BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah mengakibatkan terjadinya krisis moneter atau krisis keuangan yang memberikan pengaruh destruktif terhadap perekonomian nasional dan menimbulkan kesulitan dikalangan dunia usaha untuk meneruskan kegiatan usahanya. Banyak perusahaan yang gulung tikar karena tidak mampu menyelesaikan kewajiban utangnya kepada para kreditor, baik kepada perusahaan, pribadi ataupun kepada pihak bank. Dalam rangka membangun kembali perekonomian agar segera keluar dari krisis keuangan tersebut, Pemerintah Indonesia meminta bantuan dari lembaga-lembaga keuangan internasional, salah satunya International Monetary Fund (IMF) dengan harapan dapat memberikan bantuan secara ekonomi agar Indonesia segera terbebas dari krisis tersebut. IMF bersedia memberikan paket bantuan, namun sebagai konsekuensinya Pemerintah Indonesia harus tunduk pada syarat-syarat yang diajukan, antara lain harus dilakukan deregulasi terhadap peraturan-peraturan yang salah satunya peraturan dibidang kepailitan. IMF berpendapat bahwa upaya mengatasi krisis moneter di Indonesia tidak dapat terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri dari para pengusaha Indonesia kepada para kreditor 1
luar negeri. Oleh karena itu, IMF mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera mengubah peraturan kepailitan yang berlaku sebagai sarana penyelesaian utang. Hal tersebut diperlukan karena peraturan perundangundangan tentang kepailitan yang berlaku pada saat itu tidak berfungsi dengan baik, sehingga para kreditor luar negeri yang telah meminjamkan dana dalam mata uang asing dengan jumlah yang besar kepada perusahaanperusahaan di Indonesia tidak mudah untuk meminta pengembalian pinjaman. Peraturan perundang-undangan tentang kepailitan yang berlaku pada saat itu, yaitu Faillissement Verordening (F.V.) Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348 yang masih mengadopsi peraturan yang dibuat dan diberlakukan pada masa kolonial Belanda, tidak memberikan suatu kerangka hukum yang memadai untuk melakukan likuidasi serta reorganisasi atas perusahaan debitor Indonesia 1, tidak diaturnya batas waktu penyelesaian proses kepailitan, hanya dikenal satu Kurator yaitu Balai Harta Peninggalan (weestcomer) dan terbatasnya pihak yang berhak mengajukan kepailitan. Untuk mewujudkan mekanisme penyelesaian utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif, maka Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Tentang Kepailitan yang kemudian ditetapkan sebagai undang-undang berdasarkan Undang-Undang 1 Jerry Hoff Diterjemahkan oleh Kartini Muljadi, 2000, Undang-Undang Kepailitan Di Indonesia, Tatanusa, Jakarta, hlm. 5. 2
Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang perubahan Atas Undang- Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3778). Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 ini, diatur suatu lembaga khusus yaitu Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan peradilan umum yang bertugas : 1. memeriksa dan memutuskan Permohonan Pernyataan Pailit (PPP), 2. memeriksa dan memutuskan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), 3. memeriksa perkara lain dibidang perniagaan yang penetapannnya ditetapkan dengan undang-undang, misalnya sengketa dibidang Hak Atas kekayaan Intelektual (HAKI). Sebelum dibentuknya Pengadilan Niaga ini, penyelesaian masalah kepailitan yang diatur dalam Faillissement Verordening (F.V.) Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348 diselesaikan melalui Pengadilan Negeri. Hal inilah yang menjadi salah satu kekurangan peraturan tersebut karena penyelesaian melalui Pengadilan Negeri seringkali membuat masalahnya menjadi berlarut-larut, sedangkan Pengadilan Niaga sebagai suatu pengadilan yang khusus memeriksa dan memutuskan perkara kepailitan dan PKPU memiliki tata pengaturan waktu yang sangat ketat. Selain itu undang-undang kepailitan yang lama hanya 3
mengenal satu Kurator, yaitu Balai Harta Peninggalan, sedangkan dalam undang-undang kepailitan yang baru, selain Balai Harta Peninggalan juga diperkenalkan Kurator Swasta yang tugas dan kewenangannya sama dengan Balai Harta Peninggalan dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit ataupun pengurusan debitor dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Sebenarnya Pengadilan Niaga bukanlah lembaga Badan Peradilan baru diluar 4 (empat) Badan Peradilan yang ditentukan oleh Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman 2. Pada perkembangannya, untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor, untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya serta untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri 3, Pemerintah melalui badan legislatif melakukan revisi atas Undang-undang No. 4 Tahun 1998 dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-Undang Kepailitan Dan PKPU) yang mulai berlaku efektif sejak tanggal 18 Oktober 2004. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Kepailitan Dan PKPU ini, 2 3 Ibid., hlm. 24. Bagian Umum, Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 4
maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku 4. Pada tahun 1992, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman untuk mengatur pihak swasta dalam keikutsertaannya menyediakan rumah-rumah berikut sarananya (komplek perumahan) dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok perumahan bagi masyarakat. Hal tersebut telah memberikan dampak yang positif terhadap bidang usaha properti. Selanjutnya, undang-undang tersebut dicabut dan diperbaharui dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Pemukiman. Berkembang pesatnya bidang usaha properti telah menimbulkan fenomena baru mengenai dilakukannya jual beli tanah berikut bangunan dengan mendasarkan pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Hal ini terjadi karena dokumen-dokumen yang menjadi dasar peralihan hak atas tanah belum diselesaikan oleh pengembang. Menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), diatur bahwa salah satu cara untuk pemindahan hak atas tanah adalah melalui mekanisme jual beli. Jual beli tersebut harus dilakukan dengan pembuatan akta otentik 4 Pasal 307, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang : Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisements-verordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3778), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 5
yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang dikenal dengan nama Akta Jual Beli (AJB) 5. Sehubungan belum dapat dipenuhinya syarat-syarat yang diwajibkan untuk melangsungkan Akta Jual Beli (AJB) antara pengembang dan konsumen, maka untuk mensiasati hal tersebut agar jual beli tetap bisa dilakukan terlebih dahulu, pihak pengembang dan pembeli sepakat untuk membuat suatu perjanjian mengenai jual beli atas tanah berikut bangunan atau lebih dikenal dengan istilah Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Bangunan (PPJB) terlebih dahulu. Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Bangunan (PPJB) dapat dibuat dibawah tangan ataupun dengan akta otentik dihadapan Notaris dan model perjanjian ini diangkat dan dibuat dari konsepsi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang merupakan kesepakatan para pihak mengenai hak dan kewajiban yang dibuat dengan mendasarkan pada Pasal 1320 jo. Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), sehingga diharapkan dapat memberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pihak yang membuatnya. Akan tetapi, belum dilakukannya jual beli atas tanah dan bangunan melalui pembuatan Akta Jual Beli (AJB) dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang diwajibkan oleh undang-undang dapat merugikan pihak konsumen, apabila pihak konsumen telah melunasi harga jual tersebut baik secara tunai ataupun mendapatkan 5 Pasal 37, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6
fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dari pihak bank pemberi kredit karena dengan dibuatnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dimaksud, kepemilikan hak atas tanah belum beralih dari pihak pengembang (pihak penjual) kepada konsumen (pihak pembeli). Pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tersebut dimaksudkan oleh para pihak bahwa hak atas obyek berupa tanah dan bangunan yang akan diperjual belikan sebagaimana dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Dengan kata lain, pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tersebut hanyalah sebagai alat bukti dan tidak menimbulkan akibat hukum berupa peralihan kepemilikan hak atas tanah. Guna menyikapi fenomena jual beli tanah dan bangunan dengan dibuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) terlebih dahulu dan dengan tujuan untuk mengamankan kepentingan pengembang dan pembelinya, maka pemerintah melalui Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia kemudian menerbitkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 09/KPTS/M/1995 Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah yang ditetapkan pada tanggal 23 Juni 1995, dimana isinya mengatur mengenai pedoman pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang wajib diikuti dan aturan-aturan mengenai penerapannya serta pengawasan dan pengendaliannya. Meskipun dengan diberlakukannya Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat tersebut, hal ini tidak menghilangkan kewajiban untuk tetap dilaksanakannya jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan yang diamanatkan oleh undang-undang. 7
Dengan demikian, timbul pertanyaan bagaimana bila pihak pengembang tidak dapat memenuhi janjinya untuk membuat Akta Jual Beli (AJB) sebagaimana diwajibkan maupun terjadi suatu peristiwa sehingga berakibat pihak pengembang dinyatakan dalam keadaan pailit, padahal kepemilikan hak atas tanah belum beralih dari pihak pengembang kepada pihak pembeli karena belum dilakukan tindakan hukum yang sah atas peralihan hak atas tanah tersebut. Hal ini terjadi seperti halnya dalam perkara kepailitan PT. Sarwo Indah yang berkedudukan di Kabupaten Sleman selaku perusahaan yang bergerak sebagai pihak pengembang telah dimohonkan pailit oleh para kreditornya dan ditingkat Kasasi, Mahkamah Agung melalui putusannya No. 446 K.Pdt.Sus/2011 tanggal 30 September 2011 telah memutuskan permohonan kasasi yang diajukan oleh PT. Sarwo Indah tidak dapat diterima, dengan demikian PT. Sarwo Indah dinyatakan pailit dan putusan ini telah berkekuatan hukum yang tetap 6. Akibat putusan pailit tersebut, maka seluruh harta kekayaan (boedel pailit) pihak PT. Sarwo Indah selaku debitor pailit dinyatakan dalam pemberesan oleh Kurator yang telah ditetapkan. Dalam kasus ini, ternyata kawasan pemukiman yang dibangun oleh PT. Sarwo Indah yang terdiri dari ratusan kavling tanah dan bangunan yang sudah didiami atau dihuni oleh para pembeli yang sebagian telah membayar lunas berdasarkan Surat Perjanjian Jual Beli yang dibuat di bawah tangan (semacam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)) dengan 6 Putusan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 02/Pailit/2011/PN. Niaga.Smg tanggal 3 Mei 2011 jo. Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 446 K/Pdt. Sus/2011 tanggal 30 September 2011. 8
