BAB I PENDAHULUAN. Pengadaan barang/jasa pemerintah diperlukan untuk menunjang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. layanan yang mereka berikan. Oleh karena itu dibutuhkan pemilihan review

BAB I PENDAHULUAN. pengadaan barang dan jasa yang tidak disediakan oleh pihak swasta.

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi, teknologi informasi komunikasi (TIK) semakin lama

BAB I PENDAHULUAN. keamanan dalam negeri dan pertahanan, (2) untuk menyelenggarakan peradilan,

barang dan jasa yang dibutuhkan, untuk mendapatkan mitra kerja yang sesuai dengan kriteria perusahaan diperlukan suatu proses untuk pemilihan

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

V. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Dalam konteks tata pemerintahan, procurement dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan teknologi informasi yang pesat serta potensi pemanfaatannya

BAB I PENDAHULUAN. (Good Governance and Clean Government) adalah kontrol dan. pelaksana, baik itu secara formal maupun informal.

Fakta Korupsi di Sektor Pengadaan Tidak ada korupsi yang ongkosnya semahal korupsi dalam pengadaan barang dan jasa (Donald Strombom, 1998) Bank Dunia

governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government) tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh barang dan jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat

BAB I PENDAHULUAN. akan mendukung pemerintah dalam menyukseskan pembangunan terutama pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pengadaan merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan proses pengadaan barang dan jasa untuk mendapatkan. keuangan negara. Penggunaan keuangan negara yang akan dibelanjakan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Sumber : UNDP tentang indeks pembangunan manusia indonesia

TRANSKRIP HASIL WAWANCARA

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini memuat tentang latar belakang masalah penelitian, rumusan

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan baru dari pemerintah Republik Indonesia yang mereformasi

PENGELOLAAN TENDER PENGADAAN BARANG DAN JASA YANG BERSIH DAN TRANSPARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang masalah. Indonesia sebagai Negara berkembang sedang giat melaksanakan

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia yang bertanggung jawab kepada Presiden dan dipimpin oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. efisiensi operasional, dan dipatuhinya kebijakan-kebijakan yang digariskan oleh manajemen

Kementerian Sosial RI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh Barang dan Jasa oleh Kementerian, Lembaga, Satuan Kerja

BAB I PENDAHULUAN. Birokrasi yang berbelit dan kurang akomodatif terhadap gerak ekonomi mulai

RANCANGAN PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 83 TAHUN 2017 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. menolak hasil dengan memberikan rekomendasi tentang tindakan-tindakan

I. PENDAHULUAN. suatu ancaman bagi para pengusaha nasional dan para pengusaha asing yang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manajemen keuangan daerah tidak terlepas dari perencanaan dan

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

2 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

BAB I PENDAHULUAN. atau individu dan biasanya melalui sebuah kontrak (Wikipedia,2008). 1. Meningkatkan tranparansi dan akuntabilitas

2017, No Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169); 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian N

BAB I PENDAHULUAN. pada hierarki dan jenjang jabatan. Dalam tataran praktek, birokrasi seringkali

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi pengelolaan keuangan negara di Indonesia yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan. kebijakan yang ditetapkan. (BPPK Depkeu, 2014 )

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

RANCANG BANGUN SISTEM INFORMASI PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang telah ditetapkan, dan ketentuan. Selain itu, pengawasan intern atas

BAB I PENDAHULUAN. dikuatkan dan diatur oleh perundang-undangan yang berlaku. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengendalian intern merupakan salah satu alat bagi manajemen

BAB I PENDAHULUAN. dipahami bahwa kompetisi global bukan kompetisi antar negara, melainkan antar

BAB I PENDAHULUAN. dengan kursus bahasa inggris yang dilaksanakan di sebuah instansi pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi, teknologi telah menjadi salah satu upaya pemerintah untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. baik (Good Governance) menuntut negara-negara di dunia untuk terus

BAB I PENDAHULUAN. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 Tentang Desa

