TINJAUAN PUSTAKA Teori Keluarga Teori Struktural Fungsional

dokumen-dokumen yang mirip
PENGELOLAAN SUMBERDAYA KELUARGA BADRANINGSIH LASTARIWATI/UNY

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Keluarga

ANALISIS PERBANDINGAN MANAJEMEN SUMBERDAYA DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA PADA KELUARGA MISKIN DAN TIDAK MISKIN LINA NAJWATUR RUSYDI

TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori. Definisi Keluarga

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah


TINJAUAN PUSTAKA Konsep dan Pendekatan Teori Keluarga Pengertian keluarga

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

TINJAUAN PUSTAKA Definisi dan Pendekatan Teori Keluarga Pengertian keluarga Teori Struktural Fungsional

TINJAUAN PUSTAKA Peran Keluarga Teori Struktural-Fungsional

PENDAHULUAN Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas.

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

TINJAUAN PUSTAKA Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

diketahui masalah fungsional utama yang merupakan proses yang terjadi dalam keluarga nelayan. Pada gilirannya, maka dapat diukur output keluarga

BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL. A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penting yang akan dihadapi oleh manusia dalam perjalanan kehidupannya

Menurut Knox (1985) terdapat tiga faktor yang menentukan kesiapan menikah, yaitu usia menikah, pendidikan, dan rencana karir. Pada dasarnya usia

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

2 Kebiasaan (Folksway) Norma yang menunjukan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan Teori Keluarga

BAB II LANDASAN TEORI. Kata gender dalam istilah bahasa indonesia sebenarnya berasal dari bahasa

BAB II KAJIAN PUSTAKA Nilai Sosial tentang Kebersihan dan Sampah. Dalam sosiologi nilai adalah prinsip-prinsip, patokan-patokan, anggapan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kerangka Berpikir

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DAERAH

PENDAHULUAN Latar Belakang Di Indonesia istilah keluarga sejahtera baru dirumuskan oleh pemerintah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

Pilihan Strategi dalam Mencapai Tujuan Berdagang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kaum perempuan di sektor publik. Tampak tidak ada sektor publik yang belum

METODE PENELITIAN. Desain, Waktu dan Lokasi Penelitian

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Petani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

HASIL. Karakteristik Remaja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kontrol Diri

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

(Elisabeth Riahta Santhany) ( )

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Penelitian Populasi dan Teknik Penarikan Contoh

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB II LANDASAN TEORI

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB II KERANGKA TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. terutama sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997.

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai individu, bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah yang merupakan periode peralihan antara masa kanakkanak

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melindungi manusia dari pengaruh alam, sementara pendapatan merupakan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II STRUKTURAL FUNGSIONAL TALCOTT PARSONT. Kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural fungsional

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

Nomor : Usia : PETUNJUK PENGISIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

PERANAN NILAI BUDAYA DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (entrepreneurship) sering sekali terdengar, baik dalam bisnis, seminar, pelatihan,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh

TINJAUAN PUSTAKA Manajemen Keuangan Keluarga

BAB II PERUBAHAN SOSIAL TALCOT PARSONS. Perubahan dapat berupa yang tidak menarik atau dalam arti

BAB II LANDASAN TEORI. hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen.

Agenda Besar Memperkuat Keluarga Indonesia

HASIL. Tabel 20 Sebaran nilai minimum, maksimum, rata-rata dan standar deviasi karakteristik keluarga Rata-rata ± Standar Deviasi

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Teori Keluarga Menurut Soekanto (1990), keluarga kecil (nuclear family) merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, isteri beserta anak-anaknya yang belum menikah. Sedangkan menurut Saleha (2003) keluarga merupakan satuan dasar dari sumberdaya manusia yang berperan dalam masyarakat pada berbagai bentuk kegiatan. Sebagai satuan dasar, maka keluarga merupakan instansi pertama yang memberikan pengaruh terhadap sosialisasi diri dan pembentukan pribadi manusia (Soedarsono 1997). Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Sunarto (2006) bahwa keluarga sebagai wahana utama dan pertama untuk 1) mengembangkan potensi keluarga; 2) mengembangkan aspek sosial dan ekonomi keluarga; dan 3) penyemaian cinta kasih sayang. Rice dan Tucker mengelompokkan fungsi keluarga dalam dua bagian, yaitu fungsi ekspresif dan fungsi instrumental. Fungsi ekspresif berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan emosi dan perkembangan, termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak, sedangkan fungsi instrumental berkaitan dengan manajemen sumberdaya untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui a) prokreasi dan sosialisasi anak serta b) dukungan dan pengembangan anggota keluarga. Adapun fungsi keluarga menurut Roberta Berns yaitu fungsi reproduksi, sosialisasi/pendidikan, penetapan peran sosial, dukungan ekonomi, dan dukungan emosi (Sunarti 2001). Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk membahas keluarga,diantaranya adalah teori struktural fungsional dan sosial konflik. Teori Struktural Fungsional Teori ini mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sosial yang menjadi sumber adanya struktur masyarakat. Struktur masyarakat tersebut menciptakan fungsi dan peran yang berbeda-beda dalam masyarakat. Dengan kata lain, teori ini memandang bahwa keseimbangan dalam masyarakat akan terwujud jika masyarakat mampu menjalankan kehidupan sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Teori ini muncul sebagai kritikan terhadap sosial konflik yang menginginkan kehidupan egaliter (tanpa struktur). Perspektif fungsionalisme dicetuskan oleh August Comte (Megawangi 2001) yang menginginkan terciptanya kesepakatan/konsensus dalam masyarakat. Selanjutnya, pemikiran ini dikembangkan oleh Emile Durkheim yang

