BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dinamakan mampu berbuat hamemayu hayuning bawana (Suwardi Endraswara,

Estetika Desain. Oleh: Wisnu Adisukma. Seni ternyata tidak selalu identik dengan keindahan. Argumen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi

KONSEP PERANCANGAN. 1. Ide Desain Ide dari desain mebel yang akan dibuat berangkat dari keinginan desainer untuk memberikan makna terhadap sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

Bab I Pendahuluan BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk

BAB III KONSEP PERANCANGAN A.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seni adalah karya cipta manusia yang memiliki nilai estetika dan artistik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dihargai keberadaannya. Penenelitian tentang tattoo artist bernama Awang yang

BAB V P E N U T U P. A. Kesimpulan. berikut ini. Pertama, dinamika historis masyarakat Hatuhaha Amarima selalu

BAB I PENDAHULUAN. kelompok atau lapisan sosial di dalam masyarakat. Kebudayaan ini merupakan suatu cara

ESTETIKA BENTUK Pengertian. Estetika adalah suatu kondisi yang berkaitan dengan sensasi keindahan yang dirasakan seseorang

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB IV STANDAR KOMPETENSI GURU. Setelah membaca materi ini mahasiswa diharapkan memahami standar

Fungsi Apresiasi dan Kritik dalam Pendidikan Seni Rupa

BAB VI KESIMPULAN. kesenian yang khas. Konsep akan yang indah (beauty) itu sendiri seiring waktu

BAB I PENDAHULUAN. perasaan, yaitu perasaan estetis. Aspek estetis inilah yang mendorong budi

BAB III METODE PERANCANGAN. kualitatif, karena penelitian ini bertujuan membuat deskripsi, gambaran atau

I. PENDAHULUAN. dilestarikan dan dikembangkan terus menerus guna meningkatkan ketahanan

KESIMPULAN. Berdasarkan keseluruhan uraian dapat disimpulkan. penemuan penelitian sebagai berikut. Pertama, penulisan atau

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

I. PENDAHULUAN A. Penjelasan Tema / Ide /Judul Perancangan B. Latar Belakang Perancangan

MATA DIAFRAGMA VISUALISASI DENAH DENAH STUDIO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Novi Pamelasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Moses, 2014 Keraton Ismahayana Landak Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan negara. Di negara-negara maju, pendidikan sangat

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan.

BAB I PENDAHULUAN. yang termasuk dalam aspek kebudayaan, sudah dapat dirasakan oleh

STANDAR KOMPETENSI GURU KELAS SD/MI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu manfaat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan

BAB I PENDAHULUAN. sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena itu, bagi

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB VI KONSEP PERANCANGAN

DESKRIPSI KARYA KRIYA PRODUK BASKOM KAYU

BAB I PENDAHULUAN. Melalui perjalanan panjang sejarah, seni sebagai bidang khusus dalam pemahamannya telah mengalami banyak perubahan.

PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT

PERWUJUDAN TEKSTIL TRADISIONAL DI INDONESIA: Kajian Makna Simbolik Ragam Hias Batik yang Bernafaskan Islam pada Etnik Melayu, Sunda, Jawa dan Madura

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB VI PENUTUP. A. Konsep Seni dan Pengalaman Nilai Estetis Parker

Model-model dari mitos asal usul orang Sasak dalam tembang Doyan Neda tersebut menggambarkan bahwa di dalam mitos terdapat suatu keteraturan tentang

RUANG : BENTANG SAUJANA ALAM DAN BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh

BAB I PENDAHULUAN. Daerah penghasil batik banyak terdapat di pulau Jawa dan tersebar. di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB IV. PENUTUP. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. a. Langer terkesan dengan pengembangan filsafat ilmu yang berangkat

Fungsi Seni kerajinan Ukir Batu Padas Sukawati II. Oleh Drs. I Wayan Suardana, M.Sn

MUSEUM BUDAYA DI PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DI AS

BAB I PENDAHULUAN. akan dapat diterima orang lain, sehingga tercipta interaksi sosial sesama

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan ciri-ciri khas, meskipun puisi telah mengalami perkembangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang 1 Pramudito, FIB UI, 2009