BAB 1 PENDAHULUAN. Kantor Pengelolaan Taman Pintar. Pada BAB 1, penelitian ini menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pada perusahaan secara maksimal sehingga laba diharapakan diperoleh juga secara

POKOK KEBIJAKAN DAN IMPLIKASI HUKUM PENGADAAN jasa konsultansi PEMERINTAH

ANALISIS POTENSI PENYIMPANGAN DALAM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh:

I. PENDAHULUAN. pengadaan barang seperti pengadaan fasilitas gedung pada suatu instansi

BAB I PENDAHULUAN. sehinga dapat memberikan kualitas pelayanan prima terutama dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. dan meningkatkan pertumbuhan bisnis nasional. Dalam melakukan pengadaan barang

BAB I PENDAHULUAN. paradigma baru yang berkembang di Indonesia saat ini. Menurut Tascherau dan

- 1 - BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 71 TAHUN 2017 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. governance dan penyelenggaraan organisasi sektor publik yang efektif, efisien,

BAB I PENDAHULUAN. warganya, dan pasar dengan warga. Dahulu negara memposisikan dirinya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang bisnis. Pada pemerintahan saat ini, teknologi merupakan penunjang

BAB I PENDAHULUAN. termasuk diantaranya pemerintah daerah. Penganggaran sector publik terkait

I. PENDAHULUAN. mengembangkan sistem pemerintahan yang baik (Good Governance), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. memburuk, yang berdampak pada krisis ekonomi dan krisis kepercayaan serta

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Istilah e-procurement diperkenalkan pertama kali di Pemerintah Kabupaten

I. PENDAHULUAN. pengukuran kinerja pada capacity building yang mengikuti pola reinventing

PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG LAYANAN PENGADAAN BARANG/JASA SECARA ELEKTRONIK (LPSE) KOTA MEDAN

2 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Kepegawaian Timur ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan

PERSEPSI KARAKTERISTIK INDIVIDU TENTANG STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN. (Studi Kasus pada Pemerintah Kota Surakarta) SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta

BUPATI ENDE PERATURAN BUPATI ENDE NOMOR 29 TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan pemberantasan. Tidak hanya terjadi pada pemerintah pusat, fraud juga

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjukkan titik terang, untuk mendorong perubahan dalam tata kelola

BAB 1 LATAR BELAKANG. dengan munculnya krisis budaya moral. Di beberapa negara Asia pondasi

PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PROGRAM KERJA PENGAWASAN INTERNAL

BAB I PENDAHULUAN. khususya di tingkat Pemerintah Daerah. Korupsi sebenarnya termasuk salah

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. oaching

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya tuntutan masyarakat atas terwujudnya good governance di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good governance government). Good governance. yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien.

BERITA DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 20 TAHUN 2016 WALIKOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALIKOTA DEPOK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

ANALISA KENDALA PELAKSANAAN E-PROCUREMENT DI KOTA SURABAYA

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

Korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, tetapi juga melibatkan pihak lain, sehingga merusak

SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 36 TAHUN 2011 TANGGAL 23 AGUSTUS 2011

BAB V SIMPULAN, SARAN, DAN KETERBATASAN. Berdasarkan hasil analisis data yang sudah dilakukan, maka penulis

BAB I PENDAHULUAN. perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman mengenai good governance mulai dikemukakan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengadaan barang/jasa pemerintah diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan aktivitas pemerintah dalam membangun sarana dan prasarana bagi masyarakat. Dalam memenuhi kebutuhan atas sarana dan prasarana bagi masyarakat, maka pemerintah juga harus mengimbanginya dengan melakukan proses pengadaan barang/jasa secara baik. Namun kenyataannya, pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah banyak dijumpai berbagai penyimpangan yang terjadi. Kasus fraud yang seringkali terjadi di Indonesia, khususnya pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah, merupakan salah satu bukti bahwa adanya kesempatan atau peluang yang dapat dilakukan oleh pejabat pemeritah yang berwenang (seseorang ataupun sekelompok) pada proses tersebut untuk menguntungkan dirinya sendiri maupun kelompoknya. World Bank (2003) mengungkapkan bahwa secara luas, sistem pengadaan publik Indonesia diyakini merupakan sumber utama dari kebocoran anggaran yang memungkinkan korupsi dan kolusi yang memberikan sumbangan besar terhadap kemerosotan pelayanan jasa bagi rakyat Indonesia. Namun, suatu sistem pengadaan efektif harus dipusatkan pada upaya untuk memastikan bahwa dana publik dibelanjakan dengan baik guna meningkatkan efektifitas pembangunan. Apabila suatu sistem pengadaan berfungsi dengan baik, dipastikan pembelian barang akan bersaing dan efektif. 1

