Edisi 22 Maret 2013 TIK (Teknologi Informasi & Komunikasi) Hadir Dalam Mengatasi Masalah Komunitas Learning Day Narasumber : Roem Topatimasang Ari Dwipayana Akhmad Nasir Ade Tanesia
Combine Resource Institution secara berkala mengadakan diskusi bulanan sebagai wadah refleksi pegiat dalam melakukan gali-ulang terhadap program yang sedang berlangsung. Learning Day adalah program yang diajukan, dengan mengundang cendekia kampus, pemegang kebijakan, dan pegiat LSM senior. Isu yang dibahas beragam sesuai dengan kebutuhan, konteks, dan pedalaman yang diajukan. Learning Day tertanggal 22 Maret 2013 membahas mengenai "civic literacy" dengan narasumber: Roem Topatimasang, Ari Dwipayana, Akhmad Nasir, dan Ade Tanesia. Pembahasan ini dijadikan sebagai pengayaan konsep dan metode untuk literasi komunitas. Intisari diskusi telah dirangkum oleh Tri Budiono, Ade Tanesia, dan M. Afandi. 2
Kemanfaatan TIK memang perlu dinilai kembali. Bagaimanapun perkembangan terbaru di berbagai program pendampingan terjadi deviasi antara perkembangan teknologi TIK sendiri dengan perkembangan sosial masyarakat. Belum terjadi sublimasi yang kuat antara TIK dengan literasi komunitas, sebagaimana harapan yang dibebani pada "perkakas" ini sebelumnya. Memang butuh eksplorasi lebih jauh dalam mengoptimalkan TIK sebagai alat di samping pihak literasi komunitas sebagai target yang diharapkan. Dalam penggalian itu, butuh perluasan yang lebih jauh bagaimana TIK untuk level tertentu yang telah dirasakan manfaatnya, untuk masuk ke level yang lebih tinggi, dengan kemanfaatan yang beragam. Pengalaman pegiat TIK selama ini memperlihatkan selalu dibutuhkan teknologi untuk media bantu dalam menularkan literasi sipil kepada masyarakat. Pengalaman pendampingan masyarakat tercatat setiap proses pendampingan membutuhkan alat bantu teknologi. Dan perkembangan teknologi terbaru selalu menjadi eksperimentasi pegiat untuk melahirkan kombinasi baru antara teknologi dengan masalah sosial. Pengkombinasian teknologi dan masalah sosial pada akhirnya menjadi tantangan kreativitas pegiat. Tahun 1970an penggunaan teknologi telah menjadi alat perubahan sosial. Kesaksian Roem Topatimasang yang banyak menggunakan teknologi untuk mendorong perubahan sosial pada waktu itu. Namun teknologi yang digunakan sebagai alat bantu untuk akses pada kebutuhan dasar. Untuk media literasi digunakan teknik drawing, misalnya komik sebagai cara menjelaskan sesuatu bagi masyarakat. Di samping itu, pamlet juga menjadi cara untuk melakukan kampanye membangun kesadaran masyarakat. Itu semua dibantu oleh penguasaan teknik advokasi yang prima. Roem Topatimasang menjelaskan bahwa penguasaan teknik advokasi sebagai kebutuhan dasar sebenarnya, sedangkan teknologi termasuk TIK sendiri hanya sebagai alat bantu saja. TIK bagian dari kombinasi lain yang dipakai untuk memperkuat advokasi tersebut. Bukan sebaliknya, TIK menjadi bahan eksplorasi utama, dengan menganggap teknik advokasi sebagai sesuatu yang sekunder. Sehingga tujuan yang akan diraih dapat diperoleh dengan menggunakan pengorganisasian dan mobilisasi, dibantu dengan teknologi TIK yang ditempelkan pada proses itu. Iman Prakoso, menyebut dengan kerjasama yang tidak penuh antara pegiat yang berperan dalam pengongganisir dengan pegiat yang terus mencoba mengembangkan TIK sebagai media pembelajaran pemberdayaan. Penguasaan teknik advokasi sebagai kebutuhan dasar sebenarnya, sedangkan teknologi termasuk TIK sendiri hanya sebagai alat bantu saja. 3
