BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul pada tahun 1915 untuk menggambarkan suatu kejahatan luar biasa berupa pembunuhan besarbesaran di Kerajaan Ottoman. Pada saat itu muncul permasalahan yuridis berhubungan dengan berlakunya asas nonretroaktif dalam hukum pidana dimana asas tersebut tidak memungkinkan mengadili suatu tindak pidana yang mana tindak pidana tersebut belum ada hukum yang mengatur. 7 Pada tanggal 28 Mei 1915 pemerintah Perancis, Inggris, dan Rusia memutuskan untuk melakukan deklarasi terakit kasus pembunuhan massal terhadap orang-orang Armenia di Kerajaan Ottoman. Deklarasi bersama tiga negara tersebut melahirkan istilah kejahatan terhadap kemanusiaan, namun istilah tersebut hanya mendapatkan perhatian jangka pendek dalam menyelesaikan permasalahan politik, Hal ini terlihat setelah deklarasi tersebut yang tidak ada upaya yang konkret dari deklarasi bersama tersebut. 8 Definisi mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against Humanity) berawal dari ketentuan yang tercantum di dalam Piagam Nuremberg 7 I Made Pasek Diantha, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan Pidana Internasional, Jakarta, Prenadamedia Group, 2014, hal Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2014, hal

2 16 yang juga membentuk Mahkamah Militer Internasional Nuremberg, diatur di dalam Pasal 6 (c) yang mendefenisikan kejahatan kemanusiaan adalah 9 : Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan secara paksa dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan pada masyarakat sipil, sebelum atau selama perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam ruang lingkup pengadilan ini, apakah perbuatan tersebut baik yang melanggar atau tidak hukum dimana perbuatan tersebut dilakukan. Formulasi yang terdapat dalam pasal diatas merupakan preseden pertama kalinya dalam hukum pidana internasional positif dimana istilah khusus dari kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against Humanity) diperkenalkan dan didefenisikan. Dalam perkembangannya, pada tahun 1944, bangsa-bangsa di dunia yang terbentuk dalam International Law Comission telah merumuskan suatu draft Statute for an Internasional Criminal Court yang selanjutnya menjadi cikal bakal dari Statuta Roma. Kemudian tahun 1998 oleh International Diplomatic Confrence di Roma telah menyepakati Statuta Roma (Rome Statute) menjadi dasar hukum dalam mengadili kejahatan yang merupakan tergolong pelanggaran berat termasuk didalamnya Kejahatan Genosida, Kejahatan Perang, Kejahatan terhadap Kemanusiaan dan Kejahatan Agresi. Kejahatan kemanusiaan sendiri merupakan tindakan penyerangan yang dilakukan dengan terorganisasi terhadap manusia (masyarakat) yang mengakibatkan banyak korban. 9 Anis widyawati, Hukum Pidana Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 2014, hal. 89

3 17 Kejahatan terhadap kemanusian mempunyai pengertian yang sistematis (systematic) dan meluas (widespread). Maksud dari sistematis, yaitu mensyaratkan adanya kebijakan atau tindakan negara untuk aparat negara dan kebijakan organisasi untuk pelaku diluar negara. Sedangkan pengertian meluas juga merujuk pada maksud dari sistematik, untuk membedakan tindakan yang bersifat meluas tetapi korban atau sasaran (targetnya) secara acak. Korban tersebut memiliki karakteristik tertentu misalnya agama, politik, ras, etnik, atau gender. 10 Kejahatan kemanusiaan menurut Statuta Roma 1998 merupakan salah satu dari perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, yang meliputi pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa; pengurungan atau pencabutan kemerdekaan fisik secara sewenang-wenang dan melanggar aturan-aturan dasar Hukum Internasional; penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, kehamilan secara paksa, sterilisasi secara paksa atau berbagai bentu kekerasan seksual lainnya; penindasan terhadap suatu kelompok yang dikenal atau terhadap suatu kelompok politik, ras, bangsa, etnis, kebudayaan, agama, gender/jenis kelamin, sebagaimana dijelaskan dalam ayat (3) atau kelompok-kelompok lainnya, yang secara universal tidak diperbolehkan dalam hukum internasional, sehubungan dengan perbuatan yang diatur dalam ayat ini atau tindak pidana dalam yurisdiksi mahkamah; penghilangan orang secara paksa; tindak pidana rasial (apartheid); perbuatan tidak manusiawi lainnya yang serupa yang dengan sengaja 10 Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan dalam Proses Peradilan Pidana. Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, 1998, Vol. 1, hal. 31

