BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu bentuk interaksi antar manusia, yaitu antara seorang pria dengan seorang wanita (Cox, 1978). Menurut Hurlock (1999) salah satu tugas perkembangan individu yang berada pada rentang usia 21 40 tahun adalah membangun hubungan dengan lawan jenisnya dan kemudian menikah. Menurut Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2005), menyatakan bahwa pernikahan yang ideal adalah yang dianggap dapat memberikan intimacy (keintiman), pertemanan, pemenuhan kebutuhan seksual, kebersamaan, dan perkembangan emosional. Menurut Williams, Stacey dan Carl (2006) masa awal pernikahan adalah dua hingga tiga tahun pertama sebelum memiliki anak. Masa ini merupakan masa transisi antara kehidupan lajang dengan kehidupan pernikahan. Masa tersebut penuh dengan proses penyesuaian diri dalam berbagai area kehidupan di antara dua individu yang memiliki kepribadian dan latar belakang yang berbeda. Dalam masa ini terdapat beberapa perubahan yang berbeda dengan kehidupan lajang yang dapat memicu munculnya berbagai masalah. Beberapa permasalahan yang biasa terjadi dalam pernikahan dewasa muda antara lain adalah penyesuaian antara harapan ideal dengan keadaan sesungguhnya dari pasangan, kemandirian, penyesuaian diri dengan teman dan keluarga dari pasangan, serta pembagian tugas dan peran antara keduanya (Blumstein dan Williams, Stacey, Carl, 2006). Menurut DeGenova dan Rice (dalam Genova, 2005) pasangan di awal pernikahan biasanya juga membutuhkan penyesuaian dalam tujuh hal, yaitu (1) Pemenuhan dan dukungan emosional, (2) Penyesuaian seksual, (3) Keuangan terkait dengan pernikahan, (4) Pekerjaan dan pencapaian, (5) Kewenangan dan pengambilan keputusan, (6) Konflik dan pemecahan masalah, moral, nilai dan ideologi, dan (7) Komunikasi vs intimacy. Salah satu elemen yang mendorong individu untuk selalu melakukan kedekatan emosional dengan pasangannya adalah elemen afeksi yang disebut intimacy. Menurut Sternberg (2004) keintiman adalah kedekatan yang dirasakan oleh dua orang dan kekuatan dari ikatan yang menahan mereka untuk selalu bersama. Pasangan yang memiliki intimacy yang tinggi akan sangat memperhatikan kesejahteraan dan kebahagiaan pihak lain, 1 menghormati dan menghargai satu sama lain, dan memiliki kesaling pengartian. Mereka juga saling berbagi dan mereka saling memiliki, saling memberi dan menerima dukungan emosional dan berkomunikasi secara intim (Sternberg dalam Baron & Byrne, 2004).
Sebuah hubungan akan mencapai keintiman emosional manakala kedua belah pihak saling mengerti, terbuka, saling mendukung, dan merasa bisa mengenai apapun juga akan berusahan menyelaras nilai dan keyakinan tentang hidup, meskipun tentu saja ada perbedaan pendapat dalam beberapa hal. Mereka mampu untuk saling memaafkan dan menerima, khususnya ketika mereka tidak sependapat atau berbuat kesalahan. Van den Broucke (1995), menyatakan bahwa ada lima struktur dimensi dalam tiga komponen marital intimacy. Tiga komponen tersebut diantaranya (1) Dyadic level, (2) The individual level, (3) The social group/ Network level. Lima struktur dimensi didalamnya yaitu (1) Intimacy Problems, (2) Consensus : Cognitive dan Instrumental Aspek, (3) Openess : Openess, Authentic, (4) Affection : Affective, (5) Commitment : Exclusiveness. Komponen pertama The Dyadic menjelaskan bahwa keintiman pernikahan mengacu pada tingkat afektif (Affective), kognitif (Cognitive) dan perilaku (Behavioral) interpendence antara pasangan. Dibenarkan bahwa pasangan yang intim satu sama lain dapat mengapresiasi dan memberikan aspek kognitif dalam hubungan