STRATEGI HIDUP HUBUNGANNYA DENGAN LAHAN PERTANIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Propinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

2015 KEHID UPAN MASAYARAKAT BAD UY LUAR D I D ESA KANEKES KABUPATEN LEBAK BANTEN

PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL. Oleh: Gurniwan Kamil Pasya

2014 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN UNTUK TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN CIMAUNG KABUPATEN BANDUNG

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

SISTEM PERLADANGAN MASYARAKAT BADUY Oleh : Wilodati *)

BAB I PENDAHULUAN. bahwa distribusi kesempatan (kemakmuran) yang tidak merata merupakan faktor

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

SISTEM TATANAN MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN ORANG BADUY

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Baduy merupakan salah satu suku adat di Indonesia yang sampai

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk

BAB II KONDISI DESA BELIK KECAMATAN BELIK KABUPATEN PEMALANG. melakukan berbagai bidang termasuk bidang sosial.

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat adat Baduy dalam perjalanannya sebagai masyarakat adat

I. PENDAHULUAN. Potensi sumber daya alam yang dimiliki setiap wilayah berbeda-beda, tiap daerah mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. kaum tua, dan lambat laun mulai ditinggalkan karena berbagai faktor penyebab.

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

Makna Simbolik Huma (Ladang) Di Masyarakat Baduy. Jamaludin

LOKASI PENELITIAN. Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu merupakan salah dua Desa yang berada

Alang-alang dan Manusia

BAB I PENDAHULUAN. alamnya, sehingga sangatlah wajar apabila Indonesia menjadi sebuah Negara

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. petani ikan dan sebagainya. Menurut Loekman (1993:3) Besarnya fungsi sektor pertanian bagi masyarakat Indonesia tentu saja harus

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan

I PENDAHULUAN. Petani merupakan pekerjaan yang telah berlangsung secara turun-temurun bagi kehidupan

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam penyediaan pangan, pangsa pasar, dan hasil produksi.

I. PENDAHULUAN. substitusinya sebagaimana bahan bakar minyak. Selain itu, kekhawatiran global

I PENDAHULUAN. pertanian yang dimaksud adalah pertanian rakyat, perkebunan, kehutanan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun

BAB V PENUTUP. ternyata tidak pilih kasih. Artinya, ia tidak saja melanda daerah-daerah yang

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian mengenai Faktor-faktor Penyebab Penurunan

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III PRAKTIK AKAD MUKHA>BARAH DI DESA BOLO KECAMATAN UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK. sebagaimana tertera dalam Tabel Desa Bolo.

SISTEM BAGI HASIL PETANI PENYAKAP DI DESA KRAI KECAMATAN YOSOWILANGUN KABUPATEN LUMAJANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nurshopia Agustina, 2013

BAB I PENDAHULUAN. meski belum ada SMP dan SMA tidak mematahkan semangat anak-anak yang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Baik keberagaman hayati

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memanfaatkan lahan untuk melakukan aktivitas mulai dari

BAB III MAJALENGKA. terdapat beberapa bukit, parit dan sungai. Desa Cieurih ini. berbatasan dengan desa-desa sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disegala bidang. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB I PENDAHULUAN. mendukung statusnya sebagai negara agraris, dengan sebagian besar masyarakat

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105.

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi

II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. sifat-sifat bumi, menganalisa gejala-gejala alam dan penduduk, serta mempelajari corak khas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

I. PENDAHULUAN. Tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.) sampai saat ini masih merupakan

BAB IV PROFIL DESA 4.1. Aspek Geografis

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya,

PENDAHULUAN. Latar Belakang

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

EVALUASI KEBERLANJUTAN MASYARAKAT BADUY DALAM BERDASARKAN COMMUNITY SUSTAINABILITY ASSESSMENT

BAB III PRAKTIK PENGGARAPAN TANAH SAWAH DENGAN SISTEM SETORAN DI DESA LUNDO KECAMATAN BENJENG KABUPATEN GRESIK

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, dan dari kebiasaan itu yang nantinya akan menjadi kebudayaan.