melahirkan teori pembagian kerja (division of labor). Menurutnya, masyarakat bersatu jika memiliki kesadaran akan kebersamaan. Kesadaran kebersamaan didefinisikan sebagai sebuah kepercayaan yang diterima oleh rata-rata individu (common beliefs) yang dapat menyatukan seluruh sistem kemasyarakatan. Asas rasionalitas dan self-interest justru dapat menciptakan persaingan, penipuan dan kekacauan sosial. Maka, Emile Durkheim menganggap penting diciptakan suatu mekanisme untuk menginstitusionalisasi peraturan moral dan nilai sehingga menjadi common values atau nilai-nilai atau norma-norma yang dipegang atau disakralkan oleh masyarakat. Tokoh lain yang berperan dalam mengembangkan teori struktural fungsional yaitu Talcott Parsons. Parsons mencetuskan teori aksi sukarela (voluntaristic theory of action). Menurutnya, tidak ada seseorang yang dipaksa untuk melakukan sesuatu karena seseorang bertindak sesuatu berdasarkan keputusannya sendiri. Keputusan ini dipengaruhi oleh kondisi situasional di sekitarnya dan kondisi normatif yang berlaku di masyarakat. Setiap tindakan disebut unit aksi (unit act) yang dilakukan oleh satu aktor atau lebih. Dalam konteks sosial, beberapa unit aksi dapat bergabung menjadi satu sistem aksi dimana setiap aktor mempunyai peran sesuai dengan kondisi situasional dan norma-norma yang diyakininya. Konsep kesatuan aksi tersebut dapat terlaksana jika memenuhi dua syarat berikut: 1) sebuah sistem sosial harus mempunyai komponen aktor dalam jumlah yang memadai, dimana tingkah lakunya dimotivasi oleh tuntutan-tuntutan peran yang diatur oleh sistem sosialnya; dan 2) sistem sosial harus dapat menolak pengaruh budaya yang dapat mempengaruhi ketertiban sistem sosialnya, atau yang dapat menimbulkan deviasi dan konflik. Untuk memenuhi syarat tersebut, maka diperlukan proses institusionalisasi agar pola relasi yang stabil antar aktor yang mempunyai status dan peran berbeda, dapat terwujud. Melalui proses institusionalisasi ini, maka proses internalisasi norma, kebiasaan, dan peran dapat dilakukan sehingga dapat menghasilkan kepribadian aktor yang dapat menghasilkan pola relasi sosial yang stabil yang akan menciptakan ketertiban sosial. Proses internalisasi norma inilah yang membuat seseorang merasa sukarela dalam melakukan sesuatu. Perspektif struktural fungsional menyebutkan bahwa keseimbangan dalam keluarga dapat tercapai bila terdapat struktur keluarga. Ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga yaitu status sosial, peran sosial, dan norma

