BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. DTW Tanah Lot tidak saja ramai dikunjungi wisatawan, tetapi juga

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN TEORI. mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

BAB I PENDAHULUAN. Tanah Lot merupakan salah satu daya tarik wisata (DTW) di Bali yang

BAB II KAJIAN TEORITIS

pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai bisa dijadikan sebagai buktinya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Industri pariwisata merupakan penyumbang devisa negara terbesar ke lima

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. negara yang menerima kedatangan wisatawan (tourist receiving countries),

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Selain bertujuan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun perekonomian nasional. Jumlah wisatawan terus bertambah

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang

BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS 2.1. TINJAUAN HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan kepariwisataan merupakan kegiatan yang bersifat sistematik,

BAB I PENDAHULUAN. segala potensi yang dimiliki. Pembangunan pariwisata telah diyakini sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Konsep Design Mikro (Bangsal)

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak potensi wisata baik dari segi sumber daya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN

KONSEP PEMASARAN KAWASAN WISATA TEMATIK

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya dinikmati segelintir orang-orang yang relatif kaya pada awal

BAB I PENDAHULUAN. menarik wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai orang, yang terdiri atas orang lakilaki

BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS. Wisata Alas Pala Sangeh Kabupaten Badung yang merupakan suatu studi kasus

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Kesiapan Kondisi Jayengan Kampoeng Permata Sebagai Destinasi Wisata

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pariwisata merupakan salah satu langkah strategis dalam menunjang

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI

BAB I PENDAHULUAN. sosialnya yang berbeda seperti yang dimiliki oleh bangsa lain. Dengan melakukan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. andalan bagi perekonomian Indonesia dan merupakan sektor paling strategis

PENGEMBANGAN KAWASAN DESA WISATA Oleh : Dr. Ir. Sriyadi., MP (8 Januari 2016)

BAB I PENDAHULUAN. peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi di berbagai negarad, pariwisata

BAB I PENDAHULUAN. tempat obyek wisata berada mendapat pemasukan dari pendapatan setiap obyek

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya melalui industri pariwisata. Sebagai negara kepulauan,

BAB I PENGANTAR. menjadi sub sektor andalan bagi perekonomian nasional dan daerah. Saat ini

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata Indonesia merupakan salah satu sektor yang mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA DANAU

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang semakin arif dan bijaksana. Kegiatan pariwisata tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kota Cilacap merupakan kota yang terletak di sebelah selatan dari

ARAHAN BENTUK, KEGIATAN DAN KELEMBAGAAN KERJASAMA PADA PENGELOLAAN SARANA DAN PRASARANA PANTAI PARANGTRITIS. Oleh : MIRA RACHMI ADIYANTI L2D

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua

PROFIL DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA ACEH

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP

BAB I PENDAHULUAN. ditengarai terdapat pergeseran orientasi, dari mass tourism menuju ke alternative

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Keterangan : * Angka sementara ** Angka sangat sementara Sumber : [BPS] Badan Pusat Statistik (2009)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. mengandalkan sektor pariwisata untuk membantu pertumbuhan ekonomi.

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG DESA WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. menjadi pusat pengembangan dan pelayanan pariwisata. Objek dan daya tarik

BAB III GEOGRAFI SUMBER (ATRAKSI) WISATA

BAB I PENDAHULUAN. menjadi komoditas yang mempunyai peran penting dalam pembangunan

Bab 10. Dampak Industri Pariwisata Terhadap Ekonomi, Sosio-Budaya dan Lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obyek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan atau aktivitas dan fasilitas

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Jawa Tengah, Cilacap

3. Pelayanan terhadap wisatawan yang berkunjung (Homestay/Resort Wisata), dengan kriteria desain : a) Lokasi Homestay pada umumnya terpisah dari

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. kawasan wisata primadona di Bali sudah tidak terkendali lagi hingga melebihi

BAB I PENDAHLUAN. Pulau Bali merupakan daerah tujuan pariwisata dunia yang memiliki

PUSAT PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA AGRO PAGILARAN BATANG JAWA TENGAH Dengan Tema Ekowisata

I. PENDAHULUAN. Era globalisasi saat ini ditandai dengan kemajuan teknologi dimana menghasilkan

PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN PROVINSI LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. n masyarakat global, regional, dan nasional untuk kembali ke alam (back to nature), maka

I. PENDAHULUAN. hakekatnya membangun manusia seutuhnya dan seluruhnya masyarakat

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. panorama alam, keberadaan seniman, kebudayaan, adat-istiadat dan sifat religius

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

2016 PENGARUH CULTURAL VALUE PADA DAYA TARIK WISATA PURA TANAH LOT BALI TERHADAP KEPUTUSAN BERKUNJUNG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Industri pariwisata saat ini semakin menjadi salah satu industri yang dapat

IV.C.5. Urusan Pilihan Kepariwisataan

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

BAB I PENDAHULUAN. berbagai cara,misalnya dengan mengadakan pameran seni dan budaya, pertunjukkan

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGIS DAN KEBIJAKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kajian penelitian ini membahas tentang Pengelolaan Pulau Penyu oleh

17. URUSAN WAJIB KEBUDAYAAN

PERSEPSI WISATAWAN MANCANEGARA TERHADAP ATRAKSI PARIWISATA AIR DI KAWASAN GILI TRAWANGAN TUGAS AKHIR

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. unggulan di Indonesia yang akan dipromosikan secara besar-besaran di tahun 2016.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN

VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR. dari 67 orang laki-laki dan 33 orang perempuan. Pengunjung TWA Gunung

