HASIL DAN PEMBAHASAN A. MIKROBA PADA SUSU DAN KULTUR STARTER

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Susu kambing Jamnapari b. Susu kambing PE a

KUISIONER KESUKAAN TERHADAP PRODUK OLAHAN SUSU

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang

METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN. 1. Pemeliharaan Kultur Bakteri Asam Laktat (Hidayat 2009)

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian

PEMBAHASAN Pengujian Aktivitas Rennet dalam Mengkoagulasikan Susu

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik susu kambing segar. 9,70±0,10 8,37 10,45 3) Minimal 8,0

STABILITAS BAKTERI ASAM LAKTAT SELAMA PEMBUATAN DAN PENYIMPANAN KEJU LUNAK SUSU KAMBING SKRIPSI WIDYA EKA PRAYITNO F

I PENDAHULUAN. sehat juga semakin meningkat. Produk-produk fermentasi bisa berasal dari berbagai

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Susu Susu adalah salah satu bahan makanan alami yang berasal dari ternak perah

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

I. PENDAHULUAN. mengandung sejumlah mikroba yang bermanfaat, serta memiliki rasa dan bau

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai Latar Belakang Penelitian, Identifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Manfaat dan Kegunaan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Inovasi Olahan dan Limbah Meningkatkan SDM dan Ekonomi Petani

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikenal dengan nama sapi Grati. Bentuk dan sifat sapi PFH sebagian besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Susu ialah cairan hasil sekresi yang keluar dari kelenjar susu (kolostrum) pada

TINJAUAN PUSTAKA. Susu

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan tahu adalah kacang kedelai (Glycine max Merr) dengan kandungan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Susu Kambing. Dipasteurisasi 70 o C. Didinginkan 40 o C. Diinokulasi. Diinkubasi (sampai menggumpal) Yoghurt.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya adalah tempe, keju, kefir, nata, yoghurt, dan lainlain.

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu. Yoghurt adalah salah satu produk olahan pangan bersifat probiotik yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Yoghurt merupakan produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau

PENJABARAN RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN Minggu ke-2

I. PENDAHULUAN. nilai gizi yang sempurna ini merupakan medium yang sangat baik bagi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

7. LAMPIRAN. Lampiran 1. Kandungan Gizi Labu Kuning. Tabel 5. Kandungan Gizi dalam 100 g Labu Kuning. Kandungan Gizi. 0,08 mg.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Beras bahan makanan yang dihasilkan oleh padi. Meskipun sebagai bahan

I. PENDAHULUAN. Jambi) ataupun yang berasal dari daging seperti sosis dan urutan/bebontot

BAB I PENDAHULUAN. mamalia seperti sapi, kambing, unta, maupun hewan menyusui lainnya.

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk

Susu merupakan makanan pelengkap dalam diet manusia

BAB I PENDAHULUAN. tampilan dan teksturnya mirip dengan tahu yang berwarna putih bersih

KARAKTERISTIK DAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI YOGHURT SARI BUAH SIRSAK (Annona muricata L.) TERHADAP BAKTERI FLORA USUS

BAB III MATERI DAN METODE. Mozzarela dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 di Laboratorium Kimia dan

Pembuatan Yogurt. 1. Pendahuluan

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

atau ditambahkan bahan bahan lain. Secara kimia, susu adalah emulsi lemak dalam air yang mengandung gula, garam-garam mineral, protein

KEJU. Materi 14 TATAP MUKA KE-14 Semester Genap BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK

I. PENDAHULUAN. berasal dari susu seperti yogurt, keju, es krim dan dadih (produk olahan susu fermentasi

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

ABSTRAK. Kata kunci: Penaeus sp, stick, limbah kulit udang PENDAHULUAN

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. permintaan bahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi meningkat.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merupakan sumber makanan yang bergizi tinggi. Jamur juga termasuk bahan pangan alternatif yang disukai oleh

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK


BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keju merupakan salah satu produk olahan susu dengan nilai gizi yang

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang banyak tersebar diwilayah Asia. Jahe merah (Zingiber officinale var

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

b. Bahan pangan hewani bersifat lunak dan lembek sehingga mudah terpenetrasi oleh faktor tekanan dari luar.

III. TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN 1 DESKRIPSI DAN PETA LOKASI PETERNAK SAPI PERAH

Sosis ikan SNI 7755:2013

I. PENDAHULUAN. Pampekan, merupakan kerabat dekat durian yaitu masuk dalam genus Durio.

Lampiran 1. Uji Post Hoc One Way Anova Rendemen Kelolosan Tepung Bengkuang "Lokal 1" dan "Lokal 2 dengan Berbagai Perlakuan Pretreatment

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan adalah produk fermentasi berbasis susu. Menurut Bahar (2008 :

UJI KUALITAS YOGHURT SUSU SAPI DENGAN PENAMBAHAN MADU dan Lactobacillus bulgaricus PADA KONSENTRASI YANG BERBEDA NASKAH PUBLIKASI

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN...