4 18 mengakibatkan penderitaan yang berat, luka serius terhadap tubuh, mental atau kesehatan fisik seseorang. Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan perluasan dari kejahatan perang, apabila kejahatan perang yang dilakukan memenuhi unsur-unsur delik kejahatan terhadap kemanusiaan dimana kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis, yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung pada penduduk sipil, serta perbuatan-perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun Adapun penjelasan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 yang dimaksud dengan Penyerangan yang ditujukan langsung pada penduduk sipil, adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau akibat kebijakan yang berhubungan dengan organisasi. Jadi unsur esensial dari kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu adanya pengetahuan dari pelaku bahwa kejahatan yang dilakukan merupakan bagian dari kebijakan penguasa atau organisasi. Dalam UU No. 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan HAM mengemukakan pengertian pelanggaran HAM secara jelas, Kejahatan Kemanusiaan merupakan bentuk pelanggaran HAM Berat. Pengertian pelanggaran HAM sendiri adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk juga aparat negara, yang baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, membatasi, menghalangi dan mencabut 11 Dadang Siswanto, Hubungan Antara Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Genocide dan Kejahatan Perang, Universitas Diponegoro, 2001, hal. 7

5 19 hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang benar dan adil, yang didasarkan pada mekanisme hukum yang berlaku. Dengan demikian pelanggaran HAM adalah tindakan pelanggaran kemanusiaan, yang baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya. pelanggaran HAM dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu : (1) pelanggaran HAM berat dan (2) pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM berat yaitu meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Bentuk pelanggaran HAM ringan ialah pelanggaran HAM yang dilakukan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat tersebut. Dengan demikian, tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan pelanggaran HAM Berat yang dilakukan secara sistematis dan langsung membuat penderitaan baik fisik maupun mental, terbunuhnya manusia yang bertentangan dengan peradaban manusia serta melanggar prinsip-prinsip hukum internasional. Sebagaimana dinyatakan dalam forum pengadilan Nuremberg, segala bentuk penghancuran kehidupan masyarakat sipil adalah perbuatan terkutuk dan merupakan tindak pidana terhadap kemanusiaan. B. Jenis- Jenis Kejahatan Kemanusiaan Adapun jenis-jenis dan penjabaran kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dilihat berdasarkan Statuta Roma tahun 1998 Pasal 7 Ayat (2) sebagai dasar

6 20 hukum Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) dalam kewenangan dan yurisdiksinya mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan adalah sebagai berikut 12 : Serangan yang ditujukan terhadap suatu kelompok penduduk sipil berarti serangkaian perbuatan yang mencakup pelaksanaan berganda dari perbuatan yang dimaksud dalam ayat 1 terhadap kelompok penduduk sipil, sesuai dengan atau sebagai kelanjutan dari kebijakan Negara atau organisasi untuk melakukan serangan tersebut; Pemusnahan mencakup ditimbulkannya secara sengaja pada kondisi kehidupan, antara lain dihilangkannya akses kepada pangan dan obat-obatan, yang diperhitungkan akan membawa kehancuran terhadap sebagian penduduk. Perbudakan berarti pelaksanaan dari setiap atau semua kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan atas seseorang dan termasuk dilaksanakannya kekuasaan tersebut dalam perdagangan manusia, khususnya orang perempuan dan anak-anak; Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa berarti perpindahan orang-orang yang bersangkutan secara paksa dengan pengusiran atau perbuatan pemaksaan lainnya dari daerah di mana mereka hidup secara sah, tanpa alasan yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional; Penyiksaan berarti ditimbulkannya secara sengaja rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik fisik atupun mental, terhadap seseorang yang ditahan 12 Statuta Roma sebagaimana dimuat dalam terakhir diakses pada tanggal 27 Mei 2016, pukul WIB