sosial dimana ketiganya saling berkaitan. Kehidupan seseorang dalam sebuah sistem sosial (dalam hal ini keluarga) tidak terlepas dari perannya yang diharapkan karena satus sosialnya. Peran ini berfungsi sebagai menjamin kelangsungan hidup sebuah sistem. Inilah yang dimaksud dengan keterkaitan antara aspek struktural dan fungsional dalam keluarga. Keluarga dapat dipandang sebagai sebuah sistem dimana memiliki pola interaksi yang hampir sama dengan sistem sosial. Teori struktural fungsional memandang bahwa keberfungsian keluarga dapat terlaksana jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) Adanya diferensiasi peran; 2) Adanya alokasi solidaritas; 3) Adanya alokasi ekonomi; 4) Adanya alokasi politik; dan 5) Adanya alokasi integrasi dan ekspresi. Pembagian peran dalam keluarga bisa dilakukan dengan mempertimbangkan umur, gender, status ekonomi dan politik dari setiap anggota keluarga. Alokasi solidaritas merupakan disteribusi relasi antar anggota menurut cinta, kekuatan, dan intensitas. Alokasi ekonomi menunjukkan adanya disteribusi barang dan jasa untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berkaitan dengan pembagian peran anggota keluarga dalam fungsi produksi, distribusi, dan konsumsi dalam keluarga. Alokasi politik menunjukkan distribusi kekuasaan dalam keluarga dan penanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga. Adapun alokasi integrasi dan ekspresi merupakan distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntutan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga. Teori Sosial Konflik Landasan teori sosial konflik adalah prinsip materialisme yang menyebutkan bahwa asal segala sesuatu adalah substansi materi, termasuk manusia. Kesadaran dan ruh manusia berasal dari adanya gerakan-gerakan partikel dalam otak. Prinsip materialisme menyatakan bahwa pada dasarnya manusia bersifat egois. Apapun yang dilakukan manusia semata-mata demi memenuhi kepentingan pribadinya saja. Oleh karena itu kehidupan masyarakat diwarnai dengan pola relasi dominasi dan penindasan. Salah satu tokoh yang berperan dalam pengembangan teori ini adalah Karl Marx. Menurut Marx pola relasi antar manusia didorong oleh motivasi material dan ekonomi. Teori Marx meluas dengan semakin gencarnya kritikan terhadap Kapitalisme yang selalu mempertahankan status quo. Adanya masyarakat yang terstruktur semakin melanggengkan keberadaan status quo ini. Kelompok yang

berkuasa dipandang akan selalu menindas kelompok yang dikuasai agar kepentingannya dapat terpenuhi. Menurut teori sosial konflik, keluarga terdiri atas suami sebagai kaum borjuis yang selalu menindas kaum proletar yaitu isteri. Pembagian ini didasarkan pada adanya fakta bahwa suami seringkali berkuasa dan menindas isteri dalam aspek ekonomi, seksual, dan pembagian properti dalam keluarga. Keluarga yang ideal dalam perspektif sosial konflik adalah keluarga yang berlandaskan companionship atau persahabatan yang hubungannya horizontal (Megawangi 2001). Keluarga yang berstruktur justru menimbulkan konflik keluarga yang berkepanjangan. Kemunculan kaum feminis yang mengharapkan adanya kebebasan bagi wanita didasarkan pada teori ini. Mereka menuntut adanya penghapusan sistem patriarkat dalam keluarga. Bahkan mereka berupaya menghilangkan institusi keluarga atau paling tidak defungsionalisasi keluarga. Salah satu contoh defungsionalisasi keluarga adalah mengurangi peran keluarga dalam pengasuhan anak. Kesejahteraan Keluarga Menurut UU No. 52 tahun 2009 ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin (www.hsph.harvard.edu). Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga, yaitu berdasarkan pendekatan objektif dan subjektif. Pendekatan objektif diturunkan dari data kuantitatif yang diperoleh dari angka-angka yang langsung dihitung dari aspek yang telah ditelaah. Pendekatan subjektif diperoleh dari persepsi masyarakat tentang aspek kesejahteraan sehingga hasilnya merupakan perkembangan dari aspek kesejahteraan (Iskandar 2007). Menurut Syarief dan Hartoyo dalam Fahmi (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga antara lain faktor ekonomi, budaya, teknologi, keamanan, kehidupan beragama, dan kepastian hukum. Hasil penelitian Fahmi (2008) menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, usia isteri, tingkat pendidikan suami, pengeluaran total keluarga, frekuensi perencanaan kegiatan keluarga dan pembagian peran gender dalam keluarga.

