KPH DAN PERDAGANGAN KARBON Oleh : Dr. Acep Akbar I.Pendahuluan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan perdagangan karbon (Carbon trading) merupakan dua istilah yang sedang menjadi topik hangat pada pengelolaan hutan Indonesia (Selama ini istilah KPH baru digunakan didalam Perum Perhutani yang menunjukkan Kesatuan Pengangkuan Hutan di Jawa khususnya hutan jati). KPH dapat diartikan sebagai satuan unit pengelola hutan, sedangkan perdagangan karbon merupakan pola usaha/bisnis baru dalam memanfaatkan hutan. Hutan dinilai tidak hanya kayu atau HHBK-nya saja, melainkan jumlah karbon yang dikandungnya juga dinilai. Kedua hal tersebut apabila dipadukan akan menjadi sistem usaha dan manajemen baru yang perlu difahami secara seksama oleh masyarakat. Tiga macam hutan berdasarkan fungsinya yaitu hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi akan mengalami cara pengelolaan baru dimana satuan unit pengelolaannya berbasis KPH. KPH sendiri adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara lestari oleh Organisasi KPH. Perdagangan karbon hutan dengan pengelola organisasi KPH akan lebih menguntungkan negara karena organisasi tersebut merupakan perpanjangan tangan pemerintah yang akan berorientasi kelestarian dan keuntungan. Memanfaatkan hutan melalui jasa pengikat karbon dioksida (CO 2 ) di udara untuk memitigasi gas rumah kaca dan sebagai penyimpan karbon (carbon stock) yang tidak teremisikan akan lebih menjamin pengurangan kerusakan hutan. Pemahaman KPH dan perdagangan karbon oleh semua pihak sangat diperlukan. Tulisan ini memberikan informasi umum tentang fungsi KPH, jenis-jenis usaha yang dapat dilakukan KPH, perdagangan karbon, dan fungsi KPH dalam perdagangan karbon. II. Fungsi KPH Pengelolaan hutan di Indonesia mau memasuki pola baru dari berbasis konsesi Unit Pengelola Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh swasta menuju Unit Pengelola KPH oleh Pemerintah. Peran organisasi KPH di dalam Kementerian Kehutanan adalah mirip dengan rumah-rumah sakit di dalam Kementerian Kesehatan. Dinas Kehutanan berfungsi sebagai satuan-satuan fungsi administrasi, sedangkan KPH merupakan satuan-satuan fungsi usaha atau bisnis dalam hutan. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagaimana diatur didalam Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Setiap KPH akan dipimpin oleh Kepala KPH yang memiliki 1
kewenangan dan tanggung jawab dalam mengelola hutan dalam wilayah yang dikelolanya. Dengan pola pengelolaan seperti ini kontrol pemerintah akan lebih efektif, karena KPH itu sendiri merupakan lembaga pelaksana dari kebijakan kementerian kehutanan, pemerintah provinsi, dan pemerintah Kabupaten/Kota. Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi: tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi, serta perlindungan hutan dan konservasi alam. Aktivitas tata hutan meliputi : tata batas, inventarisasi hutan, pembagian kedalam blok atau zona, pembagian kedalam petak dan anak petak, dan pemetaan. Dokumen tersebut disusun dalam bentuk buku dan peta penataan KPH. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan kawasan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya. Dalam aplikasinya pengelolaan hutan harus memberdayakan masyarakat dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan kemitraan. Kepala KPH harus mampu menyusun rencana pengelolaan hutan di wiayahnya dalam jangka panjang (Misalnya 25 tahun) serta menentukan tujuan pengelolaan yang akan dicapai KPH. Dari rencana jangka panjang itulah akan disusun beberapa rencana jangka pendek (misalnya 5 tahun) yang lebih operasional disusun oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala KPH. Dengan