BAB I PENDAHULUAN. bangsa kita. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

: Analisis Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dalam Upaya Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Badung Bali. : Tyasani Taras NIM :

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yang berlangsung secara terus-menerus yang sifatnya memperbaiki dan

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN Hal ini berdasarkan dikeluarkannya Undang Undang No. 22 tahun 1999

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pusat mengalami perubahan. Jika sebelumnya pemerintah bersifat sentralistik

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang-

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB IV METODA PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif terlebih dahulu menentukan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini Negara Indonesia sedang berada dalam sistem pemerintahan yang

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Transformasi sistem pemerintahan dari sentralisasi ke dalam desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, setiap daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Wilayah negara Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Setiap

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semenjak dimulainya era reformasi, berbagai perubahan telah dialami oleh bangsa kita. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah, yang selanjutnya diperbaharui dengan Undang- Undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, telah membawa banyak perubahan khususnya di dalam tata pemerintahan di Indonesia. Salah satunya yang paling mendasar dalam kehidupan bernegara adalah perubahan sistem sentralisasi menjadi desentralisasi. Perubahan yang paling banyak terlihat dengan diberlakukannya Undang- Undang No. 32 dan 33 Tahun 2004 adalah perubahan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Salah satunya adalah dengan diberikannya kewenangan bagi pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan daerahnya. Dalam era otonomi daerah, tiap daerah memiliki peran yang jauh lebih besar dalam membangun daerahnya dibandingkan dengan era sebelum otonomi daerah. Dengan adanya otonomi daerah, berbagai macam persoalan pembangunan yang selama ini dihadapi oleh daerah diharapkan dapat terpecahkan. Hal ini disebabkan karena Undang-Undang No. 32 dan 33 Tahun 2004 memungkinkan tiap daerah untuk memanfaatkan semua potensi dan kekayaan yang dimiliki untuk membangun

daerahnya masing-masing. Sistem sentralisasi yang dulu diberlakukan seolah-olah menganggap karakteristik tiap daerah hampir sama, sehingga membuat pemanfaatan potensi-potensi yang dimiliki daerah menjadi kurang optimal. Adanya otonomi daerah menuntut kemampuan daerah untuk mengembangkan semua potensi yang dimiliki daerah. Oleh karena itu, dibutuhkan kesiapan daerah dan keterlibatan segenap unsur dan lapisan masyarakat dalam melaksanakan otonomi guna mempercepat pembangunan ekonomi di daerah. Beberapa faktor perlu dikembangkan guna mendukung terwujudnya otonomi daerah. Diantaranya faktor sumber daya manusia, sarana dan prasarana. Diantara faktor tersebut yang paling berperan dalam menentukan keberhasilan pembangunan daerah adalah tersedianya keuangan yang memadai. Berbagai permasalahan keuangan yang masih mewarnai pembangunan antar daerah antara lain, adanya tuntutan kewajiban dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mampu membiayai pembangunan di daerahnya sendiri. Bagi daerah yang kaya, hal ini tentunya tidak menjadi masalah. Namun bagi daerah yang relatif tertinggal, ketergantungan akan bantuan dari pusat tentu saja tidak dapat dihindarkan. Jika hal ini terus berlangsung, maka dampak terburuk yang terjadi adalah mempertajam ketimpangan pembangunan antar daerah akibat perbedaan potensi yang dimiliki masing-masing daerah. Oleh karena itu, aparatur daerah dituntut untuk dapat mengelola sumber penerimaan daerahnya agar dapat dipergunakan membiayai belanja daerahnya. Tanpa hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah pusat, disertai dengan rasa tanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan

dan program yang dilakukan agar sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Keberhasilan dari pengelolaan keuangan daerah dapat diamati dengan menggunakan tolak ukur rencana strategik (Renstra). Dimana setiap akhir tahun anggaran dilakukan proses pengukuran kinerja, evaluasi dan analisis pencapaian kinerja. Kota Denpasar merupakan pusat kegiatan pemerintahan yang ada di provinsi Bali. Penerimaan daerah Kota Denpasar dapat diperoleh dari sisa lebih tahun lalu, perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dari sumber penerimaan sendiri dan penerimaan lain yang sah. Sumber pendapatan yang diperoleh melalui dana perimbangan antara pemerintah pusat dan daerah dapat berbentuk bagi hasil pajak dan bantuan keuangan dari provinsi, bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana alokasi umum ditujukan untuk membangun dan memelihara potensi ekonomi milik pusat yang ada di daerah sedangkan dana alokasi khusus ditujukan untuk memelihara potensi ekonomi daerah milik daerah itu sendiri. Dana alokasi umum dialokasikan pemerintah pusat untuk tujuan pemerataan pendapatan antara satu daerah dengan daerah yang lainnya dan mendukung kegiatan pembiayaan di daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, sedangkan dana alokasi khusus dialokasikan oleh pemerintah pusat untuk kegiatan pembiayaan khusus yang tidak dapat di masukkan ke dalam dana alokasi umum. Untuk mengetahui jumlah realisasi penerimaan pemerintah Kota Denpasar di era otonomi daerah, dapat diamati dari data pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Realisasi Anggaran Penerimaan Pemerintah Kota Denpasar di Era Otonomi Daerah (Jutaan Rupiah). No Tahun Sisa Lebih Tahun Lalu Penerimaan Asli Daerah Dana Perimbangan Urusan Kas dan Perhitungan Lain-Lain Pendapatan yang Sah Jumlah 1 2001 27.448,59 81.684,26 209.656,69 - - 318.789,54 2 2002 54.235,28 91.763,00 239.101,91 14.708,54-399.808,73 3 2003-88.548,23 254.842,80-6.251,86 349.642,89 4 2004-90.946,95 263.507,39-4.344,26 358.798,60 5 2005-116.301,34 303.591,24-5.664,55 425.557,13 6 2006-126.148,26 452.927,85-2.143,00 581.219,11 7 2007-138.481,39 387.883,98-1.849,34 528.214,71 Sumber: BPS Provinsi Bali, 2007 Dengan mengamati data pada Tabel 1.1 tersebut dapat diketahui bahwa sisa lebih terdapat pada tahun 2001 dan 2002, sedangkan tahun 2003 hingga tahun 2007 tidak terdapat anggaran sisa lebih dari periode anggaran tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2002 hingga tahun 2007 pemerintah daerah Kota Denpasar tidak dapat melakukan penghematan dalam belanja daerahnya. Penerimaan lain-lain yang sah jumlahnya semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah dalam menggali potensi dari penerimaan lain-lain yang sah mengalami penurunan. Penerimaan asli daerah secara umum jumlahnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hanya pada tahun 2003 saja penerimaan asli daerah mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi keamanan di Bali setelah peristiwa Bom Bali I tahun 2002. Dengan adanya peristiwa ini telah menurunkan penerimaan asli daerah khususnya penerimaan dari pajak (Tabel 1.2).

Penerimaan asli daerah Kota Denpasar berasal dari beberapa sumber-sumber penerimaan. Diantaranya adalah pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD dan penerimaan lain yang sah. Sumber penerimaan asli daerah yang paling tinggi adalah berasal dari pajak dan retribusi. Untuk mengetahui realisasi penerimaan pendapatan asli daerah di Kota Denpasar menurut sumber-sumber penerimaan dapat dilihat pada data Tabel 1.2. Tabel 1.2 Realisasi Penerimaan Asli Daerah Kota Denpasar di Era Otonomi Daerah (Jutaan Rupiah) No. Tahun Pajak daerah Retribusi Daerah Bagian laba BUMD Lain-Lain Penerimaan Jumlah 1 2001 60.581,93 14.211,07 1.266,36 5.624,90 81.684,26 2 2002 60.017,93 20.832,89 3.284,04 7.628,14 91.763,00 3 2003 49.172,57 26.308,77 3.250,85 9.816,04 88.548,23 4 2004 56.270,38 27.308,34 3.247,82 4.120,41 90.946,95 5 2005 75.653,25 29.059,08 4.081,19 7.507,82 116.301,34 6 2006 68.621,93 40.493,09 5.108,08 11.925,16 126.148,26 7 2007 85.524,07 38.233,72 4.819,36 9.904,24 138.481,39 Sumber: Dinas Pendapatan Kota Denpasar, 2007 Dengan mengamati data pada Tabel 1.2 tersebut, dapat diketahui bahwa pajak daerah dan retribusi daerah memberikan kontribusi yang paling tinggi terhadap penerimaan asli daerah di Kota Denpasar. Walaupun jumlahnya cenderung mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan karena penerimaan pemerintah terutama dari pajak daerah dipengaruhi oleh kondisi keamanan di Bali. Peristiwa Bom Bali yang terjadi pada tahun 2002 dan 2005 telah mengakibatkan

