BAB I PENDAHULUAN. dipergunakan/dimanfaatkan; serta (3) Siswa memiliki kesulitan untuk memahami

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. terpenting dalam suatu perkembangan bangsa. Oleh karena itu, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat membantu suatu negara dalam mencetak SDM (Sumber

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai

BAB I PENDAHULUAN. yang cacat, termasuk mereka dengan kecacatan yang berat di kelas pendidikan umum,

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan adanya globalisasi yang berpengaruh pada bidang-bidang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang ada di dalamnya tentu perlu membekali diri agar benar-benar siap

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar suatu bangsa, sehingga pendidikan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dan berkualitas agar mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. penting dan sangat strategis. Sumber manusia yang berkualitas merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi (Kemendiknas, 2010). Pendidikan yang disediakan

Studi Deskriptif School Engagement Siswa Kelas X, XI Dan XII IPS SMA Mutiara 2 Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana yang menjadi jembatan penghubung peradaban bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peran penting dalam pembangunan nasional. Melalui pendidikan yang baik, akan lahir manusia Indonesia yang mampu

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan dari proses pembelajaran di sekolah tersebut. Pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. manusia, karena tujuan pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

School Engagement pada Siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan

BAB I PENDAHULUAN. wajib mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan dasar ditempuh selama

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Saat ini pendidikan adalah penting bagi semua orang baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha mewujudkan suasana belajar bagi peserta

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan positif di berbagai bidang kehidupan baik dalam bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membantu individu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

kemampuan yang dimiliki oleh siswa semakin meningkat. Peningkatan tersebut Upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan kegiatan pendidikan

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan berbagai pihak yang terkait secara bersama-sama dan bersinergi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar yang dibutuhkan mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. yang membatasi antar negara terasa hilang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan untuk menghafal, dan bukan untuk berpikir secara kreatif, seperti

BAB I PENDAHULUAN. rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan belajar yang menjadi acuan

BAB I PENDAHULUAN. macam tantangan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang terus berkembang pesat, sehingga dibutuhkan individu-individu

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. hal yang tidak dipahami kemudian dilihat, diamati hingga membuat seseorang

BAB I PENDAHULUAN. manusia dan masyarakat Indonesia yang maju, modern, dan sejajar dengan

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

BAB I PENDAHULUAN. belajar diantaranya motivasi belajar dan tingkat kemampuan awal siswa.

BAB I PENDAHULUAN. mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Hal ini senada dengan S. C. Sri Utami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu kompleks perbuatan yang sistematis untuk

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peran yang amat menentukan bagi perkembangan dan

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. Pembahasan pada Bab II ini terdiri dari tinjauan pustaka, hasil penelitian yang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan formal dapat ditempuh mulai dari tingkat terendah yaitu pre-school/

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan tinggi adalah salah satu lembaga pendidikan, idealnya harus mampu

PSIKOLOGI PENDIDIKAN 1

BAB I PENDAHULUAN. SD merupakan titik berat dari pembangunan masa kini dan masa mendatang.

I.PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sesuatu yang mutlak harus dipenuhi sebagai pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. dunia kerja nantinya. Perguruan Tinggi adalah salah satu jenjang pendidikan setelah

PENERAPAN METODE OUTDOOR STUDY UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS IV SD NEGERI 01 TAJI TAHUN AJARAN 2014/2015

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan bangsa Indonesia untuk menciptakan manusia yang berilmu, cerdas dan terampil di lingkungan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab terhadap pembentukan sumber daya manusia yang unggul. Dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH. kerja, mendorong perguruan tinggi untuk membekali lulusannya dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. studi di Perguruan Tinggi. Seorang siswa tidak dapat melanjutkan ke perguruan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dapat ditingkatkan, baik di kalangan nasional maupun. agar mutu kehidupan masyarakat dapat meningkat. Melalui pendidikan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assisted Individualization) siswa dengan kelompok heterogen. Sedangkan, Sunal dan Hans

dengan skor 613. Berdasarkan nilai rata-rata untuk mata pelajaran Matematika, provinsi terbaik adalah DKI Jakarta dengan rata-rata 71,19.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR BIOLOGI DAN KEAKTIFAN SISWA DENGAN MENGGUNAKAN METODE DISKUSI TIPE BUZZ GROUP