BKKBN membagi keluarga dalam lima tahapan, yaitu Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS), Keluarga Sejahtera I (KS I), Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III), dan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III Plus). Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) dan Keluarga Sejahtera I (KS I) termasuk dalam kategori miskin. Ada lima indikator yang harus dipenuhi agar suatu keluarga dikategorikan sebagai Keluarga Sejahtera I, yaitu: 1) Anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianut masing-masing; 2) Seluruh anggota keluarga pada umumnya makan 2 kali sehari atau lebih; 3) Seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda di rumah, sekolah, bekerja dan bepergian; 4) Bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah; dan 5) Bila anak sakit atau PUS (Pasangan Usia Subur) ingin mengikuti KB pergi ke sarana/petugas kesehatan serta diberi cara KB modern. Adapun suatu keluarga termasuk Keluarga Pra-Sejahtera jika tidak memenuhi salah satu dari lima indikator tersebut (BPS 2008). BPS mengukur kesejahteraan keluarga dengan menghitung pola konsumsi keluarga. Keluarga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan keluarga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan keluarga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran keluarga, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa keluarga akan semakin sejahtera jika persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan. Sunarti (2001) melakukan penelitian ketahanan keluarga dengan menggunakan pendekatan sistem (input-proses-output). Hasilnya ditemukan faktor laten ketahanan keluarga, yaitu ketahanan fisik, sosial, dan psikologis. Ketahanan fisik mencakup kesejahteraan fisik, ketahanan sosial mencakup kesejahteraan sosial, dan ketahanan psikologis mencakup kesejahteraan psikologis. Kesejahteraan fisik menggambarkan kondisi tingkat pemenuhan kebutuhan fisik seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Adapun kesejahteraan sosial dicerminkan dari persepsi dan harapan terhadap lingkungan yang merupakan hasil dari suatu rangkaian proses interaksi sosial. Sedangkan, kesejahteraan psikologi terukur dari frekuensi emosi tertentu, harapan terhadap masa datang, tingkat kepuasan, konsep diri, dan kepedulian suami terhadap isteri.

Masalah Keluarga Suami isteri akan membuat harapan-harapan saat memulai kehidupan berumah tangga. Jika dalam perjalanan kehidupan keluarga mereka mengalami kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan, maka pada saat itulah muncul masalah. Menurut Burgess dan Locke (1980) perbedaan latar belakang keluarga, gaya pengasuhan yang didapatkan, dan perbedaan pandangan tentang peran masing-masing anggota keluarga dapat menimbulkan konflik. Blood (1972) menyebutkan bahwa krisis dalam keluarga bisa disebabkan oleh gangguan eksternal atau pergesekan internal keluarga. Gangguan eksternal dapat muncul dari adanya orang asing di rumah, misalnya seorang anak akan menganggap ayah atau ibu tiri mereka sebagai orang asing. Pertemanan yang terlalu dekat dengan lawan jenis dari luar keluarga juga dapat memicu konflik. Oleh karena itu, gangguan eksternal dapat muncul jika keluarga terlalu terbuka terhadap orang-orang di luar keluarga. Konflik internal muncul ketika terjadi pergesekan antara salah satu anggota keluarga dengan anggota keluarga yang lainnya. Menurut Taylor (2002), konflik keluarga yang paling banyak terjadi adalah konflik internal. Meskipun seseorang menghabiskan waktu lebih banyak di luar rumah (berada di tempat kerja atau berkumpul dengan komunitasnya), namun pada hakikatnya mereka tinggal dengan keluarga dan akan kembali ke rumah. Lewicki, Saunders, dan Minton membagi konflik keluarga dalam 4 level, yaitu: 1) konflik intrapersonal (konflik karena adanya dua kubu pemikiran dalam diri seseorang); 2) konflik interpersonal (konflik antar anggota keluarga); 3) konflik intragroup (terbentuknya kubu-kubu dalam internal keluarga); dan 4) konflik intergroup (perselisihan keluarga dengan komunitas di luar keluarga). Menurut Burgess dan Locke (1960), konflik interpersonal diantaranya adalah konflik orangtua-anak dan konflik suami-isteri. Konflik anak biasanya berkaitan dengan perilaku anak, gangguan emosional, dan keremajaan. Konflik yang terjadi antara orangtua-anak menunjukkan ketidakmampuan orangtua dalam membangun hubungan demokratis dengan anak. Adapun konflik suami isteri bersumber dari hubungan kasih sayang, seks, perbedaan pola budaya, peran sosial, kesulitan ekonomi, dan adanya persahabatan yang saling menguntungkan. Goldsmith mengelompokkan tiga area interaksi suami isteri yang merupakan sumber konflik yaitu uang, pekerjaan, dan seks. Konsekuensi negatif yang bersifat merusak dari