penerimaan pemerintah melalui pajak menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan adanya peristiwa Bom Bali, menyebabkan kegiatan perekonomian mengalami penurunan. Akibat kurangnya kunjungan wisatawan ke Bali. Harga-harga barang semakin meningkat dan daya beli masyarakat yang semakin rendah menyebabkan banyak pengusaha yang bankrut, bukan hanya pengusaha yang bekerja di sektor pariwisata saja tetapi pengusaha di sektor lain juga turut merasakan. Akibatnya pajak yang dapat dipungut pun menjadi berkurang. Dampak peristiwa Bom Bali I terlihat pada penerimaan pajak pemerintah pada tahun 2003. Telah terjadi penurunan realisasi penerimaan pajak daerah dari Rp. 60.017,93 juta pada tahun 2002 menurun menjadi Rp.49.172,57 juta pada tahun 2003. Peristiwa Bom Bali II tahun 2005 juga mengakibatkan penerimaan pajak pada tahun 2006 mengalami penurunan dari Rp.75.653,25 juta menjadi Rp. 68.621,93 juta. Penerimaan dari pajak daerah kembali meningkat tahun 2007, hal ini karena kondisi keamanan yang semakin meningkat setelah pelaksanaan berbagai program pemulihan pariwisata (recovery) setelah peristiwa Bom Bali II tahun 2005. Penerimaan pemerintah dari retribusi daerah secara umum mengalami peningkatan dan tidak dipengaruhi oleh peristiwa Bom Bali yang terjadi tahun 2002 dan tahun 2005. Retribusi daerah tampak mengalami penurunan pada tahun 2007 saja. Dari Rp.40.493,09 juta pada tahun 2006 menjadi Rp.38.233,72 juta di tahun 2007. Terutama retribusi pelayanan kesehatan dari RSU Wangaya. Hal ini berarti bahwa pemerintah Kota Denpasar dituntut untuk meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan di RSU Wangaya guna meningkatkan penerimaan retribusi daerah khususnya retribusi pelayanan kesehatan. Penerimaan daerah dari laba BUMD secara umum cenderung meningkat setiap tahun. Hal ini karena BUMD tidak terpengaruh oleh kondisi keamanan di Bali. Contoh BUMD misalnya saja PDAM. Konsumsi masyarakat Kota Denpasar terhadap air bersih tidak akan berkurang hanya karena adanya kejadian Bom Bali. Laba BUMD tampak mengalami penurunan pada tahun 2003 dan 2007. Yang berarti bahwa kinerja pemerintah Kota Denpasar dalam mengelola penerimaan asli daerah yang berasal dari laba BUMD mengalami penurunan di tahun 2003 dan 2007. Penerimaan asli daerah Kota Denpasar yang berasal dari lain-lain penerimaan jumlahnya mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Tahun 2002 dan 2003 penerimaan asli daerah yang berasal dari lain-lain penerimaan menunjukkan peningkatan. Hal ini disebabkan karena banyaknya penerimaan lain-lain terkait dengan upaya pemulihan kondisi keamanan setelah Peristiwa Bom Bali I tahun 2002. Tahun 2004 penerimaan daerah dari lain-lain penerimaan mengalami penurunan karena kondisi keamanan setelah Bom Bali I mulai membaik. Penerimaan daerah dari lain-lain penerimaan mulai meningkat tahun 2005 dan tahun 2006. Akibat meningkatnya penerimaan lain-lain terkait pemulihan kondisi pariwisata setelah peristiwa Bom Bali II tahun 2005. Tahun 2007 penerimaan daerah dari lain-lain penerimaan mengalami penurunan karena kondisi keamanan mulai membaik setelah peristiwa Bom Bali II.