Pemerintah harus selalu berpegang pada prinsip-prinsip dasar pengadaan barang/jasa, yaitu: efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparansi, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel. Untuk itu, pemerintah selalu berupaya untuk menyempurnakan prosedur pelaksanaan pengadaan barang/jasa, baik melalui penyempurnaan peraturan-peraturan maupun pengambilan kebijakan dan keputusan yang tepat seperti penerapan sistem baru pada proses pengadaan barang/jasa (e-procurement), agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsipnya yang efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparansi, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel. Sehingga, tuntutan kepada pemerintah untuk menerapkan good governance dalam menjalankan pemerintahan, telah membuat transparansi dan akuntabilitas pada proses pengadaan barang/jasa harus dilaksanakan. Sistem lama pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah sangat memungkinkan terjadinya fraud. Panitia pengadaan barang/jasa memiliki ruang interaksi yang lebih intens dengan pihak penyedian barang/jasa (vendor) yang mengakibatkan adanya kemungkinan terjadinya penyimpangan. Ada beberapa modus fraud dalam pengadaan barang/jasa seperti yang disebutkan oleh Husodo (2010) antara lain, pemalsuan, penyuapan, pemerasan, penggelapan, uang komisi, bisnis orang dalam, nepotisme, penunjukan langsung, mengurangi kualitas dan kuantitas barang/jasa, hingga mark up harga. Oeyoen & Yulianto (2011) juga mengungkapkan bahwa, sebuah survei yang dilaksanakan oleh Indonesian s Procurement Watch pada tahun 2010, sebanyak 89 persen perusahaan mengatakan bahwa mereka perlu menyuap pejabat pemerintah untuk mendapatkan kontrak. 2

Pemerintah memperkirakan bahwa kerugian dari korupsi dalam pengadaan pemerintah di Indonesia mencapai sebesar US$ 4 milyar setiap tahunnya. Fraud yang terjadi pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah ini telah menjadi bukti, bahwa pentinganya good governance sebagai tata pemerintah yang baik atau menjalankan fungsi pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (struktur, fungsi, manusia, aturan, dan lain-lain) (Bastian, 2013). Dengan melaksanakan good governance, lembaga-lembaga negara diharapkan dapat lebih efektif dan efisien dalam penyelenggaraan negara yang didasarkan pada asas demokrasi, transparansi, akuntabilitas, budaya hukum serta kewajaran dan kesetaraan (KNKG, 2008: 15). Era modern saat ini, menuntut organisasi sektor publik untuk memanfaatkan teknologi informasi dengan tujuan meningkatkan pelayanan, proses kerja, hingga hubungan tiap organisasi. Melalui pemanfaatan teknologi informasi pada organisasi, diharapkan dapat mempermudah proses kerja organisasi, sehingga organisasi dapat melaksanakan kegiatannya secara lebih cepat, efektif, efisien, dan tepat sasaran sesuai dengan tujuan organisasi. Pemanfaatan teknologi informasi pada organisasi sektor publik seperti e-government merupakan suatu upaya untuk mewujudkan organisasi yang good governance serta mengurangi segala bentuk fraud seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mungkin dapat terjadi. Dalam hal ini khususnya pada proses pengadaan barang/jasa, organisasi sektor publik telah mengaplikasikan e-procurement sebagai upaya dalam untuk memenuhi prinsip-prinsip dasar good governance, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan integritas (Witting, 2003; Callender & Schapper, 2003) dalam (Vaidya, et. al, 3

