SEJAK KAKAK DIKABARKAN MATI DALAM BOM BUNUH DIRI

dokumen-dokumen yang mirip
AKU AKAN MATI HARI INI

SAHABAT PERTAMA. Hari Senin pagi, Lisha masih mandi. Padahal seharusnya ia sudah berangkat sekolah.

Persahabatan Itu Berharga. Oleh : Harrys Pratama Teguh Sabtu, 24 Juli :36

Aku menoleh. Disana berdiri seorang pemuda berbadan tinggi yang sedang menenteng kantong belanjaan di tangan kirinya. Wajahnya cukup tampan.

YANG TERHILANG Oleh: Yung Darius

[Fanfic] Sebuah gambar aneh menarik perhatianmu. Gambar itu jelek, tapi memiliki sesuatu yang membuatmu penasaran. Cast : Kalian yang membaca~

Part 1 : Aku Menghajar Nenek-Nenek Dengan Cangkul

hmm. Kakak adalah anak laki-laki satu-satunya. Sementara saya adalah anak perempuan satu-satunya. Kami hanya dua bersaudara tapi tidak satu pun kedama

Damar, apakah pada akhirnya mereka ini bisa benar-benar pulang?

Mungkin mereka tidak akan menemuiku, ujarku dalam hati.

DIPA TRI WISTAPA MEMBILAS PILU. Diterbitkan secara mandiri. melalui Nulisbuku.com

DI BALIK DINDING. Apa ya, yang berada di balik dinding itu?, selalu dan selalu dia bertanya-tanya

Memelihara kebersihan lingkungan merupakan salah satu contoh aturan yang ada di masyarakat.

1 Curahan Hati Sebatang Pohon Jati

Kanuna Facebook on September 07, 2011 Prolog

Sayang berhenti menangis, masuk ke rumah. Tapi...tapi kenapa mama pergi, Pa? Masuk Sayang suatu saat nanti pasti kamu akan tahu kenapa mama harus

Surat Cinta Untuk Bunda Oleh : Santi Widiasari

Keberanian. Dekat tempat peristirahatan Belanda pada zaman penjajahan, dimulailah perjuangan nya.

Mata ini sulit terpejam dan pendar-pendar rasa sakit di hati tidak dapat hilang menusuk dan menancap keras.

Buku BI 3 (12 des).indd 1 16/12/ :41:24

"Maafin gue Na, hari ini gue banyak melakukan kesalahan sendiri" Tutur Towi yang mengimbangi langkah Leana.

Pada suatu hari saat aku duduk di bangku sudut sekolah, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang.

CINTA TELAH PERGI. 1 Penyempurna

BAB II RINGKASAN CERITA. sakit dan mengantarkan adik-adiknya ke sekolah. Karena sejak kecil Lina

ASEP DI JAKARTA. Sebuah novel karya Nday

Chapter 1. Baik, selagi kalian mencatat, saya absen.

Eliora. orang yang sedang menjalaninya. 1 Artinya, seberat-berat kami melihat sesuatu terjadi, lebih menyakitkan lagi bagi

Tak Ada Malaikat di Jakarta

Si Fero yang Tinggi Hati

Cinta itu bukan tentang diri sendiri tapi tentang dia, yang kau sayangi Cinta itu bukan cinta sebelum kau berani mengungkapkannya

Bagian 1 : Tak Kan Kubiarkan Kau Merebutnya Dariku!

Mr Knight, tadi Mr. Boyd menelepon untuk membuat janji temu di hari Jumat jam 2 siang. Apakah saya ada janji di hari itu?

Marwan. Ditulis oleh Peter Purwanegara Rabu, 01 Juni :25

Belajar Memahami Drama

ANTARA DENDAM DAN CINTA. Oleh: Sri Rahmadani Siregar

GURU. Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru. Ayo silahkan perkenalkan diri.

S a t u DI PAKUAN EXPRESS

Bab 1. Awal Perjuangan

Entahlah, suamiku. Aku juga tidak pernah berbuat jahat dan bahkan selalu rajin beribadah, jawab sang isteri sambil menahan air mata.

Ya sudah aku mau makan mie saja deh hari ini, kebetulan aku lagi pengen makan mie pakai telur ceplok.