Dana perimbangan memberikan kontribusi yang paling tinggi terhadap total penerimaan pemerintah Kota Denpasar. Padahal untuk mewujudkan kemandirian keuangan daerah di era otonomi daerah, sumber penerimaan tertinggi diharapkan berasal dari pendapatan asli daerah agar ketergantungan daerah terhadap dana dari pusat dapat dikurangi. Karena transfer dana dari pusat seringkali disertai dengan persyaratan tertentu. Apalagi jika dana tersebut bersifat dominan terhadap penerimaan daerah. Ketergantungan ini juga menyebabkan kurangnya kreatifitas daerah dalam mengambil kebijakan terkait dengan penerimaan daerah yang lebih efisien. Tingginya jumlah dana perimbangan menunjukkan bahwa Kota Denpasar dalam membiayai pembangunan daerahnya masih bergantung terhadap dana bantuan dari pemerintah pusat. Untuk mengetahui realisasi sumber-sumber penerimaan pemerintah yang diperoleh dari dana perimbangan dapat dilihat pada Tabel 1.3. Tabel 1.3 Realisasi Dana Perimbangan Pemerintah Kota Denpasar di Era Otonomi Daerah (Jutaan Rupiah) No. Tahun Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Bukan Pajak DAU DAK Bagi Hasil Pajak dan Bantuan dari Provinsi Jumlah 1 2001 25.389,08 143,94 146.981,13-37.142,54 209.656,69 2 2002 36.229,31 826,95 166.770,00-35.275,65 239.101,91 3 2003 57.168,88 95,62 176.989,97-20.588,33 254.842,80 4 2004 65.000,91 529,03 176.989,76-20.987,69 263.507,39 5 2005 90.363,92 318,32 187.085,00 7.420,00 18.404,00 303.591,24 6 2006 108.965,19 258,03 283.845,00 18.805,00 41.054,63 452.927,85 7 2007 81.697,17 309,78 264.303,20-41.573,83 387.883,98 Sumber: Dinas Pendapatan Kota Denpasar, 2007

Dengan mengamati data pada Tabel 1.3 diatas, dapat diketahui bahwa Dana Alokasi Umum (DAU), memberikan kontribusi yang paling tinggi terhadap dana perimbangan dan jumlahnya selalu meningkat setiap tahun. Hal ini semakin memperjelas ketergantungan pemerintah daerah Kota Denpasar terhadap bantuan dari pemerintah pusat. Karena tujuan dialokasikannya dana alokasi umum adalah untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluaran di daerah. Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 menyatakan bahwa dana alokasi khusus dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan khusus yang tidak dapat diperkirakan dalam dana alokasi umum dengan memperkirakan ketersediaan dana pada APBN. Dana alokasi khusus di kota Denpasar terlihat hanya dialokasikan pada tahun 2005 dan 2006. Dana alokasi khusus tahun 2005 dialokasikan untuk dana non reboisasi. Dana alokasi khusus tahun 2006 dialokasikan terkait upaya pemulihan kondisi keamanan setelah peristiwa Bom Bali II tahun 2005. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah Kota Denpasar dituntut untuk mampu memenui semua belanja daerahnya dengan menggunakan penerimaan yang diperolehnya. Belanja yang dilakukan pemerintah antara lain belanja aparatur dan belanja pelayanan publik. Untuk mengetahui data mengenai jumlah belanja pemerintah Kota Denpasar di era otonomi daerah dapat diamati pada data Tabel 1.4