demikian sebuah rencana realistis akan tersusun baik di kawasan hutan lindung dan hutan produksi maupun hutan konservasi. KPH dapat terbagi menjadi KPHL (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung), KPHP (Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi), dan KPHK (Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi). III.Jenis-jenis Usaha Yang Dapat Dilakukan Oleh Organisasi KPH Usaha-usaha potensial yang dapat dilakukan oleh KPH tergantung kepada fungsi hutan yang akan dikelola. Sebagai contoh, untuk pemanfaatan kawasan pada hutan lindung, jenis usaha yang dapat dilakukan adalah : (1) budidaya tanaman obat, (2) budidaya tanaman hias, (3) budidaya jamur, (4) budidaya lebah, (5) penangkaran satwa liar, (6) rehabilitasi satwa liar, (7) dan (8) budidaya hijauan makanan ternak. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung yang potensial dapat dilakukan di antaranya adalah : (1) pemanfaatan jasa aliran air, (2) pemanfaatan air, (3) wisata alam, (4) perlindungan keanekaragaman hayati, dan (5) penyerapan dan penyimpanan karbon. 2
Dalam pelaksanaannya pelaku usaha yang dapat terdiri dari perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah dikoordinir oleh KPH. Lama izin usaha yang dapat diberikan adalah 10 tahun dan dapat diperpanjang setiap satu tahun. Luas areal yang dapat diberikan izin usaha adalah paling luas 50 hektar per izin dan pelaku usaha dapat diberikan 2 macam izin didalam satu Kabupaten/kota. Khusus usaha penyerapan dan penyimpanan karbon hutan dapat diberikan izin yang cukup lama yaitu dapat mencapai 30 tahun, sedangkan syarat luasan mengikuti kelayakan kebutuhan investasi. Izin usaha penyerapan dan penyimpanan karbon dapat diberikan baik didalam hutan lindung maupun hutan produksi. Izin dapat diperoleh dari Menteri Kehutanan, Gubernur, dan Bupati/Walikota atas sepengetahuan kepala KPH. Untuk itu, peran Menteri Kehutanan, Gubernur, dan Bupati/Walikota adalah sebagai Pembina KPH. Dalam Peraturan menteri kehutanan no.p.6/menhut-ii/2010, izin usaha pemanfaatan hutan oleh Gubernur, Bupati dan Walikota diberikan hanya untuk hutan lindung dan hutan produksi, Sedangkan untuk hutan konservasi menjadi kewenangan Menteri Kehutanan. Ada dua type organisasi KPH yaitu type A dan type B. Susunan organisasi KPHL dan KPHP Provinsi,Kabupaten/Kota type A terdiri dari : (1) Kepala KPH, (2) Sub Bag Tata Usaha, (3) Seksi, paling banyak 2 seksi), dan (4) Kelompok Jabatan Fungsional. Organisasi KPH type B terdiri dari : (1) Kepala KPH, (2) Sub Bag Tata Usaha, dan (3) Kelompok Jabatan Fungsional. Pengelolaan hutan dengan basis KPH ini akan menjadikan pemerintah lebih mengetahui kondisi komunitas hutan di lapangan karena organisasi KPH akan lebih dekat dengan obyek hutan yang dikelolanya. Dengan demikian permasalahan hutan akan lebih difahami dan ditindaklanjuti dengan pengusahaan hutan yang konkrit dan realistis agar menguntungkan pemerintah dan masyarakatnya. Selain itu, fungsi kontrol pemerintah akan lebih intensif akibat manajemen yang bersifat internal. Kini pola manajemen pengelolaan hutan dengan satuan KPH akan menghadapi bisnis baru yaitu perdagangan karbon yang berskala internasional. IV. Perdagangan Karbon Hutan Perdagangan karbon hutan adalah jual beli karbon dalam bentuk senyawa karbon organik yang dikandung komunitas hutan setelah dikonversi kedalam bentuk senyawa karbon dioksida (CO 2 ). Hutan terdiri dari bahan organik baik berupa biomassa hidup maupun biomassa mati yang semuanya mengandung senyawa karbon organik. Setiap satuan biomassa kering mengandung kurang lebih 50% senyawa karbon organik (Brown,1997). Biomassa hidup terdiri batang, cabang, ranting, daun, dan akar 3