PENDAHULUAN. mempunyai kandungan nutrisi yang lengkap seperti laktosa, lemak, protein,

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Menurut Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, jumlah kasus gizi

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai :(1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

METODE PENELITIAN. Bahan dan Alat

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Uji Organoleptik Yoghurt Sapi Dan Yoghurt Kambing

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

KARAKTERISTIK YOGHURT TERSUBTITUSI SARI BUAH NAGA (Hylocereus polyrhizus) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI STARTER YANG BERBEDA-BEDA

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN A. MIKROBA PADA SUSU DAN KULTUR STARTER Rata-rata angka lempeng total pada susu kambing segar adalah 4.5x10 5 cfu/ml. Nilai tersebut memenuhi persyaratan SNI untuk TPC susu segar, yaitu maksimal 10 6 cfu/ml (BSN 1998a). Susu yang diperah secara aseptis melalui ambing yang sehat tidaklah steril, namun mengandung sejumlah kecil mikroba, yang disebut komensal ambing, yang umumnya didominasi oleh mikrokoki dan streptokoki (Varnam dan Sutherland 1994). Menurut Daulay (1991), kelompok mikroba yang terdapat dalam pasokan susu mentah diantaranya koliform, bakteri batang pembentuk spora (Bacillus), Gram negatif bentuk batang, Gram positif bentuk batang, dan kamir serta kapang. Lalu, mikroba-mikroba patogen yang terdapat dalam susu diantaranya Mycobacterium tuberculosis, Brucella melitensis, Staphylococcus aureus, Clostridium botulinum, Bacillus anthracis, Salmonella spp., Shigella spp., dan Escherichia spp. Brucella melitensis merupakan bakteri yang lebih sering ditemukan pada susu kambing. Menurut Daulay (1991), kultur starter merupakan kultur aktif dari mikroba bukan patogen yang ditumbuhkan di dalam susu atau whey, yang berperan dalam pembentukan karakteristik dan mutu tertentu pada berbagai jenis produk susu. Jumlah awal mikroba starter pada kultur kerja setelah diinkubasi selama 4 jam perlu diketahui sebelum kultur kerja ditambahkan ke dalam susu kambing. Dari hasil uji penentuan waktu inkubasi diketahui bahwa rata-rata jumlah awal BAL pada kultur kerja berkisar antara 10 8 dan 10 9 cfu/ml. Hanya kultur kerja dengan starter Lactobacillus casei yang tidak dapat mencapai jumlah 10 9 cfu/ml setelah diinkubasi selama 4 jam. B. PEMBUATAN KEJU Susu kambing yang telah dipanasi diberi kultur kerja dan diinkubasi pada suhu 37 o C. Selama inkubasi, laktosa di dalam susu kambing difementasi oleh BAL menjadi asam laktat. Menurut Scott (1986), kandungan laktosa pada susu kambing sekitar 4.6%. Terbentuknya asam laktat ditandai dengan terjadinya penurunan ph. Nilai ph susu kambing yang terukur pada penelitian ini berkisar antara 6.5 6.8, dengan rata-rata pengukuran 6.6. Menurut Daulay (1991), keasaman susu normal (keasaman susu natural) yang disebabkan oleh komponen kimia berkisar antara ph 6.4-6.8. Penurunan ph ditargetkan hingga mencapai ph 6.3, yaitu nilai ph untuk penambahan rennet. Umumnya, kuantitas rennet yang ditambahkan sebanyak 10-45 ml untuk 100 liter susu (Daulay 1991). Untuk rennet komersial, jumlah rennet yang digunakan tergantung pada jenis dan merek rennet yang digunakan. Rennet yang digunakan pada penelitian ini merupakan rennet komersial dan jumlah yang ditambahkan untuk pembuatan keju adalah 0.06 ml/l. Jika jumlah rennet yang ditambahkan lebih dari 0.06 ml/l, proses koagulasi berlangsung lebih cepat namun keju yang dihasilkan berasa pahit. Hal tersebut dikarenakan aktivitas proteolitik yang berlebih dapat menyebabkan lebih banyak protein yang dipecah sehingga dapat terbentuk peptida yang menyebabkan rasa pahit pada keju. Koagulasi protein susu, terutama kasein, oleh enzim proteolitik terjadi pada ph yang lebih tinggi (5.8 6.6) dibandingkan dengan koagulasi oleh asam yang terjadi pada ph 4.6 5.0 (Daulay 1991). Oleh karena itu, produk keju tidak terlalu asam seperti produk fermentasi pada

umumnya. Pada penelitian ini, rennet ditambahkan ketika ph susu mencapai 6.3. Walaupun begitu, koagulasi kasein tidak hanya dipengaruhi oleh ph, tetapi juga oleh keberadaan ion Ca 2+. Susu yang telah ditambah rennet kemudian diinkubasi kembali pada suhu 37 o C selama 2 jam. Selama inkubasi dengan rennet, susu harus dijaga agar tidak terguncang sehingga curd yang terbentuk tidak terpecah-pecah atau hancur. Konsistensi curd dapat dijadikan tolok ukur untuk memperkirakan konsistensi keju yang akan terbentuk. Curd yang lemah dan terpecahpecah akan menghasilkan tekstur keju yang lemah pula. Curd yang terbentuk pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5. Curd yang terbentuk kompak dan tidak terpecah-pecah serta tidak hancur ketika diciduk dengan sendok. Whey yang bewarna hijau kekuningan terlihat di dasar bekas cidukan curd. Gambar 5. Curd Curd yang terbentuk kemudian dipotong-potong agar luas permukaannya meningkat, sehingga proses pengeluaran whey lebih efektif serta terjadi pindah panas yang seragam dan merata pada proses pemasakan di tahap selanjutnya. Pemotongan harus dilakukan dengan hatihati agar tidak banyak lemak yang terlepas dari curd dan lolos bersama whey. Setelah dipotong, potongan curd didiamkan selama 10-15 menit agar sebagian whey keluar. Potongan curd dipanaskan pada suhu 40 o C selama 30 menit. Pemanasan pada suhu tersebut untuk mencegah hilangnya BAL karena BAL umumnya mati pada suhu tinggi. Selama pemanasan, terjadi pengerutan matriks protein sehingga whey terdorong keluar lebih banyak (Daulay 1991). Potongan curd yang mengerut lama-lama tenggelam dalam whey dan terkumpul di dasar wadah. Ketika diciduk, tampak potongan curd dengan permukaan yang agak keras sehingga tidak mudah hancur (Gambar 6). Proses penyaringan dilakukan dengan peralatan modifikasi yang terdiri dari kain blacu, corong, dan erlenmeyer (Lampiran 6). Whey yang berwarna hijau kekuningan tertampung di dalam erlenmeyer (Lampiran 6), sementara keju segar tertinggal di kain blacu. Keju segar yang tersaring berwarna putih dengan aroma asam yang segar. Proses penyaringan dilakukan semalaman di dalam refrigerator pada suhu 5 C untuk menghambat aktivitas fermentasi BAL. Penggaraman dilakukan dengan penambahan garam 2% (b/b) secara langsung pada keju segar. Keju segar kemudian diaduk agar garam tercampur merata. Pada penelitian ini, jika pemisahan whey berlangsung baik, keju segar yang diaduk dapat disatukan kembali dan dibentuk serta tidak ada yang menempel di wadah atau alat pengaduk. Sebaliknya, jika penirisan whey 23