Ada masalah bagaimana aktor yang berbeda saling beririsan. Memang diantaranya mempunyai perspektif yang berbeda, namun sinerginya akan memberikan efek penggandaan yang kuat. Pada dasarnya menaruh active citizen merupakan situasi yang mau diraih, dengan melakukan banyak-cara agar itu mengalami stimulus, maka TIK mempunyai fungsi untuk penganekaragaman metode dan alat bantu dalam advokasi. Pada dasarnya titik temunya bagaimana metode advokasi dapat memberikan warna yang kuat ketika warga untuk melakukan transformasi. Awal yang perlu digali, demikian Roem Topatimasang, konsep yang selama salah mengenai warga negara. Warga sebenarnya manusia individual yang benar-benar hadir di komunitas. Bukan warga negara yang dibangun secara teoritik yang secara dikotomis dibedakan dengan institusi negara. Ini yang ditanggapi oleh Ranggoaini Jahja, sebagai cara menyingkap suara akar rumput, yang nyatanya ternyata berbeda dengan suara warga yang dikonsepkan secara abstrak oleh para ahli politik. Maka dibutuhkan strategi tertentu untuk menggali suara warga itu sendiri. Fenomena kesalahan mendefinisikan warga ini membuat representasi warga itu sering kali tidak sesuai dengan faktanya. Sehingga kesadaran warga yang sejati sering kali tidak tumbuh. Ini tergambar jelas dalam kegiatan akar rumput dimana tokoh warga di komunitas sering melakukan upaya representasi warga yang bergeser menjadi kepentingan segelintir orang belaka. Itu juga terlihat sebenarnya representasinya pada media sosial. Terkait dengan literasi sipil, sering kali pegiat media sosial menganggap dirinya telah bekerja. Padahal hanya sekedar membangun opini yang sangat abstrak pada tingkat warga. Begitu juga pengorganisasian yang dilakukan ketika revolusi musim semi di Mesir, pengatasnamaan atas kepentingan warga, ternyata mengalami bias ketika elit yang ditumbangkan berganti dengan elit baru, yang merupakan aktor politik yang tidak mencerminkan kepentingan warga, bisa jadi itu kepentingan pegiat "media sosial" saja. Fenomena kesalahan mendefinisikan warga ini membuat representasi warga itu sering kali tidak sesuai dengan faktanya. Sehingga kesadaran warga yang sejati sering kali tidak tumbuh. 4
Sehingga tujuan yang akan diraih dapat diperoleh dengan menggunakan pengorganisasian dan mobilisasi, dibantu dengan teknologi TIK yang ditempelkan pada proses itu. Iman Prakoso, menyebut dengan kerjasama yang tidak penuh antara pegiat yang berperan dalam pengongganisir dengan pegiat yang terus mencoba mengembangkan TIK sebagai media pembelajaran pemberdayaan. Ada masalah bagaimana aktor yang berbeda saling beririsan. Memang diantaranya mempunyai perspektif yang berbeda, namun sinerginya akan memberikan efek penggandaan yang kuat. Pada dasarnya menaruh active citizen merupakan situasi yang mau diraih, dengan melakukan banyak-cara agar itu mengalami stimulus, maka TIK mempunyai fungsi untuk penganekaragaman metode dan alat bantu dalam advokasi. Pada dasarnya titik temunya bagaimana metode advokasi dapat memberikan warna yang kuat ketika warga untuk melakukan transformasi. Awal yang perlu digali, demikian Roem Topatimasang, konsep yang selama salah mengenai warga negara. Warga sebenarnya manusia individual yang benar-benar hadir di komunitas. Bukan warga negara yang dibangun secara teoritik yang secara dikotomis dibedakan dengan institusi negara. Ini yang ditanggapi oleh Ranggoaini Jahja, sebagai cara menyingkap suara akar rumput, yang nyatanya ternyata berbeda dengan suara warga yang dikonsepkan secara abstrak oleh para ahli politik. Maka dibutuhkan strategi tertentu untuk menggali suara warga itu sendiri. Fenomena kesalahan mendefinisikan warga ini membuat representasi warga itu sering kali tidak sesuai dengan faktanya. Sehingga kesadaran warga yang sejati sering kali tidak tumbuh. Ini tergambar jelas dalam kegiatan akar rumput dimana tokoh warga di komunitas sering melakukan upaya representasi warga yang bergeser menjadi kepentingan segelintir orang belaka. Itu juga terlihat sebenarnya representasinya pada media sosial. Terkait dengan literasi sipil, sering kali pegiat media sosial menganggap dirinya telah bekerja. Padahal hanya sekedar membangun opini yang sangat abstrak pada tingkat warga. Begitu juga pengorganisasian yang dilakukan ketika revolusi musim semi di Mesir, pengatasnamaan atas kepentingan warga, ternyata mengalami bias ketika elit yang ditumbangkan berganti dengan elit baru, yang merupakan aktor politik yang tidak mencerminkan kepentingan warga, bisa jadi itu kepentingan pegiat "media sosial" saja. 5