7 21 atau di bawah penguasaan tertuduh; kecuali kalau siksaan itu tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, yang melekat pada atau sebagai akibat dari, sanksi yang sah; Penghamilan paksa berarti penahanan tidak sah, terhadap seorang perempuan yang secara paksa dibuat hamil, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnis dari suatu kelompok penduduk atau melaksanakan suatu pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Definisi ini betapapun juga tidak dapat ditafsirkan sebagai mempengaruhi hukum nasional yang berkaitan dengan kehamilan; Penganiayaan berarti perampasan secara sengaja dan kejam terhadap hak-hak dasar yang bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas kelompok atau kolektivitas tersebut; Kejahatan apartheid berarti perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat 1, yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi sistematik oleh satu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu. Penghilangan paksa berarti penangkapan, penahanan atau penyekapan orang-orang oleh, atau dengan kewenangan, dukungan atau persetujuan diamdiam dari, suatu Negara atau suatu organisasi politik, yang diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kebebasan itu atau untuk memberi informasi tentang

8 22 nasib atau keberadaan orang-orang tersebut, dengan maksud untuk memindahkan mereka dari perlindungan hukum untuk suatu kurun waktu yang lama. C. Hukum Internasional Terkait Yang Mengatur Kejahatan Kemanusiaan Perkembangan kehidupan masyarakat internasional dengan berbagai kemajuan pengetahuan serta kemampuan dapat menjadi salah satu faktor pendorong bentuk-bentuk kejahatan yang mengarah pada pelanggaranpelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Peristiwa yang pernah dialami oleh masyarakat internasional, khususnya terhadap masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara telah trauma terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan oleh Perang Dunia II yang berdampak pada kesengsaraan, ketakutan dan mengerikan. Dari kejadian tersebut perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dan rasa kemanusiaan mendapatkan perhatian yang sangat luar biasa serta memperoleh perioritas dalam pengaturan internasional. Bentuk nyata pengaturan mengenai perlindungan yang termasuk dalam kerangka perlindungan Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948, Konvensi Genosida 1949, dan Konvensi Genewa 1949 tentang perlindungan korban. Selanjutnya pada tahun 1966, oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan dua instrumen internasional menyangkut perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, diantaranya International Covenant on Civil Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESR) Anis widyawati, Op.cit., hal. 87

9 23 Upaya dalam menangani berbagai peristiwa kejahatan-kejahatan yang pernah terjadi bagi masyarakat internasional ditandai dengan terbentuknya organisasi-organisasi internasional yang mempunyai peran untuk memeriksa dan mengadili para pelaku kejahatan-kejahatan tersebut. Sebagai contoh Pengadilan Tokyo dan Nuremberg tahun 1945 dengan peradilan yang mengadili kejahatankejahatan internasional, yaitu kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), kejahatan perang (war crime), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) yang menjadi kewenangan dan yurisdiksinya. 14 Selain itu, pengadilan internasional yang juga memberikan sumbangan dalam penanganan dan mengadili para pelaku kejahatan internasional, yaitu Pengadilan Perang Bekas Yugoslavia dengan berdasar pada keluarnya Statuta Pengadilan Internasional Eks Yugoslavia (International Criminal Tribunal for Yugoslavia/ICTY) dan Pengadilan Perang Rwanda dengan Statuta International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dengan beberapa kewenangan peradilan dalam mengadili kejahatan diantaranya kejahatan genosida (crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan pelanggaran pasal 3 dalam Konvensi Genewa 1949 beserta Protokol Tambahan II tahun Terbentuknya badan-badan peradilan diatas hanya bersifat sementara (ad hoc) yang ketika itu sangat dibutuhkan dalam menangani kejahatan-kejahatan internasional yang sangat meresahkan bagi masyarakat internasional D.J Harris, Cases and Materials on International Law. London, Street and Maxwell Appendix I, 1973, hal Anis widyawati, Op.cit., hal. 88