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG BAHASA, SASTRA, DAN AKSARA JAWA

Konsep Tata Masa. Parkir. Green area. Green area

BAB VIII PENUTUP. Bab ini memuat simpulan dari pembahasan masalah-masalah pokok yang

MATA KULIAH PENGEMBANGAN KOMPETENSI GURU. Dr. Ali Mustadi, M. Pd NIP

EcoReality. Oleh: I Wayan Setem, S.Sn, M.Sn

BAB II SENI TARI DAN UNSUR VISUAL

BAB I PENDAHULUAN. penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

ESTETIKA BENTUK SEBAGAI PENDEKATAN SEMIOTIKA PADA PENELITIAN ARSITEKTUR

BAB I PENDAHULUAN. referensial (Jabrohim 2001:10-11), dalam kaitannya dengan sastra pada

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki tradisi dan hasil budaya yang

berpengaruh terhadap gaya melukis, teknik pewarnaan, obyek lukis dan lain sebagainya. Pembuatan setiap karya seni pada dasarnya memiliki tujuan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

Untuk menghasilkan desain yang berkualitas diperlukan pertimbangan yang

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Sistem Filsafat. Modul ke: 06Fakultas Ekonomi. Program Studi Manajemen

BUPATI KLATEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PELESTARIAN BAHASA DAN BUDAYA JAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB 6 PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di. Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual

59. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunarungu (SMPLB B)

BAB I: PENDAHULUAN Latar Belakang Latar Belakang Proyek

80. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB E)

Alfitrah Subuh Pusat Pendidikan Budaya Betawi Page 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SENI : ESTETIKA, LOGIKA, dan ETIKA

BAB I PENDAHULUAN. cerita yang khas dan tidak lepas dari cerita magis yang sampai saat ini bisa. dirasakan oleh siapapun ketika berada didalamnya.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Nilai-nilai Ajaran Kepercayaan terhadap Tuhan YME sebagai Rujukan Pembentukan Karakter Bangsa MAJELIS LUHUR

Kreativitas Busana Pengantin Agung Ningrat Buleleng Modifikasi

SENI : ESTETIKA, LOGIKA, dan ETIKA

Kementerian Pendidikan Nasional merupakan lembaga pemerintahan yang bertugas meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. salah satu langkah yang di

Tengah berasal dari sebuah kota kecil yang banyak menyimpan peninggalan. situs-situs kepurbakalaan dalam bentuk bangunan-bangunan candi pada masa

Transkripsi:

533 BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan sebagai landasan relasi manusia-tuhan-alam semesta. Kosmologi keraton mengandung aspek-aspek hubungan manusia secara vertikal dengan Tuhan, serta aspek-aspek hubungan manusia secara horizontal dengan sesamanya. Dunia dipahami dengan kesadaran batin dan pikiran, tercermin dalam konsep kebenaran, kebaikan, dan keindahan untuk mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup. Pemahaman itu terwujud dalam bentuk tata ruang keraton serta makna filosofisnya. Hal ini mengambarkan bahwa wahyu Ilahi (petunjuk dari Tuhan) dapat dicapai oleh seseorang (dalam wahyu) dengan menyatukan cipta, rasa, dan karsa, sehingga tercipta kesempurnaan yang baik, benar, dan indah sesuai harapan/cita-cita hidup. Keraton Yogyakarta, sebagai pusat kosmis, memiliki garis penunjuk arah timur-barat dan utara-selatan yang melambangkan keselarasan dan keseimbangan semesta alam yang mengarah kepada kerukunan dan kedamaian hidup menuju ketertiban dunia yang dicita-citakan. Keserasian dan keselarasan antara alam

