BAB I PENDAHULUAN. pidana tersebut. Oppenheim menyatakan bahwa :

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

PRINSIP-PRINSIP HUKUM REGULASI INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

BAB I PENDAHULUAN. Pengenalan Crimes Againts humanity ( Kejahatan terhadap

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG YURISDIKSI NEGARA. lainnya (equal states don t have jurisdiction over each other) 27, dan prinsip tidak

BAGIAN I PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI YURISDIKSI NEGARA

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEJAHATAN TERORISME YANG MELEWATI BATAS-BATAS NASIONAL NEGARA-NEGARA

BAB III PEMBAHASAN. 1.1 Kriteria Kejahatan Dalam Lingkup Yurisdiksi Universal

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

ANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KATA PENGANTAR. Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena

A. LATAR BELAKANG MASALAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC)

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951

PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH. BAMBANG SUDJITO, SH. MH.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI. Ekstradisi berasal dari kata latin axtradere (extradition = Inggris) yang

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27

: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit :

YURISDIKSI NEGARA DALAM EKSTRADISI NARAPIDANA TERORISME (Studi Terhadap Permintaan Ekstradisi Hambali oleh Indonesia Kepada Amerika Serikat)

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

Perlindungan dari Kejahatan Penghilangan Paksa Oleh Zainal Abidin (Deputi Direktur Direktorat Pengembangan Sumber Daya HAM ELSAM)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional

Kedaulatan Wilayah H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV PEMBAHASAN. A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan,

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

PENERAPAN ASAS TIDAK ADA EKSTRADISI UNTUK KEJAHATAN POLITIK TERHADAP PENOLAKAN PERMINTAAN EKSTRADISI

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

nasionalitas Masing-masing negara menganut kaidah yang berbeda-beda mengenai nasionalitas, misal: ius sangunis, ius soli.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

BENTUK TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN KEPADA PENDUDUK SIPIL ABSTRACT

JURNAL. ( Studi Kasus Eks Pengungsi Timor Timur) Diajukan Oleh : MARIANUS WATUNGADHA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menindak suatu tindak pidana, sebuah negara atau otoritas berwenang memerlukan yurisdiksi sebagai dasar atas perbuatannya menindak pelaku tindak pidana tersebut. Oppenheim menyatakan bahwa : Jurisdiction is the term that describes the limit of legal competence of a State or other regulatory authority to (such as the European Community) to make, apply, and enforce rules of conduct upon persons. It concerns essentially the extent of each state's right to regulate conduct or the consequences of events. 1 Kutipan di atas dapat diartikan bahwa yurisdiksi diperlukan sebagai dasar wewenang yang digunakan oleh negara atau otoritas berwenang untuk mempengaruhi hak dan kewajiban seseorang dengan tujuan tercapainya ketertiban umum. Cara mempengaruhi hak dan kewajiban seseorang bermacam-macam, baik lewat pembentukan aturan baru yang berisi larangan dan kewajiban sampai dengan penindakan terhadap para pelanggar aturan baik yang ringan maupun berat. Yurisdiksi selain digunakan sebagai dasar wewenang dan kekuatan suatu entitas untuk mempengaruhi hak-hak orang, juga sebagai refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki yurisdiksi. Persamaan derajat negara di mana kedua negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki yurisdiksi (wewenang) 1 Oppenheim (a), International Law, 9th edited by Sir R. Jennings and Sir A. Watts (Harlow: Longman 1992), hal. 456. 1

terhadap pihak lainnya (equal states don t have jurisdiction over each other) 2, dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain. Prinsipprinsip tersebut tersirat dari prinsip hukum par in parem non habet imperium 3 Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum par in parem non habet imperium ini memiliki beberapa pengertian. Pertama, suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi melalui pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali negara tersebut menyetujuinya. Kedua, suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut. Ketiga, pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan tindakan suatu negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya. 4 Prinsip hukum par in parem non habet imperium dapat disimpulkan bahwa yurisdiksi merupakan kedaulatan suatu negara. Negara lain tidak boleh mencampuri urusan yurisdiksi negara lainnya. Tetapi prinsip ini memberikan celah bagi negara lain untuk mencampuri yurisdiksi suatu negara jika negara yang akan diintervensi yurisdiksinya memberikan izin. Celah selanjutnya adalah lewat perjanjian internasional baik bilateral maupun multilateral. Tetapi secara umum prinsip kedaulatan yurisdiksi suatu negara sangat kuat, sehingga sangat jarang ada negara 2 Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, (Bandung : Penerbit Nusamedia, 2007), hal.56. 3 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi revisi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002),hal.183. 4 Ibid, hal.184. 2