10 24 Pada tahun 1944, bangsa-bangsa di dunia yang terbentuk dalam International Law Comission telah merumuskan suatu Draft Statute for an Internasional Criminal Court yang selanjutnya menjadi cikal bakal dari Statuta Roma. Kerangka yang dimaksudkan oleh Komisi Pidana Internasional tersebut menyebutkan bahwa tindak pidana yang termasuk dalam kewenangan atau yurisdiksi oleh Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court) dalam kejahatan genosida (crime of genocide), kejahatan perang (war crime), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan kejahatan agresi (crime of aggression). Kemudian tahun 1998 oleh International Diplomatic Conference di Roma telah menyepakati Statuta Roma (Rome Statute) menjadi dasar hukum dengan resminya berdirinya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) dengan kewenangan dan yurisdiksi dalam mengadili kejahatn-kejahatan yang dimilikinya dan menjadi lembaga pengadilan yang permanen. 16 Adapun aturan-aturan terkait kejahatan terhadap kemanusiaan ditandai dengan masuknya prinsip kemanusiaan pada Klausula Martin pada pembukaan Konvensi Den Haag tahun 1899 dan Konven Den Haag ke-iv tahun 1907 yang berisi : Until a more complete code of the laws of war issued, the High Contracting Parties think it right to declare that in cases not included in the Regulations adopted by them, populations and belliegerents remain under the protection and empire of the principles of international law, as they result from the usages 16 Agung Yudhawiranata, Pengadilan HAM Internasional, Yogyakarta, Pusham UII, 2006, hal. 2

11 25 established between civilized nations, from the laws of humanity, and the requirements of the public conscience Klausula ini secara garis besar menentukan bahwa apabila hukum humaniter belum mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan harus mengacu kepada prinsipprinsip hukum internasional yang terjadi dari kebiasaan yang terbentuk diantara negara-negara yang beradab; dari hukum kemanusiaan; serta dari pendapat publik. Klausula Martin ini penting karena dengan mengacu pada hukum kebiasaan internasional, klausula ini menekankan pentingnya norma-norma kebiasaan dalam pengaturan sengketa bersenjata. Selanjutnya, klausula ini juga mengacu pada prinsip-prinsip kemanusiaan (principles of humanity) dan pendapat publik (the dictates of public conscience). Kedua istilah ini harus sepenuhnya dimengerti. Ungkapan principles of humanity adalah serupa dengan laws of humanity (hukum kemanusiaan). Klausula ini merupakan contoh yang jelas menggambarkan nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya. 17 Selain dari Konvensi Den Haag yang menjadi dasar berawalnya hukum kemanusiaan dalam tatanan aturan hukum internasional pada perkembangan selanjutnya aturan berkenaan hal ini juga terdapat pada Piagam Nuremberg yang merupakan hukum pidana internasional positif dalam memberikan definisi dan aturan secara khusus mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against 17 Marten s Clause sebagaimana dimuat dalam terakhir diakses tanggal 27 Mei 2016, pukul WIB

12 26 humanity). Aturan yang dimaksud terdapat pada Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg yang mendefenisikan kejahatan kemanusiaan sebagai berikut : Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan secara paksa dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan pada masyarakat sipil, sebelum atau selama perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam ruang lingkup pengadilan ini, apakah perbuatan tersebut baik yang melanggar atau tidak hukum dimana perbuatan tersebut dilakukan. Selanjutnya, pada Pasal 5 (c) International Military Tribunal for the Far East (IMTFE) atau yang dikenal dengan Tokyo Tribunal menyatakan bahwa: Yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil manapun, sebelum dan selama masa perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras, sebagai bagian atau dilakukan sehubungan dengan bentuk kejahatan lainnya yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan, baik tindakan tersebut dianggap sebagai kejahatan atau tidak. Kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Konvensi tentang Ketidakberlakuan Pembatasan Aturan Hukum untuk Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Resolusi Majelis Umum PBB 2392 (XXIII), 26 November 1968, tercantum dalam Pasal 1 (b) yang mengatakan bahwa:

