BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Telah banyak teori yang dibuat untuk menjelaskan perilaku yang melanggar peraturan hukum dan perundangan berdasarkan perspektif sosial-ekonomi, misalnya, konsep anomie yang dikemukakan oleh Emile Durkheim pada abad ke-19 mendasari pemikiran bahwa tindakan kriminal dan delinquency merupakan hasil dari tidak tersedianya sarana dan kesempatan (opportunity) bagi sebagian anggota masyarakat untuk memenuhi aspirasi kesuksesan dengan cara yang sah (Box, 1971, dalam Feldman, 1998). Hal ini berimplikasi pada, misalnya, maraknya tindak kriminal yang dilakukan karena motif ekonomi seperti pencurian dan perampokan; hal ini mengindikasikan bahwa pelaku tindak kejahatan tidak merasa memiliki kesempatan dan akses yang legal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga tindakan yang melanggar hukum menjadi alternatif yang dipilih. Tampak bahwa perspektif ini mengasumsikan bahwa pelaku tindak kriminal memiliki pengetahuan atas adanya peraturan yang melarang dilakukannya suatu pelanggaran hukum; terutama tindakan yang secara moral dilarang oleh hampir semua sistem sosial, seperti pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan (Lemert, 1972). Pelanggaran atas peraturan ini membawa konsekuensi yang pada hakikatnya bersifat koersif oleh pemegang otoritas legal dan penegak hukum; meskipun demikian, mekanisme pemasyarakatan 1
2 bertujuan utama untuk memunculkan perbaikan diri pada diri individu sehingga perilaku melanggar-hukum akan lebih unlikely untuk dilakukan kembali, serta memberdayakan individu untuk mengintegrasikan diri dengan masyarakat. Berdasarkan wawancara awal yang dilakukan terhadap seorang mantan narapidana Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan yang pernah menjalani hukuman pidana atas dua kasus pembunuhan, tindakan melanggar hukum dijauhi bukan karena individu merasakan penyesalan yang besar atas tindakannya di masa lalu atau karena pemenjaraan berhasil menanamkan nilai-nilai yang mendorong individu untuk tidak menyukai tindakan yang memang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, melainkan lebih didorong oleh keinginan untuk tidak meninggalkan keluarganya: Ya saya sih [berhenti melakukan tindakan kriminal] karena ingat keluarga saja, lagian sudah makin tua ini... Meski memiliki niat untuk tidak lagi dipenjara dan meninggalkan keluarganya, mantan narapidana yang sebelum dipenjara terlibat dalam pergaulan yang kurang baik akan kembali terlibat dalam pergaulan yang sama dan, kemungkinan, dalam perilaku yang meanggar hukum. Mantan narapidana di atas, sebagai contoh, memiliki reputasi sebagai preman di daerahnya sebelum terliat dalam kasus pembunuhan. Setelah masa pidana pertama dan kedua selesai, pungutan liar pada pedagang kaki lima masih menjadi sumber penghasilan baginya, meski hal ini secara hukum bertentangan dengan undang-undang. Bagi mantan narapidana ini, salah satu motif pungutan liar dan tindakan premanisme yang dilakukannya adalah
3 bahwa tidak ada konsekuensi hukum yang jelas untuk perbuatannya. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan patuh hukum atau melawan hukum dilakukan dengan mempertimbangkan otoritas sistem hukum atas perbuatan kriminal tertentu. Program pembinaan yang diterima di dalam Lapas seyogyanya membantu pelaku kriminal untuk memperbaiki diri sehingga dapat menjadi bagian yang produktif dalam masyarakat. Berbagai penelitian dan penerapan bermacam-macam sistem pemasyarakatan menunjukkan bahwa untuk mencapai hal ini, adalah tidak cukup untuk memberikan hukuman yang berat dan kehidupan yang berat di dalam Lapas, yang bertujuan untuk memunculkan efek jera semaksimal mungkin. Bagaimana individu menjalani hidupnya setelah keluar dari Lapas juga sangat berperan pada potensi residivisme, baik untuk kasus yang serupa maupun berbeda. Ini mencakup peluang kerja dan penghidupan serta interaksi individu dengan lingkungannya. Hal-hal ini tidak dapat dikontrol atau dipengaruhi oleh sistem pemasyarakatan. Oleh karena itulah diperlukan program pembinaan pemasyarakatan yang optimal dan efektif memberdayakan narapidana, dibarengi dengan rehabilitasi pada perilaku kriminal yang telah dilakukan. Berbagai pendekatan dilakukan sebagai program pembinaan terhadap individu; di antara berbagai program pembinaan ini, efektivitas program pada perubahan perilaku individu dapat dipersepsi secara berbeda oleh masingmasing penghuni lembaga pemasyarakatan. Salah satu kriteria keberhasilan program pembinaan pada perbaikan-diri individu adalah crime desistance, yaitu berhentinya seorang narapidana dari tindak kejahatan (Maruna, 2001).