2006) serta sebagai upaya dalam mencegah terjadinya fraud dalam pengadaan barang/jasa. e-procurement saat ini merupakan salah satu topik utama dalam e- Government, banyak organisasi membutuhkan saran dan bimbingan tentang melanjutkan dengan teknologi baru (Vaidya, et al., 2006). Pasal 5 Perpres 54 tahun 2010 menjelaskan bahwa pelaksanaan proses pengadaan barang/jasa pemerintah diwajibkan memenuhi prinsip-prinsip efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel. Implementasi e-procurement dapat menjadi suatu upaya untuk meningkatkan transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Studi yang dilakukan oleh Wibawa (2014) menunjukkan bahwa terbukti ada perbedaan transparansi antara sebelum dan sesudah implementasi e-procurement di Kementerian Keuangan. Hasil studi tersebut menunjukkan ada peningkatan kualitas transparansi, keterbukaan peluang dan aturan tender, kejelasan aturan dalam dokumen pengadaan, penyampaian addendum dokumen pengadaan, kecukupan waktu pengadaan, penerapan prinsip terbuka dan bersaing, kemudahan sanggahan dan aduan, kemudahan mengikuti tender dan keterbukaan penyampaian hasil evaluasi termasuk hal-hal yang menggugurkan. Pasal 107 Perpres 54 Tahun 2010 juga menyebutkan bahwa e-procurement bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat, memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, mendukung proses monitoring dan audit, memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time. Transparansi pengadaan barang/jasa dapat diwujudkan melalui implementasi e-procurement. Transparansi merupakan salah satu prinsip pada 4

good governance yang harus dipenuhi atau dipatuhi pada pengadaan barang/jasa pemerintah seperti yang dijelaskan pada pasal 5 Perpres 54 tahun 2010. Dalam pasal 107 Perpres 54 tahun 2010 menjelaskan bahwa tujuan pengadaan barang/jasa Pemerintah secara elektronik (e-procurement) adalah untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat, memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, mendukung proses monitoring dan audit, dan memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time. Dengan menerapkan prinsip transparansi dalam implementasi e-procurement, maka control terhadap proses pengadaan barang/jasa dapat lebih mudah dilakukan, sehingga dapat mencegah terjadinya fraud, seperti penyimpangan, persaingan yang tidak sehat, pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, pemborosan dan kebocoran keuangan, hingga penyalahgunaan wewenang (kolusi). Implementasi e-procurement pada sektor publik diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan akutabilitas dalam proses pengadaan barang/jasa sesuai dengan prinsip-prinsip yang tertuang pada Perpres 54 tahun 2010, serta menjadi sebuah upaya pencegahan fraud dalam pengadaan barang/jasa Pemerintahan. Critical success factors (CSFs) atau yang disebut faktor keberhasilan adalah suatu area yang mengindikasikan keberhasilan kinerja unit kerja organisasi (Mahsun, 2013). Mahsun (2013) juga menjelaskan bahwa setiap organisasi mempunyai CSF yang berbeda-beda karena sangat tergantung pada unsur-unsur apa dari organisasi tersebut yang dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam pencapaian tujuan. Dengan mengidentifikasi faktor-faktor keberhasilan, 5