tidak berlangsung sempurna, ada bagian-bagian keju segar yang menempel di wadah atau alat pengaduk. Gambar 6. Curd setelah tahap pemanasan Keju yang dihasilkan pada penelitian ini berwarna putih (yang merupakan tipikal keju dari susu kambing), memiliki konsistensi agak lunak, dan mudah rapuh (Gambar 7). Keju lunak susu kambing memiliki warna lebih putih daripada keju susu sapi. Hal itu dikarenakan susu kambing kekurangan β-karoten yang seluruhnya telah diubah menjadi retinol (Raynal-Ljutovac et al. 2008). Pada keju juga terbentuk aroma masam, karena pemakaian bakteri Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei yang umum digunakan dalam pembuatan susu masam. Aroma masam yang terbentuk dapat menutupi aroma khas pada susu kambing. Gambar 7. Keju lunak susu kambing Tekstur keju yang lunak disebabkan oleh tidak dilakukannya proses pengepresan keju. Pengepresan tidak hanya dilakukan untuk mendorong keluarnya cairan (whey), tetapi juga diperlukan untuk mendapatkan tektur keju yang kompak dan rapat (Walstra et al. 1999). Oleh sebab itu, keju yang dihasilkan pada penelitian ini mudah rapuh. Kekompakan matriks keju tergantung pada kemampuan kasein untuk merangkul dan mendekap komponen-komponen susu lainnya seperti lemak, air, garam-garam, laktosa, dan protein whey (Daulay 1991). Tidak dilakukannya tahap standardisasi rasio kasein dan lemak 24

pada susu kambing juga dapat menjadi salah satu penyebab tekstur keju menjadi lunak. Untuk keju cedar, misalnya, standardisasi susu untuk rasio kasein dan lemak adalah 0.67:0.72 (Kelly 2009). Selama proses pembuatan keju, dilakukan analisis stabilitas BAL dengan parameter nilai ph, jumlah BAL, dan angka lempeng total. Data stabilitas BAL selama proses pembuatan diperoleh dari produksi keju dengan bakteri Lactobacillus acidophilus. Ketahanan bakteri Lactobacillus casei selama proses pembuatan diperkirakan tidak jauh berbeda. Hal tersebut dibuktikan dari tingginya jumlah BAL pada keju dengan Lactobacillus casei selama masa penyimpanan. Nilai ph diukur mulai dari susu kambing segar sampai produk keju yang dihasilkan. Nilai ph awal susu kambing perlu diketahui untuk menentukan lama inkubasi susu kambing dengan starter hingga mencapai ph 6.3 (ph untuk penambahan rennet). Berdasarkan uji penentuan waktu inkubasi, diketahui bahwa nilai ph turun 0.1 unit setiap 2 jam. Kecepatan penurunan ph tergantung pada jenis BAL yang digunakan. Pada penelitian ini, ph dari susu yang difermentasi oleh Lactobacillus acidophilus lebih cepat turun daripada susu yang difermentasi oleh Lactobacillus casei. Waktu yang diperlukan susu yang difermentasi oleh Lactobacillus acidophilus untuk mencapai ph 6.3 berkisar antara 4-6 jam, tergantung ph awal susu kambing, sedangkan susu yang difermentasi oleh Lactobacillus casei berkisar antara 6-7 jam. Hal itu disebabkan oleh perbedaan sifat fermentasi asam laktat diantara kedua jenis bakteri tersebut. Lactobacillus acidophilus bersifat homofermentatif sedangkan Lactobacillus casei bersifat heterofermentatif. Bakteri yang bersifat homofermentatif umumnya lebih cepat dalam menurunkan ph. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan nilai ph, mulai dari susu segar sampai menjadi produk keju, yang mengindikasikan terjadi pertumbuhan dan aktivitas metabolisme dari BAL yang digunakan. Penurunan nilai ph dikarenakan aktivitas fermentasi laktosa menjadi asam laktat oleh BAL. Nilai ph yang diukur pada tiap tahapan produksi dapat dilihat pada Gambar 8. Data nilai ph tersebut diperoleh dari produksi keju dengan bakteri Lactobacillus acidophilus. Keterangan a: susu segar b: susu terfermentasi c: curd d: whey e: keju segar Gambar 8. Nilai ph di tiap tahapan proses pembuatan keju Nilai ph dijadikan indikator dalam penambahan rennet karena kerja enzim dipengaruhi oleh ph. Enzim khimosin dalam rennet akan mengkoagulasi susu pada ph 6.0-6.4 di dua tahap 25

