anjing sehingga pencegahan terhadap penyakit ini sulit untuk laksanakan. Anjing adalah reservoir virus rabies yang paling penting di berbagai belahan dunia (WHO 2004). Anjing domestik sejauh ini merupakan sumber yang paling umum menginfeksi manusia (John 2005), dan lebih dari 95% kasus rabies pada manusia disebabkan oleh gigitan dari anjing gila. Rabies memiliki dampak terbesar di negara berkembang, di mana ribuan orang meninggal karena rabies setiap tahunnya (WHO 2004), salah satu poin penting yang tercantum dalam Program Pencegahan dan Pemberantasan Rabies oleh Direktorat Kesehatan Hewan Departemen Peternakan adalah dengan cara menghindari kejadian penggigitan dari hewan penular rabies ke manusia (Deptan 2002). Pendapat responden mengenai kelompok usia yang sering tergigit anjing yang digambarkan dalam penelitian ini adalah urutan tingkat usia manusia yang sering tergigit anjing serta tindakan yang dilakukan masyarakat terhadap manusia yang tergigit anjing. Distribusi pendapat responden mengenai urutan tingkat usia pada manusia yang sering tergigit anjing dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Pendapat responden mengenai urutan tingkat usia pada manusia yang sering tergigit anjing Karakteristik Pemelihara anjing pemburu (n=100) % Pemelihara anjing bukan pemburu (n=100) % Usia tergigit anjing Anak-anak Tua Jumlah kematian pada manusia yang berasal dari daerah endemis rabies pada anjing diperkirakan oleh WHO sekitar kasus kematian setiap tahun, kasus kematian terjadi di daerah Asia dan kebanyakan terjadi pada usia anak-anak (Dodet et al. 2008). Menurut pendapat dari responden kasus gigitan anjing lebih banyak terjadi pada tingkatan usia anak-anak. Anak-anak memang diketahui lebih rentan terkena

14 25 gigitan anjing. Hal ini disebabkan karena anak-anak tidak mengetahui dampak apa yang dapat ditimbulkan oleh seekor anjing. Anak-anak juga memiliki pengetahuan yang sedikit atau bahkan tidak mengetahui tentang rabies. Menurut Marpaung (2009), WHO memperkirakan 30% 50% proporsi dari kematian yang dilaporkan akibat rabies terjadi pada anak-anak di bawah usia 15 tahun. Dibanding orang dewasa, anak-anak ternyata memang lebih sering menjadi sasaran utama gigitan anjing. Anjing pada umumnya merasa teritorinya terancam oleh anak-anak. Pengetahuan Masyarakat Mengenai Rabies Rabies adalah salah satu penyakit yang disebabkan oleh gigitan anjing, dan bersifat fatal, tetapi data tentang gigitan anjing dan pengetahuan masyarakat, sikap dan perbuatan yang berkaitan dengan kasus tersebut tidak dipelajari dengan benar tingkat di masyarakat (Agarvval dan Reddaiah 2003). Pengetahuan masyarakat tentang rabies yang diamati dalam penelitian ini adalah kemampuan responden menjawab semua pertanyan tentang hal-hal umum mengenai rabies, penularan rabies, vaksinasi dan tindakan pengendalian rabies dan pencegahan rabies dengan benar. Pengetahuan masyarakat Kecamatan Pasaman tentang rabies yang diamati dapat dilihat pada Tabel 10. No Tabel 10 Pengetahuan masyarakat tentang rabies Kategori Pertanyaan Pemelihara anjing pemburu (%) Jawaban Benar Pemelihara anjing bukan pemburu (%) 1 Hal-hal umum mengenai rabies Penularan rabies Vaksinasi dan tindakan pengendalian rabies Pencegahan rabies Berdasarkan kelompok kategori pertanyaan yang terdapat pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa pengetahuan masyarakat baik masyarakat pemelihara anjing pemburu maupun bukan pemburu sama tentang hal-hal umum mengenai rabies serta vaksinasi dan tindakan pengendalian rabies. Pertanyaan tetang hal-hal umum mengenai rabies dapat dijawab dengan benar oleh 60% reponden dari masing-masing kelompok responden. Angka ini menunjukkan bahwa masyarakat