yang mau diintervensi kedaulatan hukumnya oleh negara lain, kecuali jika negara tersebut sudah memutuskan tunduk terhadap hukum internasional. Dalam komunitas hukum internasional, hanya negara berdaulat yang dapat memiliki yurisdiksi. Maksudnya adalah negara yang tidak berdaulat penuh seperti contohnya Somalialand yang ada di benua Afrika, tidak memiliki yurisdiksi karena dunia internasional tidak mengakui kedaulatan negara tersebut. Hanya beberapa negara saja yang memiliki hubungan bilateral dengan negara tersebut. Dalam dunia Internasional, selain negara yang berdaulat, yurisdiksi juga dimiliki oleh pengadilan internasional seperti contohnya International Criminal Court (ICC), walaupun yurisdiksinya sangat terbatas hanya kepada negara - negara yang tunduk dalam Statuta Roma. Yurisdiksi suatu negara yang diakui oleh dunia internasional sangat penting untuk menunjukkan pada dunia Internasional kedaulatan dan eksistensi negara tersebut. Tetapi sebagai subjek hukum internasional, suatu negara juga adakalanya tunduk terhadap beberapa aturan-aturan dalam hukum internasional, atau yang disebut juga dengan hak-hak istimewa ekstrateritorial. Hak - hak istimewa ekstrateritorial ini menggambarkan suatu keadaan dimana status seseorang atau benda yang secara fisik terdapat di dalam suatu wilayah negara, tetapi seluruhnya atau sebagian dikeluarkan dari yurisdiksi negara tersebut oleh ketentuan hukum internasional. Terdapat lima prinsip yurisdiksi dalam hukum internasional yang diakui oleh negara - negara di dunia, yaitu 5 : 5 DJ Harris, Cases and Materials on International Law,5th Ed, (London: Sweet &Maxwell,1998), hal. 264-265. 3

1. Prinsip Teritorial, yurisdiksi ditentukan dari tempat terjadinya sebuah pelanggaran atau tindakan 2. Prinsip Nasionalitas, yurisdiksi ditentukan dari kewarganegaraan seseorang yang melakukan pelanggaran atau tindakan 3. Prinsip Protektif, yurisdiksi ditentukan berdasarkan kepentingan nasional yang dirugikan oleh pelanggaran atau tindakan yang dilakukan 4. Prinsip Universal, yurisdiksi ditentukan berdasarkan beberapa kriteria pelanggaran dan tindakan yang mengancam kepentingan bersama umat manusia 5. Prinsip Personalitas Pasif, yurisdiksi ditentukan berdasarkan kewarganegaraan dari seseorang yang dirugikan oleh sebuah pelanggaran atau tindakan. Dari lima prinsip di atas, prinsip universal atau yurisdiksi universal mempunyai karakteristik yang paling berbeda dari yang lainnya. Prinsip universal tidak mengenal lokasi kejadian, kewarganegaraan pelaku atau korban, atau kepentingan nasional suatu negara yang dirugikan, tetapi yurisdiksi universal diakui dapat digunakan untuk pelanggaran atau kejahatannya di mana pun dan kapan pun selama tindakan tersebut mengancam kepentingan bersama umat manusia di seluruh dunia. Institut de droit international (IDI) pada tahun 2005 mengeluarkan resolusi atas yurisdiksi universal yang menyatakan bahwa Universal jurisdiction in criminal matters, as an additional ground of jurisdiction, means the competence of a State to prosecute alleged offenders and to punish them if convicted, irrespective of the place of commission of the crime and 4

regardless of any link of active or passive nationality, or other grounds of jurisdiction recognized by international law. 6 Selain definisi di atas, AU - EU (African Union - European Union Partnership) dalam Expert Report mendefinisikan yurisdiksi universal sebagai berikut : Universal criminal jurisdiction is the assertion by one state of its jurisdiction over crimes allegedly committed in the territory of another state by nationals of another state against nationals of another state where the crime alleged poses no direct threat to the vital interests of the state asserting jurisdiction. In other words, universal jurisdiction amounts to the claim by a state to prosecute crimes in circumstances where none of the traditional links of territoriality, nationality, passive personality or the protective principle exists at the time of the commission of the alleged offence.7 Dapat disimpulkan bahwa kejahatan yang termasuk dalam subjek internasional adalah kejahatan yang secara umum dianggap berbahaya bagi seluruh komunitas internasional. Salah satu instrumen pendukung yurisdiksi universal adalah The Princeton Principles yang dibentuk pada tahun 2001 menyimpulkan bahwa kejahatan-kejahatan yang dicakup oleh yurisdiksi universal adalah serious crimes under international law yang terdiri dari (1) piracy (2) slavery (3) war crimes (4) crimes against peace (5) crimes against humanity (6) genocide dan (7) torture. 8 Di sisi lain, banyak ahli yang menganggap bahwa cakupan yurisdiksi 6 Institut de droit international (IDI), Resolution on universal criminal jurisdiction with regard to the crime of genocide, crimes against humanity and war crimes,krakow, 2005. 7 AU-EU Expert Report,http://ec.europa.eu/development/icenter/repository/troika_ua_ ue_rapport_competence_universelle_en.pdf, para.8. Dikunjungi pada tanggal 2 Mei 2016. 8 Princeton University, Princeton Project on Universal Jurisdiction,2001, hal. 29. 5

