BAB V PEMBAHASAN A. Pengaruh periode temporal (waktu menggunakan kondom) terhadap kejadian IMS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Menular Seksual (PMS) disebut juga veneral (dari kata venus yang

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri,

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA BAB II 2.1. HIV/AIDS Pengertian HIV/AIDS. Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan

Lampiran 1 KUESIONER PERILAKU PENGGUNA NAPZA SUNTIK DI DALAM MENGIKUTI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS

Laporan Hasil SSP 2003 Jayapura (Papua) iii. iii

Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat umum dan penting, sedangkan infeksi bakteri lebih sering

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. melalui hubungan seksual. PMS diantaranya Gonorrhea, Syphilis, Kondiloma

KUESIONER KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PONDOK PESANTREN GEDONGAN KABUPATEN CIREBON

BAB I PENDAHULUAN. lagi dan diubah menjadi PMS (penyakit menular seksual) karena seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk yang besar. Penduduk

BAB I PENDAHULUAN. yang dahulu kala lebih menitik beratkan kepada upaya kuratif, sekarang sudah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia pelaku transeksual atau disebut waria (Wanita-Pria) belum

KUESIONER PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan reproduksi menurut World Health Organization (WHO) adalah

BAB III METODE PENELITIAN. diteliti (Sutana dan Sudrajat, 2001). Penelitian ini menggunakan pendekatan cross

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masalah berkembangnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Masalah HIV/AIDS yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN. melakukan penelitian tentang Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Sikap Remaja

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. PMS merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. fisik seksual. Kondisi seksualitas yang sehat juga menunjukkan gambaran

Virus tersebut bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus).

OLEH A A ISTRI YULAN PERMATASARI ( ) KADEK ENA SSPS ( ) WAYLON EDGAR LOPEZ ( )

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2009 pada Kelompok Remaja

BAB I PENDAHULUAN. uterus. Pada organ reproduksi wanita, kelenjar serviks bertugas sebagai

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa

Jangan cuma Ragu? Ikut VCT, hidup lebih a p sti

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB 1 PENDAHULUAN. 1987). Penyakit Menular Seksual (PMS) dewasa ini kasuanya semakin banyak

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human

Oleh: Logan Cochrane

GAMBARAN PENGGUNAAN KONTRASEPSI KONDOM PADA PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI LOKALISASI SUKOSARI KECAMATAN BAWEN KABUPATEN SEMARANG.

BAB III KERANGKA TEORI, KONSEP DAN HIPOTESIS

KUISIONER PENELITIAN

GAMBARAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PROPINSI BENGKULU TAHUN 2007 (HASIL SURVEI KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA INDONESIA TAHUN 2007 DAN SURVER RPJM TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah remaja usia tahun di Indonesia menurut data SUPAS 2005 yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI, JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang

HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

1. Pendahuluan FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN GONORE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IBRAHIM ADJIE KOTA BANDUNG

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN SUMBER INFORMASI DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS PADA REMAJA KOMUNITAS ANAK JALANAN DI BANJARMASIN TAHUN 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang

KUESIONER FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU IBU DALAM PEMERIKSAAN PAP SMEAR DI POLI GINEKOLOGI RSUD DR PIRNGADI MEDAN TAHUN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Lokasi penelitian bertempat di Pasar Kembang Yogyakarta,tepatnya di

PERNYATAAN. Dengan ini saya menyatakan bersedia untuk menjadi responden dalam. penelitian ini dengan judul Hubungan Pelayanan Klinik IMS dengan Upaya

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DENGAN SIKAP BAGI WANITA PENGHUNI PANTI KARYA WANITA WANITA UTAMA SURAKARTA TENTANG PENCEGAHAN HIV/AIDS

Bab II. Solusi Terhadap Masalah-Masalah Kesehatan. Cerita Juanita. Apakah pengobatan terbaik yang dapat diberikan? Berjuang untuk perubahan

PENGARUH PENGGUNAAN KONDOM TERHADAP KEJADIAN IMS PADA WPS DI KABUPATEN TULUNGAGUNG TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. HIV dan AIDS merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui

SURVEI SUVEILANS PERILAKU (SSP) 2007

Laporan Hasil SSP 2003 B a l i. iii. iii

BAB 1 PENDAHULUAN. pesan yang akan disampaikan (Azrul & Azwar, 1983). Sedangkan Glanz, dkk.,

BAB I PENDAHULUAN. macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan HIV (Human Immuno Virus)

BAB I PENDAHULUAN. yang banyak terjadi pada laki-laki yang sering berganti - ganti pasangan.

Panduan Wawancara. Penelitian Awal: Penggunaan Crystal Meth & Risiko Penularan HIV di Indonesia. Gender /jenis kelamin :

BAB 1 PENDAHULUAN. Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Semarang (2005) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Jurnal Keperawatan, Volume X, No. 1, April 2014 ISSN

BAB 1 PENDAHULUAN. seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea,

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL. o Riwayat Operasi Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Transkripsi:

85 BAB V PEMBAHASAN A. Pengaruh periode temporal (waktu menggunakan kondom) terhadap kejadian IMS Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dari 90 responden sebagian besar sudah menggunakan kondom dengan waktu > 3 bulan dengan hasil tes IMS 1 negatif yaitu 69 (82.1%) dengan nilai OR 0.11 dan nilai p 0.005, hasil tes IMS 2 negatif yaitu 68 (81%) dengan nilai OR 8.5 dan p 0.007, sedangkan sebagian besar yang menggunakan kondom > 3 bulan memiliki IMS yang tidak berulang yaitu 73 (86.9%) dengan OR 13.27 dan nilai p 0.001 sehingga H1 diterima dan H0 ditolak yang berarti ada pengaruh waktu penggunaan kondom dengan kejadian IMS baik IMS 1,2 dan berulang dimana semakin lama menggunakan kondom akan menurunkan kejadian IMS. IMS meningkat pesat karena terbukanya perilaku seks secara komersil yang didukung dengan pendapatan setiap melayani klien yang tinggi sehingga banyak wanita yang menjadi Wanita Pekerja Seksual (WPS). WPS 12 kali lebih beresiko dibandingkan populasi umum untuk terkena IMS. Salah satu faktor yanag sangat mempengaruhi kejadian IMS adalah perilaku penggunaan kondom dimana hal tersebut juga menjadi salah satu strategi yang efektif untuk mencegah peularan dan memberikan perlindungan terhadap kejadian IMS pada kelompok beresiko termasuk didalamnya adalah WPS kepada mitra seksualnya. Waktu penggunaan kondom bisa ditanyakan dengan menggunakan periode recall (penggunaan kondom pada seks terakhir). Tetapi studi yang melibatkan pekerja seks cenderung mengukur penggunaan kondom dalam periode waktu yang singkat seperti pada minggu atau bulan (Bankole et al., 2007; Graham et al., 2014; Fonner et al., 2014). Hasil penelitian didapatkan bahwa semakin lama menggunakan kondom akan menurunkan kejadian IMS. Penggunaan kondom merupakan langkah awal untuk mencegah terjadinya IMS. Banyak WPS yang mengaku sudah lama menggunakan kondom sehingga banyak dari mereka yang mempunyai hasil IMS negatif dan tidak berulang. Hal tersebut didukung oleh