mereka untuk dapat saling melakukan interaksi yang baik dan stabil (Hatfield, 1982). Hal ini tercermin dalam perasaan kedekatan pada pasangan, rasa emosional ataupun cinta, validasi ide-ide dan nilai-nilai individu serta konsensus implisit ataupun eksplisit mengenai aturan-aturan yang dapat membimbing untuk saling berinteraksi. Komponen kedua (The Individual) menjelaskan bahwa keintiman mengacu pada kemampuan yang dipertimbangkan oleh beberapa aspek yaitu, kemampuan untuk menjadi diri sendiri dalam suatu hubungan (Authenticity), memiliki aspek keterbukaan (Openess) atau kesiapan untuk berbagi ide dan perasaan dengan pasangan. Komponen ketiga atau komponen terakhir (The Social Group/ Network Level) menjelaskan bahwa menurut Rosenblatt (1977) dalam Rusbult Buunk (1993), keintiman pernikahan memerlukan aspek indentitas dyadic, dalam berinteraksi dengan pihak lain, seperti keluarga atau relasi, pasangan yang intim dapat mengidentifikasikan hubungan mereka sebagai satu bagian. Hal ini diungkapkan ketika mereka menggunakan istilah kami untuk memperlihatkan keyakinan hubungan mereka dan biasanya memerlukan aspek eksklusivitas (Exclusiveness) dimana secara simbolis dapat diterima oleh jaringan sosial melalui keterlibatan dalam acara upacara pernikahan yang menandakan mereka akan memiliki hubungan perspektif jangka panjang, dalam arti sebuah niat untuk saling mengakui antara pasangan untuk saling menjaga hubungan mereka yang secara konseptual akan terkait dengan komitmen (Commitment). Menurut Erikson (2005), intimacy sebagai kemampuan untuk berkomunikasi dan juga berperan penting dalam menjalin dan meningkatkan keintiman dalam menjalin hubungan
yang romantis. Hal ini didukung oleh pernyataan Strong dan Devault (1989) yang mengemukakan bahwa intimacy dan komunikasi saling berkaitan, dan pasangan yang mengalami kesulitan dalam komunikasi dikatakan tidak memiliki intimacy yang baik didalam hubungan mereka. Menurut William, dkk. (1992), komunikasi merupakan pesan yang disampaikan baik secara verbal maupun non verbal. Saling bertukar pikiran, perasaan, keyakinan, fantasi, angan-angan, minat, tujuan dan latar belakang merupakan hal-hal yang biasa terkandung di dalam komunikasi antar pasangan. Jika semuanya dapat terlaksana dengan baik, maka pasangan biasanya akan merasa keintiman antara keduanya menjadi jauh lebih meningkat. Komunikasi di jaman sekarang semakin mudah karena adanya internet. Internet merupakan sesuatu hal yang sudah tidak asing lagi di masyarakat modern di Indonesia. Tentu masyarakat masih mengingat bahwa sebelumnya teknologi internet hanya digunakan untuk berkirim pesan elektronik melalui email dan chatting, untuk mencari informasi melalui browsing, dan googling. Seiring dengan perkembangannya, internet mampu melahirkan suatu jaringan baru yang biasa dikenal dengan sebutan media sosial. Sebagaimana yang diketahui, media sosial merupakan suatu media online dimana para penggunanya dapat ikut serta dalam mencari informasi, berkomunikasi dan menjaring pertemanan, dengan segala fasilitas dan aplikasi yang dimilikinya seperti Facebook, Twitter, Path, WhatsApp, Blackberry Messanger (BBM), Line, dan KakaoTalk. Kehadiran media sosial telah membawa pengaruh tersendiri terhadap kegiatan yang dilakukan oleh manusia saat ini. Studi yang dipimpin oleh Bernie Hogan (2008) ingin melihat apakah semakin beragamnya alat komunikasi akan memperkuat sebuah hubungan pernikahan. Ada lebih dari 24 ribu orang menikah yang ikut terlibat dalam penelitian tersebut. Riset dilakukan untuk mengetes teori media multiplexity yaitu kemampuan untuk