PENGELOLAAN DAYA DUKUNG DAN PEMASARAN PARIWISATA BERKELANJUTAN. Oleh : M. Liga Suryadana

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

PENDAHULUAN Latar Belakang

BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG PERATURAN BUPATI KARAWANG

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Kunjungan Wisatawan ke Indonesia Tahun Tahun

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu sektor penyumbang devisa negara serta

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka DTW Tanah Lot tidak saja ramai dikunjungi wisatawan, tetapi juga banyak diteliti oleh para sarjana. Dalam sepuluh tahun terakhir, setidaknya ada lima penelitian tentang Tanah Lot, seperti yang dilakukan oleh Laksmi (2015), Citra (2012), Dewi (2012), Putra dan Pitana (2010), dan Sujana (2009). Penelitian mereka memiliki fokus yang beragam, tetapi mampu saling melengkapi dalam usaha pembaca dan para peneliti untuk mengetahui perkembangan DTW Tanah Lot belakangan ini. Sebagian besar penelitian tersebut dilakukan pada saat DTW Tanah Lot masih dikelola oleh tiga pihak, yaitu pemerintah daerah, pihak swasta, dan masyarakat. Berbeda dengan penelitian tersebut, tesis ini menganalisis perubahan manajemen pengelolaan DTW Tanah Lot sejak diambil alih bulan November 2011 dari tiga pihak (pemerintah, swasta, dan masyarakat) menjadi dua pihak saja (masyarakat dan pemerintah daerah) karena belum lama terjadi, dampak perubahan manajemen ini belum ada yang meneliti. Dari penelitian Laksmi (2015) yang mengkaji tentang pergulatan pengelolaan DTW Warisan Budaya Tanah Lot di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan ada tigal hal yang dapat dinyatakan sebagai temuan penelitian. Pertama, pergulatan pengelolaan DTW warisan budaya Tanah Lot merupakan pertarungan para pihak untuk memperebutkan modal melalui pergulatan sistem pengelolaan, kedudukan manajer operasional, kepemilikan warisan budaya, dan 13

14 kekuasaan. Kedua, pergulatan pengelolaan DTW warisan budaya Tanah Lot merupakan upaya mempertahankan ideologi yang dianut para pihak, yaitu ideologi kapitalisme, pariwisata, dan Tri Hita Karana (THK) yang didominasi oleh ideologi kapitalisme. Ketiga, pergulatan pengelolaan DTW warisan budaya Tanah Lot merupakan peta makna yang melahirkan masyarakat komunikatif. Penelitian Laksmi (2015) memiliki kesamaan dengan penelitian ini yang terletak pada pihak-pihak yang terlibat dalam pergulatan pengelolaan DTW Tanah Lot, sehingga mengakibatkan adanya perubahan pengelola DTW Tanah Lot. Namun, perbedaannya penelitian ini juga membahas faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah Lot yang berdampak terhadap masyarakat Desa Pakraman Beraban. Dalam penelitiannya, Citra (2012) meneliti tentang kemitraan dalam pengembangan ekowisata Tanah Lot. Penelitian Citra membahas tentang pihakpihak yang berperan dalam pengembangan ekowisata Tanah Lot, bentuk kemitraan yang dilandasi atas kepemilikan tanah dan sistem kontrak. Kesimpulan penelitian Citra adalah pihak yang berperan dalam pengembangan ekowisata Tanah Lot, yaitu pemerintah daerah, Desa Dinas Beraban, Desa Adat Beraban, pelaku usaha wisata, polisi pariwisata, dan dinas perhubungan. Terdapat empat bentuk kemitraan yang dilandasi oleh status kepemilikan tanah dan program kegiatan serta tenaga yang digunakan diantaranya, yaitu kontrak kelola, kontrak sewa, hak guna bangunan (HGB) dan kontrak konsesi. Bentuk kemitraan kontrak kelola, HGB, dan kontrak konsesi berkontribusi tinggi dalam pengembangan

15 ekowisata, sedangkan bentuk kemitraan kontrak sewa berkontribusi sedang dalam pengembangan ekowisata Tanah Lot. Kesamaan penelitian Citra (2012) dan penelitian ini adalah membahas tentang pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan DTW Tanah Lot, namun perbedaannya terletak pada pemikiran Citra tentang kemitraan dalam pengelolaan DTW Tanah Lot tidak melibatkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tabanan karena secara operasional sehari-hari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tabanan tidak terlibat. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tabanan berperan dalam hal suprastruktur, misalnya promosi pariwisata, sedangkan pada penelitian ini, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tabanan merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam pengelolaan yang berbentuk badan pengelola dari tahap perencanaan sampai dengan pengawasan. Dalam penelitiannya, Dewi (2012 ) mengkaji tentang partisipasi dan pemberdayaan masyarakat Desa Beraban dalam pengelolaan DTW Tanah Lot. Proses pemberdayaan masyarakat Desa Pakraman Beraban dilihat dari empat bentuk, yaitu pemberdayaan ekonomi, psikologis, sosial, dan politik. Proses pemberdayaan ini merupakan bentuk partisipasi masyarakat Desa Pakraman Beraban dalam mewujudkan pariwisata berkelanjutan di DTW Tanah Lot. Salah satu kesimpulan Dewi adalah sebagai berikut: Partisipasi masyarakat Desa Beraban dalam pengelolaan DTW Tanah Lot dimulai sejak tahun 2000 sampai dengan 2011. Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan pariwisata merupakan salah satu implementasi dari pariwisata berbasis masyarakat. Bentuk keterlibatan masyarakat Desa Pakraman Beraban berupa partisipasi aktif dan pasif.