BAB 1 PENDAHULUAN. kemakmuran antar daerah. Namun kenyataan yang ada adalah masih besarnya distribusi

I. PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan potensi sumberdaya alam, tanah yang subur dan didukung

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN :

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem,

KELAYAKAN USAHATANI JAGUNG HIBRIDA PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN MELALUI PENDEKATAN PTT

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan teknologi komunikasi dan media massa, mengakibatkan munculnya New

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi

POLA USAHATANI PADI, UBI JALAR, DAN KATUK UNTUK MENGAKUMULASI MODAL DAN MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik serta ciri khas masyarakatnya berdasarkan etnografisnya. Perbedaanperbedaan

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. bermatapencaharian sebagai petani. Kondisi geografis negara Indonesia terletak di

PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

STRATEGI HIDUP HUBUNGANNYA DENGAN LAHAN PERTANIAN ABSTRAK Masyarakat Baduy di desa Kanekes kehidupannya tidak lepas tidak lepas dari bertani, hanya saja pertanian yang mereka lakukan secara berpindah-pindah dan untuk menjaga erosi, maka tanah tidak dicangkul. Penduduk yang terus bertambah menyebabkan siklus perladangan menjadi semakin pendek apalagi pemilikan lahan pertanian yang semakin sempit sebagai akibat dari sistem waris yang berlaku di masyarakat, sehingga untuk mengatasi kekurangan lahan pertanian menyebabkan mereka harus mencari lahan di luar desa baik dengan cara membeli, bagi hasil atau menyewa, tentu saja hal ini tidak berlaku badi masyarakat Baduy-Dalam. Bagi mereka yang bertani di luar desa tidak selamanya dekat dengan tempat tinggal, adakalanya jauh dan harus menginap di tempat mereka bertani atau untuk memperbaiki kehidupan dan lepas dari pikukuh yang dianut, maka harus pindah dari desa Kanekes menjadi masyarakat biasa di luar kehidupan Baduy. Dengan demikian, strategi hidup masyarakat Baduy, terutama yang berasal dari Panamping dalam mengatasi keterbatasan lahan pertanian harus melakukan mobilitas geografik dengan cara ulang-alik, sirkulasi, dan bahkan melakukan migrasi 1. Pendahuluan Pembahasan ini menitik beratkan pada kehidupan orang baduy dalam mengolah dan memanfaatkan lingkungannya sesuai dengan usaha mata pencaharian yang dilakukannya yaitu bertani padi berpindah-pindah secara rotasi, sesuai dengan budaya yang dianut. Sebagaimana dikemukakan Adimihardja (1993 : 1) sebagai berikut : Manusia, kebudayaan, lingkungan, merupakan tiga faktor yang saling jalin menjalin secara integral. Lingkungan tempat manusia hidup selain berupa lingkungan alam juga merupakan lingkungan sosiobudaya. Kaidah biologis yang menurut kemampuan organisme melalui penyesuaian diri terhadap lingkungan, berlaku pula untuk lingkungan sosiobudayanya. Lingkungan dan budaya bertani lahan kering bagi orang Baduy dibahas dalam beberapa bagian selanjutnya. Penjelasan mengenai kehidupan orang Baduy beserta mobilitas geografik yang dilakukannya hubungannya dengan pertanian padi lahan kering, maka dilakukan pendekatan fungsional, sebagaimana dikemukakan oleh Malinowski (1973 : 166) yaitu :... bahwa konsep fungsi khususnya bersifat menjelaskan... singkatnya fungsionalisme merupakan pertimbangan sebagai prinsip yang menentukan. Dengan demikian bahwa fungsi fenomena kebudayaan selalu menunjukkan bagaimana ia 1