LAMPIRAN 1 KUESIONER KEMANDIRIAN

Sebuah kata teman dan sahabat. Kata yang terasa sulit untuk memasuki kehidupanku. Kata yang mungkin suatu saat bisa saja meninggalkan bekas yang

Ingatan lo ternyata payah ya. Ini gue Rio. Inget nggak? Rio... Rio yang mana ya? Ok deh, gue maklum kalo lo lupa. Ini gue Rio, senior lo di Univ

KISAH KISAH YANG HAMPIR TERLUPAKAN

CHAPTER 1. There s nothing left to say but good bye Air Supply

Kehidupan itu terlalu penuh dengan kebahagian bagi orang yang menyadarinya Tommy membaca kalimat terakhir dari sebuah novel yang diterbitkan melalui

Berpisah... mudah kau bilang begitu. Kau bilang ini hanya sementara, dan bukan selamanya. Tapi aku tetap tidak rela kau pergi. Di gerbang kampus itu

Lima Belas Tahun Tidak Lama

Anak laki-laki itu segera mengangkat kakinya. Maaf, ujarnya, sementara si anak

Yui keluar dari gedung Takamasa Group dengan senyum lebar di wajahnya. Usaha kerasnya ternyata tak sia-sia. Dia diterima berkerja di perusahaan itu

SD kelas 6 - BAHASA INDONESIA BAB 7. MEMBACA SASTRALatihan Soal 7.11

Oleh: Windra Yuniarsih

.satu. yang selalu mengirim surat

Tema 1. Keluarga yang Rukun

BAB III GAMBARAN SUBJEK DAN HASIL PENELITIAN

Merdeka di Negeri Impian

AYAH MENGAPA AKU BERBEDA?

Sahabat Terbaik. Semoga lekas sembuh ya, Femii, Aldi memberi salam ramah. Kemarin di kelas sepi nggak ada kamu.

membentak-bentak mereka apabila mereka tidak melakukan hal-hal yang Riani inginkan. Semua pelampiasan amarahnya kepada semua orang selalu dia tujukan

Sejatinya, semua manusia terlahir untuk dua hal, mendapatkan berita terbaik dan terburuk. Berita ini adalah sebuah misteri, ketika mereka terus

Aku sedang sibuk. Les-les untuk persiapan Ujian Akhir Nasional-ku sangat menyita perhatian.

Suatu hari, saat liburan semester pertama mereka pergi ke sebuah pantai. Disana mereka menghabiskan waktu hanya bertiga saja. ``Aku mau menuliskan

AZAN PERTAMA DENDY. (Penulis : IDM)

Lampiran. Ringkasan Novel KoKoro. Pertemuan seorang mahasiswa dengan seorang laki-laki separuh baya di pantai

Aduh 15 menit lagi masuk nih, gimana donk? Jalanan macet segala lagi, kenapa sih setiap hari jalanan macet kaya gini? Kayanya hari ini bakalan jadi

Wonderheart ditinggali oleh manusia-manusia yang memiliki kepribadian baik. Tidak hanya itu, hampir semua dari mereka nampak cantik dan

Bayangan Merah di Laut dan Tempat Untuk Kembali:

37. Hari Yang Kelabu

Tuhan dengan Suatu Malam

Perjuangan Meraih Cita-cita

Sinar yang Hilang. Ketika Takdir Menyapa 1

BAB II PROFIL INFORMAN. mendasari mengapa penelitian gaya komunikasi manajemen konflik interpersonal

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

I. Arga ( tentang Dia dan Dia )


wanita dengan seribu pesona yang ada disebelahku. Terkadang Rini berteriak dan memeluk erat lenganku. Lucu rasanya jika memikirkan setiap kali ia

Xen.. aku tutup mata kamu sebentar ya oke? ujar Ican dengan hati-hati menutupi maksudnya. Kalau aku tidak mau bagaimana? jawab Xena santai.

Naskah Film Pendek. Sahabat Karib

I WANT GO BACK TO THE START

LUCKY_PP UNTUKMU. Yang Bukan Siapa-Siapa. Diterbitkan secara mandiri. melalui Nulisbuku.com

Ayo, minum, katanya seolah mengajaknya ikut minum bersamanya.