16 Kajian Dewi (2012), mengarah tentang partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan DTW Tanah Lot di Desa Pakraman Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Partisipasi masyarakat Desa Pakraman Beraban secara aktif dilakukan oleh masyarakat yang langsung terlibat dalam pengelolaan DTW Tanah Lot setiap harinya sebagai karyawan dari manajemen operasional, sedangkan partisipasi pasif dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat Desa Pakraman Beraban dalam kegiatan yang dibuat oleh pihak manajemen operasional dalam memajukan DTW Tanah Lot. Proses pemberdayaan ini bertujuan untuk membantu masyarakat dalam merencanakan, mengelola, mengambil keputusan, dan mengawasi jalannya pembangunan pariwisata di DTW Tanah Lot. Penelitian Dewi (201 2) memiliki kesamaan dengan penelitian ini yang terletak pada partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sebagai salah satu penerapan dari pariwisata berbasis masyarakat. Namun, perbedaannya adalah penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang tidak hanya melihat partisipasi dan pemberdayaan masyarakat selaku pihak yang terlibat dalam pengelolaan DTW Tanah Lot, tetapi juga melihat dampak yang diperoleh oleh masyarakat Desa Pakraman Beraban dengan adanya perubahan pengelola DTW Tanah Lot. Dari penelitian Putra dan Pitana (2010) yang mengkaji tentang pariwisata pro-rakyat. Penelitian ini membahas tentang perkembangan ringkas DTW Tanah Lot, langkah-langkah yang ditempuh masyarakat untuk ikut terlibat dalam

17 pengelolaan, dan model pengelolaan DTW Tanah Lot serta manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat. Salah satu pemikiran yang dapat diambil adalah: Sistem pengelolaan oleh masyarakat untuk DTW Tanah Lot layak dipertahankan karena memberikan hasil positif dan jaminan akan kelestarian DTW Tanah Lot serta sistem ini dapat diadopsi sebagai sistem pengelolaan DTW di tempat lain sebagai sistem pengelolaan yang pro-rakyat. Pendapat Putra dan Pitana (2010) benar adanya. Pengelolaan oleh masyarakat perlu dipertahankan karena bertolak dari kenyataan bahwa masyarakat mampu dan berhasil mengelola DTW di daerahnya, buktinya sejak dikelola penuh oleh masyarakat, jumlah kunjungan dan pendapatan meningkat. Selain itu, peningkatan infrastruktur, penataan kawasan, perbaikan fasilitas, dan peningkatan promosi juga dilakukan. Pantaslah kalau masyarakat diberikan kepercayaan dan didorong untuk membuat DTW Tanah Lot menjadi DTW berkelanjutan. Kesamaan penelitian Putra dan Pitana (2010) dengan penelitian ini adalah pembahasan tentang keterlibatan masyarakat dan manfaat yang diperoleh dari pengelolaan DTW Tanah Lot. Perbedaannya adalah penelitian ini lebih terfokus pada perubahan pengelola DTW Tanah Lot dan dampaknya terhadap masyarakat Desa Pakraman Beraban di Kabupaten Tabanan, sehingga dapat dilihat bentuk keterlibatan masyarakat dan manfaat yang diperoleh masyarakat Desa Pakraman Beraban pada saat DTW Tanah Lot dikelola oleh tiga pihak dan dua pihak serta upaya pengelola baru dalam mewujudkan Tanah Lot sebagai DTW berkelanjutan. Penelitian oleh Sujana (2009 ) tentang persepsi wisatawan dan faktorfaktor yang mempengaruhi kunjungan wisatawan ke DTW Tanah Lot. Penelitian Sujana melihat bagaimana persepsi wisatawan terhadap DTW Tanah Lot dan

18 menilai urutan variabel persepsi dari wisatawan mancanegara dan domestik ketika berkunjung ke DTW Tanah Lot. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa persepsi wisatawan mancanegara dan nusantara terhadap DTW Tanah Lot adalah baik. Kajian lainnya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan wisatawan ke DTW Tanah Lot ditemukan 13 faktor yang terbentuk dari 28 variabel. Dari ketigabelas faktor yang didapatkan, ditemukan faktor dominan yang berperan pada kunjungan wisatawan ke DTW Tanah Lot, yaitu nilai sejarah (history), keunikan pura, promosi, dan matahari tenggelam (sunset). Adapun penelitian Sujana (2009) memiliki kesamaan lokasi dengan penelitian ini, yaitu DTW Tanah Lot. Namun, perbedaannya terletak pada subjek yang dijadikan informan penelitian. Pada penelitian ini yang dijadikan objek penelitian adalah masyarakat Desa Pakraman Beraban dan pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan DTW Tanah Lot, sedangkan pada penelitian Sujana (2009), objek penelitiannya adalah wisatawan yang berkunjung ke DTW Tanah Lot. 2.2 Konsep Dalam suatu penelitian perlu penegasan batasan pengertian operasional dari setiap konsep yang terdapat baik dalam judul penelitian, rumusan masalah penelitian, atau dalam tujuan penelitian. Pemberian definisi atau batasan operasional suatu istilah berguna sebagai sarana komunikasi agar tidak terjadi salah tafsir dan juga mempermudah dalam proses penelitian. Adapun konsep yang