berfungsi. Pemahaman fungsional ini untuk menjawab kondisi dan kegiatan hidup orang Baduy. Selanjutnya dalam memahami kehidupan orang Baduy digunakan pendekatan seperti yang dikemukakan oleh Radcliffe-Brown (1968 : 12) Sebagai berikut : Tiga konsep yaitu proses, struktur, dan fungsi, merupakan komponenkomponen teori untuk menginterpretasi sistem sosial manusia. Ketiga konsep tersebut saling berhubungan secara logis, karena fungsi digunakan untuk menunjukkan hubungan antara proses dengan struktur. Pendapat tersebut, digunakan untuk melihat proses orang Baduy, dalam melakukan kegiatan bertani dan mobilitas; struktur digunakan untuk melihat bahwa orang Baduy berdasarkan lapisan sosialnya memiliki kegiatan bertani yang berbeda, sedangkan fungsi digunakan untuk melihat dan menjelaskan alasan mereka melakukan perladangan berpindah dan upaya yang dilakukan untuk mempertahankan kesuburan tanah, yang juga melakukan mobilitas hubungannya dengan pemilikan lahan pertanian di desa Kanekes. Masyarakat Baduy di Desa Kanekes, adalah masyarakat yang memiliki tradisi khas, yang berbeda dengan masyarakat Jawa Barat pada umumnya, tradisi mereka disebut Pikukuh Baduy. Ikatan kepada pikukuh ditentukan oleh tempat orang Baduy berada atau bermukim, yaitu yang menjadi ciri organisasi sosialnya dalam satu kesatuan kelompok kekerabatan. Orang Tangtu bermukim di Kampung Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana, dikenal dengan sebutan orang Baduy-Dalam sebagai pemegang pikukuh Baduy. Orang Panamping sebagai pemilik adat Baduy berada di bawah pengawasan Baduy Dalam yang mempunyai ikatan pikukuh lebih longgar, disebut sebagai Baduy-Luar. Pembagian kelompok Baduy dan posisinya dijelaskan Garna (1988 : 4) bahwa : Pembagian ini memotong seluruh masyarakat Baduy dalam dua paroh masyarakat, Tangtu dan Panamping, menentukan posisinya yang tertentu dalam rangka suatu kesatuan masyarakat Baduy. Secara operasional pajaroan yang melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pikukuh atau adat istiadat Baduy, Tangtu Telu (tiga Tangtu atau tiga Puun) mengangkat 'tanggungan jaro duawelas', yang membawahi dua belas jaro di wilayah Kanekes... 2

Pembagian masyarakat Baduy ini termasuk pula ke dalam pembagian mata pencaharian yaitu bertani di ladang atau huma yang dilakukan secara berpindahpindah, di mana padi sebagai tanaman pokok. Dalam hal berhuma Garna, (1987 : 43) mengatakan : Orang Baduy "tangtu' berhuma di wilayah "taneuh larangan" dan tidak pernah keluar dari daerah itu. Sedangkan orang Baduy Luar, yang dari "panamping" maupun dari "pajaroan", berhuma di Kanekes luar taneuh larangan dan di desa-desa lainnya tetangga Desa Kanekes. Adapun perputaran/rotasi lahan yang digunakan berhuma oleh masyarakat Baduy, kembali ke tempat semula +4 tahun, perputaran penggunaan lahan ini relatif singkat, sehingga tanah kemungkinan sangat terbatas dalam mengembalikan kesuburannya, lambat laun daya dukung lahan huma akan semakin berkurang. Dalam hal ini, Adimihardja (1993 : 2) mengemukakan :... lingkungan alam tempat manusia hidup memberikan daya dukung kehidupan dalam berbagai bentuk kemungkinan yang dapat dipilih manusia untuk menentukan jalan hidupnya. Pengembangan pilihan-pilihan itu sangat tergantung pada potensi kebudayaan manusia yang menurut kenyataan sejarah dapat berkembang secara pesat karena kemampuan akalnya. Peladangan berpindah merupakan pilihan orang Baduy, dalam mencari lahan yang subur dengan peputaran selama 4 tahun. pilihan tersebut ditunjang dengan cara tidak membalikan tanah yang akan ditanami padi. Hak menggunakan lahan untuk bertani bagi orang Tangtu dengan orang Panamping berbeda. Bagi warga Baduy-Dalam (orang tangtu) tidak berhak atas lahan yang dijadikan huma untuk dimiliki, tetapi penggunaan lahan huma diatur secara adat dan dilarang dikerjakan orang Panamping, apalagi orang luar. Sedangkan orang Panamping berhak memiliki lahan pertanian untuk digarap dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Akibat pewarisan lahan seperti ini menyebabkan pemilikan luas lahan menjadi berkurang, karena sistem waris yang digunakan orang Panamping berdasarkan sistem adat, dimana setiap anak mendapatkan hak yang sama. 2. Menjaga Keutuhan Tanah 3