maka kita dapat membuat indikator kinerja yang sesuai dengan pengukuran kinerja suatu organisasi, khususnya dalam hal ini pengukuran kinerja pada implementasi e-procurement di Sektor Publik. Vaidya, et al. (2006) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa terdapat sebelas critical success factor atau faktor keberhasilan yang mempengaruhi implementasi e-procurement, diantaranya: (1) keamanan dan keaslian dokumen; (2) standar teknologi; (3) integrasi sistem; (4) dukungan manajemen puncak; (5) penerimaan pengguna dan pelatihan; (6) kasus bisnis dan proyek manajemen; (7) adopsi oleh penyedia; (8) perubahan manajemen; (9) strategi implementasi e-procurement; (10) penyusunan ulang proses pengadaan; dan (11) pengukuran kinerja. Hasil dari survei literatur pada penelitian tersebut mengungkapkan bahwa kesebelas critical success factors (CSFs) mempengaruhi implementasi e-procurement. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Vaidya, et. al (2006), peneliti menggunakan critical success factors (CSFs) sebagai indikator dalam menilai implementasi e-procurement di Pemerintah Kota. Implementasi e-procurement di sektor publik, khususnya di Indonesia masih tergolong baru, sehingga peneliti merasa perlu untuk melakukan pengujian atas implementasi e-procurement melalui critical success factors (CSFs) yang pernah diteliti sebelumnya oleh Vaidya, et. al (2006). Tidak hanya itu, peneliti juga mengembangkan model penelitian tersebut dengan menguji pengaruh implementasi e-procurement dalam pencegahan fraud pada pengadaan barang/jasa pemerintah. Melalui penelitian ini, peneliti dapat memperoleh informasi lebih, mengenai keberhasilan implementasi e-procurment di Sektor Publik dalam rangka meningkatkan transparansi dan 6

akuntabilitas, meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat, memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, mendukung proses monitoring dan audit, dan memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time, sesuai dengan tujuan dari pengadaan barang/jasa yang sesuai dengan pasal 107 Perpres 54 tahun 2010. Penelitian ini menggunakan Pemerintah Kota Surabaya sebagai objek penelitian karena Pemerintah Kota Surabaya mengimplementasikan sistem e- Procurement yang kemudian dikenal dengan nama SePS (Surabaya e- Procurement System) dan dapat di akses melalui www.surabaya-eproc.or.id sejak tahun 2003 sesuai dengan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan barang/jasa Pemerintah dan Pemkot Surabaya ini merupakan pionir pada pelaksanaan sistem e-procurement di Sektor Publik serta menjadikan penerapan sistem e-procurement yang dikenal sebagai the killer application dalam mencegah terjadinya KKN (Jasin dkk, 2007). 1.2 Rumusan Masalah Menurut Jasin, dkk (2007) Pemkot Surabaya merupakan organisasi sektor publik pionir pada pelaksanaan sistem e-procurement serta menjadikan penerapan sistem e-procurement yang dikenal sebagai the killer application dalam mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh sebab itu, peneliti ingin menguji implementasi e-procurement di Pemerintah Kota Surabaya melalui critical success factors (CSFs) serta menguji pengaruh implementasi e- Procurement terhadap pencegahan fraud sesuai dengan tujuan dari penerapan 7

SePS sebagai the killer application dalam mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Critical success factors (CSFs) dipilih untuk penelitian ini karena dapat mewakili daerah atau fungsi di mana peristiwa dan tindakan harus terjadi untuk memastikan kinerja kompetitif keberhasilan sebuah organisasi (Butler & Fitzgerald, 1999) dalam (Vaidya, et al., 2006). Masih dalam penelitian Vaidya, et al. (2006), Cheng & Ngai (1994) mengungkapkan bahwa konsep CSFs menjadi populer di bidang sistem informasi manajemen dalam menyelidiki pentingnya mengidentifikasi CSFs dengan desain sistem informasi, dan pendekatan mereka yang diberi nama Metode CSF. Vaidya, et al. (2006) menjelaskan bahwa tanpa satu set CSFs, tampaknya tidak mungkin untuk menyajikan keadaan kemajuan dan menilai implementasi e- Procurement di sektor publik. Melalui satu set CSFs dari penelitian Vaidya, et al. (2006) sebagai indikator kinerja yang sesuai dengan pengukuran keberhasilan implementasi e-procurement di Sektor Publik, peneliti melakukan pengujian mengenai Pengaruh Faktor-faktor Implementasi e-procurement terhadap Pencegahan Fraud pada Sektor Publik: Studi pada Pemerintah Kota Surabaya 1.3 Pertanyaan Penelitian Penelitian ini ingin menguji implementasi e-procurement di Pemerintah Kota Surabaya melalui sebelas faktor keberhasilan atau critical success factor (CSF) yang direplika melalui penelitian Vaidya, et al. (2011) serta menguji pengaruh implementasi e-procurement di Sektor Publik terhadap pencegahan 8