konflik keluarga bisa berupa frustasi, penolakan, pengkhianatan, dan rendahnya self esteem (Sunarti 2001). Sunarti (2001) melakukan studi ketahanan keluarga dengan menggunakan pendekatan input-proses-output. Masalah yang dirasakan oleh seseorang merupakan komponen proses yang akan mempengaruhi kesejahteraan keluarga. untuk mendapatkan kesejahteraan keluarga (output), keluarga harus mampu menanggulangi masalah (proses) dengan menggunakan sumberdaya yang dimiliki (input). Masalah ada yang bersifat fisik dan non fisik. Masalah fisik mencakup kondisi ekonomi, kesehatan, dan peristiwa kehilangan materi. Adapun masalah non-fisik berupa konflik dengan suami, keluarga, kesulitan pengasuhan anak, dan peristiwa kehilangan. Tujuan Keluarga Tujuan didefinisikan sebagai hasil akhir yang dituju dari suatu tindakan, biasanya berkaitan dengan tenggat waktu, pencapaian prestasi, penyelesaian, dan kesuksesan. Orientasi tujuan masuk ke dalam proses manajemen melalui sistem personal yang berasal dari nilai yang dianut. Semakin absolut nilai yang dianut seseorang, makin spesifik tujuan hidupnya. Misalnya, jika ketertarikan musik seseorang hanya pada musik country dan barat, maka keinginan untuk menyaksikan pertunjukan langsung menjadi fokus tujuannya. Seseorang yang menikmati semua jenis musik, memiliki lebih banyak alternatif pilihan untuk memenuhi keinginannya (Deacon dan Firebaugh 1988). Nilai berkembang menjadi tujuan melalui berbagai cara, seperti pengalaman, pengetahuan baru, informasi timbal balik, dan perubahan lingkungan. Misalnya, nilai akan kesehatan diwujudkan ke dalam tujuan untuk meningkatkan vitalitas fisik (Deacon dan Firebaugh 1988). Ada tiga tipe tujuan, yaitu: 1) berdasarkan waktu (tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang); 2) berdasarkan peran (pribadi, profesional, keluarga, dan masyarakat); dan 3) jenis (tujuan primer dan sekunder). Manajemen Sumberdaya Keluarga Deacon dan Firebaugh (1988) mendefinisikan sumberdaya sebagai segala sesuatu yang berada dalam kontrol keluarga yang dapat memenuhi tuntutan keluarga atau menghantarkan keluarga untuk mencapai tujuan. Sumberdaya dapat berasal dari dalam keluarga atau merupakan hasil interaksi keluarga dengan lingkungan. Sumberdaya harus diketahui potensi dan kegunaannya agar

bisa memenuhi keinginan (Gross et al 1973). Dengan demikian segala sesuatu yang ada di sekitar kita dapat digolongkan menjadi sumberdaya jika dapat diakses dan sudah diketahui potensi atau kegunaannya. Berdasarkan jenisnya, sumberdaya dibagi menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya materi (Deacon dan Firebaugh 1988). Sumberdaya manusia mencakup keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan anggota keluarga. Terdapat tiga aspek sumberdaya manusia, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Keberfungsian ketiga aspek sumberdaya manusia tersebut dipengaruhi oleh energi yang dimiliki manusia dan kemampuannya untuk mengelola waktu. Sumberdaya energi dan waktu digolongkan sebagai sumberdaya non-manusia/materi. Dengan demikian, terdapat kaitan yang erat antara sumberdaya manusia dan sumberdaya materi. Sumberdaya materi mencakup barang/benda, jasa, waktu, dan energi (Deacon dan Firebaugh 1988). Waktu sifatnya tetap, tidak bisa ditambah, dikurangi atau diakumulasi. Penggunaan waktu yang efektif berkaitan dengan pencapaian kesejahteraan psikologis. Energi merupakan sesuatu yang fundamental bagi kelangsungan hidup manusia karena manusia selalu membutuhkan energi dalam setiap aktivitas. Sumberdaya energi dapat dihasilkan oleh manusia sendiri melalui proses konsumsi pangan atau berasal dari lingkungan seperti energi matahari, energi angin, dan lain-lain. Manajemen merupakan alat dasar (basic tool) utnuk mencapai tujuan dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia. Suatu proses manajemen dikatakan berhasil jika mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Dengan melakukan manajemen kehidupan seseorang bisa teratur dan efektif (Deacon dan Firebaugh 1988). Menurut Gross dan Crandall (1973) sumberdaya keluarga terdiri atas serangkaian pengambilan keputusan dalam penggunaan sumberdaya keluarga untuk mencapai tujuan keluarga. Dengan kata lain, manajemen sumberdaya keluarga mencakup semua bentuk perilaku untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sistem manajemen menunjukkan saling ketergantungan dan saling keterhubungan di antara sistem keluarga dengan sistem di sekelilingnya karena manajemen dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan. Input mencakup zat, energi, sumberdaya, keinginan, dan informasi yang dapat ditransformasi untuk mencapai tujuan tertentu (Deacon dan Firebaugh 1988). Proses manajemen mencakup perencanaan dan pelaksanaan. Perencanaan berarti serangkaian pengambilan keputusan yang berorientasi