86 penelitian dari Vandenhoudt et al (2013) bahwa prevalensi WPS yang melaporkan penggunaan kondom dengan mitra terakhir meningkat 50% menjadi 75% pada survey selanjutnya dimana hal tersebut membuat prevalensi HIV/ IMS menurun. Masih adanya WPS yang memiliki hasil IMS yang masih positif kemungkinan disebabkan karena mereka mengatakan sudah lama menggunakan kondom, tetapi kenyataannya mereka tidak selalu menggunakan kondom. Hal tersebut didukung dengan penelitian oleh Fonner et al (2014) yang melibatkan pekerja seks dalam mengukur periode penggunaan kondom yang singkat seperti minggu atau bulan dimana hanya 4% responden yang selalu menggunakan kondom dalam transaksi seksual sesuai dengan lama penggunaan kondom selama ini. Banyak responden sudah lama menggunakan kondom tetapi tidak semua transaksi seksual dilakukan dengan selalu menggunakan kondom. Sehingga banyak responden yang belum konsisten menggunakan kondom yang menyebabkan kejadian HIV dan IMS masih tinggi. Kondom merupakan alat kontrasepsi terbaik yang saat ini bisa digunakan sebagai langkah awal pencegahan IMS walaupun secara teori kondom tidak bisa 100% dalam memberikan perlindungan itu. Menggunakan kondom akan lebih memberikan keamanan bagi para WPS dalam melakukan transaksi seksual dari pada tidak menggunakan sama sekali. Apalagi para WPS yang sudah memiliki faktor resiko yang tinggi untuk terjadi IMS seperti sudah lama bekerja, berumur lebih tua dan jumlah mitra seksual yang banyak. Selain itu WPS dianggap memiliki resiko jika mereka melaporkan penggunaan kondom yang tidak konsisten. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Mahaputra et al (2013) yang menyatakan WPS yang lebih tua, saat ini menikah, bekerja sebagai WPS dalam waktu lama dengan klien yang lebih banyak mungkin untuk terlibat dalam praktek seksual berisiko. WPS dianggap berisiko jika mereka melaporkan penggunaan kondom tidak konsisten dengan semua pasangan seks dan melaporkan pengalaman dari salah satu kerentanan berhubungan seperti seks anal, konsumsi alkohol sebelum seks dan hubungan seksual yang bersamaan.

87 Sebagian besar responden pada kedua tempat penelitian sudah menggunakan kondom yang lama tetapi sebagian besar dari mereka belum bisa menggunakan kondom secara rutin karena kendala dengan para pelanggan yang dilayani. Sehingga masih banyak yang hasil tes IMS nya positif. Ada beberapa WPS yang baru menggunakan kondom dalam waktu 3 bulan padahal mereka sudah bekerja sebagai WPS lebih dari satu tahun. Hal tersebut karena sebelumnya mereka tidak pernah menggunakan kondom sama sekali padahal setiap mau melayani pelanggan para WPS sudah membawa beberapa kondom di tas mereka tetapi kadang kondom tersebut masih utuh dalam beberapa hari karena tidak digunakan sama sekali. Selain itu kebanyakan WPS mengatakan sudah lama menggunakan kondom tetapi kondom tersebut tidak selalu digunakan. WPS sebenarnya sudah tahu tentang bahaya jika tidak menggunakan kondom tetapi mereka tidak berdaya dengan para pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom. WPS yang menggunkaan kondom dan hasil tes IMS negatif tidak berulang adalah mereka yang berada di eks Lokalisasi Ngujang. Para WPS tersebut sudah terjadwal dalam melakukan pengecekan untuk IMS setiap bulan, selain itu dalam satu hari mereka hanya melayani maksimal 4 orang. Ada WPS yang mengatakan bahwa dia tidak mau melayani pelanggan apabila mereka tidak menggunakan kondom sehingga hal tersebut meningkatkan perilaku penggunaan kondom yang konsisten. Berbeda dengan WPS yang berada di Gunung Bolo dimana banyak dari mereka yang jarang menggunakan kondom dan memiliki hasil tes IMS yang positif karena para WPS tidak pernah secara rutin melakukan pengecekan tes IMS, jumlah mitra yang dilayani juga sangat banyak bisa mencapai 10 mitra tiap hari dan didukung oleh para mitra seksual yang kebanyakan tidak mau menggunakan kondom sehingga lebih beresiko untuk terkena IMS. B. Pengaruh skala pengukuran (rasio penggunaan kondom dengan hubungan seks) terhadap kejadian IMS Berdasarkan hasil rasio penggunaan kondom dengan hubungan seks didapatkan sebagian besar WPS memiliki hasil tes IMS 1 negatif dengan rata-

88 rata rasio penggunaan kondom tiap bulan adalah 74.83% dengan SD ±14 dan rata-rata tiap hari adalah 0.93 dengan SD ±0.3 dengan nilai P < 0.001, pada tes IMS 2 rata-rata rasio per bulan pada hasil yang negatif adalah 61.19% dengan SD ±11 dan rata-rata tiap hari adalah 2.20 ±0.5 dengan nilai P 0.001 dan sebagian besar WPS memiliki hasil tes IMS tidak berulang dengan ratarata rasio per bulan 67.16% dengan SD ±11 dan rata-rata per harinya adalah 2.39 kondom dengan SD ±0.6 dengan nilai P < 0.001 sehingga dapat disimpulkan bahwa HI diterima dan H0 ditolak sehingga ada pengaruh skala pengukuran (rasio penggunaan kondom dengan hubungan seks) terhadap kejadian IMS 1, 2 dan IMS berulang. Semakin tinggi rasio penggunaan kondom akan menurunkan kejadian IMS. hal tersebut juga didukung dengan data dikotomi dari klien yang menyatakan bahwa sebagian besar responden memiliki rasio penggunaan kondom 50% dengan hasil IMS yang mayoritas negatif dan tidak berulang. Pengukuran penggunaan kondom paling sering menggunakan dikotomi. Menggambarkan proporsi responden yang melaporkan penggunaan kondom pada skala ordinal (misalnya, selalu, hampir selalu, kadang-kadang, hampir tidak pernah, dan tidak pernah) juga digunakan. Lima penelitian melaporkan penggunaan kondom pada skala kontinyu (misalnya, berapa kali kondom digunakan dalam jangka waktu tertentu). Lima studi melaporkan hasil dalam bentuk rasio dengan pembilang mengandung jumlah tindakan seks dilindungi dilaporkan dalam jangka waktu tertentu dan penyebut yang mengandung jumlah semua tindakan seks dalam periode waktu yang sama. Beberapa penelitian yang digunakan rasio ini untuk mengkategorikan peserta sebagai pengguna kondom yang konsisten (jika jumlah tindakan seks dilindungi menyamai jumlah seks bertindak keseluruhan). Penggunaan kondom secara rutin, konsisten dan tepat memang sangat efektif untuk pencegahan IMS dan efektifitasnya sangat tergantung pada metode penularan IMS. (Fonner et al., 2014; Widyastuti dkk., 2012). Rasio penggunaan kondom dengan hubungan seks sama dengan mengukur konsistensi penggunaan kondom. Dimana mayoritas responden sudah banyak yang menggunakan kondom walaupun masih ada beberapa

89 yang penggunaannya masih minim. Penggunaan kondom yang tidak konsisten memang biasanya terjadi pada WPS tidak langsung atau yang berada pada prostitusi ilegal karena mereka sebagian besar bekerja menjadi WPS dengan alasan ekonomi sehingga tidak bisa menolak jika para mitra seksual tidak mau menggunakan kondom. Hal tersebut didukung oleh penelitian dari Li et al (2012) yang menyatakan proporsi yang cukup tinggi dari WPS tidak langsung (WPS yang biasanya berada pada prostitusi ilegal) adalah penggunaan kondom yang tidak konsisten. Penelitian dari Fonner et al (2014) menyatakan dari lima studi melaporkan hasil dalam bentuk rasio dengan pembilang mengandung jumlah tindakan seks dilindungi yang dilaporkan dalam jangka waktu tertentu dan penyebut yang mengandung jumlah semua tindakan seks dalam periode waktu yang sama. Beberapa penelitian yang digunakan rasio ini untuk mengkategorikan peserta sebagai pengguna kondom yang konsisten (jika jumlah tindakan seks dilindungi menyamai jumlah seks bertindak keseluruhan). Studi intervensi VCT diukur dengan rasio penggunaan kondom per pasangan. Penggunaan kondom "Regular" didefinisikan sebagai ketika kedua pasangan melaporkan memiliki rasio kondom (jumlah tindakan seks dilindungi / semua tindakan seksual) di atas 0,90. Dan didapatkan kurang dari setengah dari total responden yang menggunakan kondom secara konsisten dan memiliki resiko lebih rendah terkena IMS. Banyaknya responden yang sudah menggunakan kondom karena didukung dengan mayoritas responden yang sudah pernah mengikuti jenjang pendidikan walaupun hanya sebatas tingkat SD tetapi hal tersebut membuat responden tidak kesulitan menerima informasi yang didapat yang mayoritas berasal dari tenaga kesehatan dimana informasinya bisa berupa penyuluhan maupun pemberian leaflet yang diperlukan kemampuan membaca dan memahami. Tetapi penggunaan kondom tidak akan bisa efektif dalam mencegah IMS apabila penggunaannya tidak secara benar, rutin dan konsisten. Banyak terjadi pada WPS yang sudah menggunakan kondom tetapi hasil tes IMS nya positif karena setelah dicermati mayoritas dari mereka tidak rutin dan konsisten dalam menggunakan kondom dengan berbagai alasan