15 26 kurang cukup tahu mengenai hal-hal umum mengenai rabies seperti hewan apa saja yang dapat menderita rabies, rabies pada manusia dan hal-hal umum lainnya. Pertanyaan tentang vaksinasi dan tindakan pengendalian rabies dapat dijawab dengan benar oleh 100% reponden dari masing-masing kelompok responden. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah sangat paham mengenai hal tersebut. Jika dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya mengenai vaksinasi anjing, ternyata banyak masyarakat yang mengetahui tentang vaksinasi dan pentingnya vaksinasi diberikan tetapi tidak memvaksinasi anjingnya. Terlihat sekali perbedaan sikap dan praktik pemeliharaan anjing dengan pengetahuan untuk kontrol terhadap risiko kejadian rabies pada masyarakat. Selanjutnya, hasil wawancara dengan responden memperlihatkan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai penularan rabies dan pencegahan rabies berbeda pada masyarakat pemelihara anjing pemburu dan bukan pemburu. Berdasarkan data pada Tabel 10, terlihat bahwa pengetahuan masyarakat pemelihara anjing pemburu mengenai penularan rabies lebih baik dibanding pemelihara anjing bukan pemburu. Jumlah responden yang mampu menjawab dengan benar pertanyaan mengenai penularan rabies adalah 80% pada masyarakat pemelihara anjing pemburu dan 75% pada pemelihara anjing bukan pemburu. Hal serupa juga terlihat pada pertanyaan mengenai pencegahan rabies. Masyarakat pemelihara anjing pemburu lebih banyak yang mampu menjawab pertanyaanpertanyaan yang berkaitan dengan pencegahan rabies yaitu sebanyak 80% responden. Sedangkan pada masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu, hanya 60% responden yang mampu menjawab pertanyaan dengan benar. Jika dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya mengenai manajemen pemeliharaan anjing, terlihat adanya keterkaitan antara cara pemeliharaan anjing sebagai kontrol terhadap adanya kemungkinan terjadinya kasus rabies dengan tingkat pengetahuan masyarakat pemelihara anjing. Menurut Ginoet al.(2007), tingkat kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai pencegahannya dengan vaksinasi sudah tinggi di Srilangka, hal ini disebabkan karena informasi dari berbagai sumber termasuk kampanye dari pemerintah dan media masa. Selanjutnya, tingkat keterbukaan masyarakat terhadap tindakan dalam pengendalian rabies pun sudah cukup tinggi tetapi ada

16 27 perbedaan dalam sikap dan praktik perawatan hewan peliharaan yang relevan dengan kontrol terhadap rabies. Pemilik anjing yang memelihara anjingnya dengan baik cenderung lebih kooperatif untuk mengontrol kejadian rabies. Hal ini jelas terlihat dari penjelasan-penjelasan sebelumnya, dimana masyarakat pemelihara anjing pemburu dengan tingkat pengetahuan mengenai cara penularan dan pencegahan rabies yang lebih tinggi jauh lebih kooperatif dalam hal pemeliharaan anjing terkait kontrol terhadap kegiatan pencegahan rabies. Profil Pemelihara Anjing Pemburu Kebiasaan masyarakat Sumatera Barat yang sudah membudaya adalah berburu babi hutan dengan menggunakankan anjing. Hal ini cukup menjadi perhatian bagi masyarakat sekitar dan pemerintah daerah. Kebiasaan ini diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus rabies di daerah ini. Untuk itu, perlu diketahui bagaimana karakteristik pemelihara anjing pemburu tersebut. Profil pemelihara anjing pemburu yang digambarkan dalam penelitian ini meliputi berbagai hal menyangkut aktifitas berburu babi pada masyarakat Kecamatan Pasaman dan riwayat anjing yang dipakai dalam berburu. Distribusi aktifitas berburu pada masyarakt Pasaman dapat dilihat pada Tabel 11.