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. rakyatnya, kualitas sumber daya manusia memegang peran yang cukup penting,

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan pondasi utama dalam mengelola, mencetak dan. daya manusia yang handal dan berwawasan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mandiri, disiplin dalam mengatur waktu, dan melaksanakan kegiatan belajar yang

BAB I PENDAHULUAN. Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN. sekedar persaingan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) saja, tetapi juga produk dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. potensi intelektual dan sikap yang dimilikinya, sehingga tujuan utama

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab I PENDAHULUAN. belajar selama 12 tahun dimanapun mereka berada, baik di desa maupun di kota

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berperan sebagai pendengar saja, ketika guru menerangkan mereka justru

Tujuan pendidikan nasional seperti disebutkan dalam Undang-Undang. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal (3)

BAB I PENDAHULUAN. Bagi masyarakat modern saat ini memperoleh pendidikan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kondisi obyektif pembelajaran di sekolah saat ini menunjukkan permasalahan antara lain: (1) Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi pelajaran yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya tidak memahaminya; (2) Sebagian besar dari siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan/dimanfaatkan; serta (3) Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa diajarkan yaitu dengan menggunakan sesuatu yang abstrak dengan metoda ceramah (Kemendiknas, 2009). Kondisi tersebut menunjukkan permasalahan, yaitu siswa di Indonesia terbiasa belajar di permukaan sehingga kesulitan menangkap konsep dari materi ajar untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan surface learning seperti menekankan pada hafalan, berdampak pada kurangnya pemahaman dan kesulitan dalam menyampaikan argumentasi. Anak mengalami kesulitan dalam mengeluarkan ide-ide dan pemikirannya. Ukuran keberhasilan siswa dalam belajar ditentukan dari kemampuan siswa menuliskan jawaban atau memilih pilihan jawaban secara objektif dari masalah yang dihadapkan pada siswa. Akibatnya, lulusan sekolah hanya kaya dengan teori, sementara pasar kerja menghendaki sumber daya yang mampu melahirkan sesuatu sebagai bagian dari penguasaan pendidikan. Siswa diharapkan dapat memahami 1

2 elemen dari konsep serta menggabungkannya dengan konsep lain yang berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat secara aplikatif dimana mereka akan hidup dan bekerja. Nana Sudjana (1998) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditentukan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuannya, pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya, keterampilannya, kecakapan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya menerimanya dan aspek lainnya yang ada pada individu. Belajar yang efektif dapat dilakukan dengan bermacam cara, bukan hanya mendengarkan namun juga mencatat, membuat mind-mapping, observasi, wawancara, mengalami, bereksperimentasi dan survey ke lapangan untuk menghubungkan informasi dengan dunia nyata. Menurut Wills (2008) semakin banyak bagian otak yang menyimpan data, otak semakin terinterkoneksi dan siswa lebih berpeluang untuk menyerap apa yang dipelajari. Selain itu, mengajarkan orang lain dan mengetahui gaya belajar yang tepat dapat memaksimalkan hasil belajar. Kegiatan belajar yang benar-benar efektif belum banyak diaplikasikan, khususnya di sekolah. Illeris (2003) menegaskan bahwa dalam mencapai hasil belajar yang optimal peran kemahiran dalam dimensi kognitif dan dimensi emosi individu dalam berinteraksi dengan lingkungan belajar di sekolah sangatlah penting. Keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar ini disebut sebagai school engagement.