Sebenarnya ini sebuah kerja merangsang sebuah konten yang menarik bagi teman-teman yang bergerak di pengorginisasian. Titik sambungnya harus ada, sehingga pengorganisasian yang dimaksud tidak hanya berhenti di level basis tapi juga media memiliki titik sambung pada upaya membangun opini publik, dikursus perlawanan, dan sebagainya. Hal yang sama juga dapat dilihat pada kasus Kalimantan Barat dalam televisi lokal yang sangat tertarik menggunakan media sosial, apakah hanya karena persaingan usaha atau karena memang diisi oleh orangorang yang memiliki kesadaran tentang jurnalisme warga dan bagaimana media memperjuangkan hal tersebut. Jadi yang penting adalah bagaimana membangun sinergi dan memperluas blok politik yang menjadi bagian literasi sipil; dari ruang sederhana misalnya kampung ke area yang lebih besar bahkan sampai ke media konvensional yang mampu mempengaruhi pemimpin dan pembuat kebijakan menjadi titik strategis yang harus dilakukan. Perlu tambahan memangnya. Tampaknya harus ada upaya yang lebih berkelanjutan yaitu institusionalisasi gerakan-gerakan tersebut ke gerakan-gerakan rakyat yang sudah ada. Ini berkaitan pada konsepsi warga yang memang harus selalu dikaitkan dengan warga negara karena selama ini warga negara muncul karena adanya negara, padahal sebelum itu ada konsep masyarakat adalah warga komunitas yang mengatur dirinya sendiri sebelum ada negara. Jadi konsep negara bangsa banyak mencaplok konsep warga, namun kita juga bisa mengartikan ini sebagai lapisan di mana misalnya kita menganggap warga sebagai suatu sistem kekeluargaan maka konsep warga akan lebih luas melewati kampungnya bahkan sampai negara. Yang selama ini terjadi adalah bagaimana menurunkan isu dalam konteks kewarganegaraan ke area yang lebih lokal pada artinya relokasi isu demokrasi ke tingkat yang lebih kewargaan di tingkat RT atau kampung, ini menjadi bagian penting di mana proses radikalisasi isu juga terjadi di tingkat bawah. Sehingga isu yang ada mereka rasakan dekat dengan mereka. Tapi yang perlu diperhatikan adalah titik masuknya. Titik masuk yang menjadi persoalan adalah selama ini bagaimana membawa isu-isu besar ditingkat warga negara ke tingkat yang lebih lokal tanpa mengkontektualisasi itu sebagai hal problematik. Bagaimana mengkaitkan persoalan ditingkat lokal sampai ke persoalan bersama di tingkat diatasnya. Strategi pembesaran isu agar menjadi isu bersama dari tingkat bawah ke tingkat atas. Tampaknya harus ada upaya yang lebih berkelanjutan yaitu institusionalisasi gerakan-gerakan tersebut ke gerakangerakan rakyat yang sudah ada. 6
Membangun kaitan isu menjadi isu global yang akan membangun empati tidak hanya menjadi isu lokal yang akan dianggap orang lain tidak penting dan bukan isu bersama. Harus ada upaya memperluas isu, bahwa satu isu akan berdampak bagi kita semua. Misalnya isu globalisasi, perkebunan, alih fungsi tanah, dan sebagainya. Dalam literasi warga itu, politik dan demokrasi saat ini menjadi persoalan serius, komersialisasi kewargaan terjadi ketika ada perubahan dari proses perubahan politik yang sifatnya sukarela menjadi suatu yang bisa diperdagangkan. Proses transformasi ini menjadi masalah serius ketika dikaitkan dengan sistem pasar politik. Komersialisasi kewargaan itu seolah-olah warga banyak mendapatkan keuntungan dari cara memperdagangkan. Inilah pentingnya literasi warga, apakah ketika masyarakat diajak untuk memperdagangkan hak politik, apakah mereka akan mendapatkan banyak keuntungan atau bahkan mereka akan memperoleh hal yang tidak mereka harapkan. Yang perlu dilakukan adalah mengkontekstualisasikan hak-hak politik mereka sesuai dengan kondisi keseharian mereka, dengan demikian mereka memiliki alternatif untuk menentukan pilihan mereka. Harus ada upaya memperluas isu, bahwa satu isu akan berdampak bagi kita semua. Misalnya isu globalisasi, perkebunan, alih