533 BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan sebagai landasan relasi manusia-tuhan-alam semesta. Kosmologi keraton mengandung aspek-aspek hubungan manusia secara vertikal dengan Tuhan, serta aspek-aspek hubungan manusia secara horizontal dengan sesamanya. Dunia dipahami dengan kesadaran batin dan pikiran, tercermin dalam konsep kebenaran, kebaikan, dan keindahan untuk mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup. Pemahaman itu terwujud dalam bentuk tata ruang keraton serta makna filosofisnya. Hal ini mengambarkan bahwa wahyu Ilahi (petunjuk dari Tuhan) dapat dicapai oleh seseorang (dalam wahyu) dengan menyatukan cipta, rasa, dan karsa, sehingga tercipta kesempurnaan yang baik, benar, dan indah sesuai harapan/cita-cita hidup. Keraton Yogyakarta, sebagai pusat kosmis, memiliki garis penunjuk arah timur-barat dan utara-selatan yang melambangkan keselarasan dan keseimbangan semesta alam yang mengarah kepada kerukunan dan kedamaian hidup menuju ketertiban dunia yang dicita-citakan. Keserasian dan keselarasan antara alam
534 kodrati dan alam adikodrati menjadi prinsip utama dalam kehidupan. Segala sesuatu hakikatnya adalah Satu, merupakan satu kesatuan hidup, dan kehidupan dalam makrokosmos dipandang sebagai sesuatu yang teratur dan telah tersusun secara hierarkis. Dalam tatanan ini kedudukan titik pusat sangatlah dominan sebagai penjaga kesetabilan keseluruhan tatanan. Konsep pemikiran di atas, secara aplikatif tercermin pada tata ruang Keraton Yogyakarta. Tata letak ruang disusun berdasarkan pertimbangan proses kehidupan manusia, mulai dari lahir sampai menghadap Sang Pencipta (awal-akhir alam semesta/ Sangkan Paraning Dumadi dan Sangkan Paraning Manungsa). Secara horizontal manusia menemukan dialog dan rekonfirmasi dengan dirinya serta kebutuhan material yang harus diperolehnya, sedangkan secara vertikal terkait dengan dunia bawah dan dunia atas dalam konsep sampurnaning ngaurip. Tata susun yang ada merupakan usaha raja untuk menyelaraskan kehidupan raja dan rakyat dengan jagad raya. Tata ruang Keraton Yogyakarta kemudian menjadi salah satu simbol yang mempunyai makna ajaran yang mengingatkan manusia agar selalu berbuat baik kepada sesamanya dan senantiasaa mengagungkan kebesaran Tuhan, lebih menghargai dan memanfaatkan hidup agar selaras dengan lingkungannya.
535 Tatanan harmoni kesatuan manusia, Tuhan dan alam semesta itu menunjuk adanya pertemuan dalam satu kesatuan antara kehidupan manusia, alam, dan kehadiran penyertaan Tuhan. Konsep ruang terbuka, ragam hias yang sarat dengan ekspresi alam semesta, bangunan yang mengekspos material alam dan memperhatikan kekuatan struktur, tata ruang yang sarat dengan nilai sosial budaya, mengungkapkan interior sebagai perwujudan kesatuan manusia, alam dan Tuhan, hubungan kesatuan vertikal-horizontal atau yang transenden-imanen. Tata ruang interior Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan pemahaman mendalam mengenai unsur eksoteri dan esoteri. Estetika tata ruang interior Keraton Yogyakarta dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Bentuk tata ruang interior Keraton Yogyakarta menunjukkan gaya desain yang mempertimbangkan kesatuan unsur alam, aktivitas manusia, dan relasi dengan Tuhan, sehingga ciri khas tata ruang interior Keraton Yogyakarta dapat dikembalikan kepada tiga unsur dasar tersebut. Secara kebentukan, tata ruang interior Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan pertimbangan komprehensif dan mendalam atas sendi-sendi kehidupan duniawi-rohani, sehingga diperoleh harmoni antara satuan dengan satuan dan satuan dengan keseluruhan. Tata ruang itu menunjukkan tatanan berpasangan, bermakna
536 kesuburan. Ekspresi bentuk dan isi pada tata ruang bukan hanya sebagai ungkapan estetis dan fungsional semata, tetapi juga merupakan ungkapan simbolik kesatuan hubungan vertikal dan horizontal yang tercipta secara harmonis. 2. Kedalaman rasa dan pertimbangan intelektual menimbulkan kepekaan etika, moral, mental, dan estetika, yang pada akhirnya menciptakan keselarasan dan keseimbangan antara perasaan dan pikiran (rasa dan logika) yang dibangun berdasarkan pertimbangan fisik fungsional, keindahan yang layak dinikmati dengan baik secara berkelanjutan. Energi dan cahaya illahi diterima Sultan Hamengku Buwana I dan penerusnya dalam wahyu sebagai Kalifatullah Sayiddin Panatagama untuk menyebarkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan ke segala arah (hamêmayu hayuning bawana). Dengan demikian, perubahan ideologi dari sistem feodal ke sistem demokrasi, yaitu dari keraton sebagai pusat kekuasaan kerajaan (mengendalikan sistem pemerintahan) kemudian menjadi rumah tinggal sultan yang bersifat tertutup, kemudian berubah lagi menjadi museum yang hidup yang dapat diakses oleh masyarakat luar, pembaruan yang terjadi memperkaya nilai tradisi yang sudah berlangsung secara sinergis. 3. Secara konseptual, ide dasar yang melandasi tata ruang Keraton Yogyakarta terjadi secara sinkretik, sehingga nilai lama