19 digunakan dalam penelitian ini adalah konsep pengelolaan kawasan, daya tarik wisata, dan manajemen komunitas. 2.2.1 Pengelolaan Kawasan Konsep pengelolaan kawasan dalam hal ini adalah pengelolaan kawasan pariwisata. Pengertian kawasan pariwisata diungkapkan oleh seorang ahli, yaitu Inskeep (1991:77) sebagai area yang dikembangkan dengan penyediaan fasilitas dan pelayanan lengkap (untuk rekreasi atau relaksasi, pendalaman suatu pengalaman atau kesehatan). Pengelolaan kawasan dapat diartikan sebagai proses peran serta sumber daya manusia secara berkesinambungan dan sistematis dalam pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya alam untuk membawa kawasan pada kondisi yang lebih baik pada masa yang akan datang dan memecahkan masalah kawasan pada saat ini. Dimensi pengelolaan kawasan, yaitu partisipasi masyarakat, kelembagaan, infrastruktur, keterlibatan swasta, transportasi, sumber daya manusia, peraturan dan kebijakan, pengelolaan lahan, peluang pekerjaan, kemitraan masyarakat, pemerintah dan swasta, keuangan, dan manajemen promosi. Jadi, pengelolaan kawasan dapat diartikan sebagai suatu proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian keputusan tentang pemanfaatan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya secara berkelanjutan. Pengelolaan kawasan harus menjalankan kebijakan yang paling menguntungkan bagi daerah dan wilayahnya serta memperhatikan dimensi pengelolaan kawasan.

20 2.2.2 Daya Tarik Wisata Konsep daya tarik wisata yang dulunya dikenal dengan istilah objek dan daya tarik wisata telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Berikut pengertian daya tarik wisata, menurut Marpaung (2002:41) mengemukakan bahwa daya tarik wisata sebagai suatu bentukan dan atau aktivitas yang berhubungan yang dapat menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang ke suatu daerah atau tempat tertentu. Daya tarik wisata adalah perwujudan dari ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya serta sejarah bangsa dan tempat atau keadaan alam yang mempunyai daya tarik untuk dikunjungi wisatawan (Soenarno, 2002:322). Suwantoro (2004:19) menyatakan bahwa daya tarik wisata merupakan potensi yang menjadi penarik kehadiran wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa daya tarik wisata adalah sesuatu yang memiliki potensi dan dapat dilihat, dirasakan serta dinikmati oleh manusia, sehingga menimbulkan daya tarik bagi wisatawan yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia. 2.2.3 Manajemen Komunitas Manajemen komunitas merupakan paradigma alternatif terhadap kegagalan paradigma birokratis yang dianggap menciptakan ketergantungan masyarakat pedesaan terhadap birokrasi. Partisipasi yang menyertai paradigma birokratis dimaknai sebagai mobilisasi atau dukungan rakyat terhadap rencana pemerintah.

21 Dalam pengoperasian pengelolaan manajemen komunitas mengacu kepada tiga alasan mendasar yang dikemukakan oleh Korten (dalam Moeljarto, 1995:124), yaitu sebagai berikut: a. Variasi antar daerah (local variety), di mana setiap daerah tidak dapat diberikan perlakuan yang sama. Setiap daerah memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya (local genius and local knowledge), sehingga sistem pengelolaannya akan berbeda serta masyarakat setempat sebagai pemilik daerah adalah pihak yang paling mengenal dan mengetahui situasi daerahnya. b. Adanya sumber daya lokal (local resources) yang secara tradisional dikuasai oleh masyarakat setempat, karena merekalah yang lebih mengetahui bagaimana cara mengelola sumber daya lokal tersebut yang bersumber dari pengalaman generasi ke generasi. c. Tanggung jawab lokal (local accountability), bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat biasanya lebih bertanggung jawab karena kegiatan tersebut secara langsung akan mempengaruhi hidup mereka. Salah satu bentuk pengelolaan yang partisipatif dalam manajemen komunitas adalah dengan menerapkan pariwisata berbasis masyarakat. Dengan demikian dalam pandangan Hausler (2003:3), pariwisata berbasis masyarakat merupakan suatu pendekatan pembangunan pariwisata yang menekankan pada masyarakat lokal (baik yang terlibat langsung dalam industri pariwisata maupun tidak) dalam bentuk memberikan kesempatan (akses) dalam manajemen dan pembangunan pariwisata yang berujung pada pemberdayaan politis melalui kehidupan yang lebih demokratis, termasuk dalam pembagian keuntungan dari

22 kegiatan pariwisata yang lebih adil bagi masyarakat lokal. Hal tersebut sebagai wujud perhatian yang kritis pada pembangunan pariwisata yang seringkali mengabaikan hak masyarakat lokal di daerah tujuan wisata. Sementara itu, Yaman & Mohd (2004: 584-587) menggarisbawahi beberapa kunci pengaturan pembangunan pariwisata dengan pendekatan pariwisata berbasis masyarakat, yaitu sebagai berikut: a. Adanya dukungan pemerintah Pariwisata berbasis masyarakat membutuhkan dukungan struktur yang multi institusional agar sukses dan berkelanjutan. Pendekatan pariwisata berbasis masyarakat berorientasi pada manusia yang mendukung pembagian keuntungan dan manfaat yang adil serta mendukung pengentasan kemiskinan dengan mendorong pemerintah dan masyarakat untuk tetap menjaga sumber daya alam dan budaya. Pemerintah akan berfungsi sebagai fasilitator, koordinator atau badan penasehat sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan. b. Partisipasi dari stakeholder Pariwisata berbasis masyarakat dideskripsikan sebagai variasi aktivitas yang meningkatkan dukungan yang lebih luas terhadap pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat. Konservasi sumber daya juga dimaksudkan sebagai upaya melindungi dalam hal memperbaiki mata pencaharian dan pendapatan masyarakat. Pariwisata berbasis masyarakat secara umum bertujuan untuk penganekaragaman industri, peningkatan ruang lingkup partisipasi yang lebih luas termasuk partisipasi dalam sektor informal, hak, dan hubungan langsung atau tidak langsung dari sektor lainnya. Pariwisata berperan dalam pembangunan internal