reaksi (Rahman et al. 1992). Pada penelitian ini, nilai ph susu terfermentasi untuk penambahan rennet adalah 6.3. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk penurunan ph dari 6.6 menjadi 6.30 adalah 6 jam. Pengukuran ph curd dan whey dilakukan sebelum proses pemanasan, sedangkan pengukuran ph keju segar dilakukan setelah tahap penyaringan. Penurunan nilai ph yang besar pada keju segar (dari ph 6.1 pada curd menjadi 5.7 pada keju segar) disebabkan oleh proses pemanasan curd. Pemanasan pada suhu 40 C diperkirakan dapat merangsang pertumbuhan BAL dan meningkatkan aktivitas BAL dalam proses fermentasi laktosa. Data nilai ph selama proses pembuatan keju didukung oleh data analisis jumlah BAL dan angka lempeng total. Analisis angka lempeng total mulai dilakukan dari susu segar, sedangkan analisis jumlah BAL mulai dilakukan dari tahap susu setelah difermentasi oleh kultur kerja. Data stabilitas BAL selama pembuatan keju dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah ALT dan BAL di tiap tahapan proses pembuatan keju Tahapan proses ALT (log10) BAL (log10) susu segar a 5.87 - susu setelah pemanasan (85 o C, 30 menit) a < 1.40 - susu terfermentasi sampai ph 6,3 b 8.56 8.46 curd b 8.89 8.87 whey b 8.62 8.47 keju segar b 9.95 9.94 Keterangan: a (cfu/ml) b (cfu/gram) Uji angka lempeng total juga dilakukan pada susu kambing yang telah dipanasi untuk mengetahui kecukupan pemanasan. Pemanasan bertujuan membunuh mikroba patogen dan mikroba lain yang terdapat dalam susu kambing, sehingga yang diharapkan tumbuh pada susu sampai menjadi produk keju hanya mikroba starter. Jumlah BAL selama proses pembuatan keju mencapai 10 8 cfu/gram dan setelah tahap penyaringan mencapai 10 9 cfu/gram. Bentuk koloni BAL yang tumbuh pada media MRSA berbentuk cakram miring atau seperti bintang, berwarna putih susu, dan permukaannya tampak licin. Selain itu, koloni BAL juga mengeluarkan aroma masam sebagai hasil metabolisme zatzat yang terkandung dalam media MRSA. Bila ditinjau dari kemungkinan pemanfaatan sebagai pangan probiotik, jumlah sel probiotik dalam bahan pangan sebaiknya pada kisaran 10 6 cfu/gram dan direkomendasikan untuk mengonsumsi 10 8-10 9 cfu dalam setiap porsi untuk memperoleh manfaat kesehatan (Araújo et al. 2010). Jumlah BAL yang terperangkap dalam matriks curd yang terbentuk setelah penambahan rennet mencapai 10 8 cfu/gram. Begitu juga dengan kandungan BAL dalam whey yang terbuang (10 8 cfu/ml). Oleh karena itu, baik keju maupun whey yang dihasilkan memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi produk pangan probiotik jika sudah ada bukti yang menunjukkan bahwa kedua starter yang digunakan memiliki aktivitas probiotik. 26

Perbedaan jumlah BAL sebesar satu log dari 10 8 cfu/gram (pada curd) menjadi 10 9 cfu/gram (pada keju setelah tahap penyaringan) disebabkan oleh proses pemanasan (40 o C) yang dilakukan sebelum tahap penyaringan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemanasan pada suhu 40 o C diperkirakan dapat merangsang pertumbuhan BAL. C. STABILITAS BAL SELAMA PENYIMPANAN KEJU Stabilitas BAL di dalam keju dikaitkan dengan keberlangsungan hidup BAL tersebut. Adanya aktivitas BAL dapat diamati dari perubahan ph yang berlangsung selama masa simpan produk. Analisis ph dilakukan pada minggu pertama hingga minggu keempat di bulan pertama penyimpanan dan pada minggu keenam serta kedelapan pada penyimpanan di bulan kedua. Data nilai ph selama penyimpanan keju dapat dilihat pada Gambar 9 dan Lampiran 7. Gambar 9. Nilai ph keju selama penyimpanan 8 minggu Berdasarkan hasil uji ANOVA (Lampiran 8), terjadi penurunan ph yang signifikan (P < 0.05) selama penyimpanan keju. Penurunan ph yang signifikan terjadi pada minggu kedelapan dan hal itu disebabkan oleh peningkatan aktivitas BAL di dalam keju. Penyimpanan keju tetap terjaga pada suhu refrigerator (5 C) selama 6 minggu. Namun, pada minggu ketujuh, keju sempat terpapar suhu ruang selama 6 jam karena adanya kegiatan uji sensori. Peningkatan suhu, dari suhu refrigerator menjadi suhu ruang, diperkirakan dapat meningkatkan aktivitas metabolisme BAL dalam memfermentasi laktosa. Penurunan ph selama penyimpanan tidak dipengaruhi oleh jenis BAL yang digunakan. Hal itu dibuktikan dari hasil uji ANOVA pada Lampiran 9. Walaupun nilai ph keju dengan starter Lactobacillus casei lebih tinggi dari yang lainnya, penurunan ph pada keju tersebut cenderung terjadi di setiap minggunya, sama halnya dengan yang terjadi pada dua jenis keju lainnya. Nilai ph dapat dipengaruhi oleh penggaraman (Guinee dan Fox 1993). Hal tersebut dikaitkan dengan pengaruh penggaraman dalam kontrol mikroba. Sisa laktosa di dalam keju dapat dimetabolisme menjadi asam laktat oleh mikroba sehingga nilai ph turun. Ketahanan terhadap garam bervariasi pada tiap jenis mikroba. Kultur keju komersial terhambat pada penambahan garam >2,5% (Guinee dan Fox 1993). Pada penelitian ini, konsentrasi garam yang 27