Keadaan fisik desa Kanekes merupakan daerah perbukitan hasil pengangkatan, sedangkan bentuk wilayahnya berbukit dan agak bergunung yang lerengnya rata-rata curam lebih dari 30 %. Tekstur tanahnya mengandung liat (clay). Tanah bagian atas pada umumnya memiliki jenis tanah latosol (oxisol) coklat dengan latosol (oxisol) kemerahan menandakan kesuburannya kurang. Komunikasi antar kampung dihubungkan jalan setapak, di pinggirannya terdapat huma (pertanian lahan kering) yang sedang digunakan atau huma yang ditinggalkan (digunakan kembali dalam jangka waktu tertentu). Lahan pertanian digunakan untuk menanam padi yang diselingi oleh palawija, hasilnya diutamakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, walaupun palawija kadang-kadang dijual untuk memperoleh barang-barang kebutuhan yang tidak ditabukan. Keadaan tanah yang demikian harus selalu dijaga agar dapat menghidupi masyarakat Baduy, maka mereka mengolah lahan pertanian dengan menggunakan alat yang sangat sederhana, seperti parang, kored, golok dan tugal. Adapun cara bercocok tanamnya menurut Sam (1986 : 24) sebagai berikut : Cara mengolah lahan pertanian dilakukan secara tradisional, dimulai dengan membersihkan rerumputan dan semak-semak yang disebut nyacar 'membabad'. Setelah kering rerumputan dan semak-semak tersebut kemudian dibakar. setelah itu kemudian tanah diaseuk 'ditanami'... Lahan pertanian yang telah dibersihkan tidak dicangkul karena dilarang (buyut), lahan pertanian yang telah bersih biasanya siap ditanamai pada awal musim penghujan, kemudian ditanami dengan membuat lubang-lubang kecil ditanah dengan menggunakan tugal (diaseuk). Suatu hal yang patut dikaji adalah pengolahan lahan tanpa membalikan permukaan tanah baik oleh cangkul, garpu atau sejenisnya, melainkan tanah langsung ditanami saja. Mengapa demikian? Seperti yang dikemukakan di atas bahwa lahan pertanian di desa Kanekes kurang subur, dengan jenis tanah latosol (oxisol) yang kurang memiliki unsur hara. Jika dicangkul pada lahan tanah yang berbukit-bukit akan mempercepat erosi, karena tanah yang telah dicangkul satusama lain memiliki ikatan yang renggang, jika hujan turun maka akan langsung menimpa tanah-tanah, sehingga air hujan akan melepaskan butir-butir tanah yang ikatannya renggang dan membawanya sebagai erosi melalui aliran permukaan. 4

Dengan demikian, tanah bagian atas (top soil) akan berkurang, akhirnya lama kelamaan lahan pertanian semakin tidak subur, yang menyebabkan produksi pertanian semakin menurun akibatnya lahan pertanian tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Karena itu cangkul dan sejenisnya buyut digunakan di desa Kanekes. Walaupun produksi pertanian setiap tahun tidak mengalami kenaikan, mereka berusaha tidak menerima/mengadopsi unsur-unsur pertanian untuk meningkatkan produksi, karena wilayah Kanekes dianggap sebagai titipan dari karuhun untuk masyarakat Baduy di masa yang akan datang. Lebih baik bercocok tanam dan mengolah tanah seperti sekarang, daripada produksi meningkat tetapi kemudian menurun dan hancur untuk anak cucu. Hal ini merupakan suatu proses adaptasi manusia terhadap lingkungannya di mana kebudayaan turut berperan dalam mengatur adaptasi tersebut, sehingga Adimihardja (1993 : 1) mengemukakan : Dengan demikian, suatu jenis mahluk hidup akan dapat mempertahankan kelangsungan eksistensinya sepanjang ia mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam hubungan ini amatlah penting memahami cara-cara manusia melakukan upaya penyesuaian diri Dengan demikian, bahwa usaha orang Baduy, dalam menunjang hidupnya senantiasa berusaha untuk menyesuaikan dan mempertahankan lingkungannya, agar kebutuhan hidup terus dapat dipertahankan. 3. Tekanan Penduduk Jumlah penduduk Baduy terus meningkat dari waktu ke waktu, terutama mereka yang ada di Baduy-Luar atau orang Panamping yaitu sekitar 80 % dari jumlah orang Baduy secara keseluruhan (Iskandar, 1992 : 27). Penduduk Baduy tahun 1993 berjumlah 5649 jiwa yang menempati wilayah seluas 5.101,85 Ha yang tinggal di 3 kampung Baduy-Dalam dan 52 kampung Baduy-Luar. Penduduk yang terus menerus bertambah akan membutuhkan peningkatkan pangan, sehingga Iskandar (1992 : 16-17) mengemukakan sebagai berikut : (a) Adanya pertambahan penduduk dapat menyebabkan meningkatnya kebutuhan pangan; (b) Adanya peningkatan kebutuhan pangan, dapat dipenuhi antara lain dengan menggarap lahan pertanian baru atau menggarap lahan pertanian yang ada dengan lebih intensif, misalnya dengan lebih menambah curahan tenaga kerja yang tersedia; 5