90 sehingga rasio antara penggunaan kondom dengan hubungan seksual < 90%. Sangat sedikit atau bahkan tidak ada responden yang konsisten menggunakan kondom karena semua responden menggunakan kondom dalam bertransaksi seksual hanya bila para pelanggan mereka menginginkan atau bahkan menawarkan sendiri kepada para WPS. Hal tersebut didukung oleh penelitian oleh Ghimire et al (2011), Sebuah studi kualitatif di Nepal, Alasan untuk tidak mengunakan kondom dikalangan pekerja seks adalah karena faktor ketidakberdayaan (low self efficacy) dan kemiskinan yang sering dilaporkan sebagai alasan yang menyebabkan pekerja seks enggan mengunakan kondom. Ada pula beberapa WPS yang mencoba menawarkan penggunaan kondom sebelum bertransaksi seksual kepada pelanggan mereka tetapi sebagian besar pelanggan banyak yang menolaknya walaupun ada beberapa yang menyetujui untuk menggunakan kondom. C. Pengaruh jenis kegiatan seksual terhadap kejadian IMS Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dari 90 responden semuanya menggunakan jenis kegiatan seksual per vagina yaitu 90 (100%). Rata-rata WPS yang menggunakan seks vagina dalam 1 bulan yang memiliki hasil IMS 1 positif adalah 23.68±2.52 dan hasil IMS 1 negatif adalah 24.92±2.48 dan nilai P adalah 0.059. Pada IMS 2 dengan hasil positif didapatkan rata-rata 24.10±2.77 dan hasil negatif adalah 24.81±2.45 dengan nilai P adalah 0.267. Sedangkan rata-rata hasil tes IMS berulang adalah 24.20±2.57 dengan nilai P 0.45. Sehingga dapat disimpulkan nilai P > 0.05 yang berarti H1 ditolak dan H0 diterima sehingga tidak ada pengaruh antara jenis kegiatan seksual terhadap kejadian IMS. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya IMS salah satunya dari faktor host (individu) yaitu jenis kegiatan seksual. Seks anal merupakan salah satu jenis perilaku beresiko yang meningkatkan kejadian IMS. Proporsi yang cukup tinggi dari WPS tidak langsung terlibat dalam seks anal dengan pelanggan mereka sehingga tidak konsisten dalam menggunakan kondom dan meningkatkan kejadian IMS. Dijelaskan pula bahwa seseorang yang bekerja sebagai WPS dalam jangka waktu lama akan memiliki mitra seksual yang

91 banyak yang kemungkinan dapat terlibat dalam seks anal. Frekuensi jenis kelamin merupakan salah satu bagian dari dimensi untuk mengukur utilisasi kondom yang meliputi seks vagina, seks anal, seks oral (Widyastuti dkk., 2012; Mahaputra et al., 2013; Foner et al., 2012). Jenis seks yang dilakukan mempengaruhi kejadian IMS. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa jenis seks vagina tidak berpengaruh terhadap kejadian IMS karena semua respnden yang melakukan seks vagina memiliki hasil tes IMS yang negatif. Hal tersebut didukung oleh penelitian dari Mahaputra et al (2013) bahwa proporsi yang signifikan dengan IMS yang lebih tinggi terjadi pada WPS yang terlibat praktik seksual beresiko. Dimana sebagian besar WPS melakukan praktik seks anal pada salah satu kabupaten yang kejadian IMS nya tinggi dibandingkan dengan kabupaten lain yang mayoritas menggunakan seks vagina dengan hasil IMS rendah. Pada penelitian ini semua responden sudah menggunakan jenis kegiatan seksual per vagina. Tetapi mereka masih merupakan kelompok beresiko karena selain dari jenis kegiatan seksual juga dipengaruhi faktor lain yang sangat signifikan mempengaruhi kejadian IMS seperti jumlah pelanggan dan lama bekerja sebagai WPS sehingga masih ada responden yang memiliki hasil tes IMS positif. Hal tersebut didukung dari penelitian Mahaputra et al (2013) yang menyatakan ada empat kriteria WPS yang beresiko tinggi yaitu umur 35 tahun atau lebih tua, saat ini sudah menikah, bekerja sebagai WPS selama 10 tahun atau lebih dan berhubungan seks dengan tiga atau lebih klien sehari. Selain itu tidak semua responden yang sudah melakukan seks vagina juga selalu menggunakan kondom sehingga memungkinkan hasil tes IMS yang positif. Walaupun mayoritas yang menggunakan kondom sudah mengidentifikasikan memilih jenis seks vagina dalam melayani mitra seksual. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Mahaputra et al (2013) juga menjelaskan bahwa dari jenis seks antara vagina, anal dan oral hanya satu yang merupakan studi yang mendefinisikan jenis tindakan seks menggunakan kondom yaitu seks vagina. Walaupun sebagian besar hasil tes IMS negatif karena mayoritas WPS yang sudah banyak yang menggunakan kondom tidak mencapai 90% dari total hubungan seks. Hampir semua responden yang

92 sudah menggunakan seks vagina mengaku karena para pelanggan mereka lebih menyukai jenis kegiatan seks ini dari pada jenis lainnya seperti seks anal dan oral. Selain itu jenis seks lain juga sangat jarang digunakan terutama seks anal yang masih tabu dikalangan eks lokalisasi Ngujang dan Gunung Bolo. Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian dari Fonner et al (2014) yang mengatakan pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah dimana perilaku seks tertentu seperti seks anal masih dianggap tabu, begitu juga dengan pasangan yang heteroseksual. Peserta yang melaporkan tidak melakukan seks anal mempunyai arti bahwa semua tindakan penggunaan kondom hanya dilakukan pada seks vagina saja. Sehingga kejadian IMS pada seks anal beresiko tinggi menyebabkan IMS dari pada seks vagina. Para pelanggan lebih memilih seks vagina karena para WPS mengaku jenis seks tersebut kurang nikmat, ditambah bagi WPS di Gunung Bolo yang dalam menjajakkan seksnya hanya dalam hitungan menit jadi mereka lebih memilih seks vagina dan jika mencoba seks lain akan mnghabiskan waktu dan akan menambah tarif seks serta belum pasti mendapatkan kenikmatan yang sesuai keinginan. D. Pengaruh konsistensi penggunaan kondom terhadap kejadian IMS Berdasarkan hasil penelitian di Eks Lokalisasi Ngujang dan Gunung Bolo didapatkan semua responden tidak konsisten menggunakan kondom yaitu 90 (100%) dengan hasil tes IMS yang mayoritas adalah negatif pada tes IMS 1 yaitu 71 (78.89%), IMS 2 yaitu 70 (77.78%) dan sebagian besar responden memiliki hasil tes IMS tidak berulang yaitu 76 (84.44%). Pemakaian kondom dapat menurunkan penularan IMS meskipun kondom tidak 100% dapat mencegah IMS namun kondom tetap merupakan cara terbaik untuk menghindari IMS. Penggunaan kondom pada hubungan seksual berisiko merupakan salah satu strategi pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan IMS dan HIV pada kelompok berisiko termasuk kepada WPS dan pelanggannya. Berbagai faktor sangat terkait dengan kejadian IMS yang masih tinggi di berbagai negara. Pencegahan dan penanganan kasus IMS hendaknya disesuaikan dengan faktor yang