tumbuhan yang masih hidup di dalam hutan. Biomassa mati terdiri dari serasah, dahan, ranting, dan akar yang telah mati. Khusus hutan rawa gambut, tanah gambut merupakan biomassa mati yang berpotensi besar mengandung karbon hutan. Biomassa hutan terdiri dari biomassa atas (above ground biomass) dan biomassa bawah (bellow ground biomass). Biomassa atas hutan adalah berupa batang, cabang, ranting, dan daun, sedangkan biomassa bawah berupa akar dan tanah gambut. Pada kondisi biomassa yang padat, vegetasi tumbuhan bawah dapat dihitung sebagai biomassa atas. Terjadinya perubahan iklim telah banyak dibuktikan secara ilmiah. Musim kemarau yang semakin panjang serta musim penghujan yang relatif pendek dengan intensitas hujan yang tinggi merupakan bukti nyata adanya perubahan iklim. Hal ini berdampak pada berbagai kehidupan manusia seperti kekeringan yang berkepanjangan, gagal panen, krisis pangan, air bersih, pemanasan permukaan laut serta banjir dan tanah longsor. Dampak perubahan iklim akan sangat dirasakan oleh negara berkembang akibat tidak mampu membangun struktur untuk beradaptasi, walaupun negara maju pun merasakan dampak perubahan iklim. Upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim secara global telah dimulai sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth summit) di Rio De Janeiro Brazil tahun 1992. Pada KTT tentang lingkungan dan pembangunan yang dikenal dengan nama United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) tersebut, lebih dari 180 negara telah sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Frameworks Convention on Climate Change, UNFCCC). Pada KTT Bumi tersebut UNFCCC telah ditandatangani oleh 154 wakil negara dan pada tanggal 21 Maret 1994, UNFCCC telah mempunyai kekuatan hukum. Indonesia telah meratifikasi UNFCCC dengan Undang-undang No.6 Tahun 1994 tentang perubahan iklim. Konvensi internasional tersebut bertujuan untuk menstabilkan emisi gas rumah kaca (GRK) dunia ke atmosfer pada tingkat tertentu sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Sejak tahun 1995, para pihak telah bertemu setiap tahun melalui Konferensi Para Pihak (Conference on Parties, COP) guna menerapkan dan mengimplementasikan kerangka kerja tersebut. Hasil dari COP ke 3 di Kyoto tahun 1997, yang dikenal dengan Protokol Kyoto telah mengadopsi aturan hukum mengikat (legal binding) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) bagi negara industri yang diistilahkan dengan negara Annex I. Negara Annex I akan mengurangi total GRK sedikitnya 5% dibandingkan dengan tingkat GRK pada tahun 1990, yang harus dicapai pada tahun 2008-2012. Dengan target tersebut seluruh negara maju yang terdaftar dalam Annex I harus menurunkan emisi karbon gas rumah kaca sebesar 13,7 Giga Ton. 4
Untuk mencapai target penurunan emisi karbon, maka timbulah semacam perdagangan karbon dengan skenario mekanisme Kyoto yang terdiri dari tiga kegiatan yaitu Joint Implementation (JI), mekanisme pembangunan bersih (Clean development Mechanism, CDM), dan Perdagangan Emisi (emission trading, ET). Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) atau Clean Development Mecanism (CDM) adalah satu-satunya mekanisme fleksibel dimana negara-negara berkembang dapat berpartisipasi, sedangkan JI dan ET hanya dapat dilakukan antara negara maju. Mekanisme tersebut menghasilkan unit pengurangan emisi (Emission Reduction Unit, ERU), untuk JI. Pengurangan emisi yang disertifikasi (Certified Emission Reduction, CER) untuk CDM, dan unit jatah emisi (Assigned Amount Unit, AAU). CDM/MPB memungkinkan Indonesia sebagai negara berkembang menghasilkan Sertifikat Penurunan Emisi (CER) melalui kegiatan pembangunan hutan tanaman sebagai bagian dari