(c) Akibat lebih jauh, lahan pertanian tidak saja menjadi terbatas, akan tetapi kesuburan lahannya juga bervariasi. Umumnya lahan yang subur akan digarap lebih dahulu, kemudian lahan yang kurang subur akan digarap kemudian, karena adanya jumlah penduduk yang terus bertambah; (d) Dengan adanya pertambahan curahan tenaga kerja yang terus bertambah pada penggarapan lahan pertanian, dapat mengakibatkan penambahan peningkatan produktivitas hasil pertanian turun. Hal ini karena peningkatan pertambahan hasil produksi pertanian, sejalan dengan tembah terus curahan kerja, cenderung menjadi konstan akhirnya turun (diminishing return); (e) Mengingat marjinal peningkatan pertambahan produktivitas pertanian pertanian yang cenderung terus turun karena adanya pertambahan curahan renaga kerja, maka akibatnya laju tambahan produksi pertanian cenderung lebih kecil dibandingkan dengan laju pertambahan penduduk. Penduduk Baduy yang terus meningkat sedangkan luas lahan pertanian tetap dan pengolahan lahan pertanian tidak berubah (tidak dapat dilakukan secara intensif), maka pemilikan lahan pertanian akan semakin berkurang, terutama mereka yang tinggal di Panamping, apalagi lahan pertanian yang terus diolah tanpa ada perlakuan untuk meningkatkan produksi pertanian, maka hasil pertanian akan berkurang. Akibatnya kebutuhan bahan makanan yang berasal dari padi akan semakin berkurang, apabila hal ini dibiarkan dapat menyebabkan kualitas hidup menjadi menurun. Untuk mengatasi hal tersebut, orang Baduy-Luar akan mencari lahan pertanian baru ke luar desa Kanekes dengan jalan menyewa, membeli, atau bagi hasil dengan penduduk setempat. Lebih lauh lagi mereka akan keluar dari kehidupan masyarakat Baduy. 4. Mobilitas Orang Baduy Hubungan dengan kebutuhan akan lahan pertanian, karena pemilikannya terbatas, sedangkan lahan pertanian tidak dapat diolah secara intensif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tidak ada jalan lain orang Baduy-Luar atau orang Panamping akan berusaha bertani di luar desa Kanekes. Mobilitas orang Baduy-Luar merupakan mobilitas geografik, dilakukan secara ulang-alik, sirkuler, bahkan migrasi. Mereka yang melakukan ulang alik, karena lahan pertanian miliknya yang terdapat di desa Kanekes terbatas dan belum saatnya untuk dilakukan perputaran masa tanam, menyebabkan mereka harus mencari lahan pertanian kering yang ada di luar desa dekat dengan tempat tinggal atau kampung mereka. Begitupula halnya dengan orang Baduy-Luar yang melakukan sirkulasi tidak 6