13 27 Kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang dilakukan dalam waktu perang maupun dalam waktu damai seperti yang didefinisikan dalam Piagam Tribunal Militer Internasional, Nuremberg, 8 Agustus 1945 dan yang dikuatkan dengan resolusi-resolusi Majelis Umum PBB, 3 (1) 13 Februari 1946 dan 95 (1) 11 Desember 1946, pengusiran dengan bersenjata, atau pendudukan dan apartheid dan kejahatan genosida, seperti didefinisikan dalam Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida, sekalipun perbuatan-perbuatan tersebut tidak merupakan kejahatan terhadap hukum domestik dari negara tempat kejahatan-kejahatan dilakukan 18 Perkembangan tentang pengaturan kejahatan terhadap kemanusiaan selanjutnya dapat ditemukan pada Statuta Pengadilan Perang Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal of Yugoslavia Statute) dan terdapat pula di dalam Statuta Pengadilan Perang Kasus Rwanda (International Criminal Tribunal of Rwanda Statute). Pasal 5 Statuta Pengadilan Perang Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal of Yugoslavia Statute), tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan mengatakan bahwa: Pengadilan Internasional memiliki kemampuan untuk menuntut setiap orang yang bertanggung jawab atas kejahatan berikut ini yang dilakukan selama konflik bersenjata berlangsung, yang bersifat internasional mauoun internal dan ditujukan langsung terhadap penduduk sipil: a. Pembunuhan; b. 18 Eddy Omar Sharif Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta, Erlangga, 209, hal 38

14 28 Pemusnahan; c. Perbudakan; d. Pendeportasian; e. Penahanan; f. Penyiksaan; g. Pemerkosaan; h. Penindasan berdasarkan politik, ras dan agama; i. Tindakan tidak manusiawi lainnya. 19 Pengaturan tersebut juga masih berpedoman pada Piagam Nuremberg yang merupakan hukum positif pertama yang mendefenisikan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan. Aturan-aturan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan itu sendiri bersifat tertulis dan terkodifikasi sebagai aturan hukum positif. Pada tahun 1998, International Diplomatic Conference di Roma menyepakati Statuta Roma (Rome Statute) yang menjadi dasar hukum berdirinya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) dalam hal ini pengaturan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan lebih lengkap daripada pengaturan-pengaturan sebelumnya. Pengaturan yang dimaksud terdapat pada ketentuan Pasal 7 Statuta Roma 1998 menjelaskan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) adalah kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas (widespread) dan sistematik (systematic) yang ditujukan pada penduduk sipil dengan mengetahui serangan tersebut, dan ruang lingkup kejahatan terhadap kemanusiaan yang terdapat dalam Statuta Roma 1998 ini lebih luas dan lengkap karena secara substantif isi dari statuta ini hampir sama dengan dua statuta sebelumnya, namun dalam Statuta ini pengaturan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan lebih diperjelas. 19 Tolib Effendi, Op.cit., hal. 102

15 29 Bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur pada Statuta Roma 1998 yang merupakan dasar hukum Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) sebagai lembaga permanen dalam mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan adalah : a) pembunuhan; b) pemusnahan; c) perbudakan d) deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa; e) pengurungan atau pencabutan kemerdekaan fisik secara sewenang-wenang dan melanggar aturan-aturan dasar Hukum Internasional; f) penyiksaan; g) pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, kehamilan secara paksa, sterilisasi secara paksa atau berbagai bentu kekerasan seksual lainnya; h) penindasan terhadap suatu kelompok yang dikenal atau terhadap suatu kelompok politik, ras, bangsa, etnis, kebudayaan, agama, gender/jenis kelamin, sebagaimana dijelaskan dalam ayat (3) atau kelompok-kelompok lainnya, yang secara universal tidak diperbolehkan dalam hukum internasional, sehubungan dengan perbuatan yang diatur dalam ayat ini atau tindak pidana dalam yurisdiksi mahkamah; i) penghilangan orang secara paksa; j) tindak pidana rasial (apartheid); k) perbuatan tidak manusiawi lainnya yang serupa yang dengan sengaja mengakibatkan penderitaan yang berat, luka serius terhadap tubuh, mental atau kesehatan fisik seseorang. 20 Adapun prinsip-prinsip dasar yang diakui dan diatur dalam Statuta Roma 1998, terdapat beberapa dasar yang dimiliki dalam mengatur mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan, yang telah diterima secara internasional bahwa norma- 20 Rome Statute of the International Criminal Court 1998.