534 kodrati dan alam adikodrati menjadi prinsip utama dalam kehidupan. Segala sesuatu hakikatnya adalah Satu, merupakan satu kesatuan hidup, dan kehidupan dalam makrokosmos dipandang sebagai sesuatu yang teratur dan telah tersusun secara hierarkis. Dalam tatanan ini kedudukan titik pusat sangatlah dominan sebagai penjaga kesetabilan keseluruhan tatanan. Konsep pemikiran di atas, secara aplikatif tercermin pada tata ruang Keraton Yogyakarta. Tata letak ruang disusun berdasarkan pertimbangan proses kehidupan manusia, mulai dari lahir sampai menghadap Sang Pencipta (awal-akhir alam semesta/ Sangkan Paraning Dumadi dan Sangkan Paraning Manungsa). Secara horizontal manusia menemukan dialog dan rekonfirmasi dengan dirinya serta kebutuhan material yang harus diperolehnya, sedangkan secara vertikal terkait dengan dunia bawah dan dunia atas dalam konsep sampurnaning ngaurip. Tata susun yang ada merupakan usaha raja untuk menyelaraskan kehidupan raja dan rakyat dengan jagad raya. Tata ruang Keraton Yogyakarta kemudian menjadi salah satu simbol yang mempunyai makna ajaran yang mengingatkan manusia agar selalu berbuat baik kepada sesamanya dan senantiasaa mengagungkan kebesaran Tuhan, lebih menghargai dan memanfaatkan hidup agar selaras dengan lingkungannya.

535 Tatanan harmoni kesatuan manusia, Tuhan dan alam semesta itu menunjuk adanya pertemuan dalam satu kesatuan antara kehidupan manusia, alam, dan kehadiran penyertaan Tuhan. Konsep ruang terbuka, ragam hias yang sarat dengan ekspresi alam semesta, bangunan yang mengekspos material alam dan memperhatikan kekuatan struktur, tata ruang yang sarat dengan nilai sosial budaya, mengungkapkan interior sebagai perwujudan kesatuan manusia, alam dan Tuhan, hubungan kesatuan vertikal-horizontal atau yang transenden-imanen. Tata ruang interior Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan pemahaman mendalam mengenai unsur eksoteri dan esoteri. Estetika tata ruang interior Keraton Yogyakarta dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Bentuk tata ruang interior Keraton Yogyakarta menunjukkan gaya desain yang mempertimbangkan kesatuan unsur alam, aktivitas manusia, dan relasi dengan Tuhan, sehingga ciri khas tata ruang interior Keraton Yogyakarta dapat dikembalikan kepada tiga unsur dasar tersebut. Secara kebentukan, tata ruang interior Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan pertimbangan komprehensif dan mendalam atas sendi-sendi kehidupan duniawi-rohani, sehingga diperoleh harmoni antara satuan dengan satuan dan satuan dengan keseluruhan. Tata ruang itu menunjukkan tatanan berpasangan, bermakna

536 kesuburan. Ekspresi bentuk dan isi pada tata ruang bukan hanya sebagai ungkapan estetis dan fungsional semata, tetapi juga merupakan ungkapan simbolik kesatuan hubungan vertikal dan horizontal yang tercipta secara harmonis. 2. Kedalaman rasa dan pertimbangan intelektual menimbulkan kepekaan etika, moral, mental, dan estetika, yang pada akhirnya menciptakan keselarasan dan keseimbangan antara perasaan dan pikiran (rasa dan logika) yang dibangun berdasarkan pertimbangan fisik fungsional, keindahan yang layak dinikmati dengan baik secara berkelanjutan. Energi dan cahaya illahi diterima Sultan Hamengku Buwana I dan penerusnya dalam wahyu sebagai Kalifatullah Sayiddin Panatagama untuk menyebarkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan ke segala arah (hamêmayu hayuning bawana). Dengan demikian, perubahan ideologi dari sistem feodal ke sistem demokrasi, yaitu dari keraton sebagai pusat kekuasaan kerajaan (mengendalikan sistem pemerintahan) kemudian menjadi rumah tinggal sultan yang bersifat tertutup, kemudian berubah lagi menjadi museum yang hidup yang dapat diakses oleh masyarakat luar, pembaruan yang terjadi memperkaya nilai tradisi yang sudah berlangsung secara sinergis. 3. Secara konseptual, ide dasar yang melandasi tata ruang Keraton Yogyakarta terjadi secara sinkretik, sehingga nilai lama