masa depan. Pelaksanaan merupakan aktivitas menjalankan perencanaan. Pelaksanaan juga mencakup pengawasan terhadap aktivitas. Salah satu ciri manajemen adalah tidak kaku atau dinamis. Oleh karena itu, merupakan kelaziman jika selama proses manajemen mengalami berbagai penyesuaian dan adaptasi. Di akhir proses pelaksanaan, ada evaluasi yang menilai pencapaian tujuan (output). Tujuan dalam manajemen sumberdaya keluarga bisa berasal dari tujuan masing-masing anggota keluarga atau keluarga secara keseluruhan. Tujuan memberikan arahan bagi proses manajemen. Adapun standar yaitu ukuran atau kriteria untuk mengukur kapasitas dan cara yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan (Nickell dan Dorsey 1960). Secara umum hasil dari proses manajemen yaitu tercapainya tujuan dengan menggunakan sumberdaya yang ada. Manajemen Sumberdaya Manusia Manajemen sumberdaya manusia dalam penelitian ini merupakan pembagian tugas dalam keluarga demi keberfungsian keluarga dalam memenuhi aspek pangan, perumahan, pengasuhan, pendidikan, dan pengasuhan. Pembagian kerja dalam rumah tangga dapat dilihat dengan menggunakan empat hipotesis, yaitu: 1) resource and power hypothesis; 2) time availability hypothesis; 3) sex-role hypothesis; dan 4) preference-for-housework hypothesis. Resource and power hypothesis menyatakan bahwa semakin besar kontribusi pendapatan suami bagi keluarga, maka semakin besar tanggung jawab isteri dalam urusan rumah tangga. Sebaliknya, semakin besar kontribusi pendapatan isteri bagi keluarga, maka semakin kecil tanggung jawab isteri dalam urusan rumah tangga. Time availability hypothesis menyatakan bahwa seorang isteri yang bekerja memiliki alokasi waktu dan tanggung jawab yang lebih sedikit untuk mengerjakan pekerjaan rumahtangga dibandingkan dengan isteri yang tidak bekerja. Sex-role hypothesis menyebutkan bahwa persepsi gender mempengaruhi pembagian kerja. Adapun preference-for-housework hypothesis menyatakan bahwa preferensi (ketertarikan) suami dan isteri pada jenis pekerjaan tertentu mempengaruhi pembagian kerja dalam keluarga. Secara umum, seorang isteri menyukai aktivitas domestik seperti mengasuh anak dan merapikan rumah, sedangkan ketertarikan suami pada aktivitas domestik lebih rendah dibandingkan isteri (Deacon dan Firebaugh 1988).

Manajemen Waktu Manajemen waktu adalah suatu cara dalam menggunakan dan mengelola waktu agar aktivitas dapat berjalan efektif dan efisien. Output dari manajemen waktu adalah jika waktu yang digunakan dapat mencapai tujuan individu dan keluarga. Dalam mengelola waktu diperlukan kemampuan untuk menempatkan posisi diri kita dalam lingkungan. Dengan kata lain, aktivitas individu akan disesuaikan dengan orang lain, baik dalam aspek pemenuhan pangan, pekerjaan, istirahat, atau rekreasi (Nickell dan Dorsey 1960). Sebagai aktivitas manajemen, manajemen waktu terdiri atas aktivitas perencanaan, pengawasan, dan evaluasi. Menurut Gross dan Crandall (1973), terdapat tiga tipe perencanaan waktu, yaitu: 1) List a job; 2) Series of project; dan 3) Schedule. List a job adalah perencanaan waktu dengan cara membuat daftar aktivitas kegiatan yang akan dilakukan, disertai dengan kata-kata motivasi sehingga bersemangat untuk mencapai target yang sudah ditentukan. Pada perencanaan series of project, daftar aktivitas kegiatan disertai dengan urutan waktu, namun tidak ada batas waktu yang jelas. Adapun, dalam tipe perencanaan yang ketiga, daftar aktivitas disertai dengan urutan waktu dan perkiraan waktu yang diperlukan untuk mengerjakan aktivitas tersebut. Langkahlangkah dalam menyusun schedule adalah; 1) membuat daftar semua aktivitas, kemudian dikelompokkan menjadi aktivitas fleksibel dan tidak fleksibel; 2) memperkirakan waktu yang diperlukan untuk menjalankan setiap aktivitas; 3) menyesuiakan total perkiraan waktu yang diperlukan dengan waktu yang tersedia; 4) menyusun urutan waktu; 5) tuliskan perencanaan; dan 6) jika terdapat aktivitas yang berkaitan dengan orang lain, maka komunikasikan hal tersebut kepada orang yang dimaksud. Perencanaan waktu disusun sedemikian rupa dengan mengalokasikan waktu tidak terduga (emergencies time). Kemampuan seseorang dalam melakukan penyesuaian dalam pengelolaan waktu merupakan aspek penting dalam melakukan manajemen waktu (Nickell dan Dorsey 1960). Salah satu cara untuk meningkatkan kepekaan terhadap waktu adalah dengan membuat daftar aktivitas yang harus dilakukan dalam waktu yang cukup singkat. Misalnya merencanakan untuk mengerjakan laporan praktikum dalam waktu setengah jam. Jika ternyata waktu yang diperlukan lebih dari setengah jam, maka yang harus dilakukan adalah mengubah konsepsi bahwa mengerjakan laporan praktikum memerlukan waktu lebih dari setengah jam. Salah satu alat bantu yang bisa