Hari Raya Korban? (Idul Adha)

Aku memeluk Ayah dan Ibu bergantian. Aroma keringat menusuk hidungku. Keringat yang selama ini menghiasi perjuangan mereka membesarkanku. Tanpa sadar

SATU. Plak Srek.. Srek

KOPI DI CANGKIR PELANGI..

Setelah para penyamun pergi, Alibaba memberanikan diri keluar dari tempat

Bimo, Ra, Kenapa lagi sama calon lakimu itu duhai Syaqilaku sayang? godaku. Ojo ngenyeklah. Hahaha. Iya, iya. Bimo kenapa? Tadi aku nggak sengaja

PELAYANAN ANAK GPdI HALELUYA. Jalan Kolonel Masturi 67 Cimahi Telepon: (022)

Untuk ayah.. Kisah Sedih.

(Cintaku) Bait Pertama. Angin senja begitu halus berhembus. Sore itu, di

1. Aku Ingin ke Bandung

Cinta, bukan satu hal yang patut untuk diperjuangkan. Tapi perjuangan untuk mendapatkan cinta, itulah makna kehidupan. Ya, lalu mengapa...

TUGAS PERANCANGAN FILM KARTUN. Naskah Film Dan Sinopsis. Ber Ibu Seekor KUCING

1. a. Seberapa sering kamu dan seluruh keluargamu menghabiskan waktu bersamasama? b. Apa saja yang kamu lakukan bersama dengan keluargamu?

Ditulis oleh Ida Ar-Rayani Selasa, 30 Juni :03 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 18 Agustus :13

Kukatakan kepadamu, seseorang yang

Bapak tidak usah kuatir, kata salah seorang ibu menghibur. saya juga dulu operasi jantung. Malah di rumah sakit ini pula.

Segera jemput dia di bandara! Dan bawa kemari! Awas, jika dia melarikan diri! Siap, Pak! ~1~ Bandara Soekarno Hatta, am. Pesawat dari Singapura

Getar Rasa... Ada getar rasa yang hadir entah datang dari mana

PATI AGNI Antologi Kematian

Transkripsi:

SEJAK KAKAK DIKABARKAN MATI DALAM BOM BUNUH DIRI Cerpen Ardy Kresna Crenata SUDAH SATU BULAN SEJAK KAKAKKU DIKABARKAN MATI DALAM BOM BUNUH DIRI. Keadaan tak juga membaik. Apa yang bisa kukatakan kepada kalian, selain kehidupan keluarga yang semakin sulit. Ayah dipaksa berhenti dari kantor dua minggu lalu. Praktis pendapatan keluarga jadi berkurang. Apa sebenarnya salah ayah? Ayah bahkan tak tahu menahu soal aksi bunuh diri itu. Mungkin itu kesalahan ayah: terlalu membiarkan kakak bermain dengan dunianya.

Memang sejak kakak jadi mahasiswa, ayah hampir tak pernah lagi mengatur kakak. Tentang cara berpakaian, tentang buku-buku yang dia baca, tentang kegiatankegiatannya di kampus, ayah tak pernah lagi mengeluh. Tak sama dengan dulu waktu kakak masih SMA. Ayah bahkan jarang ke Bogor untuk sekedar menengoknya. Mungkin karena kakak laki-laki. Mungkin kakak memang sudah waktunya mengatur hidupnya sendiri. Ayah mau ngapain hari ini? tanyaku sambil mengikatkan tali sepatu. Ada rencana nyari kerja lagi? Ayah tak menjawab. Ia hanya jongkok menyirami bunga-bunga di halaman. Akhir-akhir ini entah kenapa ayah jadi jarang bicara. Ia seperti kehilangan kata-kata. Atau mungkin lebih dari itu. Ayah sudah kehilangan nyawa, mungkin. Seringkali kutemukan ayah melamun saat minum kopi, saat nonton tv, saat makan. Dan ayah seperti sepuluh tahun lebih tua. Ayahmu sekarang ini bisanya cuma menyerah, kata ibu yang sedang menyiapkan warung. Disuruh nyari kerja ogah-ogahan. Maunya diam saja seharian di rumah ngurusin bunga. Lagi-lagi ayah hanya diam. Aku sebenarnya bisa sedikit memahami kesulitan ayah. Ayah sudah cukup tua. Dan lagi mencari pekerjaan sekarang ini tidak mudah. Dan semakin tidak mudah setelah semua orang tahu tentang kakak. Kakak, apa yang telah kau lakukan ini? Kau membuat