proyek Aforestation/Reforestation Kehutanan. Kini peluang perdagangan karbon selain dapat dilakukan melalui mekanisme CDM (Clean Development Mecanism) juga dapat dilakukan melalui skema REED + (Reducing Emission From Deforestation and Degradations). Kyoto Protokol menghasilkan mekanisme CDM yang salah satunya adalah Aforestation-Reforestation CDM, sehingga Indonesia layak untuk mendapatkan kegiatan. Namun demikian, sementara ini menunjukkan bahwa walaupun reforestasi telah membudaya lama di Indonesia dan secara finansial ekonomi menguntungkan, ternyata proses untuk mengajukan kegiatan ini menuju mekanisme A/R CDM tidak mudah. Diantara persayaratan pengajuan yang belum mampu dipenuhi di Indonesia adalah lahan/lokasi MPB harus bebas konflik, layak berdasarkan definisi Protokol Kyoto diantaranya tidak mempunyai resiko sosial yang tinggi seperti kepadatan penduduk yang tinggi, pendidikan yang terlalu rendah, dan kepemilikan lahan yang tidak jelas. Selain itu, kebutuhan waktu dan biaya untuk memperoleh sertifikasi dan proses konsultasi telah menjadi penghambat pengembang. Pembentukan forum MPB di daerah yang berfungsi dalam koordinasi, fasilitasi dan sinkronisasi kegiatan MPB sangat diperlukan untuk mengurangi biaya pengurusan. Aturan perdagangan karbon tertuang didalam PP no.20 tahun 2012. Perdagangan karbon dalam skema REDD muncul setelah diketahui bahwa terdapat penurunan stok karbon dalam biomas hutan di Afrika, Asia, dan Amerika Latin selama periode 1990-2005. Emisi dari deforestasi di negara berkembang diperkirakan akan terus meningkat sebagai konsekuensi dari pertambahan penduduk, keperluan pembangunan, dan lainnya. Apabila tidak ada intervensi kebijakan yang memungkinkan negara berkembang mengurangi deforestasi dengan tetap menjamin keberlanjutan pembangunan nasional. Secara global stok karbon dalam biomas menurun sebesar 1,1 Gton per tahun. Insentif akan diberikan oleh negara-negara maju kepada negara- 5
negara berkembang yang dapat mengurangi emisinya melalui pembayaran dana konvensasi REDD berdasarkan nilai karbon yang tidak jadi menghilang. Kesepakatan ini diawali oleh usul yang dikemukakan oleh Papua New Guinea (PNG), Costarica, dan negara-negara yang tergabung dalam koalisi pemilik hutan tropis (Coalition for Rain forest Nation/CIRN) pada pertemuan COP 11 di Montreal pada tahun 2005. Pada COP 13 di Bali telah berhasil disepakati beberapa hal penting terkait dengan aspek-aspek REDD yang akan dibawa menuju COP 15 (tahun 2009) di Denmark. Harapan kesepakatan mengenai modality, aturan, dan prosedur implementasi akan terjadi di pertemuan Conference of the parties tersebut. Walaupun skema REDD sampai saat ini masih dalam proses negosiasi di bawah COP-Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC), namun langkah-langkah menuju kesepakatan telah terjadi. Untuk sementara, perdagangan karbon dalam rangka pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi yang terjadi adalah melalui pasar sukarela (voluntary market). Pasar karbon yang ada saat ini adalah melalui berbagai mekanisme baik di bawah Kyoto Protokol maupun pasar sukarela. Mekanisme Kyoto Protokol adalah melalui Joint Implementation/JI dan emission Trading/ET antar negara maju, atau melalui Clean Development Mechanism/CDM, antar negara maju dengan negara berkembang. Saat ini beberapa contoh proyek yang berhubungan dengan REDD di Kalimantan Tengah telah dimulai seperti : (1)Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP), (2) Katingan Conservation Area A global Peatland Capstone Project, (3) Lamandau :Rare (Yayorm), (4) REDD + in Sebangau National Park, (5) The Rimba Raya Biodiversity Reserve Project. Potensi Indonesia didalam perdagangan