BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dewasa ini sangat menunjang proses bisnis dan menciptakan berbagai peluang dan inovasi. Teknologi hadir dalam berbagai bentuk dan menjadi bagian dari kehidupan kita. TIK kemudian dihadirkan dalam pemerintahan sebagai inovasi untuk meningkatkan kualitas pemerintah dalam pelayanan publik. Pemanfaatan TIK dalam proses pemerintahan diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik menjadi efektif, efisien, transparan, dan akuntabel (LKPP, 2009:3). Inovasi dari TIK ini kemudian diterapkan di sektor pengadaan barang/jasa pemerintah. Hasil survei Integritas Sektor Publik 2009 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan bahwa dari 15 unit layanan dengan skor integritas terendah, empat diantaranya adalah pengadaan barang/jasa pemerintah. Survei tersebut dilakukan terhadap 371 unit layanan pada 98 instansi baik instansi pusat maupun daerah dengan melibatkan jumlah responden pengguna layanan sebanyak orang yang merupakan pengguna langsung dari layanan publik yang disurvei. Hasil tersebut menggambarkan bahwa masyarakat berharap adanya perubahan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Kondisi pengadaan pemerintah yang kurang efisien dan kurang transparan diharapkan dapat berubah. 1

2 2 Pengadaan barang/jasa pemerintah sebelumnya diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah selanjutnya terjadi menjadi Peraturan Presiden Nomor 54 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sektor pengadaan memegang porsi yang cukup besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang jumlahnya terus berkembang dari tahun ke tahun. Dalam APBN 2009, total Belanja Negara adalah sebesar Rp triliun. Dari jumlah tersebut, Rp. 443 triliun adalah merupakan Belanja Pemerintah Pusat dan Rp. 594 triliun mengalir ke daerah. Total nilai belanja yang melalui proses pengadaan barang/jasa pemerintah adalah sebesar Rp. 347 triliun atau sekitar 33,4% dari total, dimana Rp. 180 triliun merupakan bagian dari Belanja Pemerintah Pusat, dan Rp. 167 triliun adalah Belanja Daerah. Jika dikaitkan dengan hasil laporan Bank Dunia, maka potensi kebocoran pengadaan barang/jasa pemerintah adalah sebesar Rp. 69,4 triliun. Menurut LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) (2009:11), pengadaan konvensional memiliki tiga kelemahan yaitu kurang transparan, kurang efisien, dan kurang berfungsi sebagai perangkat untuk memajukan pembangunan. Kurang transparansi dalam pengadaan konvensional karena pengadaan konvensional dinilai tidak memberi informasi tentang seluruh pemasok potensial kepada unit pengadaan. Pengadaan konvensional dinilai tidak menyediakan mekanisme pengawasan kepada masyarakat yang mengakibatkan persaingan menjadi terbatas, dampak terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi melemah,

3 3 menghambat dan menghalangi pemasok potensial, dan pemberian hak khusus terhadap pemasok tertentu. Ada kemungkinan dimana lembaga membeli barang dari penyedia yang mereka kenal. Hal itu menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lain serta harus adanya pengawasan atas pelaksanaan kegiatan pengadaan tersebut. Kurangnya transparansi dalam pengadaan konvensional ini mengakibatkan rentan terjadinya korupsi. Terdapat beberapa permasalahan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah secara konvensional yang merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar, misalnya pengadaan alat kesehatan di Departemen Kesehatan pada tahun 2005 sebesar Rp. 6,1 miliar, pengadaan mobil pemadam kebakaran di kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi pada tahun 2004 senilai Rp. 1,1 miliar, pengadaan mobil pemadam kebakaran, ambulance dan alat berat pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun sebesar Rp. 72 miliar, serta pengadaan helikopter di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada tahun 2002 sebesar Rp.4 miliar. Sejak tahun 2008 pemerintah telah melaksanakan e-procurement yang diharapkan akan memberikan efektifivitas, efisiensi, serta akuntabilitas dan transparansi dalam pelaksanaan pengadaan pemerintah. Statistik dari LKPP mengindikasikan perkembangan LPSE secara nasional, dalam waktu empat tahun LPSE telah memfasilitasi lebih dari paket tender, dengan total anggaran lebih dari Rp 68 triliun. LPSE telah menghemat anggaran negara sebesar 12%. Walaupun begitu statistik tersebut hanya sebagian kecil dari pengadaan barang/jasa pemerintah. Untuk tahun 2011, total anggaran untuk pengadaan barang/jasa sekitar Rp 450 triliun, dan baru sekitar Rp 51,5 triliun yang