537 masa pra-hindu, Hindu, Islam, dan masa pengaruh Barat luluh menjadi ruh esoteri (pesan atau isi spiritual) tata ruang keraton yang menciptakan suasana tertib, tenang, dan indah. Ada keselarasan jagad mikro dengan jagad makro menjadi refleksi periode zaman yang berlanjut. Dalam konteks tata ruang interior keraton, ruang kemudian menjadi media ekspresi atas realisasi hidup susila, hidup secara benar, perilaku normatif yang selaras dengan alam semesta, dan ruang menjadi media pembelajaran yang mendidik manusia secara utuh. Secara keseluruhan dapat ditegaskan, bahwa estetika tata ruang interior Keraton Yogyakarta merupakan totalitas perwujudan konsep Harmoni dalam kesatuan dan keseimbangan. Konsep ini dilandasi tiga orientasi, yakni orientasi realitas alam, orientasi cipta-rasa-karsa manusia, dan orientasi kepada Tuhan. Ekspresi estetika tata ruang interior Keraton Yogyakarta merepresentasikan empat warna (empat matra karakter yang esensial) dalam diri sebagai cermin tingkat kesadaran pribadi, dilanjutkan tingkat kelima tanpa warna sebagai puncak capaian dalam hidup. Dengan kesadaran itu, selanjutnya memancar ke lingkungan yang lebih luas. Ini merupakan kearifan lokal yang terbawa ke masa depan, yang akan merangsang gagasan kreatif untuk ciptaan baru sesuai jiwa zaman, bukan hanya sekedar pemecahan kebutuhan masa kini.

538 Oleh sebab itu, estetika tata ruang interior bukan hanya menjawab persoalan struktur, fungsi, dan gaya, bukan hanya memenuhi kenyamanan secara persepsi visual semata, melainkan wujud penggabungan secara harmonis antara yang empirik dan yang meta-empirik dalam kesatuan dan keseimbangan. B. Saran-Saran Saat ini, nilai-nilai budaya tradisional dan modern secara simultan sinergis berdampingan dalam pembaruan. Keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni meningkatkan kehidupan manusia menjadi lebih baik. Kehadiran dua budaya ini sering menjadi fenomena sosial kultural yang kontradiktif. Agar tidak terjadi ketimpangan, pengembangan tata ruang yang berorientasi menjaga kearifan budaya perlu menjalin hubungan yang harmonis antara manusia, semesta alam, dan Tuhan. Hubungan sinergis ini merupakan wujud kearifan masyarakat tradisional dalam menjaga ekosistem yang mendatangkan kedamaian, kontras dengan kehidupan modern yang selalu mempertimbangkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas pemenuhan kegiatan. Fenomena sosial kultural masyarakat modern menunjuk pada kekuasaan dan materialis sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, walaupun juga memberi kemudahan dan kenyamanan dalam berbagai pemenuhan

539 kebutuhan. Modernisasi saat ini menjadi jendela bagi terbukanya segala kemungkinan untuk perubahan yang cepat. Segala sesuatu tampak tidak ada batas yang jelas, kelihatan samar dan kabur. Agar potensi tradisi dapat menjadi kekuatan dan identitas bangsa, maka perlu pemahaman yang holistik dan komprehensif. Perancangan tata ruang interior yang mengacu pada nilai tradisi sebagai ide/inspirasi desain, perlu memperhatikan sistem nilai masyarakat di mana bangunan tersebut akan didirikan. Penerapan nilai-nilai tradisi dalam penciptaan berarti menempatkan seni dan desain sebagai media ekspresi yang mengemban tugas bermuatan nilai kehidupan sesuai jiwa zaman. Selain memberi ruang untuk pengembangan penelitian, juga memberi kesempatan untuk aktivitas perancangan kreatif dan inovatif di era global. Desainer harus memperhatikan kesesuaian pola pikir masyarakat, lingkungan, dan perkembangan zaman. Hal-hal yang bersifat teknik arsitektur sangat dimungkinkan untuk dilakukan penelitian lanjutan. Akan tetapi, perancangan tata ruang tidak hanya memperhatikan aspek fisik dan fungsi saja, tetapi perlu memperhatikan aspek budaya (isi atau ruh). Eksistensi tata ruang interior Keraton Yogyakarta dengan berbagai perubahannya ini dapat menjadi model pelestarian kearifan lokal budaya bangsa yang diyakini akan bermanfaat bagi masyarakat di tengah kehidupan modern.