jauh berbeda dengan mereka yang melakukan ulang-alik, hanya saja yang sirkulasi tidak setiap hari pulang pergi ke lahan pertanian di luar desa Kanekes, melainkan mengalami proses tinggal untuk beberapa saat, mulai dari satu hari sampai beberapa hari, Sirkulasi dilakukan mengingat jauhnya jarak dari kampung tempat mereka tinggal di desa Kanekes ke tempat berladang di luar desa. Ulang-alik atau Sirkulasi dilakukan tidak setiap waktu, melainkan pada saat saat mulai membuka lahan pertanian sampai panen yaitu pada bulan-bulan Juli - Agustus sampai bulan-bulan Februari-Maret. Hal ini berhubungan dengan akhir musim kemarau sampai akhir musim penghujan. Bagi mereka yang melakukan migrasi dengan jalan pindah bermukim ke luar desa, berarti pula keluar dari kehidupan orang Baduy menjadi masyarakat biasa yang tidak lagi memegang pikukuh sebagai adat-istiadat Baduy. Mereka yang melakukan migrasi dilakukan secara perorangan dengan kesadaran sendiri untuk tidak lagi menjadi orang Baduy, maupun secara kelompok melalui proyek pemukiman yang dibina oleh Departemen Sosial (saat itu). Orang Baduy-Luar yang melakukan mobilitas geografik, baik ulang-alik, sirkulasi maupun migrasi, apabila dihubungkan dengan pendapat Mantra (1981 : 5) bahwa penduduk desa melakukan mobilitas dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut : 1) Perpindahan penduduk selalu disebabkan oleh tekanan pertumbuhan ekonomi pada masyarakat desa, seperti kekurangan makanan, lahan, pekerjaan, dan upah pekerjaan yang tidak sebanding di wilayah setempat. Di samping tekanan ekonomi, juga akibat lainnya, seperti faktor sosial, kepemilikan lahan, jaringan kerja, dan anggapan bahwa tempat tujuan memenuhi segalanya; 2) Kebutuhan ekonomi di wilayah pedesaan kurang memuaskan, sehingga penduduk harus pindah ke tempat lebih dekat yang dapat menyediakan pekerjaan; 3) Kekuatan sosial di desa sangat membantu sistem masyarakat desa, sebagai akibat dari perlaku perpindahan, khususnya ekonomi yang lebih rendah, lebih baik tinggal di desa daripada pindah ke wilayah lain; 4) Masyarakat desa umumnya membuat suatu keputusan yang simpel untuk bermigrasi, di antara mereka membuat keputusan secara tiba-tiba pada situasi yang tidak menentu, mendorong mereka untuk melakukan perpindahan; dan 5) Masyarakat desa yang memiliki perkerjaan tetap, memutuskan untuk tetap tinggal di desanya dalam pertumbuhan wilayah yang lemah.... 7

Orang Baduy-Luar yang melakukan ulang-alik ataupun sirkulasi dalam hal bertani lahan kering di luar desa Kanekes, tetap tidak menggunakan cangkul untuk membalikkan dan menggemburkan tanah. Sehingga pola bertani orang Baduy-Luar di desa Kanekes dengan diluar desa tetap sama, hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak berani menentang adat atau pikukuh yang dianut. Lain halnya dengan mereka yang melakukan migrasi, walaupun dekat dengan desa Kanekes tetapi telah keluar dari pikukuh yang berlaku dalam kehidupan Baduy, berarti pola bertani yang dilakukan sudah tidak ada yang ditabukan lagi. Dalam hal mobilitas ulang-alik, sirkulasi, maupun migrasi Radcliffe-Brown (1968 : 9) mengemukakan :...suatu sistem adaptasi sebaiknya membedakan tiga aspek sistem total. Terdapat cara di mana kehidupan sosial disesuaikan dengan kehidupan fisik dan dapat disebut sebagai adaptasi ekologis. Kedua, terdapat pengaturan lembaga kehidupan sosial yang teratur dan dipelihara...hal ini dapat disebut sebagai aspek kelembagaan dari adaptasi sosial. Ketiga, terdapat proses di mana individu memperoleh kebiasaan dan ciri-ciri mental yang sesuai dengan kehidupan sosial dan memungkinkan untuk turut berperan serta di dalam kegiatan-kegiatannya. Hal ini dapat disebut sebagai adaptasi kebudayaan. Mereka yang ulang-alik dan sirkulasi, tetap mempertahankan dan memelihara pikukuh Baduy, sedangkan bagi mereka yang melakukan migrasi akan melakukan adaptasi terhadap lingkungan dan kebudayaan yang baru dan berusaha untuk turut lebur dengan kebudayaan yang didatangi. Tetapi, bagi mereka semua yang melakukan mobilitas akan melakukan adaptasi ekologi di tempat mereka melakukan usaha bertani, juga akan melakukan adaptasi terhadap kebudayaan yang didatangi, bagi orang Baduy yang melakukan ulang-alik ataupun sirkulasi, walaupun tetap mempertahankan pola bertani seperti di desa Kanekes, tetapi apabila mendapat tugas (disuruh) mengerjakan lahan pertanian milik penduduk yang didatangi, maka penggunaan cangkul dan mengolah sawah tidak ditabukan, asal saja lahan tersebut jangan untuk kepentingan hidupnya. 5. Penutup Masyarakat Baduy dalam mengatasi kehidupan hubungannya dengan lahan pertanian yang terbatas, merupakan masalah dalam kehidupan mereka sebagai akibat penduduk yang terus bertambah. Sampai saat ini pada masyarakat Baduy- 8