fungsi tanah, dan sebagainya. Kebolehjadian situasi, aktivis TIK tidak memberikan sambungan dengan aktivis pengorganisasian. Fragmentasi terbesar disebabkan oleh institusi donor dan agendanya masing-masing. Saat ini masalahnya tidak dapat dilepaskan telah terjadi fragmentasi gerakan sosial, sehingga masing-masing aktivis sibuk dengan dirinya sendiri. Kebolehjadian situasi, aktivis TIK tidak memberikan sambungan dengan aktivis pengorganisasian. Fragmentasi terbesar disebabkan oleh institusi donor dan agendanya masing-masing. Pengalaman gerakan rakyat di bawah tidak terfragmentasi karena tidak bersentuhan dengan donor. Misalnya pada tahun 1983, TIK menggunakan video di kepulauan Kei untuk pengorganisasian, sampai sekarang mereka masih menggunakan video dan berlanjut karena mereka tidak terikat apa-apa dan itu telah menjadi bagian hidup mereka. Fragmentasi menjadi persoalan besar, sehingga perlu ada pihak yang bisa melihat itu. Persoalannya apakah organisasi mau melakukan itu? Lalu relevansinya, aktivis TIK tahu tentang pengorganisasian dan tentang pembagian tugas itu tadi menjadi penting. Misalnya begini, kita membawa teknologi jangan sampai membuat warga memiliki pekerjaan baru meninggalkan pekerjaan mereka, jadi tidak perlu membuat warga seperti itu karena itu pekerjaan kita. Bagaimana membuat sistem yang berguna bagi mereka, yang menjadi persolan sering terjadi ilutif dari pekerjaan aktivis TIK bahwa dunia akan beres selama ada media, perangkap ilusinya juga sama di aktivis pengorganisasian bahwa semua akan beres setelah diorganisir. 7
Kita melihat kasus Prita, semua berilusi kalo 60.000 orang ikut facebook maka sistem kesehatan masyarakat akan berubah. Ilusi ini yang harus dihilangkan misalkan pada kasus memasang sistem SMS gateway di keuskupan, yang memasang adalah orang yang ahli, dan kita bilang jangan berilusi, hanya mengajarkan yang semestinya agar alat ini berguna tapi tidak menyibukkan mereka sehingga lupa akan pekerjaan mereka sebenarnya. Pembagian tugas seperti ini mampu menghilangkan ilusi tersebut, sehingga sistem ini bisa bekerja semestinya. Kita bisa keluar dari jebakan ilusi apabila kita menghadapkan diri pada realitas, disitulah saling melengkapinya bagaimana orang-orang yang mengorganisir di masyarakat punya kaitan dengan orang-orang yang sibuk di jaringan. Kita bisa keluar dari jebakan ilusi apabila kita menghadapkan diri pada realitas, disitulah saling melengkapinya bagaimana orang-orang yang mengorganisir di masyarakat punya kaitan dengan orangorang yang sibuk di jaringan. Kita pikir pentingnya membangun sistem bekerja dimana siapa melakukan apa dan bagaimana akan berkontribusi dalam platform dan arah yang sama. Kadang kala kita harus berpikir terbalik. Asumsi bahwa teknologi informasi membantu dalam gerakan sosial itu adalah benar, tapi kadang kita harus berpikir terbalik bahwa gerakan sosial mampu menafikan teknologi informasi. Contoh revolusi sutera di cekoslwakia dimulai dari tesis tersebut, tesisnya adalah jangan mendengarkan siaran televisi karena itu merupakan siaran propaganda pemerintah. Disinilah awal revolusi sutera, sehingga menemukan cara alternatifnya. Contoh gerakan anti kekerasan perempuan di Kolombia, tesisnya adalah laki-laki Kolombia senang melakukan kekerasan terhadap isteri karena para perempuan menonton televisi. Sehingga ketika suami mereka pulang dalam keadaan mabuk, mereka tidak menemukan isteri mereka, karena isteri mereka sedang jalan-jalan bertetangga menghidupkan kembali tradisi bertetangga sehingga terbebas dari aksi kekerasan suami. Intinya TIK penting, tapi akan berguna bagi orang yang melakukan perubahan, tapi pada suatu waktu dapat dinafikan dan kita kembali menggunakan informasi kita sendiri. Contoh lain ada eksperimen di suatu desa di Sulawesi yaitu jangan percaya pada iklan, sehingga selama 3 tahun ini disana dapat dilihat pembelajaran yang bisa diambil bahwa hal kecil mampu membuat perubahan sosial di masyarakat. 8