pihak PT. Sarwo Indah telah disita oleh Kurator untuk dimasukan sebagai harta pailit (boedel pailit), kemudian para pembeli yang telah membayar lunas dan telah menghuni atau mendiami rumah tersebut, tidak menerima atas sita yang dilakukan oleh pihak Kurator, sehingga mereka pun melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan di pengadilan. Kasus ini menimbulkan pertanyaan tentang kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para ratusan konsumen pembeli tanah dan bangunan yang telah mendiami rumahnya dan yang dikembangkan dan dibangun oleh PT. Sarwo Indah. Dari uraian di atas, sangat menarik untuk dilakukan penelitian mengenai sejauhmana kekuatan hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang telah dibuat secara sah antara pihak pembeli dan pengembang dalam kaitannya pelaksanaan putusan pailit yang dijatuhkan kepada pengembang dan menuangkannya dalam bentuk tesis dengan judul : Kekuatan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Atas Tanah Dan Bangunan Antara Pembeli Dan Pengembang Dikaitkan Dengan Pelaksanaan Putusan Pailit Terhadap Pengembang. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut di atas dan agar lebih memfokuskan dalam penulisan hukum ini, maka masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 9
a. Bagaimanakah kedudukan hukum pembeli tanah dan bangunan berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dimana pengembang kemudian mengalami kepailitan? b. Bagaimanakah status tanah dan bangunan yang menjadi obyek Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang sudah dibayar lunas dan sudah diserahterimakan kepada pembeli dikaitkan dengan harta kekayaan milik pengembang yang dipailitkan? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengkaji dan menganalisis sejauhmana kedudukan hukum pembeli selaku konsumen atas tanah dan bangunan yang merupakan obyek Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dimana pengembang kemudian mengalami kepailitan. b. Untuk mengkaji mengenai status tanah dan bangunan yang menjadi obyek Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang pembayarannya sudah lunas dilakukan dan fisiknya sudah diserahterimakan kepada pembeli dikaitkan dengan harta kekayaan milik pengembang dalam pelaksanaan putusan pailit. c. Untuk memberikan kepastian hukum dan mencari tahu mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pembeli sebagai pihak yang dirugikan dengan dimasukkannya tanah dan bangunan berdasarkan 10
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang sudah dibayar lunas dalam harta pailit. d. Sebagai prasyarat dalam menyelesaikan studi di Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian a. Secara Teoritis Ditinjau dari segi teoritis diharapkan penulisan hukum ini dapat memberikan suatu masukan bagi perkembangan ilmu hukum dimasa yang akan datang, khususnya bidang hukum perjanjian dan kepailitan yang menjadi fokus dalam penulisan hukum ini. b. Secara Praktis Ditinjau dari segi pratikal, maka diharapkan penulisan hukum ini dapat digunakan sebagai referensi dalam penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan tesis ini dan memberikan pengetahuan bagi pihak pengembang maupun pembeli dalam pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atas tanah dan bangunan, sehingga para pihak diharapkan dapat mengerti sejauhmana kekuatan dan kedudukannya masing-masing secara hukum serta memberikan suatu kepastian hukum bagi masyarakat pada umumnya maupun kepada para praktisi hukum. Penulisan hukum ini diharapkan juga dapat memberikan masukanmasukan dan sumbang saran bagi lembaga eksekutif dan yudikatif sebagai lembaga pembuat undang-undang agar dalam pembuatan suatu 11
perundang-undangan dapat mengakomodasi perbuatan-perbuatan hukum atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat dengan tetap memperhatikan asas keadilan. E. Keaslian Penelitian Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan informasi maupun data yang ada serta hasil penelusuran kepustakaan khususnya pada Program Studi Magister Hukum Universitas Gadjah Mada, penulisan hukum atau penelitian hukum yang mengkaji atau menganalisis mengenai kekuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sudah dilakukan oleh beberapa penulis atau peneliti, namun penulis berkeyakinan bahwa tesis dengan judul Kekuatan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Atas Tanah Dan Bangunan Antara Pembeli dan Pengembang Dikaitkan Dengan Pelaksanaan Putusan Pailit Terhadap Pengembang ini berbeda dengan penulisan atau penelitian yang telah ada sebelumnya dan penulisan hukum atau penelitian hukum yang mengkaji mengenai kedudukan hukum pembeli tanah dan bangunan berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan pelaksanaan putusan pailit ini belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya. Dengan demikian, penulisan atau penelitian yang diajukan atau diteliti dalam tesis ini adalah asli hasil karya penulis, bukan merupakan hasil duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya pihak lain, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. 12