17 28 Tabel 11Aktifitas berburu pada masyarakat Pasaman Karakteristik (%) Jadwal berburu dalam 1 bulan Satu-dua kali 3 Empat-enam 5 Tujuh-sembilan kali 92 Cara berburu Dilakukan secara perorangan 1 Dilakukan oleh kelompok kecil, sekitar 3-5 orang 2 Dilakukan oleh kelompok besar, sekitar orang 12 Dilakukan oleh suatu organisasi 85 Lokasi berburu Di hutan yang sama yang berada Kabupaten Pasaman Barat 1 Di hutan yang berbeda di dalam Kabupaten Pasaman Barat 73 Di hutan yang terletak diluar Kabupaten Pasaman Barat 2 Di perkebunan 24 Cara membawa anjing ke lokasi Dibawa menggunakan sepeda motor 78 Dibawa menggunakan mobil dengan bak terbuka 14 Dibawa menggunakan mobil pribadi 8 Perlakuan terhadap anjing didalam perjalanan menuju lokasi Tidak menggunakan apa-apa 56 Menggunakan pengikat leher saja 35 Menggunakan kandang besi 9 Aktifitas berburu yang dilakukan oleh masyarakat Pasaman berdasarkan data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa sebanyak 92% responden menyatakan bahwa aktifitas berburu tersebut dilakukan sebanyak tujuh sampai sembilan kali dalam satu bulan. Aktifitas berburu bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau (masyarakat Sumatera Barat) merupakan salah satu tradisi yang bagi penikmatnya merupakan suatu sarana yang berguna untuk pemberantasan hama babi yang mengganggu tanaman masyarakat serta menjadi ajang silaturahim antar masyarakat Sumbar dan provinsi tetangga. Menurut beberapa masyarakat yang ikut dalam tradisi ini (2010), berburu babi memang sudah menjadi tradisi sejak ratusan tahun di Minangkabau. Setelah kemerdekaan, buru babi dikemas menjadi semacam olahraga yang dikelola PORBI (Persatuan Olah Raga Buru Babi). Para pemburu biasanya akan saling berkunjung ke daerah lain yang menggelar buru babi. Selain

18 29 membantu memberantas hama tanaman, hobi tersalurkan, silaturahim pun tercipta. Di Sumatera Barat, peminat olahraga tradisi itu diperkirakan lebih dari 500 ribu orang. Melintasi batas daerah, status sosial, dan ekonomi. Besarnya peminat buru babi disebabkan olahraga ini bisa disesuaikan dengan keadaan ekonomi masyarakat. Sampai saat ini, dengan adanya PORBI aktifitas olah raga berburu babi ini pun memiliki struktur organisasi dan jadwal berburu yang telah disepakati. Biasanya, jika perburuan hanya dilakukan oleh masyarakat dari daerah tertentu, jadwal rutin untuk berburu dilakukan dua kali dalam satu minggu sehingga dalam satu bulan, komunitas ini bisa melakukan perburuan sebanyak tujuh sampai sembilan kali. Aktifitas berburu yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Minangkabau pun dilaksanakan secara berkelompok sehingga terbentuk PORBI. Menurutdata yang terdapat pada Tabel 11, sebanyak 85% reponden menyatakan perburuan dilakukan secara bersama-sama dibawah naungan suatu organisasi dengan jumlah anggota melebihi 500 orang. Jumlah anjing yang dibawa berburu beragam, namun biasanya jumlah anjing yang dibawa berburu dapat melebihi jumlah pemburu karena ada beberapa pemburu yang membawa lebih dari satu ekor anjing bahkan sampai melebihi lima ekor anjing. Berdasarkan data karakteristik yang diperolehpada Tabel 11, dapat diketahui bahwa sebanyak 73% responden menyatakan bahwa aktifitas berburu babi hutan biasanya dilakukan di hutan yang berbeda di dalam Kabupaten Pasaman Barat, tetapi sebanyak 24% responden menjawab bahwa aktifitas berburu tersebut di lakukan di perkebunan masyarakat. Adanya organisasi perkumpulan berburu babi di Sumatera Barat dan beberapa daerah di Sumatera manjadikan aktifitas ini terkontrol dalam haljadwal berburu dan penentuan lokasi berburu. Di Pasaman Barat, aktifitas berburu biasanya dilakukan di hutan atau di perkebunan yang berbeda tetapi masih berada di dalam kawasan Kabupaten tersebut. Pada waktuwaktu tertentu, aktifitas ini juga dilakukan di beberapa hutan yang terletak di luar Kabupaten Pasaman Barat dengan jumlah pemburu yang jauh lebih banyak. Hal tersebut biasanya di lakukan satu kali dalam satu bulan.