uinversal hanya terbatas pada apa yang disebut oleh ICC (International Criminal Court) dengan 'kejahatan paling serius yang memprihatinkan masyarakat internasional secara keseluruhan' yang berupa genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi 9 ditambahkan dengan pembajakan laut. Permasalahan dari asas yurisdiksi universal adalah belum adanya aturan yang jelas dan pasti tentang aspek-aspek apa saja yang dapat ditindak melalui asas yurisdiksi universal. Banyak negara masih ragu untuk menggunakannya karena takut jika melewati batas kedaulatan negara lain. Hal ini dibuktikan dengan masih sangat sedikit negara-negara yang di dunia yang memasukkan asas yurisdiksi universal dalam undang-undangnya dan masih sedikit yang mengimplementasikannya. Penulis berpendapat bahwa harus segera ada aturan yang jelas dasar hukum dan diakui secara bersama - sama oleh negara - negara di dunia, tentang jenis - jenis kejahatan apa saja yang dapat ditindak dengan asas universal ini dan bagaimana cara pemberlakuan asas yurisdiksi universal tersebut. Walaupun belum ada aturan yang jelas tentang yurisdiksi universal, tetapi beberapa instrumen hukum internasional sudah mengakui eksistensi asas yurisdiksi universal baik secara tersurat maupun tersirat. Contohnya yurisdiksi universal sudah ada di dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 yang memberikan mandat kepada ICRC (International Commitee of Red Cross) untuk melindungi korban perang menyatakan dalam pasal 39 dan pasal 130 bahwa yurisdiksi universal dapat 9 Malcolm N. Shaw, Hukum Internasional, terjemahan oleh Derta Sri Widowati, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2013, hal. 400. 6

diterapkan untuk kejahatan perang. Dalam Konvensi Genosida tahun 1948, asas yurisdiksi universal juga sudah ada walaupun hanya dituliskan secara tersirat. Dalam konvensi tersebut dalam bab tentang yurisdiksi teritorial disebutkan bahwa negara tidak boleh melarang penggunaan asas yurisdiksi universal dalam menangani tindak pidana genosida 10. Dalam hukum nasional, yurisdiksi universal diatur dalam undang - undang maupun dalam putusan mahkamah tinggi masing - masing negara untuk dapat digunakan mengadili pelaku tindak pidana pidana berat. Seperti contohnya Australia yang mengakui yurisdiksi universal setelah The High Court of Australia membolehkan parlemen Australia untuk menggunakan asas tersebut dalam kasus Polyukhovich v Commonwealth tahun 1991. Di Prancis yurisdiksi universal diakui setelah dituliskan dalam Undang - undangnya yaitu code de procédure pénale (code of criminal procedure) bahwa dalam artikel nomor 689, pengadilan Prancis dapat mengadili seseorang yang melakukan tindak pidana torture, terrorism, nuclear smuggling, naval piracy, dan airplane hijacking tanpa mengindahkan lokasi kejadian, dan kewarganegaraan baik pelaku maupun korban.. Di negara Belgia Pada 12 Februari 2003 Supreme Court Belgia memutuskan bahwa perkara Ariel Sharon dapat diteruskan untuk diadili di pengadilan Belgia segera setelah ia tak lagi menjabat PM Israel. Sharon digugat ke pengadilan Belgia oleh para korban peristiwa Sabra Shatila-Lebanon (1982). Ketika itu, terjadi pembantaian massal (genocide) oleh pasukan Israel terhadap para pengungsi 10 Genocide Convention, Article VI (cited in Vol. II, Ch. 44, 109); Germany, Higher Regional Court at Düsseldorf. 7