23 dan mendorong pembangunan aktivitas ekonomi yang lain seperti industri, jasa dan sebagainya. c. Pembagian keuntungan yang adil Tidak hanya berkaitan dengan keuntungan langsung yang diterima masyarakat yang memiliki usaha di sektor pariwisata, tetapi juga keuntungan tidak langsung yang dapat dinikmati masyarakat yang tidak memiliki usaha. Keuntungan tidak langsung yang diterima masyarakat dari kegiatan pariwisata jauh lebih luas, antara lain berupa proyek pembangunan yang dapat dibiayai dari hasil penerimaan pariwisata. d. Penggunaan sumber daya lokal secara berkesinambungan Salah satu kekuatan manajemen komunitas adalah ketergantungan yang besar pada sumber daya alam dan budaya setempat. Di mana aset tersebut dimiliki dan dikelola oleh seluruh anggota masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, termasuk yang tidak memiliki sumber daya keuangan. Hal itu dapat menumbuhkan kepedulian, penghargaan diri sendiri, dan kebanggaan pada seluruh anggota masyarakat. Dengan demikian, sumber daya yang ada menjadi lebih meningkat nilai, harga, dan menjadi alasan mengapa pengunjung ingin datang ke daerah tujuan wisata. e. Penguatan institusi lokal Pada awalnya peluang usaha pariwisata di daerah pedesaan sulit diatur oleh lembaga yang ada. Hal ini penting untuk melibatkan komite dengan anggota berasal dari masyarakat. Tujuan utamanya adalah mengatur hubungan antara masyarakat, sumber daya, dan pengunjung. Hal ini jelas membutuhkan

24 pengelolaan kelembagaan yang ada di sana. Cara paling baik adalah membentuk lembaga dengan pimpinan yang dapat diterima semua anggota masyarakat. Penguatan kelembagaan bisa dilakukan melalui pelatihan dan pengembangan individu dengan ketrampilan kerja yang diperlukan (teknik, manajerial, komunikasi, pengalaman kewirausahaan, dan pengalaman organisasi). Penguatan kelembagaan dapat berbentuk forum, perwakilan, dan komite manajemen. f. Keterkaitan antara level regional dan nasional Komunitas lokal sering kurang mendapat akses langsung dengan pasar nasional atau internasional, hal ini menjadi penyebab utama mengapa manfaat pariwisata tidak sampai dinikmati di level masyarakat. Perantara yang menghubungkan antara aktifitas pariwisata dengan masyarakat dan wisatawan justru memetik keuntungan lebih banyak. 2.3 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan tiga landasan teori, yaitu teori dampak pariwisata, pembangunan pariwisata berkelanjutan, dan siklus hidup destinasi wisata. Masing-masing landasan teori ini dijelaskan secara ringkas dan kegunaannya dalam penelitian ini. 2.3.1 Teori Dampak Pariwisata Teori dampak pariwisata adalah teori tentang pengaruh atau akibat dari adanya pariwisata. Suatu destinasi pariwisata yang dikelola tentu memiliki dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Hal ini dikemukakan oleh Gee (1989) yang mengatakan bahwa adanya dampak atau pengaruh yang positif maupun

25 negatif karena adanya pengembangan pariwisata dan kunjungan wisatawan yang meningkat. Membahas tentang dampak pariwisata, Dickman (1992) m emberikan ilustrasi tentang dampak pariwisata sebagai konsekuensi dari sebuah kegiatan yang terus berkembang, maka secara umum menimbulkan berbagai dampak baik positif maupun negatif sebagaimana yang terjadi sebagai dampak fisik, sosial budaya, dan ekonomi. Menurut Mill (2000:168 ), menyatakan bahwa pariwisata dapat memberikan keuntungan bagi wisatawan maupun komunitas tuan rumah dan dapat menaikkan taraf hidup melalui keuntungan secara ekonomi yang dibawa ke kawasan tersebut. Apabila dilakukan dengan benar dan tepat, maka pariwisata dapat memaksimalkan keuntungan dan dapat meminimalkan permasalahan. Masyarakat setempat mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya pengelolaan DTW, karena masyarakat setempat mau tidak mau terlibat langsung dalam aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan kepariwisataan di daerah tersebut. Misalnya, bertindak sebagai tuan rumah yang ramah, penyelanggara atraksi wisata dan budaya khusus (tarian adat, upacara -upacara agama, ritual, dan lain-lain), produsen cindera mata yang memiliki kekhasan dari DTW tersebut dan turut menjaga keamanan lingkungan sekitar, sehingga membuat wisatawan yakin, tenang, dan aman selama mereka berada di DTW tersebut. Akan tetapi, apabila suatu DTW tidak dikelola dan ditangani dengan baik atau tidak direncanakan dengan matang, maka dapat memberikan dampak terhadap kerusakan fisik, sosial

26 budaya, dan ekonomi. Artinya, dampak positif ataupun negatif masih perlu dipertanyakan, positif untuk siapa dan negatif untuk siapa (Pitana, 1999). Berdasarkan teori di atas dapat disimpulkan bahwa dampak pariwisata itu tergantung pada bagaimana stakeholder yang terkait mengelola DTW tersebut. Apabila pengelolaannya dilakukan dengan baik dan benar, maka dampak yang ditimbulkan adalah dampak positif, tetapi apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang, maka dampak yang ditimbulkan adalah dampak negatif. Hal ini tergantung dari siapa yang melakukan dan menilainya, artinya positif buat siapa dan negatif buat siapa. Lebih lanjut, Mill (2000) membedakan dampak pariwisata sebagai berikut: 1. Dampak kondisi fisik Dampak ini lebih melihat kondisi lingkungan fisik akibat adanya pengembangan pariwisata. Dampak yang ditimbulkan dari pengembangan pariwisata terhadap kondisi fisik, yaitu sebagai berikut: a. Dampak positif Secara teori, dampak pariwisata terhadap kondisi fisik adalah terpeliharanya kebersihan alam lingkungan untuk menarik datangnya wisatawan dan terjaganya keistimewaan lingkungan, seperti hutan-hutan, pantai serta pemandangan alam. b. Dampak negatif Adapun dampak negatif pariwisata terhadap kondisi fisik adalah lingkungan yang rusak, seperti meningkatnya kadar polusi baik air, udara, suara dan kemacetan lalu lintas, pembukaan hutan untuk ladang luas, lokasi perumahan,