ditambahkan adalah 2% (b/b) dan stabilitas mikroba yang digunakan di dalam keju tidak terpengaruh oleh konsentrasi tersebut. Hal itu dibuktikan dengan tingginya jumlah BAL dan angka lempeng total pada keju selama masa simpan. Beberapa penelitian sebelumnya tentang produk keju yang mengandung BAL Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei menunjukkan bahwa kandungan asam laktat cenderung tetap selama masa simpan (Ong et al. 2006 dan Ong et al. 2007). Hal itu dikarenakan banyak laktosa yang hilang bersama whey dan hanya sedikit yang tersisa dalam keju. Peningkatan kandungan asam laktat pada beberapa minggu pertama masa simpan disebabkan oleh proses fermentasi laktosa yang masih tertinggal di dalam keju oleh BAL (Ong et al. 2007). Namun, pada penelitian ini dihasilkan keju yang memiliki tekstur lunak, dimana kandungan laktosa dalam keju lunak masih cukup tinggi (Walther et al. 2008), sehingga diperkirakan masih dapat terjadi fermentasi laktosa menjadi asam laktat. Penurunan nilai ph keju yang terus terjadi selama penyimpanan juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Menéndez et al. (2000), yang menguji efek penambahan bakteri Lactobacillus spp. pada keju Arzúa-Ulloa, sejenis keju lunak dari susu sapi, yang disimpan selama 30 hari. Pengamatan selama masa simpan juga meliputi pengamatan BAL dan angka lempeng total. Jumlah BAL berkisar pada angka 10 9 cfu/gram (Gambar 10 dan Lampiran 10), begitu juga dengan angka lempeng total (Gambar 11 dan Lampiran 10). Gambar 10. Jumlah BAL pada keju selama penyimpanan 8 minggu Berdasarkan uji ANOVA (Lampiran 11), tidak terdapat perbedaan yang signifikan (P > 0.05) pada jumlah BAL dan angka lempeng total selama penyimpanan. Selain itu, juga tidak terdapat perbedaan jumlah BAL dan angka lempeng total yang signifikan untuk tiap keju berdasarkan jenis BAL (Lampiran 12). Jumlah BAL dan angka lempeng total dari ketiga keju dengan starter yang berbeda terdapat pada kisaran 10 9 cfu/gram. Tingginya jumlah BAL pada keju yang dihasilkan dari penelitian ini disebabkan oleh jumlah BAL yang sudah tinggi pada susu yang difermentasi dengan kultur kerja (10 8 cfu/ml). Stabilitas BAL yang berada pada kisaran 10 9 cfu/gram selama 8 minggu disebabkan oleh penyimpanan keju di dalam refrigerator pada suhu 5 C yang dapat menghambat aktivitas metabolisme mikroba dan enzim yang terdapat di dalam keju. 28

Gambar 11. Angka lempeng total pada keju selama penyimpanan 8 minggu Jumlah koloni BAL dari keju dengan starter campuran tidak dapat dibedakan antara koloni Lactobacillus acidophilus dengan Lactobacilus casei. Selain itu, juga tidak dapat ditentukan jumlah dari masing-masing mikroba karena media penumbuh yang digunakan bukan media selektif untuk tujuan tersebut, sehingga jumlah BAL yang dihitung merupakan total dari kedua mikroba tersebut. Kemampuan bertahan dan berkembang dari bakteri Lactobacillus acidophilus maupun Lactobacillus casei pada produk keju, selama proses produksi dan masa simpan, juga telah diuji sebelumnya oleh penelitian yang dilakukan oleh Ong et al. (2006) pada keju cedar yang disimpan selama enam bulan. Jumlah kedua BAL tersebut mencapai 10 8 cfu/gram pada akhir masa simpan. Selain itu, Kasımoğlu et al. (2004) menguji ketahanan Lactobacillus acidophilus pada keju putih, yang merupakan keju berkadar garam tinggi, selama produksi dan masa simpan tiga bulan dengan jumlah Lactobacillus acidophilus berkisar pada 10 6-10 7 cfu/gram pada akhir masa simpan. D. MUTU SENSORI KEJU Analisis sensori bertujuan mengukur nilai kesukaan panelis terhadap aroma, rasa, dan aftertaste dari keju lunak susu kambing. Data hasil penilaian kesukaan panelis terhadap keju dapat dilihat pada Tabel 4 dan Lampiran 13. Tabel 4. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap keju lunak susu kambing Jenis keju Aroma Rasa Aftertaste starter L. acidophilus 11.4 a) 10.4 a) 9.5 a) starter L. casei 12.0 a) 10.4 a) 8.6 a) starter campuran 11.3 a) 10.4 a) 8.9 a) feta komersial 6.7 b) 8.5 a) 5.7 a) Keterangan: Tanda a) dan b) dalam satu kolom menyatakan data berbeda nyata pada taraf alfa 5% 29