ayah kehilangan gairah hidup. Kau membuat warung ibu jadi sepi pengunjung. Kau membuat kehidupan kami semakin memburuk dari hari ke hari. Apakah ini caramu mencintai kami? Aku berangkat dulu, ujarku sambil berjalan. Kulihat ayah masih saja menyirami bunga-bunga itu. Ibu sedang menggantung-gantungkan dagangan. Setelah kakak mati, aku jadi anak satu-satunya di keluarga ini. Untung saja aku tak punya adik. Kalau tidak, pastinya akan lebih sulit kehidupan keluarga ini. *** SEKOLAH bagiku sudah bukan sekolah. Tapi seperti ruang pengadilan di mana orang-orang menghakimiku dengan sepihak. Apa salahku? Apa karena aku adik dari seseorang yang mereka sebut teroris, aku pun disebut teroris? Apa karena kakak melakukan bom bunuh diri, maka aku dan keluargaku praktis jadi penjahat? Sungguh tak adil. Ini sudah masuk jam pelajaran keempat. Sebentar agi istirahat. Selama di kelas persis ada dua reaksi yang kuterima. Sebagian orang memandangku benci seolah-olah dari matanya itu keluar beribu kata kotor. Seperti ingin mengumpat dan memakanku. Sebagian lagi malah tak pernah menganggapku ada. Kalau aku lewat di depan mereka, mereka tak pernah terusik. Kalau aku kebetulan ikut

nimbrung di tengah-tengah mereka, tak pernah ada yang mendengarku. Aku seperti angin saja. Aku seperti hantu bagi mereka. Tapi tentu saja masih ada satu dua orang yang bisa memahami keadaanku. Retha adalah sahabatku sejak dua tahun ini. Ia selalu menjadi setia mendengar keluhankeluhanku. Bahkan setelah bom bunuh diri itu dikoar-koarkan di televisi, Retha tak pernah berhenti menyayangiku. Satu lagi temanku adalah Bima. Dia sudah seperti pelindungku. Badannya tinggi besar. Kulitnya agak cokelat. Dan suaranya suka membikin orang-orang kaget suaranya besar. Untung masih ada dua orang ini. Kalau tidak, aku mungkin sudah tak mau lagi ke sekolah. Kakak, kenapa aku harus menanggung dosamu? Apakah kini justru kau sedang leyeh-leyeh di surga sana? Bel istirhat. Tak banyak yang bisa kulakukan. Aku hanya sebentar ke kantin. Lalu buru-buru kembali ke kelas. Sudah satu bulan ini aku jadi kehilangan tempat. Di manamana aku tak diterima. Di kelas, di kantin, di WC, di ruang guru, hampir semua orang memandangku jijik. Seandainya saja mata itu bisa bicara, mungkin telingaku ini sudah bengkak karena tak tahan terus dicaci. Ugh, aku ingin segera pulang. Setidaknya di rumah ada ayah dan ibu yang selalu memandangku dengan cinta, bukan benci. ***

LAGI-LAGI warung sepi. Sudah lewat tengah hari tapi dagangan masih begitu-begitu saja. Lama-lama warung ini bisa ditutup juga. Untung saja ada beberapa pelanggan yang masih setia. Mereka selalu belanja di warung ini setidaknya dua kali dalam sehari. Dengan begini, keluarga ini masih punya pendapatan. Bu Ida mungkin pelanggan paling rajin. Tak pernah ia absen barang sehari pun. Dan aku selalu senang dengan pembawaannya yang riang. Meski kadang terlalu cerewet. Ya, setidakny aku masih punya teman ngerumpi. Tahu nggak sih, Bu Nani? tanya Bu Ida tadi pagi. Aku tahu betul kalau ia sudah bertanya begitu, artinya ia sudah siap membeberkan gossip-gossip terbaru. Semalem ada yang datang ke rumah Pak RT, lanjutnya. Dari dandanannya sih kayaknya bukan orang sini. Dan lagi ada yang bawa kamera. Mungkin mereka wartawan. Buat apa wartawan ke rumah Pak RT? tanyaku. Saya sih nggak denger langsung ya, Bu. Tapi katanya mereka mau meliput keluarga ibu ini. Loh? Apa untungnya meliput keluarga saya? Bu Ida ini suka mengada-ada deh ah. Aduh, gimana sih Bu Nani ini. Masa nggak nangkep juga. Keluarga Bu Nani kan jadi spesial gara-gara anak ibu yang jadi teroris itu. Bu Ida dengan santainya mengatakan