27 jalan, parkir, dan hilangnya suasana alam karena hilangnya area hutan, kehidupan satwa liar, dan kesejukan udara. 2. Dampak sosial budaya Dampak ini seringkali disoroti sebagai dampak negatif dari perkembangan pariwisata, padahal sebenarnya pariwisata juga membawa dampak positif dalam segi sosial dan budaya. Adapun dampak positif dan negatif, yaitu sebagai berikut: a. Dampak positif Dampak positif pariwisata terhadap sosial budaya adalah terpeliharanya bangunan-bangunan yang menyimpan nilai-nilai budaya dan tempat-tempat yang bersejarah, terpeliharanya kebudayaan tradisional, seni, tarian, adat-istiadat dan cara berpakaian. b. Dampak negatif Adapun dampak negatif pariwisata terhadap sosial budaya adalah rusaknya kebudayaan dan tempat-tempat bersejarah karena ulah manusia, komersialisasi budaya, meningkatnya kriminalitas, konsumerisme masyarakat lokal, dan prostitusi, terkikisnya nilai-nilai budaya dan norma-norma masyarakat karena interaksi dengan masyarakat asing. 3. Dampak ekonomi Secara ringkas, kegiatan pariwisata dapat memberikan dampak di bidang ekonomi khususnya mengenai seperti di bawah ini:

28 a. Dampak positif Dampak positif pariwisata terhadap ekonomi seperti terbukanya lapangan pekerjaan baru, meningkatkan taraf hidup dan pendapatan masyarakat, meningkatkan nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing, membantu menanggung beban pembangunan sarana dan prasarana setempat, dan meningkatkan kemampuan manajerial dan keterampilan masyarakat yang memacu kegiatan ekonomi lainnya. b. Dampak negatif Selain dampak positif, dampak negatif pariwisata terhadap ekonomi seperti meningkatkan biaya pembangunan sarana dan prasarana, meningkatkan harga barang-barang lokal dan bahan pokok, peningkatan yang sangat tinggi tetapi hanya musiman, sehingga pendapatan masyarakat naik dan turun, dan mengalirnya uang keluar negeri karena konsumen menuntut barang-barang impor untuk bahan konsumsi tertentu. Teori dampak pariwisata digunakan sebagai pendekatan terhadap rumusan masalah tentang dampak perubahan pengelola DTW Tanah Lot terhadap masyarakat Desa Pakraman Beraban Kabupaten Tabanan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai dampak yang terjadi dalam hubungannya dengan aktivitas pariwisata di DTW Tanah Lot sebagai akibat adanya perubahan pengelola yang tentunya mempengaruhi arah kebijakan pengelolaan DTW Tanah Lot.

29 2.3.2 Teori Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Menurut Cronin ( dalam Sharpley, 2000:1), pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan pembangunan yang terfokus pada dua hal, yaitu keberlanjutan pariwisata sebagai aktivitas ekonomi di satu sisi dan lainnya mempertimbangkan pariwisata sebagai elemen kebijakan pembangunan berkelanjutan yang lebih luas. Stabler & Goodall (dalam Sharpley, 2000:1), menyatakan pembangunan pariwisata berkelanjutan harus konsisten atau sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip-prinsip yang ditetapkan pemerintah Republik Indonesia tentang pembangunan pariwisata berkelanjutan (Piagam Pariwisata Berkelanjutan, 1995) adalah 1) partisipasi, 2) keikutsertaan para pelaku (stakeholder involvement), 3) kepemilikan lokal, 4) penggunaan sumber daya yang berkelanjutan, 5) mewadahi tujuan-tujuan masyarakat, 6) daya dukung, 7) monitor dan evaluasi, 8) akuntabilitas, 9) pelatihan, 10) promosi. Pariwisata berkelanjutan adalah hubungan triangulasi yang seimbang antara daerah tujuan wisata (host areas) dengan habitat dan manusianya di mana tidak ada satupun stakehorder dapat merusak keseimbangan (Sharpley, 2000:8). Pendapat yang hampir sama disampaikan Muller (1997:29) yang mengusulkan istilah The Magic Pentagon yang merupakan keseimbangan antara elemen pariwisata, di mana tidak ada satu faktor atau stakeholder yang mendominasi. The Magic Pentagon meliputi ekonomi sehat, kesejahteraan masyarakat lokal, tidak mengubah alam, budaya sehat, dan kepuasan wisatawan. Sasaran dari