Aroma ketiga keju lunak susu kambing yang dihasilkan pada penelitian ini lebih disukai daripada keju feta komersial. Hal itu ditunjukkan dari rata-rata penilaian kesukaan pada ketiga keju tersebut yang lebih besar daripada rata-rata penilaian kesukaan pada keju feta komersial (Tabel 4). Dengan uji ANOVA, rata-rata penilaian kesukaan pada keju lunak susu kambing diketahui berbeda signifikan (P < 0.05) dengan rata-rata penilaian kesukaan pada keju feta komersial (Lampiran 14). Perbedaan aroma antara keju feta komersial dengan ketiga keju lunak susu kambing disebabkan oleh penggunaan bakteri yang berbeda serta cara produksi yang berbeda pula. Aroma dominan dari ketiga keju lunak susu kambing adalah aroma asam. Aroma asam yang paling kuat dihasilkan dari keju dengan bakteri Lactobacillus acidophilus, sedangkan dari keju feta komersial tidak tercium aroma asam, tetapi tercium aroma agak tengik. Selain itu, beberapa panelis mengenali adanya aroma prengus (goaty) pada keju feta setelah mencicipi produk tersebut. Namun, aroma prengus hampir tidak tercium dari ketiga keju lunak susu kambing. Hal itu dikarenakan aroma asam yang dihasilkan oleh BAL dapat menutupi aroma prengus. Berdasarkan uji ANOVA, rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap rasa dari keempat keju tidak berbeda signifikan (P > 0.05) (Lampiran 15). Rasa yang dominan dirasakan oleh panelis pada keju lunak susu kambing maupun keju feta komersial adalah rasa asin. Penambahan garam 2% (b/b) dapat menyebabkan rasa yang terlalu asin. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap aftertaste keempat keju tidak berbeda signifikan (P > 0.05) berdasarkan uji ANOVA (Lampiran 15). Aftertaste yang dirasakan oleh panelis pada keju lunak susu kambing umumnya adalah rasa pahit yang tertinggal. Rasa pahit disebabkan oleh peptida hidrofobik yang berasal dari degradasi kasein hidrofobik oleh enzim proteolitik dari koagulan (rennet). Walaupun begitu, rasa pahit dapat berkontribusi pada pembentukan flavor yang diinginkan pada keju peram (Tejada et al. 2008). Selama penyimpanan 8 minggu, terlihat bahwa keju lunak susu kambing dengan BAL Lactobacillus casei dan campuran menunjukkan terjadinya sineresis, sedangkan pada keju dengan BAL Lactobacillus acidophilus tidak terjadi sineresis. Selanjutnya, keju lunak susu kambing dengan BAL Lactobacillus acidophilus diuji kandungan nutrisi dan cemaran logam. E. KANDUNGAN NUTRISI KEJU Keju merupakan produk yang kaya nutrisi. Analisis kandungan nutisi keju pada penelitian ini meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan karbohidrat by difference. Data kandungan nutrisi keju dapat dilihat pada Tabel 5. Kadar air keju lunak susu kambing pada Tabel 5 masuk dalam kisaran kadar air keju semi keras atau semi lunak (45-55%) (Heller et al. 2008). Kadar air tersebut mendekati kadar air keju feta yang diteliti oleh Park (1990), dimana keju feta merupakan jenis keju semi lunak. Kandungan air yang tinggi pada keju dapat melemahkan struktur jaringan kasein sehingga menghasilkan keju yang kurang keras (bertekstur lemah) (Banks 2007a). Kualitas keju selama masa simpan dapat dipengaruhi oleh kadar air yang tinggi jika tidak ditangani dengan baik, diantaranya terkait dengan kandungan air bebas yang dapat dimanfaatkan oleh bakteri, baik starter maupun kontaminan dari lingkungan. Oleh karena itu, keju dengan kandungan air yang cukup tinggi umumnya dikonsumsi segar dan berumur pendek, sekitar 2 minggu (Walstra 1999). 30