3 Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada kepala sekolah SMP Y, lembaga yang didirikan ini berawal dari kegelisahan orangtua karena merasa adanya ketidakberesan pendidikan di Indonesia. Para orangtua melihat langsung bagaimana anak-anaknya tidak bisa mengikuti pelajaran. Anak-anak merasa hafalan di sekolah terlalu berat sehingga mereka stress dan mogok sekolah. Anakanak juga bosan dan tidak nyaman dalam belajar karena materi terlalu berfokus pada teori dan tidak diberikan contoh konkrit. Hal ini berdampak pada emotional & behavioral engagement siswa. Materi yang lebih banyak disampaikan satu arah juga membuat siswa kurang terlibat yang berdampak pada cognitive engagement.. Seharusnya metoda belajar dapat mengembangkan potensi anak baik dari segi akademik, emosional maupun sosial sehingga anak memiliki motivasi untuk belajar dan mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik. Kepala Sekolah SMP Y berharap dapat menyelesaikan masalah pada sekolah reguler dengan menyediakan metoda belajar yang membuat siswa lebih engage dalam mengikuti kegiatan akademik maupun non-akademik. Emotional, behavioral, serta cognitive engagement merupakan komponenkomponen dalam school engagement. School engagement adalah seberapa besar usaha siswa melibatkan dirinya di dalam aktivitas akademik dan non-akademik (sosial & ekstrakurikuler) yang meliputi keterlibatan komponen-komponen dari segi behavioral, emotional serta cognitive engagement (Fredricks, 2004). Segi behavioral membahas tentang tingkah laku positif siswa, seperti tidak membolos, datang tepat waktu serta memperhatikan guru ketika mengajar di kelas. Segi emotional membahas tentang reaksi emosi siswa di dalam kelas misalnya siswa

4 menyukai mata pelajaran yang dibahas di kelas, siswa senang diajar oleh gurunya serta merasa nyaman dengan teman sekelasnya. Segi cognitive membahas tentang segi psikologis dalam pembelajaran yaitu sebuah keinginan untuk melebihi harapan dan menyukai tantangan sehingga mampu memusatkan pikirannya untuk berkonsentrasi pada pelajaran. Menurut Wang & Halcombe (2010) siswa yang terlibat dengan sekolahnya akan menunjukkan performa yang lebih baik daripada siswa yang tidak terlibat dengan sekolah. Sebaliknya, siswa yang kurang terlibat dengan sekolah akan cenderung berprestasi buruk dan mengalami masalah perilaku. Metoda belajar dirumuskan sekolah untuk meningkatkan kualitas siswa, diantaranya Metoda Holistic di SMP Y yang dibuat oleh sekolah dan Metoda Reguler di SMP X. Perbedaannya adalah Metoda Holistic di SMP Y : (1) Belajar mengacu pada pemahaman sehingga dalam prosesnya, anak diminta mengevaluasi pelajaran dan makna apa yang telah mereka dapatkan pada akhir kegiatan belajar; (2) Siswa diajak memilih pelajaran saat jam tambahan; (3) Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang; (4) Hasil belajar bukan berasal dari nilai kuantitatif, evaluasi akhir sekolah dilaporkan secara naratif; (5) Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting. Sedangkan metoda di SMP X : (1) Ujian menekankan pada hafalan sehingga dalam prosesnya siswa sering belajar dengan sistem kebut semalam ; (2) Pemilihan materi belajar ditentukan oleh guru; (3) Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu; (4) Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor; (5) Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas.

5 Meski begitu, kedua sekolah memiliki kesamaan yaitu menggunakan Kurikulum Nasional 2006-KTSP yang sedang mengalami peralihan ke kurikulum Nasional 2013. Kurikulum Nasional 2013 dirancang agar semua mata pelajaran berkontribusi pada pembentukan sikap, keterampilan dan pengetahuan. Idealnya, melalui kurikulum 2013 komponen school engagement dapat terpenuhi. Misalnya, untuk komponen behavioral kurikulum berfokus pada psikomotor siswa sehingga dapat aktif dalam pembelajaran. Dalam komponen emotional, kurikulum 2013 berfokus pada afektif, yang berarti siswa dapat tertarik, dan fokus terhadap pembelajaran yang diberikan. Selanjutnya dalam komponen cognitive, kurikulum berfokus pada kognitif, yang berarti siswa dapat memahami pembelajaran sesuai dengan apa yang diberikan. Kedua sekolah mempunyai jam istirahat sebanyak 2 kali dalam sehari, terdapat waktu khusus untuk melaksanakan kegiatan ekstrakulikuler. Kegiatan yang dilaksanakan di kelas adalah belajar mandiri, kerja kelompok, dan keduanya merupakan sekolah formal terakreditasi. SMP Y dan SMP X sama-sama mengharuskan siswanya untuk lebih aktif di kelas terutama dalam kegiatan diskusi dan presentasi. SMP X adalah sekolah negeri yang didirikan tahun 1952. SMP X menerapkan konsep sekolah berbudaya lingkungan hidup. Tempat berjualan tertata bersih dan rapi. Setiap hari jumat mereka mengadakan gerak pungut sampah dan membersihkan area sekitar sekolah. Para murid, staf, hingga guru pun dibiasakan untuk menjaga kebersihan. SMP X meraih banyak penghargaan dari tingkat Kota Bandung hingga nasional. Penghargaan Adi Wiyata tingkat lokal dan