fraud sesuai dengan tujuan diterapkannya sistem ini pada Pemkot Surabaya. Berdasarkan hal tersebutlah maka dalam penelitian ini muncul dua pertanyaan penelitian, yaitu sebagai berikut: 1. Faktor-faktor keberhasilan apakah yang mempengaruhi secara positif implementasi e-procurement pada Pemerintah Kota Surabaya? 2. Apakah implementasi e-procurement memiliki pengaruh positif terhadap pencegahan fraud pada Pemerintah Kota Surabaya? 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh faktor-faktor keberhasilan terhadap implementasi e-procurement di Pemerintah Kota Surabaya, serta menguji pengaruh implementasi e-procurement tersebut terhadap pencegahan fraud dalam proses pengadaan barang/jasa di Pemerintah Kota Surabaya. Pengujian implementasi e-procurement di Sektor Publik yang melalui faktor-faktor keberhasilan dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji faktorfaktor apasaja yang mendukung implementasi e-procurement di Sektor Publik. Selain itu pengujian pengaruh implementasi e-procurement di Sektor Publik dengan pencegahan fraud ini bertujuan untuk menguji apakah implementasi e- Procurement di Sektor Publik yang dinilai melalui faktor-faktor keberhasilan tersebut dapat membantu dalam pencegahan fraud sesuai dengan tujuan diselenggarakannya e-procurement. 9

1.5 Motivasi Penelitian Melalui penelitian ini, peneliti termotivasi untuk menguji keberhasilan dari implementasi e-procurement sebagai the killer application melalui critical success factors (CSFs) dalam mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme di Pemerintah Kota Surabaya sesuai dengan tujuan dari diterapkannya sistem ini. Selain itu peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan masukan, pengetahuan, dan bukti mengenai pengaruh faktor-faktor keberhasilan dalam implementasi e-procurement melalui critical success factor (CSF) serta pengaruhnya terhadap pencegahan fraud pada pengadaan barang/jasa Pemerintah, khususnya pada Pemerintah Kota Surabaya. 1.6 Kontribusi Penelitian Berdasarkan tujuan dan motivasi dari peneliti, diharapkan penelitian ini dapat memberi kontribusi, sebagai berikut: 1. Bagi Instansi Pemerintah Kota Surabaya Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan, pengetahuan, dan bukti untuk dijadikan bahan evaluasi dari implementasi e-procurement yang telah diterapkan. 2. Bagi Pihak Lain Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan sebagai pengetahuan untuk menambah informasi mengenai implementasi e-procurement pemerintah. 10

3. Bagi Akademisi Penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan yang bermanfaat untuk menambah informasi mengenai e-procurement bagi pembaca, serta dapat menjadi bahan acuan atau refrensi untuk penelitian selanjutnya. 1.7 Sistematika Penulisan Tesis Untuk mempermudah penulisan Tesis penelitian, maka penulis memberi penguraian serta penjelasan didalam penulisan Tesis penelitian ini dengan menyajikan sistematika penulisan, sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Bab ini merupakan bagian awal dari pembahasan penelitian yang menguraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, kontribusi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori Bab ini menjelasakan mengenai tinjauan literatur yang mendasari penelitian, kerangka pemikiran, dan pengembangan hipotesis. Bab III Metoda Penelitian Bab ini menguraikan mengenai rancangan dan batasan penelitian, populasi, sampel, teknik mengambilan sampel, dan metode penelitian. 11

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab V Penutup Bab ini menjelaskan mengenai hasil uji penelitian serta penjelasan mengenai hasil-hasil pengujian dan temuan dalam penelitian. Bab ini merupakan bab terakhir pada penelitian ini. Bab ini berisi mengenai kesimpulan, keterbatasan penelitian, dan saran yang ditujukan untuk penelitian selanjutnya. 12