Tabel 5. Komposisi kimia susu kambing PE dan keju susu kambing (berat basah) Parameter (%) Susu kambing PE a Keju lunak susu kambing Keju susu kambing komersial b Fresh soft Feta Cedar SNI c Cedar olahan Air - 52.00±0.67 59.80±6.81 52.30±1.21 41.70±1.76 maks. 45 Abu 0.72±0.13 3.17±0.05 1.74±0.97 4.30±0.27 3.60±0.13 maks. 5.5 lemak 6.10±0.64 23.49±0.68 22.50±4.37 25.30±1.06 26.60±1.13 min. 25 protein 2.97±0.37 15.67±0.03 18.90±5.26 25.10±1.56 30.30±0.56 min. 19.5 karbohidrat - 5.67 - - - - Keterangan : a Hidayat (2009); b Park (1990); c BSN (1992) (-) tidak dilakukan analisis Kadar air juga mempengaruhi rendemen keju. Rendemen keju dapat didefinisikan sebagai bobot keju dalam satuan kg yang dihasilkan dari 100 kg susu (Banks 2007b). Rata-rata rendemen keju yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 23.84% (Lampiran 17). Umumnya, rendemen keju berkisar antara 9-15%, tergantung pada komposisi kimia susu, kasein dan lemak yang terperangkap, terbuangnya komponen penting susu ke dalam whey sebagai akibat penanganan susu dan prosedur pembuatan keju, serta kadar air pada keju (Farkye 2004). Kandungan mineral pada keju ditunjukkan dari kadar abu yang terukur. Selain lemak dan protein, mineral-mineral susu seperti kalsium, fosfor, dan magnesium terkonsentrasi dalam curd yang terbentuk selama proses koagulasi (Miller et al. 2007). Menurut Park (1990), kadar abu keju susu kambing lebih tinggi pada jenis keju keras daripada jenis keju lunak. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh variasi kandungan mineral pada jenis susu yang digunakan atau cara pembuatan keju yang berbeda. Pengasaman dengan cepat oleh fermentasi laktat, yang diikuti oleh keluarnya whey dengan cepat, mendorong terjadinya demineralisasi, sedangkan pengasaman yang lambat namun dengan koagulasi yang cepat, dapat mempertahankan kandungan mineral susu (Guegen 1979 diacu dalam Park 1990). Kandungan lemak di dalam keju tergantung pada jenis susu yang digunakan sebagai bahan baku dan cara produksi keju. Lemak dapat mempengaruhi kekerasan, kelekatan, mouthfeel, dan cita rasa keju (O Brien dan O Connor 2004). Umumnya, keju yang terbuat dari susu kambing memiliki tekstur yang lebih lunak karena mengandung lebih banyak globulaglobula lemak yang berukuran <5 μm daripada susu sapi. Ukuran globula lemak yang lebih kecil menyebabkan luas permukaan lemak semakin besar, sehingga terjadi penyebaran misel kasein yang terjerap pada permukaan globula lemak sekaligus melapisinya (Daulay 1991; Walstra et al. 1999). Keju merupakan produk yang kaya lemak. Lemak dalam susu beserta komponen lainnya yang tidak larut air terperangkap dalam matriks kasein yang terkoagulasi. Persentase kandungan lemak dalam keju lunak susu kambing dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai tersebut lebih rendah 31

dibandingkan nilai kandungan lemak pada keju feta dan cedar dalam penelitian Park (1990), juga lebih rendah dari batas minimum kandungan lemak pada keju cedar olahan menurut SNI. Namun, nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan kandungan lemak pada keju fresh soft dalam penelitian Park (1990). Perbedaan komposisi lemak (%) pada keju lunak, keju semi lunak/semi keras, dan keju keras disebabkan oleh perbedaan dalam proses pengeluaran whey yang akan menentukan kandungan air (%) pada produk akhir, dimana kandungan air pada keju lunak lebih tinggi daripada keju keras. Park (1990) menyatakan bahwa, peningkatan persentase kandungan lemak terjadi dengan semakin menurunnya kadar air. Protein susu, terutama kasein, merupakan komponen terpenting dalam pembuatan keju karena merupakan bahan utama yang akan dikoagulasi hingga membentuk curd, dan selanjutnya diolah menjadi produk keju. Kandungan protein dari susu kambing sebenarnya tidak jauh berbeda dengan susu sapi, namun rasio kasein terhadap total protein pada susu kambing lebih rendah daripada susu sapi (Loewenstein 1982 diacu dalam Zeng 1996). Selain itu, proporsi α s1 -kasein yang lebih rendah pada kasein susu kambing menyebabkan tekstur curd yang terbuat dari susu kambing lebih lunak daripada curd yang terbuat dari susu yang mengandung α s1 -kasein lebih tinggi (Ambrosoli et al. 1988 diacu dalam Thomann et al. 2008). Perbedaan-perbedaan di atas terkait langsung dengan cara pengolahan, yang spesifik secara teknologi, untuk tiap jenis susu, namun belum diketahui pengaruhnya terhadap kandungan nutrisi keju yang dihasilkan (Raynal-Ljutovac et al. 2008). Persentase kandungan protein dalam keju lunak susu kambing tidak jauh berbeda dengan persentase kandungan protein dalam keju fresh soft, namun lebih rendah dari yang terkandung dalam keju feta dan cedar serta di bawah batas minimum yang ditetapkan SNI untuk keju cedar olahan. Seperti halnya lemak, persentase kandungan protein meningkat dengan semakin menurunnya kadar air (Park 1990). Kandungan karbohidrat by difference pada keju lunak susu kambing mencapai 5.67%. Cukup tingginya kandungan karbohidrat disebabkan oleh kandungan whey yang masih cukup tinggi, dimana laktosa dan kandungan gula lainnya berada di dalamnya. F. CEMARAN LOGAM PADA KEJU Analisis cemaran logam pada keju meliputi analisis arsen (As), timbal (Pb), tembaga (Cu), seng (Zn), merkuri (Hg), dan timah (Sn). Kandungan cemaran logam pada keju dapat dilihat pada Tabel 6 dan rekapitulasi data dapat dilihat pada Lampiran 18-23. Analisis cemaran logam pada penelitian ini hanya dilakukan pada produk keju lunak susu kambing, tidak pada susu kambing segar. Oleh karena itu, data dan informasi mengenai cemaran logam pada susu kambing segar berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Güler (2007). Penelitian yang dilakukan oleh Güler (2007) pada susu segar dari kambing Turki lokal menunjukkan tidak terdeteksinya logam As. Hal tersebut dikarenakan kandungan As yang lebih rendah dari batas deteksi (0.001 ppm) alat yang digunakan pada penelitian tersebut. Kandungan As dalam keju lunak susu kambing tidak terdeteksi karena lebih kecil dari batas deteksi alat untuk cemaran logam As (< 0.003 ppm). Menurut Güler (2007), kandungan Pb pada susu dari kambing lokal Turki adalah sebesar 0.06±0.00 ppm (berat basah). Sebelumnya, Coni et al. (1996) juga menguji kandungan Pb pada susu kambing yang diambil dari dua musim yang berbeda, dimana kandungan Pb sebesar 0.050 ppm (berat kering) terdapat pada susu yang diperah pada musim panas dan 0.049 ppm (berat kering) Pb terdapat pada susu yang diperah pada musim dingin. Adanya kontaminasi Pb 32