Tabel 1.4 Belanja Pemerintah Kota Denpasar di Era Otonomi Daerah (Jutaan Rupiah) No Tahun Belanja Aparatur Daerah Belanja Pelayanan Publik Jumlah % Realisasi % Realisasi % 1 2001 180.959,34 69,07 81.047,64 30,93 262.006,98 100 2 2002 228.174,57 70,96 93.358,68 29,04 321.533,25 100 3 2003 216.780,59 60,90 139.169,81 39,10 355.950,40 100 4 2004 220.031,77 63,00 129.209,63 37,00 349.241,40 100 5 2005 177.968,15 42,77 238.183,67 57,23 416.151,82 100 6 2006 273.633,21 53,34 239.361,06 46,66 512.994,27 100 7 2007 267.487,80 54,41 224.142,10 45,59 491.629,90 100 Sumber: BPS Provinsi Bali, 2007 Dengan mengamati data pada Tabel 1.4 diatas, bahwa belanja pemerintah daerah Kota Denpasar yang paling tinggi adalah untuk membiayai aparatur daerah. Baik belanja aparatur maupun belanja publik bertujuan untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat. Hanya saja manfaat belanja aparatur dirasakan secara tidak langsung oleh masyarakat, sedangkan belanja pelayanan publik dapat langsung dinikmati oleh masyarakat. Belanja aparatur yang meningkat menunjukkan peningkatan kualitas aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Belanja publik yang meningkat menunjukkan peningkatan kuantitas pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat. Belanja Kota Denpasar dari tahun 2001 hingga tahun 2007 menunjukkan terjadi fluktuasi. Tahun 2001 menunjukkan bahwa dari 100 persen belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah, sebesar 69,07 persen dipergunakan untuk belanja aparatur daerah, sedangkan hanya 30,93 persen untuk belanja pelayanan publik. Hal ini berarti bahwa sebagian besar belanja pemerintah Kota Denpasar dialokasikan

untuk kepentingan administrasi pemerintah daerah. Hanya sebagian kecilnya saja yang dialokasikan untuk kepentingan publik. Tahun 2003, menunjukkan bahwa persentase realisasi belanja aparatur daerah mengalami penurunan menjadi 60,90 persen. Belanja pelayanan publik mengalami peningkatan menjadi 39,10 persen. Hal ini terkait dengan upaya pemulihan kondisi keamanan yang disebabkan oleh peristiwa Bom Bali I tahun 2002. Tahun 2004 persentase alokasi belanja aparatur dibandingkan dengan belanja publik dari total belanja pemerintah Kota Denpasar mengalami peningkatan. Namun tahun 2005 alokasi belanja aparatur mengalami penurunan dan belanja publik mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena pemerintah Kota Denpasar mengeluarkan belanja untuk pemulihan kondisi setelah peristiwa Bom Bali II tahun 2005. Kemampuan aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi daerah khususnya di bidang pengelolaan keuangan daerah dapat dianalisis dari kinerja aparatur pemerintah daerah. Kinerja diartikan sebagai bentuk prestasi atau hasil dari perilaku pekerja tertentu. Untuk mengukur seberapa besar kinerja aparatur pemerintah daerah dapat diukur dengan kriteria efektivitas dan efisiensi. Permasalahan yang muncul di era otonomi daerah adalah ketidakpastian bantuan dari pusat dan terlambatnya persetujuan anggaran. Persetujuan alokasi dana tidak turun tepat waktu karena sebagian besar alokasi anggaran baru turun setelah mendekati akhir tahun fiskal. Akibatnya manajemen sumber daya menjadi tidak efisien dan tertundanya pelaksanaan program dan proyek. Banyak proyek diselesaikan melebihi target yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Proyek yang mengalami keterlambatan dari rencana semula antara lain adalah proyek pedestrian di Jalan Kamboja Denpasar. Padahal proyek ini bernilai cukup besar yakni mencapai angka Rp.920 juta. Secara umum pembangunan suatu proyek dianggarkan oleh eksekutif dan disahkan oleh DPR. Jika suatu proyek molor, maka membutuhkan pengkajian yang lebih lanjut mengenai kinerja pengelolaannya dan adanya ketegasan dari pemimpin untuk memberikan denda ataukah penalti. Dengan mengamati kasus tentang proyek yang mengalami keterlambatan di wilayah Kota Denpasar serta dana perimbangan yang lebih tinggi dari penerimaan asli daerah maka penelitian ini berusaha mengamati apakah intervensi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah masih tinggi sehingga mengurangi kreativitas lokal di dalam mengambil kebijakan. Oleh sebab itu, penelitian ini berusaha mengamati bagaimanakah efektivitas penerimaan dan efisiensi belanja daerah serta kemandirian pembiayaan daerah Kota Denpasar di era otonomi daerah tahun 2001-2007. Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dikemukakan, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah: 1) Bagaimanakah tingkat efektivitas penerimaan daerah Kota Denpasar di era otonomi daerah tahun 2001-2007? 2) Bagaimanakah tingkat efisiensi belanja daerah Kota Denpasar di era otonomi daerah tahun 2001-2007? 3) Bagaimanakah derajat desentalisasi fiskal, dalam rangka menunjang pembiayaan pemerintah daerah Kota Denpasar di era otonomi daerah tahun 2001-2007?