bahwa anakku teroris. Aku kadang suka kesal. Tapi lama-lama terbiasa juga. Bentar lagi malah bakal nongkrong di tv, lanjutnya. Jadi selebritis deh. Ah, coba yang jadi teroris itu bukan anak ibu tapi anak saya, kan saya yang bakal jadi selebritis. Tapi Bu Nina kan tahu sendiri anak-anak saya semuanya perempuan. Iri saya sama Bu Nina ini. Aku tersenyum geli mendengar ucapannya barusan. Iri? Ada-ada saja. Baru kali ini kudengar ada orang tua yang ingin anaknya melakukan bom bunuh diri. Bu Ida ini lucu sekaligus aneh. Saya sih nggak keberatan Bu Ida yang masuk tv menggantikan saya, kataku meladeni guyonannya itu. Lagipula saya nggak suka masuk tv. Saya kan nggak cantik. Malu. Ah, Bu Nina ini suka merendah githu. Bu Nina kan cantik. Siapa tahu nanti Bu Nina malah main sinetron. Kan hebat. Kali ini kami sama-sama tertawa. Bisa-bisanya topik teroris ini dijadikan bahan ketawa. Apalagi anakku sendiri yang divonis teroris. Ibu macam apa aku ini. Tapi sudahlah. Aku juga ingin punya waktu untuk tertawa. Sebulan ini melulu hanya sedih mendengar reaksi orang-orang. ***

AKU sudah tak tahu lagi bagaimana menjalani hidup. Pekerjaan yang sudah dua puluh lima tahun kugeluti, sudah kutinggalkan dua minggu lalu. Bukan aku yang ingin pergi. Aku tak pernah ingin pergi. Tapi teman-teman di kantor mendadak berubah jadi musuh, jadi jaksa penuntut, jadi hakim. Dan Pak Direktur tampaknya tak punya keinginan untuk menolongku. Keadaan ekonomi sekarang sedang sulit. Isi terorisme membuat investor-investor asing enggan bergerak. Perusahaan ini harus berusaha sekuat tenaga untuk bertahan. Dan di saat seperti ini, kita perlu keadaan yang kondusif. Kita perlu kerjasama dari semua bagian. Tapi Anda bisa lihat sendiri bagaimana keadaan kita sekarang ini. Sama sekali tak kondusif. Tak nyaman buat bekerja. Itulah yang kudengar terakhir kali sebelum aku dipecat. Sedih rasanya. Bukan karena ucapan itu. Tapi sedih karena hidupku menjadi gangguan buat orang lain. Padahal aku tak bersalah. Apa memangnya yang telah kulakukan? Yang melakukan bom bunuh diri itu anakku. Bukan aku. Tapi aku ayahnya. Hanya karena itu aku kehilangan pekerjaan. Kini aku harus mendengar istriku mengeluh setiap hari. Ia mau aku bekerja. Tentu saja aku juga mau. Tapi apa? Apa yang bisa kulakukan? Dan lagi apa masih ada yang mau mempekerjakan ayah teroris? Aku jadi kalah sebelum berperang. Aku tak punya lagi rasa percaya diri.