16 30 norma di dalamnya merupakan kodifikasi dari hukum pidana internasional antara lain sebagai berikut 21 : 1. Prinsip Tidak Berlaku Surut (Non-Retroactive) dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Adapun prinsip nonretroaktif dalam hukum pidana tidak berlaku untuk kejahatan terhadap kemanusiaan, dengan alasan-alasan sebagai berikut: - Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan dalam hukum kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum. Menurut kedua sumber tersebut, pelaku kejahatan yang melakukan suatu tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan baik secara commissioner maupun ommisioner dapat dihukum secara retroaktif. - Pasal 15 (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) memungkinkan pengecualian atas asas nonretroaktif untuk kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan menurut prinsip-prinsip umum. 2. Pertanggungjawaban Komando (Commander Responsibility) Prinsip ini diberlakukan bagi pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dengan melakukan penuntutan kepada penanggung jawab komando. Secara konseptual seorang komandan dapat dimintai pertanggungjawaban baik atas perbuatan pidananya karena langsung memberi perintah kepada pasukan yang berada di bawah kendalinya untuk melakukan perbuatan yang salah satu atau 21 Anis Widyawati, Op.cit., hal

17 31 beberapa perbuatannya merupakan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan (by commission) maupun karena membiarkan atau tidak melakukan tindakan apapun terhadap pasukan dibawahnya (by omission). 3. Prinsip praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) Pengaturan mengenai prinsip praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 66 Statuta Roma tahun Prinsip ini mengharuskan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan dengan alasan-alasan yang meyakinkan bahwa perbuatan yang terjadi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dengan berbagai alat bukti yang diajukan ke dalam persidangan. Demikian bentuk-bentuk pengaturan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam sejarah panjang perkembangannya yang mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu dalam upayanya mencakup berbagai macam peristiwa kejahatankejahatan yang terjadi di kehidupan masyarakat internasional sebagai bentuk perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia dari kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat (Grave Breaches).

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN OLEH MANTAN PRESIDEN LAURENT GBAGBO DAN KONSEP HAM INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN OLEH MANTAN PRESIDEN LAURENT GBAGBO DAN KONSEP HAM INTERNASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN OLEH MANTAN PRESIDEN LAURENT GBAGBO DAN KONSEP HAM INTERNASIONAL 2.1. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan yang Dilakukan oleh Mantan Presiden Laurent

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN. Rubiyanto ABSTRACT

KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN. Rubiyanto ABSTRACT ISSN : NO. 0854-2031 KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN * Rubiyanto ABSTRACT The main matter, a case can be investigated trial by International court of justice

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM YANG BERAT Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 Pelanggaran HAM Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.

Lebih terperinci

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 9.1. Perkembangan Dalam Hukum Humaniter Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H :

KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H : KARYA ILMIAH KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN

Lebih terperinci

perkebunan kelapa sawit di Indonesia

perkebunan kelapa sawit di Indonesia Problem HAM perkebunan kelapa sawit di Indonesia Disampaikan oleh : Abdul Haris Semendawai, SH, LL.M Dalam Workshop : Penyusunan Manual Investigasi Sawit Diselenggaran oleh : Sawit Watch 18 Desember 2004,

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

Tentang Pengadilan HAM Internasional 1

Tentang Pengadilan HAM Internasional 1 Tentang Pengadilan HAM Internasional 1 Agung Yudhawiranata, S.IP., LL.M. 2 Pengantar Statuta dan praktek pengadilan Tokyo, Nuremberg, ICTY, ICTR, dan Statuta Roma adalah sumber hukum internasional terpenting

Lebih terperinci

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud 15 Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Adapun jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, sebagai berikut: 1. Kejahatan Genosida

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban merupakan salah satu bagian dari unsur-unsur suatu Sistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban merupakan salah satu bagian dari unsur-unsur suatu Sistem II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban merupakan salah satu bagian dari unsur-unsur suatu Sistem aturan-aturan dalam moral, agama dan hukum. Sistem aturan-aturan ini

Lebih terperinci

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN XII (DUA BELAS) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KASUS PELANGGARAN HAM

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN XII (DUA BELAS) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KASUS PELANGGARAN HAM JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMA XII (DUA BELAS) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KASUS PELANGGARAN HAM A. Substansi Hak Asasi Manusia dalam Pancasila Salah satu karakteristik hak asasi manusia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Disajikan dalam kegiatan pembelajaran untuk Australian Defence Force Staff di Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Indonesia 10 September 2007