digunakan sebagai pengontrol waktu adalah bulletin board, yaitu papan yang berisi daftar aktivitas beserta perkiraan waktu yang diperlukan. Alat bantu lainnya adalah time record, yaitu mencatat setiap penggunaan waktu. Dengan cara ini, seseorang dapat memeriksa proporsi dalam menggunakan waktu. Adapun evaluasi dilakukan dengan memeriksa ketepatan metode yang digunakan, kesesuaian pengambilan keputusan yang diambil dengan nilai yang dianut serta ketepatan pencapaian target (Gross dan Crandall 1973). Manajemen Keuangan Keluarga Manajemen pendapatan atau manajemen keuangan adalah kegiatan merencanakan, mengatur, mengawasi, dan mengevaluasi penggunaan pendapatan (Nickell dan Dorsey 1960). Menurut Firdaus dan Sunarti (2009), manajemen keuangan keluarga mencakup komunikasi bagaimana menggunakan pendapatan. Ketersediaan sumberdaya lain, seperti waktu dan sumberdaya manusia, penting dalam melakukan manajemen keuangan karena sumberdaya tersebut mempengaruhi bagaimana penggunaan keuangan untuk mencapai tujuan (Deacon dan Firebaugh 1988). Sebagai suatu sistem, manajemen keuangan mencakup tiga aspek, yaitu input, proses, dan output. Aspek input mencakup tujuan, keinginan, kebutuhan, dan resiko ekonomi. Penentuan tujuan dan penetapan budget merupakan tahap perencanaan dalam proses manajemen keuangan. Bagi keluarga yang baru menikah, tujuan utama dalam penetapan budget adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai harga barang dan jasa. Bagi keluarga yang menggunakan kartu kredit, maka yang menjadi tujuan utama adalah menjaga batas kartu kredit sesuai dengan kemampuan finansial mereka (Gross dan Crandall 1973). Ada empat langkah yang dilakukan dalam menetapkan budget, yaitu: 1) memperkirakan jumlah uang yang tersedia; 2) memperkirakan pengeluaran; 3) membandingkan keperluan dengan sumberdaya yang tersedia; dan 4) mengevaluasi perencanaan dan implementasi secara menyeluruh. Penelitian-Penelitian Terdahulu Samon (2005) meneliti pelaksanaan manajemen keuangan pada dua populasi, yaitu keluarga nelayan dan keluarga petani tambak. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pengeluaran terbesar keluarga nelayan adalah pangan, sebaliknya pengeluaran terbesar keluarga petani tambak adalah non pangan. Jika suatu keluarga memiliki pengeluaran terbesar untuk pangan, maka mengindikasikan bahwa keluarga tersebut tidak sejahtera. Dengan demikian,