Tapi ekonomi keluarga itu masalah lain. Aku harus segera mendapat pekerjaan baru sebelum tabunganku habis. Ya, untungnya semasa bekerja dulu aku rajin menabung. Kalau tidak, mungkin untuk makan hari ini saja kami sudah kesusahan. Tapi ketika aku mulai semangat, istriku lagi-lagi mengeluh tentang ini itu. Membuatku lagi-lagi lemah, malas. Kulihat istriku sedang asyik ngerumpi dengan Bu Ida. Lagi-lagi dia. Dia selalu datang. Setiap hari datang. Aku sih senang-senang saja ia menjadi pelanggan warung. Tapi mulutnya itu yang tak bisa berhenti menggossip. Membuat istriku jadi lebih sering memojokkanku karena ekonomi keluarga menurun. Aduh, kenapa ibu-ibu itu suka ngerumpi dan ngerumpi? Ada dua orang datang. Yang satu lelaki membawa kamera. Yang satu perempuan memegang mikrofon. Wartawan. Untuk apa wartawan datang ke kemari. Apa yang mereka cari. Apa mereka mau meliput kehidupan keluarga si pengantin bom? Ah, aku tak mau keluargaku diganggu. Sudah cukup dengan reaksi masyarakat yang tak menerima kami tetap tinggal di sini. Sudah cukup dengan tetangga-tetangga yang suka menggunjingkan kami. Sudah cukup. *** BIASANYA Retha selalu menemaniku pulang. Tapi kali ini ia ada janji kencan. Dan Bima sudah pulang lebih dulu. Maka

aku pun berjalan sendiri. Rumahku tak begitu jauh dari sekolah. Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai dengan berjalan kaki. Tapi aku tak suka jika harus pulang sendiri. Bukannya aku manja. Aku hanya tak bisa menengok ke kiri maupun ke kanan. Tak ada teman ngobrol. Aku jadi terus saja menunduk. Dari ujung mataku kulihat orang-orang melirik ketika aku lewat. Kebanyakan dari mereka itu laki-laki. Apa yang mereka lihat? Tubuhku? Rasanya bukan. Lirikan itu lebih seperti makian. Mereka membenciku seperti kebanyakan teman di sekolah membenciku. Ah, kenapa aku harus mengalami semua ini? Tiba-tiba ada yang melempariku dengan plastik minuman. Baju putih sekolahku sebagian jadi merah. Basah. Orang-orang yang melempariku itu, laki-laki itu, malah tertawa. Mungkin baginya ini lelucon. Apanya yang lucu? Aku hanya terus berjalan. Sebelum menyeberang perempatan, aku bertemu anak perempuan yang lucu. Dia berdiri di depanku dan terus saja menatapku. Aku pun jongkok di depannya dan bertanya sambil tersenyum, Ada apa? Kakak teroris ya? katanya ringan. Tiba-tiba saja sebuah tangan membawanya jauh. Itu ibunya. Bisa kudengar apa yang dikatakannya kepada anak itu. Ia melarangnya berdekatan dengan teroris. Siapa yang teroris? Aku hanya

adik dari si pengantin bom. Itu saja. Anak wanita yang lucu itu masih saja menatapku. Di depan rumahku ada mobil. Dan itu ternyata mobil salah satu stasiun televisi swasta. Wartawan. Apa yang mereka lakukan di rumahku? Aku tak jadi ke rumah. Aku bergegas ke rumah Pak RT. Pak RT ini gimana? Bukannya sudah dari jauh hari ayah dan ibu bilang kalau kami tak mau diusik wartawan? topik. Bajumu itu kenapa, Santi? tanyanya mengubah Bukan apa-apa, jawabku sambil melirik warna merah di bajuku. Sudahlah, Pak. Jangan mengalihkan topik. Kenapa Bapak memberitahukan rumah kami kepada wartawan itu? Saya tak bisa berbuat banyak, Santi. Yang namanya wartawan itu kan ngotot. Dan lagi mereka pake istilah HAM dan kebebasan pers. Tapi keluarga kami juga punya hak dong untuk tak diganggu, ucapku emosi. Tak perlu sekhawatir itu, Santi. Wartawan itu bilang tak akan memojokkan keluargamu kok. Aduh, Pak RT ini. Memangnya Bapak pikir apa yang akan terjadi setelah keadaan kami ini dipertontonkan di televisi? Orang-orang akan tiba-tiba berpihak pada kami