30 pembangunan pariwisata berkelanjutan ini adalah kelima isu tersebut diberikan porsi atau perlakuan yang sama untuk memperoleh keseimbangan. Pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat diimplementasikan ke dalam berbagai tingkatan nasional, regional atau pada level kawasan. Pendekatan pariwisata berkelanjutan dalam konteks wawasan baru, pengembangan sektor pariwisata dituntut untuk mengarah pada terwujudnya tahapan pengembangan pariwisata berkelanjutan yang mensyaratkan ketaatan pada: a. Prinsip pengembangan yang berpihak pada keseimbangan aspek pelestarian dan pengembangan serta berorientasi ke depan (jangka panjang). b. Penekanan nilai manfaat yang besar bagi masyarakat setempat. c. Prinsip pengelolaan aset atau sumber daya yang tidak merusak, namun berkelanjutan untuk jangka panjang baik secara sosial, budaya, dan ekonomi. d. Adanya keselarasan sinergis antara kebutuhan wisatawan, lingkungan hidup, dan masyarakat lokal. Antisipasi dan monitoring terhadap proses perubahan yang terjadi akibat kegiatan pengembangan pariwisata. e. Pengembangan pariwisata harus mampu mengembangkan apresiasi yang lebih peka dari masyarakat terhadap warisan budaya dan lingkungan hidup. Teori pembangunan pariwisata berkelanjutan ini digunakan untuk membahas rumusan masalah mengenai terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah Lot dan upaya pengelola baru dalam mewujudkan Tanah Lot sebagai DTW yang berkelanjutan. Hal ini dimaksudkan untuk menilai apakah prinsip-prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan sudah diterapkan dalam pengelolaan DTW Tanah Lot oleh pengelola baru.

31 2.3.3 Teori Siklus Hidup Destinasi Wisata Selain teori pembangunan pariwisata berkelanjutan, juga digunakan teori siklus hidup destinasi wisata (Butler, 1980). Teori ini digunakan untuk melihat perkembangan DTW Tanah Lot dari tahun ke tahun. Pada prinsipnya, siklus ini meliputi lima urutan atau tahapan perkembangan pariwisata dari sebuah destinasi wisata dan dua tahap berikutnya merupakan prediksi yang akan terjadi. Berikut lima tahapan perkembangan destinasi wisata dan dua tahap prediksi dari teori siklus hidup destinasi wisata: 1. Penemuan (exploration) Tahap ini menggambarkan bahwa sebuah destinasi wisata baru ditemukan baik oleh wisatawan maupun pelaku wisata, dan pemerintah. Jumlah wisatawan hanya terbatas pada wisatawan yang senang berpetualang mencari tempat-tempat baru, melihat pemandangan alam dan budaya, dan belum terkena dampak pariwisata. Akses dan fasilitas pada daerah ini belum tersedia, hanya terbatas fasilitas lokal yang memang sudah dimiliki oleh masyarakat, daerah ini biasanya hanya sebagai tempat transit bagi para wisatawan. Namun, sudah ada interaksi antara masyarakat lokal dengan wisatawan. 2. Keterlibatan (involvement) Tahap ini merupakan tahap kedua yang ditandai dengan adanya peningkatan kedatangan wisatawan, mereka mulai memperpanjang waktu berkunjung dengan lebih lama untuk tinggal di daerah tersebut. Masyarakat lokal yang mengetahui tentang pariwisata, mulai menyediakan fasilitas dan pelayanan yang diperlukan wisatawan. Adanya atraksi-atraksi kecil yang disediakan dengan

32 mengenakan sedikit biaya bagi para penikmatnya, sehingga mulai tampak ada promosi yang dilakukan untuk menarik minat wisatawan. 3. Pembangunan (development) Tahapan ini menunjukkan bahwa wisatawan telah mendatangi destinasi wisata dengan jumlah yang besar hingga melebihi jumlah masyarakat lokal. Dalam tahap ini, para investor mulai memberi perhatian untuk menyediakan fasilitas yang sesuai dengan perkembangan, sehingga dapat mengubah penampilan dari destinasi wisata tersebut. Pada tahap ini pula biasanya mulai terlihat adanya kerusakan pada destinasi wisata dan fasilitas yang ada akibat dari peningkatan jumlah kunjungan, sehingga diperlukan suatu perencanaan regional dan nasional serta pengawasan yang terpadu. 4. Konsolidasi (consolidation) Pada tahap ini pariwisata sudah mendominasi perkembangan ekonomi suatu destinasi wisata. Daerah ini sudah memiliki jaringan yang luas atau internasional. Jumlah kunjungan tetap naik meskipun melebihi jumlah masyarakat lokal, tetapi tingkat pertumbuhannya menurun. Jumlah wisatawan yang terus meningkat mengakibatkan pasar pariwisata mulai diminati oleh orang-orang yang ingin berbisnis di daerah tersebut sampai mereka hidup dan tinggal di daerah tersebut untuk meningkatkan bisnisnya dalam industri pariwisata. 5. Stagnasi (stagnation) Tahap ini jumlah kunjungan sudah mencapai puncaknya dan destinasi wisata sudah tidak lagi terkenal. Para pelaku bisnis pariwisata di daerah tersebut mulai bekerja keras untuk memenuhi kapasitas dari fasilitas yang dimiliki dengan

33 mengharapkan wisatawan yang telah datang sebelumnya akan datang kembali ke daerah tersebut. Dengan banyaknya fasilitas yang ada, maka mulai tampak persaingan harga oleh para pelaku bisnis pariwisata. Pada tahap ini sudah mulai muncul masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan. 6. Penurunan (decline) Tahap ini merupakan tahap penurunan di mana wisatawan mulai beralih dan tertarik mengunjungi daerah yang baru atau daerah pesaing lain yang memiliki DTW yang sama ataupun mirip. Banyak fasilitas pariwisata beralih fungsi untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan pariwisata, sehingga semakin tidak menarik untuk dikunjungi. Dalam tahap ini, biasanya pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat melakukan peremajaan. 7. Peremajaaan (rejuvenation) Tahap ketujuh merupakan tahap di mana terjadi perubahan menuju suatu perbaikan dan peremajaan. Peremajaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inovasi dalam rangka pengembangan produk baru, pasar baru ataupun saluran distribusi baru, sehingga dapat memposisikan kembali destinasi tersebut di dunia pariwisata. Ada lima hal yang mungkin terjadi setelah peremajaan, yaitu sebagai berikut (Gambar 2.1): A. Peremajaan B. Orientasi ulang C. Stagnan D. Penurunan E. Penurunan drastis