19 30 Kondisi lain yang menyebabkan aktifitas ini cukup menjadi perdebatan di masyarakat Minangkabau adalah cara membawa dan perlakuan terhadap anjing yang di bawa ke lokasi berburu. Sebanyak 78% responden menjawab bahwa cara yang paling umum dilakukan dalam membawa anjing ke lokasi berburu adalah dengan menggunakan sepeda motor. Perlakuan terhadap anjing pun dalam perjalanan menuju daerah berburu babi beragam. Sebanyak 56%responden membawa anjingnya tanpa menggunakan peralatan seperti pengikat moncong, tali pengikat dan lain sebagainya, kemudian terdapat 35% responden yang membawa anjingnya dengan menggunakan pengikat leher saja, dan hanya 9% responden yang membawa anjingnya dengan menggunakan kandang besi. Menurut Malahayati (2009), anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat dengan rantai dan menggunakan pengikat moncong sebagai salah satu upaya untuk pencegahan dan pemberantasan rabies. Aktifitas berburu tidak terlepas dari anjing yang dipakai sebagai senjata atau alat dalam aktifitas tersebut. Distribusi karakteristik riwayat anjing pemburu pada masyarakat Kecamatan Pasaman dapat diliat pada Tabel 12. Tabel 12 Riwayat Anjing pemburu Karakteristik (%) Asal anjing buruan Tidak Tahu 11 Dari daerah di kawasan Propinsi Sumatera Barat 35 Dari daerah diluar Propinsi Sumatera Barat di dalam sumatera 19 Dari daerah diluar Propinsi Sumatera Barat di luar sumatera 35 Cara mendapatkan anjing Dapatan 1 Pemberian 15 Membeli tanpa surat-surat yang jelas 78 Membeli dengan surat-surat yang jelas 6 Riwayat vaksinasi anjing sebelumnya Ya 17 Tidak 5 Tidak tahu 78

20 31 Data mengenai daerah asal anjing yang di pakai dalam berburu babi hutan oleh masyarakat pemelihara anjing pemburu di Kecamatan Pasaman secara terperinci disajikan pada Tabel 12. Sebanyak 35% responden menjawab bahwa anjing yang di pakai berburu berasal dari daerah di luar Propinsi Sumatera Barat dan diluar Pulau Sumatera seperti Pulau Jawa. Jumlah yang sama yaitu 35% responden menjawab bahwa anjing yang dipakai berburu berasal dari daerah di kawasan Propinsi Sumatera Barat. Selain mengukur pengetahuan tentang daerah asal anjing buruan, penelitian ini juga bertujuan mengetahui cara pemilik dalam mendapatkan anjing tersebut. Sebanyak 78% respoden menjawab mendapatkan anjing tersebut dengan cara membelinya tanpa surat-surat yang jelas, tetapi masih ada responden yang menjawab bahwa anjing tersebut merupakan anjing dapatan yang artinya anjing temuan di jalan. Mengingat bahwa di Afrika dan Asia, anjing domestik masih memainkan peran penting dalam pemeliharaan dan transmisi rabies, aspek yang penting yang masih harus dipelajari adalah interaksi antara anjing yang dimiliki dan pemiliknya (Ratsitorahina et al. 2007). Hal ini didukung dengan mudahnya pemilik mendapatkan anjingnya seperti anjing-anjing yang diperoleh secara pemberian, dapatan atau membeli dengan mudah tanpa surat-surat yang jelas. Kepentingan lain yang harus diperhatikan dari anjing-anjing buruan adalah riwayat vaksinasi rabies dari pemilik sebelumnya. Sebanyak 78% responden menjawab bahwa anjing miliknya belum pernah di vaksinasi sebelumnya, dan hanya 17% responden yang menjawab anjing miliknya pernah di vaksinasi oleh pemilik sebelumnya, sedangkan 5% responden sisanya menjawab tidak tahu. Riwayat vaksinasi hewan terutama anjing penting untuk diketahui untuk menindaklanjuti kegiatan vaksinasi selanjutnya, tetapi berdasarkan data status vaksinasi anjing, masyarakat pemelihara anjing pemburu memiliki kesadaran yang besar untuk melakukan vaksinasi terhadap anjing miliknya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan Nasional Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan

BAB I PENDAHULUAN. Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan syaraf pusat hewan berdarah panas disebabkan oleh virus dan dapat menular pada manusia. Penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis Rabies, kini menjadi tantangan bagi pencapaian target Indonesia bebas Rabies pada 2015. Guna penanggulangan

Lebih terperinci

PROFIL PEMELIHARAAN ANJING DAN KETERKAITANNYA DENGAN KEJADIAN RABIES DI KECAMATAN PASAMAN KABUPATEN PASAMAN BARAT PROVINSI SUMATERA BARAT

PROFIL PEMELIHARAAN ANJING DAN KETERKAITANNYA DENGAN KEJADIAN RABIES DI KECAMATAN PASAMAN KABUPATEN PASAMAN BARAT PROVINSI SUMATERA BARAT PROFIL PEMELIHARAAN ANJING DAN KETERKAITANNYA DENGAN KEJADIAN RABIES DI KECAMATAN PASAMAN KABUPATEN PASAMAN BARAT PROVINSI SUMATERA BARAT RISA OCTRIANA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita

PENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies adalah penyakit viral yang mempengaruhi sistem saraf pusat pada mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita yang dapat bertahan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang ditularkan kepada manusia dan menyerang susunan saraf pusat. Penyakit ini mendapat

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMELIHARAAN DAN LALU LINTAS HEWAN PENULAR RABIES DI KABUPATEN BADUNG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMELIHARAAN DAN LALU LINTAS HEWAN PENULAR RABIES DI KABUPATEN BADUNG BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMELIHARAAN DAN LALU LINTAS HEWAN PENULAR RABIES DI KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES 1 WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PARIAMAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular merupakan penyakit yang ditularkan melalui berbagai media. Penyakit menular menjadi masalah kesehatan yang besar hampir di semua negara berkembang

Lebih terperinci

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN, PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PAYAKUMBUH,

Lebih terperinci

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Menimbang PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, : a. bahwa rabies merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 3238/Kpts/PD.630/9/2009 tentang Penggolongan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR : 03 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR : 03 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR : 03 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA BUPATI PASAMAN BARAT Menimbang : a. bahwa Rabies adalah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemangku kepentingan (stakeholders) sebagaimana telah didiskusikan dalam

BAB I PENDAHULUAN. pemangku kepentingan (stakeholders) sebagaimana telah didiskusikan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Visi rencana pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025 adalah Indonesia yang maju, adil, dan makmur. Visi tersebut direalisasikan pada empat misi pembangunan.

Lebih terperinci

LAMPIRAN KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA

LAMPIRAN KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA LAMPIRAN KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA (AI) DI RW02 KELURAHAN PANUNGGANGAN WILAYAH KERJA PUSKESMAS PANUNGGANGAN KOTA TANGERANG

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kejadian rabies sangat ditakuti di kalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat dengan gejala

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terkena virus rabies kepada manusia yang disebut dengan zoonosis. Penyakit rabies

BAB 1 PENDAHULUAN. terkena virus rabies kepada manusia yang disebut dengan zoonosis. Penyakit rabies BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit rabies atau anjing gila adalah suatu penyakit yang sangat ditakuti dan dapat menimbulkan kematian. Penyakit ini ditularkan dari hewan yang sudah terkena virus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut,

BAB I PENDAHULUAN. Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut, merupakan suatu penyakit infeksi akut susunan syaraf pusat yang dapat menyerang mamalia termasuk

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGASAHAN... RIWAYAT HIDUP... ABSTRAK... v. KATA PENGANTAR. vii. DAFTAR ISI. ix. DAFTAR TABEL.

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGASAHAN... RIWAYAT HIDUP... ABSTRAK... v. KATA PENGANTAR. vii. DAFTAR ISI. ix. DAFTAR TABEL. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGASAHAN... RIWAYAT HIDUP...... i ii iv ABSTRAK... v KATA PENGANTAR. vii DAFTAR ISI. ix DAFTAR TABEL. xi DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR LAMPIRAN. xiii BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesepakatan global ( Millenium Development Goals/MDG s) pada tahun 2015,

BAB 1 PENDAHULUAN. kesepakatan global ( Millenium Development Goals/MDG s) pada tahun 2015, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, Angka Kematian Ibu (AKI) 228 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH), Angka Kematian Bayi (AKB) 34 per

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir ditemukan peningkatan kasus penyakit zoonosis di

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir ditemukan peningkatan kasus penyakit zoonosis di 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ditemukan peningkatan kasus penyakit zoonosis di dunia dan Indonesia yang ditularkan oleh hewan ke manusia. Penyakit zoonosis adalah penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan musim hujan. Tata kota yang kurang menunjang mengakibatkan sering

BAB I PENDAHULUAN. dan musim hujan. Tata kota yang kurang menunjang mengakibatkan sering BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mengalami dua musim setiap tahun, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Tata kota yang kurang menunjang mengakibatkan sering terjadinya banjir di beberapa daerah.

Lebih terperinci

Sekapur Sirih. Simpang Empat, Agustus 2010 Kepala Badan Pusat Statisitik Kab. Pasaman Barat. Chardiman, S.ST, MM

Sekapur Sirih. Simpang Empat, Agustus 2010 Kepala Badan Pusat Statisitik Kab. Pasaman Barat. Chardiman, S.ST, MM 1 Sekapur Sirih Sebagai pengemban amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik dan sejalan dengan rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Sensus Penduduk dan Perumahan Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe

BAB I PENDAHULUAN. penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Avian Influenza (AI) atau flu burung atau sampar unggas merupakan penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe H5N1 dari family Orthomyxoviridae.