6 nasional diraih sekolah ini. Menurut Jajang dalam Harian Kompas (4/3/2010), konsep sekolah berbudaya lingkungan hidup membuat prestasi para siswa SMP X pun meningkat. Peringkat nilai rata-rata lulusan SMP X naik pesat dari posisi ke-17 pada tahun 2005 menjadi ke-4 pada tahun 2009. Dengan sistem kedisiplinan yang diterapkan serta konsep sekolah berbudaya lingkungan, sekolah ini mengharapkan hasil yang positif bagi siswa didiknya, untuk pengembangan siswa dalam berbagai aspek yaitu behavioral, emotional dan cognitive. Setiap komponen ini merupakan hal penting yang ingin dicapai oleh sekolah, menghasilkan anak didik yang berakhlak, cerdas juga memiliki sikap yang baik. Berdasarkan survey melalui wawancara, dari 5 orang siswa di SMP X : 4 orang belajar dengan sistem kebut semalam, 1 tidak ragu bertanya pada guru bila menghadapi kesulitan dalam mengerjakan soal, 3 orang merasa senang belajar di sekolah, dan 2 orang sering merangkum untuk mengingat pelajaran. Sedangkan di SMP Y : 0 orang belajar dengan sistem kebut semalam, 4 tidak ragu bertanya pada guru bila menghadapi kesulitan dalam mengerjakan soal, 5 orang merasa senang belajar di sekolah, dan 4 orang sering merangkum untuk mengingat pelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak siswa SMP Y yang engage dalam survey awal peneliti bila dibandingkan dengan SMP X. Salah satu indikator dari siswa yang behaviorally engage adalah dia tidak ragu bertanya pada guru. Merangkum dan belajar sistem kebut salam berkaitan dengan cognitive engagement, sedangkan rasa senang berada di sekolah berkaitan dengan emotional engagement.

7 Tema keterlibatan siswa dalam belajar semakin menarik untuk diteliti karena keterlibatan siswa dapat meningkatkan kesadaran untuk belajar, berkorelasi positif dengan achievement, serta berkorelasi negatif terhadap tingkat dropout di sekolah. Siswa yang terlibat dengan sekolahnya membuat performanya lebih baik saat menempuh ujian. Siswa yang terlibat akan berusaha untuk mengerahkan usaha yang melebihi tuntutan yang ditetapkan oleh sekolah, menantang diri dan membuat target belajar yang lebih efektif, bertahan dalam pelajaran-pelajaran yang sulit dan berusaha untuk mencari penyelesaiannya, menikmati proses pembelajaran yang dilakukan, hubungan yang lebih baik antara guru dan siswa juga siswa akan bersikap lebih positif selama bersekolah (Fredricks, Blumenfeld, and Paris 2004; Marks 2000). Metoda pembelajaran apapun yang diadopsi oleh sekolah seharusnya dapat meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran sehingga membuat kegiatan belajar mengajar lebih efektif dan meningkatkan pemahaman siswa pada materi. Siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Mencermati metoda pembelajaran yang berbeda antara SMP Y dan SMP Reguler X di Kota Bandung, peneliti tertarik untuk mengetahui school engagement pada siswa dari kedua sekolah tersebut dengan menggunakan metoda riset diferensial.