93 melatarbelakanginya. Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa banyak faktor yang sangat mempengaruhi kejadian IMS antara lain perilaku penggunaan kondom. Sampai saat ini beberapa studi telah berusaha untuk memeriksa penggunaan kondom yang benar dan konsisten pada orang yang aktif secara seksual. penggunaan kondom secara benar dan konsisten diperkirakan memiliki kemungkinan 59% lebih kecil untuk terinfeksi IMS dalam tiga bulan dibandingkan dengan peserta yang tidak menggunakan kondom secara benar dan konsisten. Penggunaan kondom yang konsisten adalah penggunaan kondom yang dilaporkan pada setiap hubungan seks dalam jangka waktu tertentu. Tetapi ada beberapa yang mendefinisikan penggunaan kondom yang konsisten adalah 90-100% dari jumlah hubungan seksual. Penggunaan kondom didefinisikan sebagai ketika kedua pasangan melaporkan memiliki rasio kondom (jumlah tindakan seks dilindungi / semua tindakan seksual) di atas 0,90 (Bankole et al., 2007; Crosby et al 2012; Fonner et al., 2014). Semua responden pada penelitian ini tidak menggunakan kondom secara konsisten tetapi sebagian besar memiliki hasil tes IMS negatif. Hal tersebut dikarenakan walaupun dikatakan tidak konsisten tetapi penggunaan kondom mereka sudah mencapai lebih dari 50% dan banyak dari responden yang mengatakan bahwa sering menggunakan kondom selama tiga kali berturut turut dalam melakukan transaksi seksual Hal tersebut sesuai penelitian dari Karyati (2011) didapatkan sebagian besar WPS memiliki konsistensi kondom yang cukup tinggi yaitu 67% dengan ukuran konsisten menggunakan skala ordinal yaitu tidak pernah, kadang-kadang dan selalu. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian dari Bankole et al (2007) yang mengatakan utilisasi kondom dapat dilihat dengan penggunaan kondom yang benar dan konsisten dengan melihat pada orang yang aktif secara seksual dengan setidaknya pada 2 atau lebih tindakan seksual yang selalu menggunakan kondom.

94 Ukuran tidak konsisten atau konsisten pada penelitian ini mengacu pada rasio jumlah kondom yang digunakan dengan jumlah seks yang sudah dilakukan dengan hasil minimal 90%. Penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang beragam pada utilitas dari ukuran ini. Penelitian tersebut juga sesuai dengan penelitian lain dari Sembiring dkk (2012) didapatkan terdapat korelasi yang kuat antara konsistensi penggunaan kondom dengan pencegahan IMS dimana pengukuran konsistensi kondom menggunakan ukuran ordinal yaitu tidak pernah, kadang-kadang dan selalu. Penelitian lain menggunakan ukuran konsisten kondom dengan hanya melihat pada seks terakhir atau penggunaan kondom dikatakan konsisten apabila selama 12 bulan selalu menggunakan kondom. Hasil penelitian ini sesuai dengan pengukuran konsistensi yang digabungkan oleh Fonner et al (2014). Dikotomi penggunaan kondom adalah skala pengukuran yang paling umum digunakan dalam studi termasuk dalam ulasan ini. Salah satu keuntungan menggunakan hasil dikotomis adalah bahwa hasil dapat dikonversi menjadi metrik dan mudah diinterpretasi, seperti OR sehingga lebih mudah disintesis dan juga dilakukan intervensi dalam meta-analisis. Namun seperti dicatat di penelitian metodologi sebelumnya bahwa ukuran dikotomi hasil penggunaan kondom akan kehilangan informasi berharga mengenai frekuensi penggunaan kondom dan aktivitas seksual yang membantu mencirikan risiko IMS dan ukuran ini tidak direkomendasikan oleh penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian telah menunjukkan korelasi yang tinggi antara penggunaan kondom pada seks terakhir dan penggunaan kondom yang konsisten. Beberapa studi yang memakai penggunaan kondom pada seks terakhir sebagai bagian dari ukuran gabungan menilai kondom secara konsisten yang membantu membangun penailaian yang lebih kuat dari konsistensi. Studi lain menggunakan ukuran konsisten dengan mengukur penggunaan kondom selama waktu yang lebih lama dimana literatur menunjukkan bahwa menggunakan periode recall yang lebih pendek (2-3 bulan). Mayoritas pelanggan enggan menggunakan kondom karena dianggap mengurangi kenikmatan, tetapi ada pelanggan yang selalu membawa kondom sendiri waktu datang ke Eks lokalisasi tanpa harus ditawarkan kondom oleh

95 pelanggan. Mayoritas WPS terjun ke dunia prostitusi disebabkan oleh faktor ekonomi karena menjadi tulang punggung keluarga yang didukung mayoritas pendidikan para WPS yang hanya tamat SD yang tidak berfikir panjang dalam mengambil keputusan yang dirasa menguntungkan sehingga mereka lebih mementingkan mendapatkan uang dari pada harus kehilangan pelanggan hanya karena menuntut menggunakan kondom. Hal tersebut didukung oleh penelitian dari Mayanja et al (2016) bahwa studi menunjukkan alasan para wanita menjadi WPS salah satunya adalah terbatasnya akses ke sumber daya ekonomi dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya pengetahuan/ ketrampilan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dan keperluan mendesak untuk perawatan anak adalah alasan utama para wanita untuk tetap menjadi seorang WPS. Tetapi masih ada beberapa responden yang selalu menggunakan kondom atau bahkan mereka tdak mau melayani jika pelanggan mereka tidak menggunakan kondom. Hal tersebut biasanya terjadi pada WPS yang justru sudah senior. Hal itu juga sependapat dengan penelitian dari Hilde et al (2013) yang menyatakan WPS yang sudah lama bekerja (senior) akan meningkatkan perilaku penggunaan kondom karena mampu menegosiasikan seks yang aman kepada pasangan seksualnya sehingga dapat mengurangi resiko IMS. E. Pengaruh jumlah kondom terhadap kejadian IMS Berdasarkan hasil penelitian di Eks Lokalisasi Ngujang dan Gunung Bolo didapatkan data dikotomi penggunaan kondom dimana sebagian besar responden sudah pernah menggunakan kondom dan memiliki hasil IMS 1, 2 yang negatif dan IMS tidak berulang yaitu 71 (78.9%), 70 (78.7%) dan 75 (84.3). Sebagian besar responden yang memiliki hasil IMS 1 positif mempunyai rata-rata jumlah kondom per bulan adalah 24.37 dengan SD ± 13 dan hasil tes IMS 1 negatif adalah 20.61 dengan SD±8. Sedangkan Rata-rata jumlah kondom dengan hasil tes IMS 2 positif adalah 18.65±10.27 dan hasil tes IMS 2 negatif adalah 15.94±6.15. Untuk rata-rata jumlah kondom (bulan) yang memiliki hasil tes IMS berulang adalah 44.47±22.99 dan hasil tes IMS tidak berulang adalah 36.64±13.47 dengan hasil uji statistik dengan