karbon melalui REDD dijelaskan sebagai berikut : Di tingkat global, emisi tahunan dari deforestasi sebesar 4,8 Gt CO 2 (1,3 Gt C), potensi pengurangan emisi antara 10-50%, dan harga $ 7-20/tCO 2, potensi pasar adalah US $ 2-31 milyar per tahun. Hasil studi IFCA (2007), Indonesia, dengan menggunakan data laju deforestasi antara tahun 2000-2005 sekitar 1,2 juta hektar pertahun dan asumsi stok karbon antara 100-300 ton per hektar(368-1104 ton CO 2 per ha), maka potensi REDD antara USD $ 0,31-13,25 Milyar. Untuk menghitung karbon hutan, negara maju sepakat memberikan dukungan untuk capacity building, transfer teknologi dibidang metodologi dan institusional, pilot/demonstration activities. Demonstration activities harus mendapat persetujuan host Party yang dalam hal ini Pemerintah. Perhitungan pengurangan/peningkatan emisi harus sesuai hasil, terukur, transparan, dapat diverifiasi, dan konsisten sepanjang waktu. Pelaporan menggunakan reporting guideline (good practice guidance for land use, land use change and forestry) sebagai dasar perhitungan dan monitoring emisi. 6
V.Fungsi Organisasi KPH dalam Perdagangan Karbon KPH dalam arti organisasi dapat menjadi basis pengusahaan karbon hutan karena organisasi tersebut dapat menunjuk kepada suatu wilayah, perangkat sumberdaya manusia yang terorganisir, dan sistem manajemen tertentu dalam pengelolaan hutan. Perdagangan karbon akan menjadi salah satu bisnis KPH yang menjanjikan di masa depan. Protokol Kyoto telah diperpanjang sampai dengan tahun 2020 berdasarkan kesepakatan dalam pertemuan UNFCCC di Doha, Desember 2012. Menurut Yeti R., Staf Ahli Menhut Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim (2013), saat ini harga senyawa karbon sekitar 10 Juta US dolar/ton. Indonesia dapat menghasilkan 250 juta ton karbon per tahun, sehingga Indonesia dapat menerima 2,5 Milyar US $ /tahun. Selain itu, perdagangan karbon melalui skema REDD akan terus mengalami perkembangan hingga ke tahap implementasi. Kedua bisnis tersebut akan memberi peluang kepada Indonesia untuk memperoleh dana pengelolaan hutan tanpa harus selalu menebang pohon. Beberapa pihak atau unit usaha yang dapat di koordinir KPH dalam perdagangan karbon ini adalah perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah. Ketika dana konvensasi REDD dan AR/CDM terimplementasi, maka fungsi KPH juga harus mampu membangun dan mengembangkan perusahaan, organisasi dan sumberdaya manusia perusahaan yang modern, professional, dan handal serta memberdayakan masyarakat desa hutan melalui pengembangan lembaga perekonomian koperasi masyarakat desa hutan dan petani hutan. Pada tingkat yang lebih luas, KPH harus mampu mendukung dan turut berperanserta dalam pembangunan wilayah secara regional dan nasional, serta memberikan kontribusi secara aktif dalam masalah lingkungan regional, nasional, dan internasional. Didalam organisasi KPH Pengukuran karbon dapat dilaksanakan oleh mitera usaha dan sepenuhnya menjadi kewenangan KPH. Perhitungan karbon hutan harus menggunakan panduan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dengan prinsip measurable (dapat diukur), reportable (dapat dilaporkan), dan verifiable (dapat diverifikasi). Pengukuran karbon hutan termasuk kedalam AFOLU (Agriculture, Forestry, other Land Use). Pengukuran menggunakan kombinasi remote-sensing dan ground base inventory. Hasil perhitungan harus terbuka dan transparan untuk direview. Ilustrasi hubungan antara KPH dengan perdagangan karbon dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Peran pohon hutan sebagai penyerap CO 2 diilustrasikan dalam Gambar 3. 7