keluarga nelayan tergolong keluarga miskin dan keluarga petani tambak termasuk keluarga sejahtera. Meskipun demikian, dalam pelaksanaan manajemen keuangan, baik keluarga nelayan maupun petani tambak masih tergolong rendah. Hasil penelitian Firdaus dan Sunarti (2009) menunjukkan bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga, maka semakin tinggi tekanan ekonomi dan semakin rendah kesejahteraannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan, makin baik pula manajemen keuangan keluarga sehingga kesejahteraannya semakin meningkat. Meskipun demikian hanya sedikit (12.6%) keluarga yang memiliki manajemen dalam kategori baik. Hal ini membuktikan bahwa jenjang pendidikan yang tinggi belum pasti memiliki manajemen keluarga yang baik. Terbatasnya keuangan keluarga dan terbatasnya tindakan pilihan untuk menggunakan uang, menyebabkan pengelolaan keuangan menjadi sederhana. Hasil penelitian Sunarti (2001) menunjukkan bahwa masalah yang paling banyak dihadapi oleh keluarga adalah masalah ekonomi keluarga (50-60%) yang mencakup kekurangan uang untuk membeli pangan, biaya anak sekolah, dan untuk pelayanan kesehatan. Masalah perkawinan yang terjadi adalah konflik suami isteri (40%), bahkan terdapat 10 persen contoh yang mengetahui suaminya selingkuh. Pada umumnya contoh merasa tertekan dengan kejadian tersebut, namun ada contoh yang mencoba menekan perasaan tersebut dengan berusaha memahami kejadian dan kondisi sulit yang dialami suaminya. Saleha melakukan penelitian sumberdaya keluarga pada keluarga nelayan di Bontang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas domestik seperti mengurus anak dan pemeliharaan rumahtangga banyak dilakukan oleh isteri. Meskipun demikian, aktivitas mendampingi anak belajar lebih banyak dilakukan oleh suami. Hal ini terjadi karena ada anggapan bahwa pendidikan suami lebih memadai dalam melakukan pendampingan belajar. Selain itu, keterlibatan suami dalam merawat anak yang sakit, cukup tinggi yaitu sebesar 78.3 persen. Hal ini karena mereka menyadari pentingnya kesehatan sehingga harus ditangani dengan lebih serius bersama-sama. Adapun untuk aktivitas publik dalam sektor ekonomi dan sosial kemasyarakatan, terdapat pembagian peran antara suami dan isteri. Dalam sektor ekonomi, aktivitas persiapan melaut dan pemasaran hasil laut banyak dilakukan oleh suami, sedangkan isteri banyak terlibat dalam aktivitas pengolahan hasil ikan. Dalam sektor sosial kemasyarakatan, isteri lebih banyak menghadiri kegiatan keagamaan/pengajian, Posyandu, dan PKK,

sedangkan suami lebih banyak menghadiri kegiatan gotong royong. Suami dan isteri secara bersama-sama banyak menghadiri kegiatan sosial kemasyarakatan seperti acara selamatan (Saleha 2003). Hasil penelitian Kusumo dan Simanjuntak (2009) menyebutkan bahwa keluarga berpenghasilan rendah belum merasa puas dengan sumberdaya fisik yang dimiliki karena hanya dapat memenuhi separuh dari harapan contoh atau dengan kata lain sumberdaya tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Meskipun demikian secara umum keluarga berpenghasilan rendah merasa puas dengan sumberdaya non fisik yang tersedia. Kepuasan sangat berhubungan dengan bagaimana keluarga tersebut mengatur pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut Iskandar (2003) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap manajemen sumberdaya keluarga terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi jumlah anggota keluarga, usia kepala keluarga, usia isteri, pendidikan kepala keluarga dan isteri, pendidikan, dan kepemilikan aset, sedangkan faktor eksternal berupa lokasi tempat tinggal. Keluarga miskin membiarkan tujuan hidup mengalir seperti apa adanya, sedangkan keluarga yang tidak miskin memiliki perencanaan agar tujuan hidup dapat dicapai. Pada keluarga miskin dan tidak miskin, sebagian besar tugas seorang ibu adalah mengurus anak dan keluarga. Meskipun demikian, suami juga berperan dalam kegiatan domestik (pengasuhan anak) walaupun dengan rataan alokasi waktu yang jauh lebih sedikit. Suandi (2007) meneliti mengenai modal sosial dan kesejahteraan ekonomi keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial, seperti tingkat partisipasi keluarga dalam asosiasi lokal, manfaat asosiasi lokal, dan keterpercayaan masyarakat berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga. Selain itu, manajemen keuangan dan manajemen anggota keluarga pun berpengaruh positif terhadap kesejahteraan ekonomi objektif. Adapun karakteristik sosio-demografi, seperti pendidikan suami dan pendidikan non-formal suami tidak berpengaruh signifikan. Meskipun demikian, karakteristik sosio-demografi tidak berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga. Begitu pula dengan manajemen sumberdaya keluarga dan faktor modal sosial, tidak berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga.

Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa manajemen keuangan pada keluarga miskin maupun keluarga tidak miskin tergolong rendah. Meskipun terdapat kecenderungan semakin tinggi jenjang pendidikan maka sumberdaya keluarga semakin baik, namun jenjang pendidikan yang tinggi belum pasti memiliki manajemen keluarga yang baik. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap manajemen sumberdaya keluarga, yaitu besar keluarga, usia suami, usia isteri, pendidikan suami, pendidikan isteri, kepemilikan aset, dan lokasi tempat tinggal. Karakteristik sosio-demografi, modal sosial, dan manajemen sumberdaya keluarga berpengaruh signifikan terhadap tingkat kesejahteraan objektif keluarga. Masalah yang paling banyak dirasakan oleh keluarga yaitu masalah ekonomi keluarga dan perkawinan.