34 Telah ada diskusi terbaru tentang keakuratan siklus hidup destinasi wisata dalam mengilustrasikan tahap pengembangan dan apakah perlu ada tambahan tahapan yang ditambahkan ke dalam siklus. Agarwal (1994; 1997; 1999; 2002) telah menyelidiki aspek ini lebih dari yang lain dan kontribusinya ini telah didukung (Priestley dan Mundet 1998; Knowles dan Curtis 1999; Smith 2002). Agarwal berpendapat untuk menyisipkan tambahan tahap dalam memperhitungkan serangkaian upaya restrukturisasi yang diresmikan sebelum penurunan di tahap ini yang disebut sebagai reorientasi. Tahap ini harus ditambahkan antara stagnasi dan tahap pasca stagnasi siklus hidup destinasi wisata untuk mewakili upaya restrukturisasi (Agarwal, 2006:214-215). Priestley dan Mundet (1998) juga membahas kebutuhan untuk tahap tambahan dalam siklus pasca tahap stagnasi dan rekonstruksi tertentu, sepanjang garis yang sangat mirip dengan Agarwal. Pendapat ini muncul karena tidak ada bukti seperti penurunan dan kenaikan tingkat kunjungan sebelum timbulnya tahap peremajaan atau penurunan terus-menerus setelah periode stagnasi. Keberlanjutan dapat dicapai, mungkin sebagai akibat dari reorientasi yang hasilnya akan menjadi kelanjutan dari perkembangan yang relatif datar atau hanya sangat sedikit peningkatan dari stagnasi untuk masa depan dan jangka panjang. Penurunan dan kenaikan tingkat kunjungan berikutnya akan tergantung pada kecepatan keberhasilan atau kegagalan promosi, penerimaan pasar, orientasi ulang, dan penawaran baru oleh destinasi wisata. Pada gambar 2.1 disajikan siklus hidup destinasi wisata Butler:

35 Gambar 2.1 Siklus Hidup Destinasi Wisata (Sumber: Butler, 1980) Teori siklus hidup destinasi wisata digunakan dalam memberikan gambaran pada saat DTW Tanah Lot dikelola oleh pihak swasta, tiga pihak, dan dua pihak. Teori ini juga digunakan sebagai pendekatan setiap pengelola dalam menentukan arah pengembangan DTW Tanah Lot yang disesuaikan dengan indikator pembangunan pariwisata berkelanjutan. 2.4 Model Penelitian Model penelitian diterapkan sebagai dasar dalam pengembangan berbagai konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian ini, serta hubungannya dengan masalah yang telah dirumuskan. Penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan informasi terkait perubahan pengelola DTW Tanah Lot yang dipicu oleh adanya paradigma pariwisata berbasis masyarakat, yaitu pada saat dikelola oleh pihak swasta (CV Ari Jasa Wisata) dari tahun 1 980 sampai dengan tahun 1999.

36 Selanjutnya, pengelolaan yang melibatkan masyarakat lokal pada tahun 2000 sampai 2011 di mana DTW Tanah Lot dikelola oleh tiga pihak, yaitu Desa Pakraman Beraban, Pemerintah Kabupaten Tabanan, dan pihak swasta (CV Ari Jasa Wisata). Namun, pada tahun 2012 sampai saat ini, pengelolaan DTW Tanah Lot hanya melibatkan dua pihak, yaitu Desa Pakraman Beraban dan Pemerintah Kabupaten Tabanan. Terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah Lot tentunya membawa dampak terhadap masyarakat Desa Pakraman Beraban. Dampak yang timbul dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek fisik, sosial budaya, dan ekonomi. Ketiga aspek ini memiliki ukuran yang digunakan sebagai indikator dalam menjawab dampak yang ditimbulkan. Indikator dari setiap aspek yang ada ditentukan dengan memahami konsep dan membandingkan landasan teori yang digunakan. Penelitian ini menggunakan konsep pengelolaan kawasan, daya tarik wisata, dan manajemen komunitas, sedangkan landasan teori yang digunakan, yaitu teori dampak pariwisata, pembangunan pariwisata berkelanjutan, dan siklus hidup destinasi wisata. Setelah mengetahui perubahan pengelola DTW Tanah Lot dan dampaknya terhadap masyarakat Desa Pakraman Beraban, diharapkan pengelola baru mampu menghasilkan suatu upaya dalam mewujudkan Tanah Lot Sebagai DTW yang berkelanjutan. Upaya yang dilakukan oleh pengelola baru dibandingkan dengan teori dan prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan. Pada gambar 2.2 disajikan gambar model penelitian, yaitu sebagai berikut:

37 Pengelolaan DTW Tanah Lot Paradigma Pariwisata Berbasis Masyarakat Pengelolaan oleh swasta Pengelolaan oleh masyarakat, swasta, dan pemerintah daerah Pengelolaan oleh masyarakat dan pemerintah daerah Terjadinya Perubahan Pengelola DTW Tanah Lot Konsep 1. Pengelolaan Kawasan 2. Daya Tarik Wisata 3. Manajemen Komunitas Dampak Perubahan Pengelola Teori 1. Dampak Pariwisata 2. Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan 3. Siklus Hidup Destinasi Wisata Kondisi Fisik Sosial Budaya Ekonomi Upaya Mewujudkan Tanah Lot Sebagai DTW Berkelanjutan Rekomendasi Keterangan: Hubungan satu arah Hubungan dua arah Gambar 2.2 Model Penelitian