Dephut,Gub. /Kab.Kota Hutan Lindung Negara Anex B/Negara Industri CDM Executif Board/UNFCCC/ COP KPH Hutan Produksi Hutan Konservasi Menghitung Jumlah Karbon CO 2 dlm ton/ha Negara Berkembang dan mempunyai hutan AR CDM& REDD Perdagangan Karbon KomNas MPB/Komisi REDD/idependen Pengusul Proyek/Pengembang Gambar 1. KPH dan Perdagangan Karbon Badan Eksekutif MPB-10 Anggota Pemerintah Kabupaten,Propi nsi, Nasional Akreditasi Entitas Operasional Pendaftaran Proyek MPB Entitas operasional Verifikasi KPH Pengembang DRP/PDD Baseline Monitoring Persetujuan Validasi termasuk metode baru Laporan Monitoring Sertifikasi SPE/ CER Kementerian Kehutanan Komnas MPB/DNA Tingkat Daerah Tingkat Nasional Tingkat Internasional Gambar 2 : Mekanisme Perolehan SPE Karbon dan Kelembagaan MPB di Indonesia (Ginoga et al, 2007) 8
FOTOSINTESIS : Cahaya+Air+Hara Produksi gula diteruskan ke seluruh tubuh tanaman Air masuk ke Daun CO2 masuk ke daun melalui Stomata Energi cahaya Kloroplas menyerap energi dari cahaya Gambar 3. Skema Pohon Sebagai Penyerap CO 2 Melalui Fotosintesis VI.Penutup KPH merupakan satuan unit pengelolaan hutan milik pemerintah yang dalam arti organisasi pada dasarnya mempunyai misi mengelola sumberdaya hutan dengan prinsip pengelolaan hutan lestari berdasarkan karakteristik wilayah dan daya dukung ekosistem serta daerah aliran sungai untuk meningkatkan manfaat hasil hutan kayu dan bukan kayu, ekowisata, jasa lingkungan, agroforestry, penyerapan karbon serta potensi usaha berbasis kehutanan lainnya guna menghasilkan keuntungan untuk menjamin pertumbuhan perekonomian secara berkelanjutan. Perdagangan karbon hutan adalah jual beli senyawa karbon dalam bentuk biomassa tumbuhan hutan setelah dikonversi kedalam senyawa karbon dioksida (CO 2 ) yang dilakukan antara negara industri/maju Anex 1 sebagai emitter dengan negara berkembang yang memiliki hutan sebagai penurun emisi gas rumah kaca. Perdagangan tersebut muncul setelah manusia pecinta lingkungan sadar bahwa saat ini telah terjadi peristiwa perubahan iklim membahayakan kehidupan manusia akibat terjadinya pemanasan bumi (global warming) hasil peningkatan gas rumah kaca di atmosfer. Hutan diakui sebagai pengikat CO2 dan penyimpan karbon organik terbesar. Usaha perdagangan karbon akan lebih menguntungkan negara jika dikelola oleh pemerintah melalui unit pengelola KPH. Karena pada dasarnya organisasi KPH merupakan perpanjangan tangan pemerintah yang berorientasi keuntungan dan kelestarian. Para pihak yang dapat terlibat permitra dengan KPH dalam bisnis hutan 9
dapat bersipat perorangan dari masyarakat, koperasi, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi hutan desa, badan usaha milik swasta, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah. Pustaka Brown, S. 1997. Estimating biomass and Biomass change of tropical forests; a primer, FAO. Forestry paper 134, Rome, 87 pp. Ginoga K.L., A.Ng. Ginting dan A. Wibowo, 2008. Isu Pemanasan Global UNFCCC Kyoto Protokol dan Peluang Aplikasi A/R CDM di Indonesia. Badan Litbang Kehutanan Lehninger, 1991. Dasar-dasar Biokimia Jilid 2. Terjemahan Maggy Thenawijaya. Penerbit Erlangga. Jakarta. Nur Masripatin, 2007. Apa itu REDD. Reducing Emission from Deforestation and Degradation in Developing Countries. Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Negara Berkembang. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : 6 tahun 2007. Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan. Jakarta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.6/Menhut-II/2010. Tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Keriteria Pengelolaan Hutan Pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Jakarta. UNEP. 1999. Convention on Climate Change. Unit Nations Famework Convention on Climate Change. UNEP/IUC/99/2. 10
11