berkomunikasi melalui beberapa chanel komunikasi yang pertama kali dikembangkan pada 2005. Hogan (2008) menjelaskan bahwa, banyaknya chanel yang digunakan, dapat berdampak buruk bagi hubungan atau keintiman antara pasangan. Hogan menyarankan untuk diperlukan adanya batasan dalam penggunaan media sosial yang mereka gunakan untuk berkomunikasi agar dapat meningkatkan hubungan serta keintiman dalam hubungan pernikahan. Sementara itu, Psikiatris Edward Hallowell (2010) mengatakan bahwa pasangan suami istri bisa merasa tersaingi satu sama lain dengan penggunaan media sosial yang terusmenerus melalui gadgetnya. Pasangan membutuhkan waktu dan perhatian untuk merasakan empati, merasa percaya dan adanya kedekatan (intimacy). Pada umumnya pasangan yang terlalu sibuk akan lupa dengan mematikan gadgetnya. Energi pasangan suami istri, menurut
Hallowell dihabiskan untuk ke-eksisan mereka di sosial media. Hal ini akan menyebabkan mereka jarang berkomunikasi secara tatap muka. Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat fenomena yang terjadi pada pasangan dewasa muda yang sudah menikah. Pasangan dewasa muda pada zaman sekarang terlihat terus mengikuti perkembangan teknologi media sosial untuk berkomunikasi dengan pasangannya, oleh karena itu peneliti melakukan wawancara kepada 20 pasangan dewasa muda mengenai cara mereka berkomunikasi dengan pasangannya. Berdasarkan hasil wawancara, dapat disimpulkan bahwa mereka selalu menggunakan beberapa media sosial untuk berkomunikasi dengan pasangannya setiap hari. Perkembangan media sosial saat ini semakin mempermudah mereka dalam berkomunikasi. Peneliti memilih pasangan dewasa mudah yang sudah menikah dengan usia pernikahan maksimal 3 tahun, dimana mayoritas adalah pasangan yang baru menikah dan juga pengguna media sosial. Dari fenomena diatas merupakan alasan mengapa peneliti tertarik untuk meneliti dan membahas mengenai tingkat keintiman pasangangan rumah tangga dewasa muda yang telah menikah dengan adanya penggunaan media sosial. Peneliti berupaya untuk melihat apakah adanya hubungan antara penggunaan media sosial di kalangan pasangan dewasa muda, khususnya yang telah menikah, dengan tingkat keintiman mereka, penelitian ini akan dilakukan dengan metode kuantitatif yang melibatkan 100 responden dari wilayah Jakarta. 1.2 Pertanyaan Penelitian Dalam menjalani hubungan rumah tangga dewasa muda, yang didukung dengan semakin berkembangnya teknologi pada zaman sekarang, cara berkomunikasi semakin beragam dengan semakin banyaknya media sosial yang bermunculan. Secara tidak sadar hal tersebut sangat berpengaruh pada keintiman hubungan dengan pasangan. Berdasarkan uraian latar belakang masalah maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : Apakah ada hubungan antara penggunaan media sosial dengan keintiman rumah tangga pada pasangan dewasa muda. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan penggunaan media sosial dengan keintiman rumah tangga pada pasangan dewasa muda, antara lain : Manfaat bagi pasangan dewasa muda, dapat memberikan informasi kepada seluruh pasangan mengenai hal-hal yang dapat membantu menjaga dan meningkatkan keintiman dalam hubungan rumah tangga dewasa muda sehingga pasangan dapat mencapai pada tingkat
keintiman yang diinginkan. Manfaat bagi pembaca, selain dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai hubungan penggunaan media sosial dengan keintiman dalam rumah tangga dewasa muda, juga dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai pentingnya menjaga dan meingkatkan keintiman dengan membatasi jumlah penggunaan media sosial yang ada.