begitu? Nggak mungkin, Pak. Nggak mungkin. Yang ada semakin banyak saja orang yang mengenal wajah kami. Jadi semakin sempit ruang hidup kami. Dek Santi, kamu itu terlalu banyak mengeluh, katanya dengan nada tinggi. Kamu pikir kalau Bapak tidak bertindak, keluargamu itu masih bisa tinggal di sini?! *** YA, aku ingat hari itu. Belum juga seminggu setelah peristiwa bom bunuh diri yang melibatkan kakak sebagai pengantin. Di televisi berita itu sedang panas. Berkoar-koar membuat telingaku panas. Orang-orang di sini, yang tahu persis siapa kakak, mulai menuding kami pun ikut campur dalam peristiwa itu. Dikatakannya kami memberi konstribusi penting. Konstribusi apa? Kami tak tahu apa-apa. Kakak sudah lebih dari sebulan tak pulang. Dan aku pikir itu karena kesibukannya di kampus. Aku selalu mencoba berpikir positif. Ayah juga. Ibu juga. Walaupun pada akhirnya kami salah. Kami tak ada hubungannya. Tapi orang-orang suka terlalu cepat menghakimi kami tanpa bukti. Emosi sudah membuang jauh-jauh akal sehat mereka. Sampai suatu malam, berpuluh-puluh orang mendtangi rumah kami. Aku yang sedang nonton TV langsung keluar. Ibu meninggalkan dulu masakannya di dapur. Ayah, yang saat itu sedang

menikmati rokok di luar, sudah berdiri meminta orang-orang itu tenang. Kalian harus pergi dari sini atau kami bakar! seseorang berteriak, membuat kerumunan manusia itu ribut. Memang ada yang membawa obor. Ada juga yang membawa golok. Ada yang membawa linggis. Ada yang membawa kayu. Aku mendekap ibu ketakutan. Ayah mencoba menenangkan lagi. Anakku memang dikabarkan jadi pengantin bom, kata ayah dengan pedih. Tapi apa aku tahu? Tidak. Aku tidak tahu. Kami tidak tahu. Lagipula dia jarang ada di rumah. Pulang sebulan sekali. Mana kami tahu dia sedang bersiapsiap untuk mati! Alasan! teriak seseorang di tengah. Mana kami tahu kalau kau berbohong! Ya! Benar itu! sambut seseorng di pinggir. Ya! sambut seseorang lagi entah di mana. Dan orang-orang yang sudah kehlangan akal itu kembali ribut. Bahkan kini mereka mencoba mendekati kami. Aku semakin takut. Hanya memeluk ibu erat-erat. Kurasakan ibu pun ketakutan. Degup jantungnya cept sekali. Tunggu dulu! Tunggu! saat itulah Pak RT muncul di antara kami dan mereka. Apa kalian sudah gila?! Apa kalian mau membakar tetangga kalian sendiri?!

Mereka ini teroris Pak RT! Teroris nggak boleh dibiarkan ada di dekat kita! Bisa-bisa kita kena getahnya! seseorang dari barisan depan berkoar-koar. Kerumunan itu lagi-lagi ribut. Pak RT dengan susah payah menenangkannya. Kita belum tahu, ujar Pak RT. Kini kedua tangannya membentang melindungi kami bertiga. Aku masih saja mendekap ibu. Kita belum tahu apa-apa. Seandainya mereka tak bersalah, apa kalian berani menanggung dosa membunuh orang? Dan seandainya pun mereka bersalah, apa kalian kira dengan membakar mereka kalian tidak lebih buruk? Tenanglah! Pake akal sehat! Jangan hanya emosi! Maka kerumunan itu pun mulai tenang. Perlahan, satu demi satu membubarkan diri. Sampai akhirnya hanya ada kami bertiga dan Pak RT. Ayah memeluk Pak RT sambil menangis. Aku pun ingin memeluknya untuk berterima kasih. Tapi tanganku tak bisa lepas dari ibu yang kini menangis. Ibu, dari tadi kau rupanya menahan air matamu. Aku tak tahu persisnya apa yang membuatmu menangis. Apa karena orang-orang itu membenci kakak? Apa karena orang-orang itu membenci kita? Ibu, sudahlah jangan menangis. Kau hanya membuatku sedih saja. Kakak, apakah ini caramu mencintai kami? Meninggalkan kami dalam kepedihan yang terus-menerus. Mungkin kau kini sedang ada di surga sana, atau malah di neraka. Aku tak tahu. Tapi apa kau pernah berpikir bagaimana nasib kami bertiga setelah peristiwa itu?

Pernahkah kau pikirkan ini sebelumnya? Kukira tidak. Kau hanya memikirkan surgamu itu, kakak. *** Bogor, 17 November 2009