96 menggunkaan uji t didapatkan nilai p 0.075 dan 0.267 yang berarti > 0.05 sehingga tidak ada pengaruh jumlah penggunaan kondom terhadap kejadian IMS berulang. Penggunaan kondom yang benar dan konsisten yaitu dengan melihat pada orang yang aktif perilaku seksualnya dengan setidaknya menggunakan kondom 90-100% dari jumlah hubungan seksual. Sehingga jumlah kondom yang digunakan harus sesuai dengan hubungan seksual atau batas minimal yang tidak menggunakan kodom adalah 10% dari jumlah hubungan seksual. (KPAN, 2010). Semakin banyak jumlah kondom yang digunakan memiliki IMS yang positif dan berulang sehingga didapatkan tidak ada hubungan jumlah kondom dengan kejadian IMS. WPS yang memiliki hasil tes IMS yang positif mengaku lebih hati-hati dalam melayani pelanggan yaitu dengan menggunakan kondom tetapi hanya selama masa penyembuhan. Setelah dinyatakan positif maka mereka akan kembali seperti sebelumnya yang asal menerima pelanggan dan melakukan transaksi seksual tanpa menggunakan kondom. Hal tesebut didukung oleh penelitian dari Vandenhoudt et al (2013) yang menemukan pada tingkat individu melaporkan penggunaan kondom tidak dikaitkan dengan penurunan risiko infeksi HIV dan IMS (disesuaikan infeksi atau dari HIV yang terkait dengan penggunaan kondom dengan klien terakhir yaitu 90%). Sebuah penjelasan ditemukan dalam analisis prediksi penggunaan kondom. Wanita yang telah diuji untuk HIV dan IMS dilaporkan lebih tinggi penggunaan kondom. Hal ini menunjukkan bahwa konseling, termasuk konseling HIV dan IMS pada wanita yang sudah terinfeksi mungkin memiliki dampak positif pada penggunaan kondom. Banyak dari WPS kadang masih tidak menggunakan kondom dengan alasan ada beberapa pelanggan yang diyakini tidak akan mempunyai infeksi sehingga mereka yakin walaupun tidak menggunakan kondom tidak akan terkena IMS. Biasanya para WPS melihat para pelanggannya dari kebersihan badan mereka ataupun penampilan dan wajah. Pelanggan yang berpenampilan menarik, wajah yang lumayan, bersih, wangi dianggap tidak mempunyai infeksi. Hal tersebut sependapat dengan penelitian dari Kawangung (2012)

97 yang menyatakan salah satu alasan pekerja seks maupun pelanggan tidak menggunakan kondom adalah perasaan, mereka saling percaya dan aman karena sudah lama berhubungan (Kawangung, 2012). Selain itu kebanyakan WPS yang enggan menggunakan kondom mempunyai alasan yang berhubungan dengan keuangan. Dimana mereka takut jika menuntut para pelanggan menggunakan kondom akan membuat mereka mencari WPS yang lain sehingga akan mengurangi pemasukan dalam hal finansial. Penelitian lain yang dilakukan Jie et al (2012) mengatakan tentang hambatan penggunaan kondom di China dimana asumsi pribadi dan perasaan terhadap pasangan tetap dan insentif keuangan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi hambatan penggunaan kondom oleh pekerja seks. Mengingat bahwa tidak ada obat atau intervensi lain dalam pencegahan IMS, maka penggunaan kondom secara konsisten dalam berhubungan seksual merupakan cara pencegahan penularan IMS yang paling efektif selain dengan cara abstain seks. Tingginya angka kejadian IMS dikarenakan pengunjung yang tidak memakai kondom dan kesediaan WPS dalam melayani tamu meskipun tamu tersebut tidak memakai kondom. F. Pengaruh penggunaan kondom baru terhadap kejadian IMS Rata-rata jumlah penggunaan kondom baru yang memiliki hasil tes IMS 1 positif adalah 19.84±6.08 dan hasil tes IMS 1 negatif adalah 20.97±3.99. Rata-rata penggunaan kondom baru yang memiliki hasil tes IMS 2 positif adalah 20.20±5.95 dan tes IMS 2 negatif adalah 20.89±4.02. Untuk rata-rata penggunaan kondom baru oleh responden yang memiliki hasil tes IMS berulang adalah 20.33±6.49 dan hasil tes IMS tidak berulang adalah 20.81±4.04. Hasil data dikotomi didapatkan sebagian besar responden mempunyai rasio jumlah kondom 50% dengan sebagian dari WPS mempunyai hasil tes IMS 2 negatif yaitu 63 (87.5%) dengan hasil uji statistik dengan menggunkaan uji t didapatkan nilai P 0.708 yang berarti tidak ada pengaruh penggunaan kondom baru terhadap kejadian IMS berulang.

98 Penggunaan kondom baru oleh responden memberikan hasil IMS yang positif maupun negatif seimbang. Dimana semua responden hampir seluruhnya sudah menggunakan kondom baru dalam setiap transaksi seksual. Hal tersebut sudah sesuai dengan penggunaan kondom pada daftar tilik kondom dimana dijelaskan bahwa harus selalu menggunakan kondom baru dalam setiap melayani pelanggam. Masih adanya WPS yang memiliki hasil positif walaupun sudah menggunakan kondom baru karena disebabkan banyak hal. Diantaranya WPS yang sudah menggunakan kondom tetapi mereka tidak rutin dan konsisten dalam menggunakan kondom. Penggunaan kondom disesuaikan dengan permintaan pelanggan. Banyak WPS yang selalu membawa kondom didalam tas mereka, tetapi kondom tersebut tidak terpakai. Padahal kondom selalu dibagi secara rutin oleh pengurus masingmasing dan apabila para WPS sudah kehabisan kondom lebih awal dipersilahkan segera minta ke pengurus. Tetapi hal tersebut tetap tidak membuat penggunaan kondom maksimal. Penyebab utamanya adalah pelanggan. G. Pengaruh umur terhadap kejadian IMS Rata-rata umur responden yang memiliki hasil IMS 1 positif adalah umur 47 tahun sedangkan yang memiliki hasil tes IMS 1 negatif rata-rata berumur 38 tahun. Rata-rata umur WPS yang memiliki hasil IMS 2 positif berumur 45 tahun dan yang memiliki hasil tes IMS 2 negatif berumur 38 tahun. Rata-rata umur yang dimiliki oleh WPS yang memiliki hasil tes IMS berulang adalah berumur 46-47 tahun sedangkan untuk rata-rata umur WPS yang memiliki hasil tes IMS tidak berulang adalah 36-37 tahun dengan uji hasil uji statistik menggunakan uji t didapatkan nilai P adalah < 0.001 yang berarti < 0.05 sehingga ada pengaruh antara umur dengan kejadian IMS berulang. Semakin banyak umur WPS akan semakin meningkatkan kejadian IMS. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Mahaputra et al (2013) yang menyatakan sekitar 51% dari WPS telah terlibat didalam praktik seksual

99 beresiko. Dan kemungkinan terlibat dalam seks beresiko yang lebih tinggi terjadi pada WPS yang memiliki umur > 35 tahun. WPS yang memiliki umur lebih banyak kemungkinan besar sudah bekerja dalam waktu yang lama sehingga sudah memiliki jumlah mitra yang banyak yang menyebabkan mereka sangat rentan untuk terkena IMS. hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Mahaputra et al (2013) yang menyatakan WPS yang memiliki umur lebih tua, sudah menikah, menjadi WPS dalam jangka waktu yang lama, melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual 3x/ lebih per hari mempunyai perilaku seksual yang beresiko. Tes IMS pada dua tempat penelitian yang memiliki hasil positif kebanyakan terjadi pada WPS yang berumur lebih tua, memiliki jumlah mitra seksual yang banyak dan memiliki penghasilan yang rendah dalam setiap transaksi seksual. Tetapi penelitian diatas tidak sesuai dengan penelitian dari Widyastuti dkk (2012) yang mengatakan umur pada kaum muda yang sudah aktif dalam perilaku seksual secara dini akan lebih besar kemungkinannya untuk terkena IMS karena wanita muda memiliki tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga lebih mudah terinfeksi. Penelitian ini didukung oleh penelitian Susan et al (2014) yang mengatakan wanita yang sudah lama bekerja menjadi WPS memiliki kemampuan untuk menegosiasikan seks lebih aman kepada pasangan seksualnya sehingga lebih konsisten dalam penggunaan kondom dibandingkan dengan WPS baru yang menyebabkan bresiko rendah trekena IMS. H. Pengaruh jumlah pelanggan seksual terhadap kejadian IMS Jumlah rata-rata pelanggan WPS tiap bulan yang memiliki hasil tes IMS 1 positif adalah 94 pelanggan dan yang memiliki hasil tes IMS 1 negatif adalah 55 pelanggan. Rata-rata jumlah pelanggan yang dilayani oleh WPS yang menyebabkan hasil tes IMS 2 positif sebanyak 93 tiap bulan dan yang memiliki hasil tes IMS 2 negatif yaitu dengan jumlah pelanggan rata-rata 55 pelanggan. WPS yang memiliki hasil tes IMS berulang rata-rata memiliki jumlah pelanggan dalam satu bulan sejumlah 99-100 pelanggan atau rata-rata tiga sampai empat pelanggan per hari dan WPS yang hasil tes IMSnya tidak