pada susu dari kambing Turki lokal disebabkan oleh lokasi peternakan yang berada di sekitar area pertanian yang menggunakan pupuk kimia buatan, sehingga pakan (rumput) dapat tercemar oleh Pb dalam pupuk yang terbawa oleh angin, air, atau tanah (Güler 2007). Tabel 6. Kandungan cemaran logam pada susu kambing dan produk keju Keju lunak Keju dari literatur lain SNI d Parameter Susu susu Keju susu Keju susu (ppm) kambing a Cedar olahan kambing kambing b sapi c As tidak <0.003 - - maks. 0.1 terdeteksi Pb 0.06±0.00 <0.01 0.058 - maks. 0.3 Cu 0.48±0.65 13.53 1.45 - maks. 20.0 Zn 4.68±0.74 21.56 17.0 28.1±0.00 maks. 40.0 Hg - <0.0002-0.001±0.00 maks. 0.03 Sn - <0.01 - - maks. 40.01 Keterangan: a Güler (2007), berat basah; b Coni et al. (1996), berat kering, susu yang diperah pada musim panas; c Gambelli et al. (1999); d BSN (1992) (-) tidak dilakukan analisis Kandungan Pb dan Sn pada keju lunak susu kambing tidak terdeteksi karena lebih kecil dari batas deteksi alat untuk cemaran logam Pb dan Sn (<0.01 ppm). Penelitian yang dilakukan oleh Coni et al. (1996) menunjukkan kandungan Pb sebesar 0.058 ppm (berat kering) pada keju dari susu kambing yang diperah pada musim panas dan 0.096 ppm (berat kering) Pb pada keju dari susu kambing yang diperah pada musim dingin. Secara umum, kandungan Pb dalam keju lebih tinggi daripada yang terkandung dalam susu segar. Coni et al. (1996) menyatakan bahwa kandungan Pb yang lebih tinggi pada curd daripada susu segar dikarenakan Pb memiliki afinitas terhadap kasein dan lemak. Hasil penelitian Güler (2007) terhadap kandungan Cu dan Zn pada susu dari kambing Turki lokal dapat dilihat pada Tabel 6. Sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Park (2000) terhadap kandungan mineral pada susu kambing menunjukkan kandungan Cu sebesar 0.39±0.12 ppm (berat basah) dan kandungan Zn sebesar 3.10±0.30 ppm (berat basah). Lebih rendahnya kandungan Cu daripada Zn disebabkan oleh sifat antagonisme di antara keduanya. Pada kebanyakan kasus antagonisme, sejumlah elemen yang saling berinteraksi mempunyai sifat yang hampir sama sehingga terjadi kompetisi dalam menduduki ikatannya dalam protein (Darmono 1995). Kandungan Cu dan Zn terdeteksi pada keju lunak susu kambing namun masih di bawah batas maksimum yang ditetapkan oleh SNI untuk keju cedar olahan. Seperti logam Pb, logam Cu dan Zn juga terikat pada kasein dan lemak sehingga konsentrasinya pada curd lebih tinggi daripada susu segar (Coni et al. 1996). Brule dan Fauquant (1982) mendapati bahwa rata-rata 33

retensi mikromineral yang tinggi di dalam keju disebabkan oleh 95% Zn dan Mn serta 50-75% Cu dan Fe yang terikat pada kasein (Park 1990). Kandungan Cu dalam dua jenis keju susu kambing pada Tabel 6 cenderung lebih rendah daripada kandungan Zn. Penelitian yang dilakukan oleh Park (2000) pada produk komersial susu kambing dan turunannya, termasuk keju, menunjukkan kecenderungan yang sama. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Maas (2010) terhadap keju Comté dari susu sapi. Kandungan Hg pada keju lunak susu kambing tidak terdeteksi karena lebih kecil dari batas deteksi alat untuk cemaran Hg (<0.0002 ppm). Penelitian yang dilakukan oleh Gambelli et al. (1999) mencatat adanya 0.001±0.00 ppm Hg pada keju susu sapi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muñoz et al. (2005) untuk memperkirakan jumlah asupan kontaminasi logam dari makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat Santiago, Chili, diketahui bahwa rata-rata kandungan Hg dari produk susu adalah <0.001 ppm dari rata-rata konsumsi 175.1 g/hari susu. Lalu, rata-rata kandungan Hg dari sejumlah produk turunan susu [yoghurt (71.8 g/hari), keju (41.2 g/hari), mentega (1.3 g/hari), Desserts (64.7 g/hari), dan produk lainnya (53.1 g/hari)] adalah <0.001 ppm dari rata-rata konsumsi 232.0 g/hari dari total semua produk. Kandungan Hg dari semua hasil penelitian tersebut berada di bawah standar yang ditetapkan SNI untuk keju cedar olahan, yaitu maksimum sebesar 0.03 ppm. Cemaran Hg jarang terjadi pada produk pertanian darat dan umumnya terjadi pada produk-produk asal laut. Muñoz et al. (2005), mencatat adanya kandungan Hg sebanyak 0.048 ppm dari rata-rata konsumsi 33.1 g/hari produk ikan dan kerang-kerangan. 34