Palestina dan Lebanon yang melibatkan Sharon dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pertahanan. 11 Asas yurisdiksi universal dapat menjadi jembatan untuk mengakhiri kasus - kasus kejahatan internasional yang selama ini tidak ada penyelesaiannya. Banyak contoh kasus kejahatan internasional berat yang tidak tersentuh seperti Pol Pot, mantan orang kuat Kamboja (Cambodia) yang bersama Khmer Merah-nya membantai jutaan rakyat Kamboja selama tahun 1975-1979. Lalu, Jenderal Augusto Pinochet, mantan Presiden Chile yang bertanggung jawab atas pembunuhan, penyiksaan (torture) dan penghilangan (forced disappearances) ribuan rakyatnya antara 1973-1990. Juga para mantan petinggi di Guatemala, El Salvador, Argentina, Chad, Afrika Tengah, Cote D'Ivoire, Nigeria, Rwanda, dan lain - lain. 12 Hal-hal yang telah disebutkan di atas sebelumnya disebut dengan impunity atau kejahatan yang tidak dihukum. Banyak hal yang menyebabkan impunity seperti contoh pada kasus pembantaian di Kamboja oleh Khmer Merah, tidak tersentuh kasusnya karena pemerintahan Hun Sen (pada 1997) cenderung enggan untuk mengadili Khmer Merah. Juga adanya veto dari China di Dewan Keamanan yang mencegah terbentuknya pengadilan khusus bagi Khmer Merah. Yurisdiksi universal dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi atau mencegah banyaknya kasus-kasus kejahatan internasional berat yang tidak dihukum. 11 Heru Susetyo, Yurisdiksi Universal dan Pengadilan Penjahat Kemanusiaan, 27 Februari 2003, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7526/yurisdiksi-universal-dan-pengadilan penjahat-kemanusiaan, dikunjungi pada tanggal 28 April 2016. 12 Ibid. 8

Sudah cukup banyak instrumen pendukung yurisdiksi universal yang ada, para ahli dan organisasi internasional seperti Amnesty International juga sudah mengajak komunitas internasional untuk aktif menyelenggarakan pengadilan dengan asas yurisdiksi universal seperti yang tertuang dalam 14 Principles on the Effective Exercise of Universal Jurisdiction. Walaupun begitu negara - negara di dunia belum banyak yang berani mengaplikasikannya demi keamanan dan ketertiban internasional karena ada beberapa hambatan. Maka dari itu penulis akan menganalisis posisi yurisdiksi universal dalam hukum internasional dan hukum nasional serta hambatan-hambatan apa saja yang menghalangi pengaplikasian yurisdiksi universal di lingkungan komunitas internasional. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diurai di atas, maka penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan yang dapat dibahas yaitu : 1. Kriteria apa yang dipergunakan untuk menentukan prinsip yurisdiksi universal dapat diterapkan dalam suatu tindak pidana? 2. Bagaimana pengaturan dan penerapan prinsip yurisdiksi universal di dalam hukum internasional? 3. Bagaimana pengaturan dan penerapan prinsip yurisdiksi universal pada lingkup hukum nasional negara - negara? 9

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara umum adalah memberikan pandangan tentang penerapan asas yurisdiksi universal dalam hukum internasional dan memberikan analisis untuk kejahatan - kejahatan apa saja yang dapat ditindak atau ditanggulangi dengan asas yurisdiksi universal. Tujuan lainnya adalah memberikan pemahaman tentang pengaturan dan penerapan asas yurisdiksi universal di suatu negara. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini secara umum diharapkan dapat memberikan pengembangan bagi ilmu hukum secara khusus bagi hukum internasional tentang asas yurisdiksi universal 1.5 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Yuridis Normatif, karena bahan pustaka digunakan sebagai bahan utama, yaitu bahan hukum primer yang terdiri dari norma dasar atau kaidah, ketentuan peraturan dasar, serta peraturan perundang - undangan. Selain itu digunakan pula bahan hukum sekunder sebagai data sekunder yang termasuk di dalamnya hasil penelitian dan teori dari para akademisi dan pakar hukum. 1.6 Sistematika Penulisan Sistematika dalam penulisan skripsi ini akan dibagi dalam empat bab yang diuraikan sebagai berikut : 10

1. BAB I Pendahuluan, pada bab ini akan diuraikan latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metodologi menyangkut karya ilmiah ini. 2. BAB II Tinjauan Pustaka terhadap Yurisdiksi dan Yurisdiksi Universal, pada bab ini akan diuraikan lebih dalam pengertian, teori, prinsip, dan konsep tentang yurisdiksi dan yurisdiksi universal sebagai objek penelitian dalam karya ilmiah ini. 3. BAB III Analisis dan Pembahasan, pada bab ini akan diuraikan semua teori, prinsip, dan konsep tentang yurisdiksi universal yang akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang ada dalam karya ilmiah ini. 4. BAB IV Penutup, Kesimpulan, dan Saran, pada bab ini akan diuraikan kesimpulan yang didapatkan oleh penulis setelah mengkaji macam - macam aspek dari yurisdiksi universal dan akan diuraikan jawaban dari rumusan masalah yang ada dalam karya ilmiah ini. 11