8 1.2 Identifikasi Masalah Ingin mengetahui sejauhmana perbedaan derajat school engagement pada siswa di SMP Y dan SMP X di Kota Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Untuk mengetahui school engagement pada siswa di SMP Y dan SMP X di Kota Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perbedaan derajat school engagement antara metoda belajar SMP Y dan SMP X di Kota Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis 1). Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan manfaat bagi ilmu Psikologi Pendidikan mengenai School engagement pada siswa di SMP Y dan SMP X di Kota Bandung. 2). Memberi sumber referensi bagi peneliti selanjutnya mengenai derajat School engagement pada siswa di SMP Y dan SMP X di Kota Bandung. 1.4.2 Kegunaan Praktis A). Memberikan masukan kepada pihak sekolah dan guru mengenai School engagement pada siswa SMP Y dan SMP X Kota Bandung. Informasi ini dapat digunakan untuk membimbing siswa yang memiliki masalah dengan School engagement dalam rangka mencapai studi yang optimal.

9 B). Memberi masukan kepada siswa dengan metoda holistic maupun reguler mengenai School engagement siswa sehingga dapat memahami serta mengoptimalkan keterlibatannya di sekolah. 1.5 Kerangka Pikir Sekolah menengah pertama adalah jenjang pendidikan dasar pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus sekolah dasar (atau sederajat). Sekolah menengah pertama ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas 7 sampai kelas 9. Pelajar sekolah menengah pertama umumnya berusia 13-15 tahun. SMP X adalah sekolah negeri yang didirikan tahun 1952. SMP X menerapkan konsep sekolah berbudaya lingkungan hidup. Siswa dilatih merawat lingkungan dan menjaga kebersihan. Setiap siswanya tidak diperbolehkan untuk keluar dari lingkungan sekolah tanpa izin. Satu mata pelajaran diberikan oleh satu guru. Kedisplinan sekolah ini merupakan hal yang diutamakan. Setiap siswa wajib menaati peraturan yang ada, seperti dilarang membawa handphone ke dalam lingkungan sekolah sehingga setiap siswa tidak memiliki alat komunikasi ke luar. Siswa juga wajib mengikuti semua kegiatan termasuk akademik dan nonakademik, Dengan sistem kedisiplinan yang diterapkan, tentu mengharapkan agar menghasilkan hasil yang positif bagi siswa didiknya, untuk pengembangan siswa dalam berbagai aspek yaitu behavioral, emotional dan cognitive. Setiap komponen ini merupakan hal penting yang ingin dicapai oleh sekolah, menghasilkan anak didik yang berakhlak, cerdas juga memiliki sikap yang baik. Kepala Sekolah SMP Y, membuat sekolah yang diawali dari kekhawatiran pada metoda belajar yang diterapkan kebanyakan SMP Reguler.

10 Menurutnya, metoda tersebut seringkali membuat anak bosan dan menerima pelajaran hanya surface-nya saja. Dampaknya, banyak anak yang malas belajar. Kepala Sekolah SMP Y membuat metoda belajar yang disebut metoda Holistic. Metoda Holistic adalah cara belajar Project Based Learning yang terpadu dan bermakna. Siswa SMP dengan metoda pembelajaran Holistic di SMP Y, belajar dengan tematik dan aktif. Dalam prakteknya, Pembelajaran dengan metoda holistic memungkinkan keterpaduan antar segala bidang keilmuan yang dipelajari di sekolah. Pengajar tiap kelas sebanyak 2 orang. Siswa SMP dengan metoda pembelajaran Holistic di Y :(1) Belajar mengacu pada pemahaman sehingga dalam prosesnya, anak diminta mengevaluasi pelajaran dan makna apa yang telah mereka dapatkan pada akhir kegiatan belajar; (2) Siswa diajak memilih pelajaran saat jam tambahan; (3) Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang; (4) Hasil belajar bukan berasal dari nilai kuantitatif, evaluasi akhir sekolah dilaporkan secara naratif; (5) Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting. Siswa SMP X dengan metoda pembelajaran Reguler: (1) Ujian menekankan pada hafalan sehingga dalam prosesnya siswa sering belajar dengan sistem kebut semalam ; (2) Pemilihan materi tambahan ditentukan oleh guru; (3) Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu; (4) Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor; (5) Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas. SMP Y berusaha mengurangi metoda belajar satu arah yang biasa diterapkan metoda reguler agar siswa lebih engage (terlibat) dalam aktivitas sekolah.