100 berulang memiliki jumlah rata-rata pelanggan sebanyak 55-56 pelanggan per bulan atau sekitar satu sampai dua pelanggan per hari dengan hasil uji statistik didapatkan nilai P < 0.001 yang berarti < 0.05 sehingga ada pengaruh yang signifikan antara jumlah pelanggan terhadap kejadian IMS dimana semakin banyak jumlah pelanggan akan meningkatkan kejadian IMS. Faktor penyebab IMS terdiri dari faktor agent, host (individu) dan environment (lingkungan). Faktor Agent dapat berupa virus, parasit, bakteri, dan protozoa. Sedangkan faktor host (individu) salah satunya adalah jumlah mitra seksual. Jumlah mitra seksual dijelaskan bahwa seseorang yang menjadi WPS dalam jangka waktu lama akan melakukan hubungan seksual dengan mitra tiga kali atau lebih per hari yang mempunyai perilaku seksual beresiko IMS. Mahaputra et al (2013). Responden pada penelitian ini yang memiliki mitra seksual banyak dalam tiap harinya seharusnya adalah WPS yang masih muda. Tetapi para WPS yang masih muda biasanya membatasi sendiri jumlah pelanggannya. Banyak dari WPS yang jika sudah mendapatkan uang yang dirasa cukup, maka mereka memilih untuk tidak mau melayani lagi dan menghentikan transaksi seksual mereka pada hari itu. Kadang setelah pukul 22.00 mereka WPS muda sudah enggan menerima tamu. Berbeda dengan WPS tua yang rela menunggu tamu mereka bahkan sampai dini hari. Karena mayoritas dari pelanggan lebih memilih WPS yang masih muda. Kecuali jika para pelanggan tidak menemukan dengan alasan para WPS muda sudah tidak ada sehingga secara tidak sengaja akan mau dilayani oleh WPS yang sudah berumur diatas 40 tahun. Sebagian besar WPS yang masih muda hampir 90% mempunyai pacar dan pacar mereka yang menyuruh para wanita ini bekerja menjadi WPS sehingga uang yang didapatkan akan dinikmati berdua untuk bersenangsenang. Hal tersebut menyebabkan para WPS memiliki pasangan yang non komersial yaitu pacar atau pasangan hidup bahkan suami dimana mereka tidak menggunakan kondom dalam melakukan hubungan seks karena sudah dianggap seperti pasangan hidup. Hal tersebut menyebabkan WPS mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena IMS.

101 Hasil diatas sesuai dengan penelitian Mahaputra et al (2013) di India menunjukkan bahwa penggunaan kondom konsisten cukup tinggi dengan mitra yang komersil dan tetap rendah pada yang non komersil dimana ini biasanya dilakukan oleh para WPS bersama pacar, suami atau pasangan hidup mereka. Rendahnya penggunaan kondom dalam hubungan non komersial dapat disebabkan oleh keintiman dan kepercayaan yang terlibat dalam hubungan semacam itu. Lebih lanjut, proporsi pada WPS yang terlibat hubungan secara bersamaan antara komersil dan non komersil dan ditambah penggunaan kondom yang tidak konsisten khususnya pada pasangan non komersil dapat menyebabkan transmisi infeksi IMS/ HIV lebih cepat. Sebagian besar WPS ynag mempunyai hasil tes IMS positif terjadi pada WPS yang sudah berumur. Dimana mereka tidak memilih pelanggan karena desakan ekonomi. Selain itu WPS yang sudah berumur khususnya yang berada di Gunung Bolo bisa mendapatkan pelanggan mencapai 5 orang per hari dengan tarif seksual yang cukup murah. Hal tersebut menyebabkan para WPS tersebut lebih rentan untuk terkena IMS. Hal tersebut didukung dari penelitian dari Graham et al (2014) yang menjelaskan bahwa WPS yang sudah bekerja lama akan mempunyai mitra seksual yang lebih banyak sehingga akan lebih memungkinkan melakukan seks beresiko seperti anal seks. I. Pengaruh pengetahuan terhadap kejadian IMS Pengetahuan WPS tentang utilisasi kondom didapatkan bahwa semua responden memiliki pengetahuan yang baik yaitu 90 (100) dengan skor > 11. Pengetahuan merupakan bagian dari behavioral yang diperlukan untuk mempengaruhi perilaku. Dimana dalam hal ini adalah perilaku utilisasi kondom. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Pengetahuan dan ketrampilan individu bisa didapat melalui peniruan dan observasi (Bandura, 1971).

102 Semua responden mempunyai pengetahuan yang baik tentang utilisasi kondom tetapi masih ada WPS yang mempunyai hasil IMS yang positif. Pengetahuan tentang utilisasi kondom didapatkan dengan WPS mengisi lembar kuesioner yang berhubungan dengan utilisasi kondom. WPS mengaku bahwa mereka sudah tidak asing dengan kondom maupun IMS. Banyak dari mereka sudah terlalu sering mendapatkan informasi maupun penyuluhan tentang kondom maupun IMS. Bahkan untuk kondom sendiri sudah mendapatkan pembagian kondom gratis dari para pengurus. Tetapi para WPS mengaku tidak bisa berbuat banyak karena meeka bekerja seperti ini demi mendapatkan tambahan penghasilan yang bisa digunakan untuk keperluan hidup. Jika mereka menuntut untuk selalu menggunakan kondom maka mereka takut akan kehilangan para pelanggan mereka yang mayoritas tidak menghendaki dalam penggunaan kondom karena merasa tidak nyaman. Penelitian lain juga sependapat dengan hal diatas dimana pengetahuan WPS tentang kondom sebagian besar cukup baik. Dari hasil analisis diketahui tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang IMS dengan konsistensi pemakaian kondom. Hasil penelitian yang sama dikemukakan oleh Lokollo (2009) yang melaporkan bahwa sebagian besar WPS mengetahui manfaat menggunakan kondom saat berhubungan seksual, tetapi hanya sekitar 50% yang menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Hal ini terjadi karena adanya alasan klasik pelanggan keberatan akibat merasa tidak nyaman. J. Pengaruh keterampilan penggunaan kondom terhadap kejadian IMS Mayoritas responden memiliki keterampilan yang baik dengan hasil tes IMS 1 yang sebagian besar adalah negatif yaitu 50 (86.2%) dan IMS 2 juga sebagian besar negatif yaitu 49 (84.5%) dan hampir seluruhnya tidak berulang yaitu 51 (87.9%) dengan hasil uji statistik dengan menggunakan Pearson Chi Square didapatkan nilai P pada IMS 1 dan 2 adalah signifikan < 0.05 sehingga ada pengaruh signifikan keterampilan penggunaan kondom terhadap kejadian IMS 1 dan 2 sedangkan pada IMS berulang nilai p adalah