4) Bagaimanakah action plan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah di Kota Denpasar? 1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.2.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan pada pokok permasalahan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Untuk mengukur tingkat efektivitas penerimaan daerah Kota Denpasar di era otonomi daerah tahun 2001-2007. 2) Untuk mengukur tingkat efisiensi belanja daerah Kota Denpasar di era otonomi daerah tahun 2001-2007. 3) Untuk mengukur derajat desentalisasi fiskal, dalam rangka menunjang pembiayaan pemerintah daerah Kota Denpasar di era otonomi daerah tahun 2001-2007. 4) Untuk menentukan action plan dalam meningkatkan efektivitas pendapatan asli daerah di Kota Denpasar. 1.2.2 Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disampaikan, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan:

1) Kegunaan teoritis. Kehadiran tulisan ini diharapkan dapat menambah literatur dan bahan kajian untuk penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas penerimaan dan efisiensi belanja daerah serta kemandirian pembiayaan daerah Kota Denpasar. 2) Kegunaan praktis. Dengan tulisan ini maka diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah daerah Kota Denpasar, dalam hal ini Bagian Keuangan Kota Denpasar untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang mampu meningkatkan tingkat efektivitas penerimaan dan efisiensi belanja pemerintah daerah di Kota Denpasar. 1.3 Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri atas lima bab, meliputi: BAB I, PENDAHULUAN Dalam bab ini disajikan mengenai latar belakang masalah, kemudian berdasarkan latar belakang masalah tersebut di kemukakan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, selanjutnya disajikan mengenai tujuan dan kegunaan penelitian dan sistematika penulisan. BAB II, TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini disajikan mengenai teori-teori, beberapa pengertian dan jurnal yang mendukung masalah yang akan dibahas, yang pada umumnya mendasari dan mendukung masalah pokok kinerja keuangan daerah yang

diamati dari efektivitas dan efisiensinya serta kemandirian daerah Kota Denpasar di era otonomi daerah. BAB III, HIPOTESIS DAN METODOLOGI PENELITIAN Dalam bab ini disajikan mengenai hipotesis, lokasi penelitian, obyek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data dan teknik analisis data. BAB IV, PEMBAHASAN Dalam bab ini disajikan mengenai gambaran umum daerah penelitian dan pembahasan hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian. BAB V, PENUTUP Dalam bab ini disajikan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dibahas dalam bab sebelumnya beserta saran-saran untuk melengkapi skripsi ini.