Lebih terperinci

Sebaran Umur Korban Gigitan Anjing Diduga Berpenyakit Rabies pada Manusia di Bali. (The Distribution of Ages on Victims of Rabies in Bali)

Sebaran Umur Korban Gigitan Anjing Diduga Berpenyakit Rabies pada Manusia di Bali. (The Distribution of Ages on Victims of Rabies in Bali) Sebaran Umur Korban Gigitan Anjing Diduga Berpenyakit Rabies pada Manusia di Bali (The Distribution of Ages on Victims of Rabies in Bali) Calvin Iffandi 1, Sri Kayati Widyastuti 3, I Wayan Batan 1* 1 Laboratorium

Lebih terperinci

Ekologi dan Demografi Anjing di Kecamatan Denpasar Timur

Ekologi dan Demografi Anjing di Kecamatan Denpasar Timur Ekologi dan Demografi Anjing di Kecamatan Denpasar Timur TJOKORDA ISTRI AGUNG CINTYA DALEM 1, I KETUT PUJA 1, I MADE KARDENA 2 1 Lab. Histologi, 2 Lab. Patologi Umum, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMELIHARAAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMELIHARAAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMELIHARAAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU Menimbang : a. bahwa rabies merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.130, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5543) PERATURAN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5543 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 130) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI AGAM,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI AGAM, PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI AGAM, Menimbang: bahwa untuk melindungi masyarakat terhadap rabies

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa rabies merupakan penyakit menular yang dapat menyerang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN I. UMUM Pengaturan pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penyakit kaki gajah (filariasis) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Cacing filaria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. duduk di salah satu warung kopi. Pembicaraan pengunjung warung tersebut

BAB I PENDAHULUAN. duduk di salah satu warung kopi. Pembicaraan pengunjung warung tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep diri merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi proses komunikasi interpersonal seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Konsep diri tersebut terbentuk

Lebih terperinci

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi **Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sam Ratulangi

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi **Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sam Ratulangi HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT DENGAN TINDAKAN PEMILIK ANJING DALAM PENCEGAHAN RABIES DI DESA KOHA KECAMATAN MANDOLANG KABUPATEN MINAHASA Mentari O.Pangkey*John. Kekenusa** Joy.A.M. Rattu*

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2 No.1866, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Hewan. Penyakit. Pemberantasan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

KABUPATEN PASAMAN BARAT

KABUPATEN PASAMAN BARAT 12 Jumlah rumahtangga usaha pertanian di Pasaman Barat Tahun 2013 sebanyak 58.366 rumahtangga Jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum di Pasaman Barat Tahun 2013 sebanyak 14 Perusahaan Jumlah perusahaan

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nan Tigo (wilayah yang tiga). Pertama adalah Luhak Agam yang sekarang

BAB I PENDAHULUAN. Nan Tigo (wilayah yang tiga). Pertama adalah Luhak Agam yang sekarang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Suku bangsa Minangkabau mendiami daratan tengah Pulau Sumatera bagian barat yang sekarang menjadi Propinsi Sumatera Barat. Daerah asli orang Minangkabau ada tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia yang jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRAK... v KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT AVIAN

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT AVIAN 69 GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT AVIAN INFLUENZA DI KELURAHAN WANGUNSARI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LEMBANG KECAMATAN LEMBANG TAHUN 2007 1. Nama : 2. Alamat : Kelurahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Over populasi hewan domestik atau yang bisa disebut dengan hewan peliharaan yang ada di Indonesia sudah sangat tinggi. JAAN menyebut sepasang anjing yang tidak di sterilisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tikus. Manusia dapat terinfeksi oleh patogen ini melalui kontak dengan urin

BAB I PENDAHULUAN. tikus. Manusia dapat terinfeksi oleh patogen ini melalui kontak dengan urin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Leptospirosis atau penyakit kuning merupakan penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Penyakit ini disebabkan bakteri Leptospira Icterohaemorrhagiae

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Flu burung merupakan penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas bagi masyarakat karena

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 06 TAHUN 2006 Menimbang Mengingat TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN MENULAR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI KOTA DUMAI Hasil Rapat Bersama DPRD Tanggal 21 Juli 2008 LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI Nomor : 10 Tahun 2008 Seri : D Nomor 06 PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMELIHARAAN TERNAK DAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2013). Lima ratus juta