11 Kedua sekolah sama-sama menggunakan Kurikulum 2013 dalam proses adaptasi yang dirancang agar semua mata pelajaran berkontribusi pada pembentukan sikap, keterampilan dan pengetahuan. Idealnya, melalui kurikulum 2013 komponen school engagement dapat terpenuhi. School engagement adalah seberapa besar usaha siswa SMP Y dan SMP Reguler X melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik dan non-akademik (sosial & ekstrakurikuler) yang meliputi keterlibatan komponen-komponen dari segi behavioral, emotional serta cognitive engagement. Komponen pertama yaitu beh avioral engagement, merupakan usaha siswa SMP Y dan SMP Reguler X untuk berperilaku positif, terlibat dalam kegiatan akademik maupun ekstrakurikuler, kontribusi aktif dalam kelas. Siswa yang terlibat secara behavioral akan menunjukkan perilaku seperti tidak bolos, tidak membawa barang yang dilarang ke dalam sekolah, mengikuti setiap pelajaran yang diwajibkan, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang dipilih siswa secara teratur, mengikuti kegiatan belajar dengan baik, seperti fokus pada apa yang diajarkan guru, berkontribusi dalam kelas, aktif bertanya kepada guru dan terlibat dalam aktivitas kelas seperti diskusi. Sedangkan siswa yang kurang engaged secara behavioral, maka akan sering bolos dari sekolah, melakukan pekerjaan dari tugas akademik atau kegiatan non-akademik dengan setengah hati, pasif dan hanya diam saja di dalam kelas tanpa memerhatikan pelajaran. Komponen kedua yaitu emotional engagement, mencakup reaksi siswa terhadap sekolah, guru juga teman-teman. Siswa yang terlibat secara emotional, maka akan menunjukkan sikap tertarik terhadap materi yang diajarkan, menikmati

12 tuntutan akademik, menikmati keberadaannya bersama guru juga teman, antusias dalam apa yang dikerjakan dan merasa bagian dari sekolah, memiliki hubungan sosial yang baik. Sedangkan siswa yang kurang terlibat secara emosi, akan menunjukkan perilaku mudah bosan dalam belajar, kurang bersemangat, tidak antusias dalam belajar, memiliki relasi yang kurang baik dengan orang lain, cemas, takut, sedih terhadap sekolah dan merasa sekolah adalah sebagai beban. Komponen ketiga yaitu cognitive engagement, menekankan pada pembelajaran juga literatur dan instruksi pembelajaran, tujuan pencapaian dan regulasi diri. Siswa yang terlibat secara kognisi, akan cenderung menghadapi masalah atau kegagalan dengan pikiran yang lebih positif, lebih fleksibel dalam mencari pemecahan masalah, meningkatkan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki, menyukai tantangan yang melebihi standar yang telah ditetapkan, berusaha menguasai lebih banyak pelajaran, mencari strategi belajar yang sesuai. apabila siswa yang kurang engaged secara cognitive, maka akan menghindari tugas yang diberikan, lebih mudah menyerah dalam menghadapi masalah, mudah terdistraksi dalam belajar, hanya memelajari apa yang diajarkan di kelas tanpa mengusahakan pengetahuan yang lebih, cenderung apatis dan menetapkan target yang rendah atau tidak membuat tujuan sama sekali. School engagement dikategorikan tinggi apabila skor tiap komponen tergolong tinggi ; School Engagement dikategorikan rendah apabila salah satu skor komponen tergolong rendah. Peneliti akan menambahkan data mengenai educational context yang merupakan faktor yang memengaruhi school