Luar atau Panamping untuk mengatasi masalah tersebut, mereka harus mencari lahan pertanian di luar desa dengan jalan ulang alik apabila lahan pertanian yang didapatkan tidak jauh dari tempat tinggal mereka, tetapi yang jauh dari desa Kanekes menyebabkan harus tinggal di lahan pertanian untuk beberapa saat selama musim tanam sampai panen. Bahkan adapula yang harus keluar dari kehidupan Baduy dengan meninggalkan pikukuhnya dengan menjadi orang biasa. Keadaan ini tentu saja akan membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat lain yang berada di desa Kanekes. Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Baduy pada mulanya terdapat toleransi dari pihak adat seperti memiliki barang-barang yang pada mulanya ditabukan, menanam pohon albazia di lahan pertanian yang ditinggalkan, memakai pakaian yang bukan dihasilkan dari desa Kanekes, penggunaan obat-obatan untuk kesehatan, dan lain-lain. Perubahan ini akan mempengaruhi bidang-bidang lain terutama sikap mereka terhadap pikukuh yang dianutnya, apalagi pengaruh perubahan banyak disebabkan oleh semakin intensifnya interaksi sosial dengan masyarakat di luar Baduy baik saat bertani di luar desa Kanekes ataupun dengan pengunjung yang sengaja datang ke lingkungan kehidupan mereka baik bagi masyarakat Baduy-Dalam ataupun dengan masyarakat Baduy-Luar. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan semakin terbatasnya lahan pertanian, menyebabkan masyarakat Baduy harus berusaha di luar pertanian yang berpindah-pindah, apalagi mereka juga melalukan pekerjaan pada pertanian intensif, walaupun bukan untuk kepentingan mereka sendiri. Sehingga bukan hal yang tidak mungkin mereka akan melakukan pertanian intensif walaupun di luar desa Kanekes, dan bekerja di bidang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka yang tidak dapat dipenuhi di bidang pertanian. DAFTAR PUSTAKA Adimihardja, Kusnaka. 1993. Kebudayaan dan Lingkungan : Studi bibliografi. Bandung : Ilham Jaya 9

Garna, Judistira K. 1984. Gambaran Umum Daerah Jawa Barat. Dalam Ekadjati, Edi S. (penyunting) Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta : Girimukti Pusaka.. 1987. Orang Baduy, Bangi : Universitas Kebangsaan Malaysia.. 1988. Tangtu Telo Jaro Tujuh : Kajian konseptual Masyarakat Baduy di Banten Selatan Jawa Barat Indonesia, Disertasi, Bangi : Fakulti Kemasyarakatan dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia. Iskandar, Johan. 1992. Ekologi Perladangan di Indonesia : Studi kasus dari Baduy Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta : PT. Djambatan Malinowski, Bronislaw. 1973. A Scientific Theory of Culture and Others Essays. University of North Carolina Press. Mantra, Ida Bagus. 1981. Population Movement in Wet Rice Communities. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Radcliffe-Brown, AR. 1968. Structure and Function in Primitive Society. London : Cohen & West Ltd. Sam, A. Suhandi, dkk. 1986. Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Jawa Barat. Bandung : Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 10