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2013). Lima ratus juta BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan penyakit infeksi yang mengancam jiwa dan banyak menyebabkan kematian (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2013). Lima ratus juta penduduk di dunia terinfeksi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SOLOK,

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SOLOK, LEMBARAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 24 SERI E. 24 ================================================================ PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 14 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN

Lebih terperinci

Cakupan Vaksinasi Anti Rabies pada Anjing dan Profil Pemilik Anjing Di Daerah Kecamatan Baturiti, Tabanan

Cakupan Vaksinasi Anti Rabies pada Anjing dan Profil Pemilik Anjing Di Daerah Kecamatan Baturiti, Tabanan Cakupan Vaksinasi Anti Rabies pada Anjing dan Profil Pemilik Anjing Di Daerah Kecamatan Baturiti, Tabanan IVAN M TARIGAN 1 I MADE SUKADA 1, I KETUT PUJA 2 Laboratorium Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan,

Lebih terperinci

ISSN situasi. diindonesia

ISSN situasi. diindonesia ISSN 2442-7659 situasi diindonesia PENDAHULUAN Rabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan manusia. Virus rabies ditransmisikan melalui air liur hewan terinfeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever (DHF) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk

Lebih terperinci

KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES

KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Workshop Pengendalian dan Penanggulangan Bahaya Penyakit Rabies Banda Aceh,

Lebih terperinci

BUPATI SIJUNJUNG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

BUPATI SIJUNJUNG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES BUPATI SIJUNJUNG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIJUNJUNG, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kinali dan Luhak Nan Duomerupakandua wilayah kecamatan dari. sebelaskecamatan yang ada di Kabupaten Pasaman Barat. Kedua kecamatan ini

I. PENDAHULUAN. Kinali dan Luhak Nan Duomerupakandua wilayah kecamatan dari. sebelaskecamatan yang ada di Kabupaten Pasaman Barat. Kedua kecamatan ini I. PENDAHULUAN A. LatarBelakang Kinali dan Luhak Nan Duomerupakandua wilayah kecamatan dari sebelaskecamatan yang ada di Kabupaten Pasaman Barat. Kedua kecamatan ini terletak berdampingan.secara geografis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus dan dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit zoonotik.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Virus avian influenza tipe H5N1 yang dikenal dengan Flu Burung adalah suatu virus yang umumnya menyerang bangsa unggas yang dapat menyebabkan kematian pada manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit flu burung atau flu unggas (bird flu, avian influenza) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit flu burung atau flu unggas (bird flu, avian influenza) adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit flu burung atau flu unggas (bird flu, avian influenza) adalah suatu penyakit yang menular yang disebabkan oleh virus tipe A dan B dan ditularkan oleh unggas.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Desain Penelitian

METODE PENELITIAN. Desain Penelitian 7 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2010 bertempat di 5 Desa (Jorong) di Kecamatan Pasaman, Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat, yaitu

Lebih terperinci

BAB I : PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh virus dengue, virus ini ditularkan melalui

BAB I : PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh virus dengue, virus ini ditularkan melalui 1 BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (Dengue Hemorrhagic Fever) atau lazimnya disebut dengan DBD / DHF merupakan suatu jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans yang mempengaruhi baik manusia maupun hewan. Manusia terinfeksi melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian mempunyai peranan yang sangat strategis terutama dalam penyediaan pangan, penyediaan bahan baku industri, peningkatan ekspor dan devisa negara,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kepemimpinan memegang peranan penting dalam upaya menjamin kelangsungan sebuah organisasi, termasuk di dalamnya organisasi sekolah. Kemajuan suatu sekolah

Lebih terperinci

PARTISIPASI PEMILIK HPR TERHADAP PROGRAM PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES DI DESA ABIANSEMAL DAN DESA BONGKASA PERTIWI KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG

PARTISIPASI PEMILIK HPR TERHADAP PROGRAM PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES DI DESA ABIANSEMAL DAN DESA BONGKASA PERTIWI KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG Arc. Com. Health Juni 2016 ISSN: 2527-3620 PARTISIPASI PEMILIK HPR TERHADAP PROGRAM PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES DI DESA ABIANSEMAL DAN DESA BONGKASA PERTIWI KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG Luh Sri

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

Kata Kunci : Pengetahuan, Perawatan, Demam Berdarah Dengue

Kata Kunci : Pengetahuan, Perawatan, Demam Berdarah Dengue GAMBARAN PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG PERAWATAN DBD (DEMAM BERDARAH DENGUE) DI KELURAHAN PULUBALA KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO Fadlun Lapaleo. 841409036. Skripsi, Program Studi Keperawatan, Fakultas