537 masa pra-hindu, Hindu, Islam, dan masa pengaruh Barat luluh menjadi ruh esoteri (pesan atau isi spiritual) tata ruang keraton yang menciptakan suasana tertib, tenang, dan indah. Ada keselarasan jagad mikro dengan jagad makro menjadi refleksi periode zaman yang berlanjut. Dalam konteks tata ruang interior keraton, ruang kemudian menjadi media ekspresi atas realisasi hidup susila, hidup secara benar, perilaku normatif yang selaras dengan alam semesta, dan ruang menjadi media pembelajaran yang mendidik manusia secara utuh. Secara keseluruhan dapat ditegaskan, bahwa estetika tata ruang interior Keraton Yogyakarta merupakan totalitas perwujudan konsep Harmoni dalam kesatuan dan keseimbangan. Konsep ini dilandasi tiga orientasi, yakni orientasi realitas alam, orientasi cipta-rasa-karsa manusia, dan orientasi kepada Tuhan. Ekspresi estetika tata ruang interior Keraton Yogyakarta merepresentasikan empat warna (empat matra karakter yang esensial) dalam diri sebagai cermin tingkat kesadaran pribadi, dilanjutkan tingkat kelima tanpa warna sebagai puncak capaian dalam hidup. Dengan kesadaran itu, selanjutnya memancar ke lingkungan yang lebih luas. Ini merupakan kearifan lokal yang terbawa ke masa depan, yang akan merangsang gagasan kreatif untuk ciptaan baru sesuai jiwa zaman, bukan hanya sekedar pemecahan kebutuhan masa kini.
538 Oleh sebab itu, estetika tata ruang interior bukan hanya menjawab persoalan struktur, fungsi, dan gaya, bukan hanya memenuhi kenyamanan secara persepsi visual semata, melainkan wujud penggabungan secara harmonis antara yang empirik dan yang meta-empirik dalam kesatuan dan keseimbangan. B. Saran-Saran Saat ini, nilai-nilai budaya tradisional dan modern secara simultan sinergis berdampingan dalam pembaruan. Keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni meningkatkan kehidupan manusia menjadi lebih baik. Kehadiran dua budaya ini sering menjadi fenomena sosial kultural yang kontradiktif. Agar tidak terjadi ketimpangan, pengembangan tata ruang yang berorientasi menjaga kearifan budaya perlu menjalin hubungan yang harmonis antara manusia, semesta alam, dan Tuhan. Hubungan sinergis ini merupakan wujud kearifan masyarakat tradisional dalam menjaga ekosistem yang mendatangkan kedamaian, kontras dengan kehidupan modern yang selalu mempertimbangkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas pemenuhan kegiatan. Fenomena sosial kultural masyarakat modern menunjuk pada kekuasaan dan materialis sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, walaupun juga memberi kemudahan dan kenyamanan dalam berbagai pemenuhan
539 kebutuhan. Modernisasi saat ini menjadi jendela bagi terbukanya segala kemungkinan untuk perubahan yang cepat. Segala sesuatu tampak tidak ada batas yang jelas, kelihatan samar dan kabur. Agar potensi tradisi dapat menjadi kekuatan dan identitas bangsa, maka perlu pemahaman yang holistik dan komprehensif. Perancangan tata ruang interior yang mengacu pada nilai tradisi sebagai ide/inspirasi desain, perlu memperhatikan sistem nilai masyarakat di mana bangunan tersebut akan didirikan. Penerapan nilai-nilai tradisi dalam penciptaan berarti menempatkan seni dan desain sebagai media ekspresi yang mengemban tugas bermuatan nilai kehidupan sesuai jiwa zaman. Selain memberi ruang untuk pengembangan penelitian, juga memberi kesempatan untuk aktivitas perancangan kreatif dan inovatif di era global. Desainer harus memperhatikan kesesuaian pola pikir masyarakat, lingkungan, dan perkembangan zaman. Hal-hal yang bersifat teknik arsitektur sangat dimungkinkan untuk dilakukan penelitian lanjutan. Akan tetapi, perancangan tata ruang tidak hanya memperhatikan aspek fisik dan fungsi saja, tetapi perlu memperhatikan aspek budaya (isi atau ruh). Eksistensi tata ruang interior Keraton Yogyakarta dengan berbagai perubahannya ini dapat menjadi model pelestarian kearifan lokal budaya bangsa yang diyakini akan bermanfaat bagi masyarakat di tengah kehidupan modern.