4 4 diselenggarakan dengan e-procurement. Hal ini mengindikasikan bahwa belum semua Provinsi menggunakan e-procurement. Berdasarkan data rekapitulasi dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2010, BPK menemukan beberapa tipe kasus pengadaan barang/ jasa yang merugikan keuangan negara. Kasus pengadaan barang/jasa yang menimbulkan kerugian negara terdiri dari tujuh bentuk, yaitu (1) Pengadaan barang/jasa (PBJ) fiktif; (2) rekanan tidak menyelesaikan pekerjaan; (3) barang/jasa tidak sesuai spesifikasi; (4) kekurangan volume pekerjaan dan/ atau barang; (5) kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan; (6) pemahalan harga; serta (7) belanja tidak sesuai ketentuan atau melebihi ketentuan. Kasus PBJ tersebut berjumlah kasus dengan total kerugian sebesar Rp ,00. Temuan BPK tersebut memiliki rincian berikut, yaitu (a) 146 kasus merugikan keuangan negara; (b) kasus merugikan keuangan daerah; (c) 6 kasus merugikan keuangan perusahaan BUMN, serta (d) 42 kasus merugikan keuangan perusahaan BUMD. Berdasarkan jumlah kemunculan kasusnya, bentuk kasus kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang menempati posisi teratas dengan persentase sebesar 42% (628 kasus). Tetapi besarnya jumlah kasus tidak berkorelasi dengan besarnya dampak kerugian keuangan negara. Kasus belanja tidak sesuai ketentuan atau melebihi ketentuan yang berjumlah 16% dari total temuan kasus justru menempati posisi pertama dalam menimbulkan kerugian negara/daerah/perusahaan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah melaksanakan e-procurement sejak tahun 2008 dan pada saat peresmian LPSE 1 Juli 2008 mencanangkan bahwa pada

5 5 tahun % pengadaan barang dan jasa harus menggunakan e-procurement. Implementasi e-procurement juga menjadi salah satu agenda reformasi birokrasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Diharapkan dengan diterapkannya Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam bentuk e-procurement, pemerintah akan mendapatkan suatu pemecahan masalah dalam memberantas korupsi di sektor pengadaan. e-procurement ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, akuntabilitas dan transparansi pengadaan pemerintah. Dalam pelaksanaan e-procurement ini antara pelaku usaha dan panitia pengadaan tidak ada kontak langsung. Hal itu diharapkan untuk mengurangi tingkat penyimpangan dan diharapkan lebih meningkatkan transparansi, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi. Selain itu, pengadaan barang/jasa secara elektronik ini juga dapat mewujudkan suatu pasar pengadaan nasional, sehingga meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat. LKPP (2009:36) menyatakan bahwa e-procurement memperluas akses pasar dan membantu menciptakan persaingan sehat (transparansi, harga yang lebih baik, dan pola interaksi yang lebih baik). Dengan diterapkannya e- procurement maka diharapkan dapat meminimalisir penyimpanganpenyimpangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, transparansi dan akuntabilitas. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian sebagai tugas akhir dengan judul Hubungan Antara Implementasi e- Procurement dengan Akuntabilitas Pengadaan Barang/Jasa pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

6 6 Penelitian ini replikasi dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Udoyono (2012) mengenai e-procurement dalam Pengadaan Barang dan Jasa untuk Mewujudkan Akuntabilitas di Kota Yogyakarta. Sedangkan penulis melakukan penelitian di Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 1.2 Perumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana implementasi e-procurement pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2. Adakah hubungan yang positif dan signifikan antara implementasi e- procurement dengan akuntabilitas pengadaan barang/jasa di Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 1.3 Batasan Masalah Penelitian Penelitian difokuskan pada pada persepsi dan tanggapan responden terkait implementasi e-procurement terhadap akuntabilitas pengadaan barang/jasa di Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang meliputi e-leadership, transformasi pola pikir dan pola tindak, jumlah dan mutu Sumber Daya Manusia (SDM), dan ketersediaan infrastruktur menurut LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).

7 7 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui implementasi e-procurement pada proses pengadaan barang/jasa pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2. Mengetahui hubungan antara implementasi e-procurement dengan akuntabilitas pengadaan barang/jasa pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 1.5 Manfaat Penelitian Kegunaan dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait diantaranya sebagai berikut: 1. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada\ implementasi e-procurement pada pengadaan barang/jasa guna meningkatkan akuntabilitas pengadaan barang/jasa Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya hasill penelitian dan digunakan sebagai referensi bagi para akademis sebagai sarana dalam pengembangan ilmu bidang akuntansi pemerintah, terutama mengenai implementasi e-procurement pada pengadaan barang/jasa guna meningkatkan akuntabilitas pengadaan barang/jasa pemerintah..