103 0.115 yang berarti > 0.05 sehingga tidak ada hubungan antara keterampilan penggunaan kondom terhadap kejadian IMS berulang. Keterampilan merupakan bagian dari behavioral yang diperlukan untuk mempengaruhi perilaku. Dimana dalam hal ini adalah perilaku utilisasi kondom. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Pengetahuan dan keterampilan individu bisa didapat melalui peniruan dan observasi (Bandura, 1971). Semakin baik ketrampilan WPS dalam penggunaan kondom akan menurunkan kejadian IMS. keterampilan WPS sendiri didapat dengan menggunakan daftar tilik penggunaan kondom yang ditanyakan langsung kepada WPS. Mereka mengaku sudah lama maengetahui tentang kondom. Tetapi beberapa dari mereka banyak yang lupa tentang penggunaan kondom yang baik dan benar. Sebagian besar mereka lupa untuk mengecek tanggal kadaluwarsa kondom sehingga ada beberapa dari responden yang pernah menjumpai kondom yang digunakan robek. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan kondom yang sudah kadaluwarsa mudah robek. Jika kondom robek maka cairan dari alat kelamin dan lesi kulit yang terinfeksi dapat kontak dengan alat kelamin pasangannya dan menularkan IMS sehingga kondom menjadi tidak efektif Widyastuti dkk (2012). Kondom yang kadaluwarsa atau bahkan sampai sobek akan menghambat penggunaan kondom secara konsisten. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian bahwa sebagian faktor-faktor pada level individual (pengetahuan, motivasi dan kesiapan menggunakan kondom, niat, keputusan menggunakan kondom, keterampilan dan self-efficacy) dalam situasi yang memadai menjadi faktor penggunaan kondom secara konsisten (Aditya, 2012). Walaupun pada IMS 1 dan 2 keterampilan kondom sangat berpengaruh, tetapi hal tersebut tidak berlaku pada IMS berulang yang pengaruhnya tidak signifikan untuk terjadinya IMS. Walaupun seperti itu, ada hasil penelitian yang sependapat yaitu Febiyantin dkk (2014) yang

104 menjelaskan usia, jumlah pelanggan, pengetahuan dan lama kerja berhubungan dengan kejadian IMS. Sedangkan tingkat pendidikan, sikap, pencegahan, praktik penggunaan kondom dan pemeriksaan kesehatan tidak berpengaruh terhadap IMS. K. Pengaruh penggunaan alkohol terhadap kejadian IMS Pada penggunaan alkohol dimana rata-rata jumlah responden yang melakukan hubungan seks dengan konsumsi alkohol yang memiliki hasil tes IMS 1 positif adalah 0.74±1.37 dan tes IMS 1 negatif 3.96±3.74, hasil IMS 2 positif adalah 1.85±3.08 dan tes IMS negatif adalah 3.69±3.68 serta IMS berulang 0.87±1.51 dan tidak berulang adalah 3.76±3.73 dan rata-rata yang tidak mengkonsumsi alkohol saat hubungan seksual dengan hasil IMS 1 positif adalah 23.05±2.51, IMS 1 negatif adalah 20.89±4.04, IMS 2 positif adalah 22.30±3.25 dan hasil tes IMS 2 negatif adalah 21.07±3.99. serta ratarata jumlah responden yang tidak mengkonsumsi alkohol yang memiliki hasil tes IMS berulang adalah 23.40±2.69 dan hasil tes IMS tidak berulang adalah 20.93±3.94 dengan hasil uji statistik dengan menggunkaan uji t didapatkan nilai P 0.004 dan 0.023 yang berarti < 0.05 sehingga ada pengaruh signifikan penggunaan alkohol terhadap kejadian IMS 1, 2 dan berulang. Penggunaan alkohol dapat berpengaruh terhadap kesehatan seksual karena orang yang biasa minum alkohol menjadi kurang selektif dalam memilih pasangan sehingga akan sulit memkai kondom dengan benar dan sulit meminta pasangannya menggunakan kondom. Semakin banyak menggunakan kondom akan menurunkan IMS. Hal tersebut disebabkan karena mayoritas WPS yang mengkonsumsi alkohol adalah yang berada di Eks Lokalisasi Ngujang yang mana pada setiap wisma disediaka alkohol oleh para mucikari atau germo untuk para pelanggan yang datang. Berbeda dengan WPS yang berada di Gunung Bolo tidak disediakan alkohol karena tempat transaksi seksual mereka di area makam selain itu waktu transaksi seksual juga cukup singkat sehingga jumlah mitra seksual yang didapatkan lebih banyak dari pada yang berada di eks lokalisasi tetapi memiliki pendapatan lebih rendah karena tarif seksualnya berkisar Rp

105 15.000-35.000. Penggunaan alkohol sendiri pada WPS tergantung dengan jenis klien yang melakukan transaksi seksualdengannya. WPS tidak akan menggunakan alkohol apabila pelanggan mereka tidak mengajak untuk meminumnya. Kadang ada pelanggan yang mengkonsumsi alkohol tetapi WPS tetap mempertahankan diri untuk tidak ikut alkohol. Hasil diatas sesuai dengan studi dari Mahaputra et al (2013) menemukan bahwa lebih dari setengah dari pekerja seks dikonsumsi alkohol sebelum seks, yang mirip dengan temuan dari studi India lain. Penelitian empiris telah berpendapat bahwa penggunaan alkohol tergantung pada jenis klien dengan siapa WPS berhubungan seks. WPS dikonsumsi alkohol untuk meningkatkan kenikmatan dan keterlibatan saat berhubungan seks, sedangkan dengan satu kali klien yang dikonsumsi alkohol membuat para WPS menjadi sensitif untuk menerima pelanggan. Temuan penelitian lain juga menunjukkan bahwa WPS yang berada dilokalisasi atau eks lokalisasi akan mendapatkan pelanggan dari mucikari yang lebih mungkin untuk mengkonsumsi alkohol. Ini bisa jadi karena fakta bahwa alkohol tersedia dalam rumah-rumah pelacuran dan di tempat-tempat terdekat, dan pelanggan membawa alkohol ketika datang mengunjungi WPS. Menurut penelitian dari Vandenhoudt et al (2013), 48% dari WPS melaporkan bahwa mereka sudah mabuk selama seks dengan klien terakhir mereka dan wanita-wanita ini yang kurang cenderung menggunakan kondom. Penyalahgunaan alkohol merupakan halangan penting untuk penggunaan kondom konsisten dan juga untuk seni kepatuhan. Oleh karena itu sangat penting bahwa intervensi penargetan WPS dalam memberikan konseling tentang hubungan seks dengan alkohol dan setelah hubungan seks serta kecanduan alkohol pada para WPS. L. Pengaruh konsumsi obat-obatan NAPZA terhadap kejadian IMS Berdasarkan hasil konsumsi obat-obatan NAPZA didapatkan rata-rata responden yang mengkonsumsi obat-obatan NAPZA yang memiliki hasil IMS negatif adalah 0.06±0.23 dan tidak ada yang memiliki hasil tes IMS

106 positif. Sedangkan rata-rata jumlah responden yang tidak mengkonsumsi obat-obatan NAPZA saat melakukan transaksi seksual yang memiliki hasil tes IMS 1 positif adalah 23.68±2.52 dan negatif adalah 24.94±2.37. Berdasarkan hasil konsumsi obat-obatan NAPZA didapatkan rata-rata responden yang mengkonsumsi obat-obatan NAPZA dengan hasil IMS negatif adalah 0.06±0.23 dan tidak ada yang memiliki hasil tes IMS positif serta rata-rata responden yang tidak mengkonsumsi obat-obatan NAPZA yang memiliki hasil tes IMS 2 positif adalah 24.20±2.61 dan IMS 2 negatif adalah 24.81±2.40. tidak terdapat responden yang memiliki hasil IMS berulang dan rata-rata responden yang memiliki hasil IMS tidak berulang adalah 0.05±0.23 dan rata-rata jumlah responden yang tidak mengkonsumsi obat-obatan NAPZA yang memiliki hasil IMS berulang adalah 24.20±2.57 dan hasil IMS tidak berulang adalah 24.77±2.43 dengan hasil uji statistik menggunkaan uji t didapatkan p value 0.410 dan 0.366 yang berarti > 0.05 sehingga tidak ada pengaruh antara konsumsi obat-obatan NAPZA terhadap kejadian IMS berulang. Penggunaan kondom yang tidak konsisten biasanya terjadi WPS yang mengkonsumsi obat-obatan. Penyalahgunaan obat prinsipnya hampir sama dengn penggunaan alkohol. Orang yang berhubungan seksual dibawah pengaruh obat lebih besar kemungkinannya melakukan perilaku seksual beresiko. Pemakaian obat terlarang juga memudahkan orang lain memaksa seseorang melakukan perilaku seksual. Selain itu, penggunaan obat dengan jarum suntik diasosiasikan dengan peningkatan resiko penularan penyakit lewat darah, seperti hepatitis dan HIV, yang juga bisa ditransmisikan lewat seks (Widyastuti dkk., 2012; Mahaputra et al., 2013). Hampir seluruh responden tidak mengkonsumsi obat-obatan NAPZA. Data ini didapat dari hasil observasi langsung dengan lembar diary yang dilaksanakan setiap hari. Tetapi untuk konsumsi obat-obatan NAPZA didapatkan jika banyak WPS yang tidak mengetahui tentang hal tersebut. Walaupun ada beberapa dari mereka yang mengetahui. Kadang penggunaan obat NAPZA ini identik dengan obat tidur atau obat IMS. Sehingga banyak dari WPS yang tidak menggunakannya.