Lebih terperinci

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Penyakit DBD banyak

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.214, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Veteriner. Hewan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit penyebab masalah kesehatan masyarakat terutama di negara tropis dan sub tropis yang sedang berkembang. Pertumbuhan penduduk yang

Lebih terperinci

PERATURAN DESA MIAU MERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENERTIBAN HEWAN TERNAK DAN HEWAN PENULAR RABIES YAITU ANJING

PERATURAN DESA MIAU MERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENERTIBAN HEWAN TERNAK DAN HEWAN PENULAR RABIES YAITU ANJING SALINAN PERATURAN DESA MIAU MERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENERTIBAN HEWAN TERNAK DAN HEWAN PENULAR RABIES YAITU ANJING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA MIAU MERAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Leptospira sp dan termasuk penyakit zoonosis karena dapat menularkan ke

BAB I PENDAHULUAN. Leptospira sp dan termasuk penyakit zoonosis karena dapat menularkan ke BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan bakteri Leptospira sp dan termasuk penyakit zoonosis karena dapat menularkan ke manusia. Penyakit Leptospirosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh satu dari 4 virus dengue berbeda dan ditularkan melalui nyamuk terutama Aedes aegypti dan Aedes

Lebih terperinci

Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh TIWIK SUSILOWATI J

Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh TIWIK SUSILOWATI J HUBUNGAN PERILAKU MASYARAKAT DAN KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TANA RARA KECAMATAN LOLI KABUPATEN SUMBA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. zoonoses (host to host transmission) karena penularannya hanya memerlukan

PENDAHULUAN. zoonoses (host to host transmission) karena penularannya hanya memerlukan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri patogen Leptospira, yang ditularkan secara langsung maupun tidak langsung dari hewan ke manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) dengan ujung siku-siku bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak dibawah lima tahun atau balita adalah anak berada pada rentang usia nol sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat setiap orang sehingga mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit yang disebabkan oleh vektor masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam Berdarah Dengue

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal sangat ditentukan oleh tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal sangat ditentukan oleh tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat yang optimal sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan berperilaku sehat

Lebih terperinci

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan menurut Sistem Kesehatan Nasional adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat,

Lebih terperinci

SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES DI KECAMATAN BANJARANGKAN KABUPATEN KLUNGKUNG BALI TAHUN 2015

SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES DI KECAMATAN BANJARANGKAN KABUPATEN KLUNGKUNG BALI TAHUN 2015 SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES DI KECAMATAN BANJARANGKAN KABUPATEN KLUNGKUNG BALI TAHUN 215 Kaviraj Mohan Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit campak merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit campak merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit campak merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyakit campak sangat berbahaya karena dapat menyebabkan cacat dan kematian yang diakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi masalah kesehatan internasional yang terjadi pada daerah tropis dan subtropik di seluruh

Lebih terperinci

HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I

HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I 0 HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat Disusun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan mungkin paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti rawa,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang datang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di dunia termasuk Indonesia. Penyakit malaria menjadi salah satu perhatian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 50/Permentan/OT.140/10/2006 TENTANG PEDOMAN PEMELIHARAAN UNGGAS DI PEMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 50/Permentan/OT.140/10/2006 TENTANG PEDOMAN PEMELIHARAAN UNGGAS DI PEMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 50/Permentan/OT.140/10/2006 TENTANG PEDOMAN PEMELIHARAAN UNGGAS DI PEMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 24 TAHUN 2014 TENTANG PEMASUKAN HEWAN-HEWAN TERTENTU KE WILAYAH PROVINSI PAPUA UNTUK KEPENTINGAN KHUSUS

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 24 TAHUN 2014 TENTANG PEMASUKAN HEWAN-HEWAN TERTENTU KE WILAYAH PROVINSI PAPUA UNTUK KEPENTINGAN KHUSUS GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 24 TAHUN 2014 TENTANG PEMASUKAN HEWAN-HEWAN TERTENTU KE WILAYAH PROVINSI PAPUA UNTUK KEPENTINGAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever (DHF) merupakan penyakit akut bersifat endemik yang di sebabkan oleh virus dengue yang masuk ke peredaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan perwakilan dari 189 negara dalam sidang Persatuan Bangsa-Bangsa di New York pada bulan September

Lebih terperinci