4 Secara konkrit, efektivitas program pemasyarakatan dapat dievaluasi dari tingkat residivisme. Oleh karena itu, kajian atas efektivitas program pembinaan dalam penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data dari mantan narapidana penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang kini sudah tidak lagi melakukan pelanggaran hukum dan telah dapat berbaur kembali dengan masyarakat, serta narapidana yang akan segera mengakhiri masa pidananya. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji, serta kemudian memahami, efektivitas treatment dan rehabilitasi yang pernah atau sedang djalani oleh Subjek selama masa pidana di lembaga pemasyarakatan (Lapas) dalam mengembangkan sikap patuh-hukum dan/atau residivisme, berdasarkan selfreport subjek yang, pada saat penelitian dilangsungkan, sedang menjalani pidana untuk kasus pidana berat atau telah berakhir masa hukumannya dan kembali menjadi bagian dari masyarakat umum, serta berdasarkan pernyataan informan tahu yang memiliki kapasitas untuk mengkonfirmasi maupun mengkontradiksi data yang didapatkan dari subjek. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya bidang Psikologi Sosial, dengan memperdalam
5 pemahaman mengenai dinamika psikologis yang terjadi sebelum, selama, dan setelah seorang narapidana menjalani pembinaan di Lapas dan dampaknya bagi pengembangan perilaku patuh hukum serta pencegahan dilakukannya pelanggaran hukum kembali oleh mantan narapidana. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi evaluasi efektivitas program pembinaan pemasyarakatan yang diterapkan di lembaga-lembaga pemasyarakatan, khususnya Lapas Kelas II A Yogyakarta. Jika program pemasyarakatan dirasakan tidak signifikan dalam memengaruhi perilaku subjek setelah masa hukuman berakhir, oleh subjek, hasil penelitian ini diharapkan dapat mengelaborasi variabel-variabel dan motif-motif lain yang mendorong perilaku patuh hukum dan/atau residivisme. D. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengetahuan peneliti, belum terdapat penelitian yang serupa dengan penelitian ini. Berbagai penelitian telah sebagai evaluasi atas penjara dan lembaga pemasyarakatan; Logan (1992), misalnya, melakukan pengukuran kualitas penjara swasta dan negeri berdasarkan delapan dimensi kualitas pemenjaraan. Indeks kualitas yang diteliti, meskipun demikian, diukur secara kuantitatif sebagai studi komparasi kualitas penjara itu sendiri. Wheeler (1961), sementara itu, mengkaji sosialisasi antarnadapidana dan dengan petugas di berbagai correctional facilities, dan menyatakan
6 berbagai dampak pemenjaraan, termasuk yang justru mendukung perilaku kriminal di masa depan. Demikian pula, dampak positive punishment di kalangan narapidana dikaji oleh Wood (2007) keduanya juga dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Dinamika pemenjaraan juga pernah diteliti oleh Kristianingsih (2008), yang mengambil domain penelitian narapidana di Rumah Tahanan (Rutan) Salatiga, meliputi pemaknaan pemenjaraan bagi individu maupun mengenai program pemasyarakatan yang diberikan. Studi pembanding mengenai dampak pemenjaraan baik pada narapidana maupun mantan narapidana yang telah habis masa hukumannya di antaranya adalah studi mengenai proses re-entry mantan narapidana oleh Nsanze (2007), yang membahas pula fasilitasi bagi mantan narapidana pada domain penelitian. Trimbur (2009) juga menyoroti proses re-entry dengan berfokus pada mantan narapidana: permasalahan, kendala, maupun motivasi yang berperan setelah seorang narapidana berakhir masa hukumannya dan harus kembali ke masyarakat. Berdasarkan studi-studi pembanding ini, peneliti menemukan perbedaan antara penelitian ini dan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, di antaranya pada aspek: 1. Rentang periode yang menjadi fokus penelitian Penelitian pembanding yang bersifat evaluatif terhadap program pemasyarakatan berfokus pada situasi ketika narapidana menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan/petugas bekerja di lembaga pemasyarakatan. Di sisi lain, penelitian terkait re-entry pada umumnya difokuskan periode setelah masa hukuman berakhir. Penelitian ini,
7 sementara itu, memperhatikan baik periode masa hukuman (e.g., eksplorasi program pembinaan pemasyarakatan yang diterima mantan narapidana) maupun setelah masa hukuman berakhir (e.g., permasalahan yang dihadapi mantan narapidana, pengalaman di luar penjara yang menyebabkan residivisme jika ada). 2. Lokasi penelitian Sejauh pengetahuan peneliti, belum pernah diadakan studi terhadap mantan narapidana kasus pidana berat yang secara spesifik pernah menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Yogyakarta, sebagaimana dilakukan pada penelitian ini.