107 Penelitian dari Strathdee et al (2011) menjelaskan setengah dari WPS melaporkan jika mereka pernah terdaftar dalam program perawatan obat. Dalam hal lingkungan sosial WPS yang memiliki hubungan yang signifikan adalah pada WPS dengan HIV pos.itif lebih mungkin untuk melaporkan sering atau selalu menyuntikkan obat dengan mitra seksual. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian dari Handayani R (2012) didapatkan perilaku seksual pengguna obat NAPZA dalam satu bulan terakhir mempunyai kecenderungan beresiko tinggi terhadap penularan IMS/HIV- AIDS yang berdasarkan data hubungan seksual dengan pekerja seks komersial 90.7%, pasangan kasual 74.4% dan pasangan tetap 34,9%, hal ini juga mencerminkan mereka mempunyai pasangan seksual lebih dari satu orang sehingga kemungkinan penularan penyakit seksual semakin tinggi. M. Pengaruh jenis pembayaran pada transaksi seksual terhadap kejadian IMS Pada jenis pembayaran transaksi seksual didapatkan semua responden melakukan cash transaction dengan rata-rata hasil tes IMS 1 yang positif adalah 23.68±2.52 dan IMS 1 negatif adalah 24.97±2.44. IMS 2 yang positif adalah 24.10±2.77 dan IMS 2 negatif adalah 24.87±2.41. Didapatkan semua responden melakukan cash transaction dengan rata-rata hasil tes IMS berulang adalah 24.20±2.57 dan IMS tidak berulang adalah 24.80±2.49 dengan hasil uji statistik menggunkaan uji t didapatkan p value 0.399 yang berarti > 0.05 sehingga tidak ada pengaruh jenis pembayaran transaksi seksual terhadap kejadian IMS berulang. Walaupun begitu, jenis transaksi seksual ini sangat erat hubungannya dengan penggunaan kondom yang konsisten. Karena jika ada pelanggan yang melakukan transaksi selain cash tidak akan dilaporkan kepada pengurus karena mereka beranggapan hal itu merupakan urusan mereka dengan para pelanggan masing-masing. Hal tersebut sesuai dengan penelitian menurut Graham et al (2014) didapatkan faktor-faktor kerja sama yang dikaitkan dengan penggunaan kondom konsisten (yaitu, tempat klub malam,

108 pembayaran tunai untuk seks) juga dikaitkan dengan beberapa mitra seks. Wanita yang dikenakan biaya terendah untuk seks cenderung kurang melaporkan mitra yang dilayani dalam seminggu bekerja yang mungkin mencerminkan tekanan ekonomi yang lebih besar pada kelompok ini. Semua responden memiliki jenis transaksi seks secara cash. Dimana walaupun sudah menggunakan cash tetapi masih ada responden yang mempunyai hasil IMS positif. Banyak dari responden yang mengaku jika jenis transaksi tidak mempengaruhi pendapatan maupun penggunaan kondom yang mereka lakukan. Masih adanya hasil IMS yang positif karena sebagian responden masih belum menggunakan kondom secara benar, rutin dan konsisten. Selain itu para WPS lebih mementingkan pendapatan mereka dari pada harus menggunakan kondom dan kehilangan pelanggan. penelitian lain dari Graham et al (2014) menjelaskan WPS yang melaporkan mempunyai mitra seksual dua atau lebih didapatkan pada WPS yang bekerja di klub malam atau tempat lain dengan jenis transaksi adalah cash transaaction. N. Pengaruh pemberian informasi kepada mitra seksual terhadap kejadian IMS Rata-rata jumlah responden yang memberikan informasi kepada mitra seksual dengan hasil tes IMS 1 positif adalah 0.05±0.229 dan hasil tes IMS 1 negatif adalah 0.01 ± 0.12. sedangkan hasil tes IMS 2 positif adalah 0.05±0.224 dan hasil tes IMS 2 negatif adalah 0.01±0.12 dan rata-rata jumlah responden yang memberikan informasi kepada mitra seksual dengan hasil tes IMS berulang adalah 0.07±0.26 dan hasil tes IMS tidak berulang adalah 0.01±0.12. Rata-rata jumlah responden yang tidak memberikan informasi mempunyai hasil tes IMS 1 positif adalah 23.68±2.47 dan IMS 1 negatif adalah 24.97±2.50, IMS 2 positif adalah 24.05±2.78 dan hasil tes IMS 2 negatif adalah 24.89±2.45. serta IMS berulang adalah 24.13±2.59 dan IMS tidak berulang adalah 24.81±2.52 dengan uji statistik menggunkaan uji t didapatkan p value 0.205 dan 0.345 yang berarti > 0.05 sehingga tidak ada pengaruh pemberian informasi kepada mitra seksual terhadap kejadian IMS berulang.

109 Perubahan perilaku penggunaan kondom akan meningkat dengan konsekuensi para WPS harus memberikan konseling terlebih dahulu pada pasangannya Susan et al (2014). Wanita yang telah diuji untuk HIV dilaporkan lebih tinggi penggunaan kondom. Hal ini menunjukkan bahwa konseling, termasuk konseling HIV terinfeksi wanita, mungkin memiliki dampak positif pada penggunaan kondom. Semua responden tidak memberikan konseling kepada pelanggan mereka dengan alasan waktu yang singkat dalam melakukan transaksi seksual. Terutama pada WPS yang berada di Gunung Bolo yang tidak mungkin bisa memberikan informasi tentang kondom kepada pelanggan mereka. Untuk WPS di Eks Lokalisasi Ngujag masih bisa memberikan informasi tetapi untuk konseling belum pernah dilakukan karena keterbatasan waktu. WPS yang berani memberikan informasi adalah mereka yang memang sudah bekerja menjadi WPS yang lama. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Graham et al (2014) yang menyatakan WPS yang sudah lama bekerja akan meningkatkan perilaku penggunaan kondom karena mampu menegosiasikan seks yang aman kepada pasangan seksualnya sehingga dapat mengurangi resiko IMS. hal tersebut sependapat dengan penelitian dari Mayanja et al (2016) juga sependapat bahwa WPS melaporkan bahwa mereka tidak berdaya dalam hal tawar menawar untuk mempertahankan penggunaan kondom yang biasanya tergantung pada keinginan klien, harga yang ditawarkan dan ketenangan wanita. Beberapa WPS mengaku ada yang mengancam pelanggan untuk tidak mau bertransaksi seksual apabila tidak menggunakan kondom. Tetapi hal tersebut sangat jarang dilakukan oleh para WPS karena takut membuat pelanggan tersinggung dan tidak memilihnya. Hal itu sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Shannon et al (2009), menunjukkan 205 perempuan yang melaporkan transaksi seksual dengan klien, 25% melaporkan pernah ditekan oleh klien untuk tidak menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual dalam 6 bulan terakhir. Dalam konteks ini, keterampilan negosiasi penggunaan kondom sangat penting. Strategi promosi kondom harus diarahkan pada masyarakat dan pekerja seks untuk mengatasi 'hambatan ekonomi dalam