13 engagement melalui wawancara dengan pihak guru dari segi school level factor dan classroom context. Wawancara ini ditujukan untuk menjelaskan perbedaan. School level factor diantaranya jumlah siswa dan fleksibilitas dalam peraturan sekolah. Siswa di sekolah-sekolah dengan jumlah siswa yang lebih sedikit lebih berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler dan sosial. Dapat dikatakan bahwa sekolah yang lebih kecil (jumlah siswanya lebih sedikit) lebih memiliki kondisi yang mendukung engagement pada siswa yang bermasalah. Fleksibilitas dalam peraturan sekolah juga dapat mengurangi resiko dari disengagement (Finn & Voekl, 1993; Miller, Leinhart, & Zigmund, 1988; Natriello 1984). Penelitian menyimpulkan bahwa school level factor memiliki hubungan dengan behavioral engagement. Bukti yang menyebutkan keterkaitannya dengan cognitive & emotional engagement sangat sedikit. Classroom context diantaranya struktur kelas, dukungan kemandirian dan karakteristik tugas. Struktur kelas mengacu pada kejelasan harapan guru terhadap perilaku akademik dan perilaku sosial dan konsekuensi dari kegagalan untuk memenuhi harapan. Guru yang memiliki harapan yang jelas dan memberikan respon yang konsisten lebih memiliki siswa yang behaviorally engaged. Dalam struktur kelas, ketika norma dan aturan dalam kelas jelas dan efisien bagi siswa, pengaturan kelas baik dan harapan terhadap siswa jelas, akan mengurangi masalah kedisiplinan yang muncul, siswa menjadi lebih senang di kelas. Harapan yang jelas akan memengaruhi performa belajar siswa. Penelitian lain telah menyelidiki dampak struktur kelas pada behavioral dan emotional engagement.

14 Konteks yang mendukung kemandirian diasumsikan dapat meningkatkan Engagement. Kelas yang mendukung kemandirian dikarakteristikkan dengan pilihan, pembuatan keputusan bersama, dan tidak adanya kontrol eksternal, seperti peringkat kelas atau hadiah dan hukuman, sebagai alasan untuk mengerjakan tugas sekolah atau berperilaku baik. Sekolah yang muridnya diberikan pilihan yang lebih banyak, dapat bertahan lebih lama dan menghadapi lebih baik masalah, sebagai manifestasi dari cognitive engagement. Kurangnya kesempatan untuk kemandirian siswa dapat membantu menjelaskan kurangnya minat, yang merupakan satu indikator dari emotional disengagement. Terkait dengan cognitive engagement, tipe tugas yang hanya memerlukan menghafal atau memerhatikan saja, tidak memerlukan usaha yang besar dan komitmen belajar tidak akan memberikan pemahaman yang mendalam pada pelajaran. Newmann mengatakan bahwa engagement dalam belajar dapat ditingkatkan bila tugas tersebut (a). Otentik; (b) Menyediakan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan konsepsi, eksekusi dan evaluasi; (c) Menyediakan kesempatan untuk berkolaborasi; (d) mendiferensiasikan berbagai talenta dan (e) menyediakan kesempatan untuk bersenang-senang. (Newmann, 1991; Newman et al., 1992).

15 1.1 Bagan kerangka pikir Educational Context : School Level Factors Classroom Context Siswa SMP X Siswa SMP Y Metoda Belajar Reguler Metoda Belajar Holistic School Engagement Behavioral Engagement Emotional Engagement Cognitive Engagement Perbedaan School Engagement Tinggi School Engagement Rendah 1.6 Asumsi 1.) Siswa dengan metoda belajar di SMP Y dan SMP X akan memperlihatkan school engagement dengan derajat beragam. 2.) School engagement pada siswa SMP Y dan X dapat dilihat dari komponen behavioral, emotional dan cognitive. 3.) Perbedaan metoda belajar antara Y dan SMP Reguler X akan menghasilkan school engagement yang berbeda. 4.) Perbedaan dapat disebabkan educational factors antara lain : student level factor dan classroom context.

16 1.7 Hipotesis Penelitian Terdapat perbedaan school engagement antara SMP Y dan SMP X Kota Bandung.