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 119, 2005 AGREEMENT. Pengesahan. Perjanjian. Hak Sipil. Politik (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

Lebih terperinci

*12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 26/2000, PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA *12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 208, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA UUD 1945 Tap MPR Nomor III/1998 UU NO 39 TAHUN 1999 UU NO 26 TAHUN 2000 UU NO 7 TAHUN 1984 (RATIFIKASI CEDAW) UU NO TAHUN 1998 (RATIFIKASI KONVENSI

Lebih terperinci

Daftar Pustaka. Glosarium

Daftar Pustaka. Glosarium Glosarium Daftar Pustaka Glosarium Deklarasi pembela HAM. Pernyataan Majlis Umum PBB yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak secara sen-diri sendiri maupun bersama sama untuk ikut serta dalam

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM Materi Perkuliahan HUKUM & HAM ke-6 INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI HAM Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Universal Declaration of Human Rights, 1948; Convention on

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

BAB III PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000

BAB III PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 45 BAB III PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 A. Pengertian HAM dan Pelanggaran Berat HAM Manusia oleh Tuhan Yang Maha Esa dianugerahi akal dan nurani yang memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA. Oleh: Laras Astuti

PENEGAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA. Oleh: Laras Astuti PENEGAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Laras Astuti Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta E-mail: larasastuti@law.umy.ac.id Abstrak Hak Asasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA

INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA HAM MERUPAKAN BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL SUMBER HUKUM INTERNASIONAL: (Pasal 38.1 Statuta Mahkamah Internasional) Konvensi internasional; Kebiasaan internasional

Lebih terperinci

TUGAS PANCASILA KASUS PELANGGARAN HAM DAN PENYESAIANNYA OLEH : MUKHLISIIN BUDIDAYA PERAIRAN(A)

TUGAS PANCASILA KASUS PELANGGARAN HAM DAN PENYESAIANNYA OLEH : MUKHLISIIN BUDIDAYA PERAIRAN(A) TUGAS PANCASILA KASUS PELANGGARAN HAM DAN PENYESAIANNYA OLEH : MUKHLISIIN 1504113414 BUDIDAYA PERAIRAN(A) LABORATORIUM EKOLOGI DAN MANAJEMEN LINGKUNGAN PERAIRAN FAKULTAN PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

PANCASILA HAK ASASI MANUSIA

PANCASILA HAK ASASI MANUSIA PANCASILA HAK ASASI MANUSIA Nama : Benny Priyo Hartanto NIM : 11.01.2855 Program Studi Dosen : D3-TI : Irton, SE., M.Si STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Tahun 2011 / 2012 ABSTRAK Hak asasi manusia adalah hak-hak

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC)

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Hartanto Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta Abstract Completion toward the gross violations of human rights basically

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN

Lebih terperinci

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Sepuluh Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Banyak kesalahpahaman terjadi terhadap Pengadilan Rakyat Internasional. Berikut sepuluh hal yang belum banyak diketahui

Lebih terperinci

STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL

STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL STATUTA ROMA STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL Disahkan oleh Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa Duta Besar Berkuasa Penuh tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional pada tanggal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Zainal Abidin, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 telah terjadi perubahan arus global di dunia internasional

Lebih terperinci

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat

Lebih terperinci

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION )

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) I. Pendahuluan 1. Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum pidana internasional pada hakekatnya adalah diskusi tentang hukum pidana internasional dalam pengertian formil. Artinya, yang akan di bahas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

LATIHAN SOAL PKN BAB 1 Pengampu: Sofani Erlina, S.Pd., Gr 1. HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai

LATIHAN SOAL PKN BAB 1 Pengampu: Sofani Erlina, S.Pd., Gr 1. HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai LATIHAN SOAL PKN BAB 1 Pengampu: Sofani Erlina, S.Pd., Gr 1. HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan dan merupakan anugerah yang harus dijunjung

Lebih terperinci

Negara Republik Indonesia dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa

Negara Republik Indonesia dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM DI INDONESIA MENURUT UU NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PEN PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM DI INDONESIA MENURUT UU NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM ABSTRACT DELFINA GUSMAN,

Lebih terperinci

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM

BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM 73 BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM A. Analisis Penanganan Pelanggaran Berat HAM menurut Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

MAKALAH HAK ASASI MANUSIA

MAKALAH HAK ASASI MANUSIA MAKALAH HAK ASASI MANUSIA Dosen Pembimbing : Muhammad Idris, MM Disusun Oleh : 11.12.6007 Vincensius Septian Satriyaji 11.12.6007 Kelompok Sosial STMIK AMIKOM YOGYAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur atas

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract 1 PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract Completion toward the gross violations of human rights basically refers to the principle of exhaustion of

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KEWENANGAN ICC (INTERNATIONAL CRIMINAL COURT) DALAM MELAKUKAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN 1 Oleh : Olivia 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 20 Des 2010 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 Pokok Bahasan Apa prinsip-prinsip dan mekanisme hukum acara

Lebih terperinci

HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA. Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016

HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA. Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016 HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016 Keterangan tertulis Komnas HAM di hadapan MK, 2 Mei 2007 Kesimpulan: Konstitusi Indonesia atau UUD 1945, secara tegas

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kasus pelanggaran terhadap hilangnya hak-hak dasar individu merupakan sebuah fenomena yang masih banyak berlangsung di berbagai Negara di dunia. Bentuk pelanggaran

Lebih terperinci

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court PENGHANCURAN BENDA BUDAYA (ICONOCLAST) SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN Oleh: Made Panji Wilimantara Pembimbing I: Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, S.H., M.S Pembimbing II: I Made Budi Arsika, S.H.,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 telah terjadi perubahan arus global di dunia internasional

Lebih terperinci

Degradasi Extraordinary Crimes Problematika Perumusan Kejahatan Genosida dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dalam RKUHP

Degradasi Extraordinary Crimes Problematika Perumusan Kejahatan Genosida dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dalam RKUHP Degradasi Extraordinary Crimes Problematika Perumusan Kejahatan Genosida dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dalam RKUHP Zainal Abidin Supriyadi Widodo Eddyono 2017 Degradasi Extraordinary Crimes Problematika

Lebih terperinci

MAKALAH PESERTA EKSISTENSI PEMBERLAKUAN ASAS LEGALITAS HUKUM PIDANA TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT. Oleh: Yahyanto, S.H., M.H.

MAKALAH PESERTA EKSISTENSI PEMBERLAKUAN ASAS LEGALITAS HUKUM PIDANA TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT. Oleh: Yahyanto, S.H., M.H. TRAINING TINGKAT LANJUT RULE OF LAW DAN HAK ASASI MANUSIA BAGI DOSEN HUKUM DAN HAM Jakarta, 3-6 Juni 2015 MAKALAH PESERTA EKSISTENSI PEMBERLAKUAN ASAS LEGALITAS HUKUM PIDANA TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT

Lebih terperinci

Jenewa III, Pasal 146 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 adalah: 1. Menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana

Jenewa III, Pasal 146 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 adalah: 1. Menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana 2 Indonesia meratifikasi berbagai instrumen internasional tentang HAM, seperti ratifikasi Indonesia terhadap keempat Konvensi Jenewa 1949 dengan Undang- Undang Nomor 59 Tahun 1958, Konsekuensi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International. Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International. Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam menanggulangi kejahatan-kejahatan luar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 22 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan Aung San Suu Kyi 1. Pengertian Penahanan Penahanan merupakan proses atau perbuatan untuk menahan serta menghambat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2006),

Lebih terperinci

Kewajiban Negara Pihak terhadap Pelaksanaan Instrumen-instrumen HAM Internasional. Ifdhal Kasim

Kewajiban Negara Pihak terhadap Pelaksanaan Instrumen-instrumen HAM Internasional. Ifdhal Kasim Kewajiban Negara Pihak terhadap Pelaksanaan Instrumen-instrumen HAM Internasional Ifdhal Kasim Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Instrumen yang Diratifikasi

Lebih terperinci

POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Rudi. M Rizki, SH, LLM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang. mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang. mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk

Lebih terperinci