BAGIAN I PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI YURISDIKSI NEGARA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAGIAN I PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI YURISDIKSI NEGARA"

Transkripsi

1 BAGIAN I PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI YURISDIKSI NEGARA Yurisdiksi negara tidak dapat dipisahkan dari Azas Kedaulatan Negara (State Souvereignty) yang merupakan ciri hakiki dari setiap negara. Yurisdiksi Negara merupakan konsekuensi logis dari adanya azas kedaulatan ataupun hakhak tertentu yang dapat dimiliki negara. Negara memiliki yurisdiksi dalam batas-batas teritorialnya karena negara memiliki kedaulatan yang menunjukkan adanya kekuasaan tertinggi dalam bidang apapun di dalam batas-batas teritorial dari negara yang bersangkutan (Mochtar Kusumaatmadja, 1972:15). Inilah yang disebut Kedaulatan Teritorial (Territorial Souvereignty) yang dengan sendirinya menimbulkan apa yang disebut Yurisdiksi Teritorial (Territorial Jurisdiction). Menurut Malcolm N. Shaw (1986:342), yurisdiksi itu menyangkut kewenangan negara untuk mempengaruhi orangorang, harta benda dan keadaan serta merefleksikan adanya prinsip dasar mengenai Kedaulatan Negara (State Souvereignty), persamaan negara-negara (equality of states) dan tidak campur tangan dalam urusan domestik (non-interference in domestic affairs). Sesungguhnya yurisdiksi adalah suatu ciri hakiki dan vital dari kedaulatan negara karena yurisdiksi adalah suatu pelaksanaan kekuasaan yang dapat mengganti 1

2 atau menciptakan atau mengakhiri hubungan dan kewajiban hukum. Yurisdiksi itu dapat dicapai atau diwujudkan dengan mempergunakan (by means of) tindakan legislatif atau tindakan eksekutif atau tindakan pengadilan sehingga keadaan seperti ini menimbulkan dua macam kategori yurisdiksi, yaitu: 1) Yurisdiksi Preskriptif (Prescriptive Jurisdiction), yaitu kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan atau menciptakan aturan-aturan hukum, dan 2) Yurisdiksi Pelaksanaan (Enforcement Jurisdiction), yaitu kekuasaan untuk menerapkan aturan-aturan tersebut melalui tindakan peradilan atau eksekutif (judicial or executive action). Parlemen yang meloloskan undang-undang yang sifatnya mengikat, pengadilan yang membuat putusan yang mengikat dan aparat pemerintah memiliki kekuasaan dan yurisdiksi atau kewenangan hukum untuk memaksakan aturan-aturan hukum (legal authority to enforce the rules of law). Perbedaan antara kemampuan atau kewenangan untuk membuat peraturan hukum (the prescriptive jurisdiction) dan kewenangan untuk menjamin pentaatan terhadap peraturanperaturan hukum tersebut (the enforcement jurisdiction) menjadi dasar untuk memahami yurisdiksi negara. Sesungguhnya pengertian yurisdiksi itu sendiri jauh lebih luas daripada pengertian kedaulatan negara, karena pengertian yurisdiksi tidak hanya mencakup pengertian yurisdiksi teritorial, tetapi juga dapat mencakup pengertian 2

3 yurisdiksi yang menjangkau seseorang atau beberapa orang, hal-hal atau masaalah-masalah yang berada atau terjadi di luar batas-batas teritorial suatu negara. Apabila yurisdiksi teritorial adalah merupakan konsekuensi logis dari adanya azas kedaulatan teritorial serta hanya dapat menjangkau siapa atau apa saja yang berada atau terjadi dalam batas-batas teritorial negara tersebut (wilayah daratan, perairan pedalaman, laut wilayah dan perairan kepulauan), maka pengertian yurisdiksi dalam arti yang luas keberadaannya bersumber bukan hanya dari azas kedaulatan negara melainkan juga bersumber atau didasarkan atas hak atau kewenangan dalam bidang-bidang tertentu yang diberikan oleh hukum internasional kepada suatu negara, karena pengertian yurisdiksi negara bukan saja meliputi pengertian yurisdiksi teritorial, maka dalam hukum internasional dikenal dan diakui adanya berbagai bentuk atau variasi dari (pengertian) yurisdiksi negara. Ada yang disebut yurisdiksi negara dalam bidang legislatif atau yurisdiksi legislatif, yurisdiksi eksekutif, yurisdiksi administratif dan yurisdiksi yudikatif. Ada juga yang dinamakan yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi kriminal, yurisdiksi sipil atau yurisdiksi dalam perkara perdata dan yurisdiksi ekstra territorial (extra territorial jurisdiction), seperti misalnya yurisdiksi negara di jalur tambahan, di zona ekonomi eksklusif, di landas kontinen, yurisdiksi di laut bebas, yurisdiksi di ruang udara dan ruang angkasa, 3

4 yurisdiksi universal dan pelbagai macam yurisdiksi yang bisa timbul sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat internasional di masa mendatang. Namun demikian di antara segala macam bentuk atau variasi pengertian yurisdiksi negara, maka yang paling menonjol dan signifikan adalah pengertian yurisdiksi teritorial. Yurisdiksi teritorial itu paling menonjol dan signifikan karena yurisdiksi semacam inilah sepanjang terpenuhi persyaratannya, maka paling efektif untuk diterapkan atau dilaksanakan oleh Negara setempat. Yurisdiksi teritorial adalah hak, kekuasaan atau kewenangan dari suatu negara untuk membuat peraturan-peraturan hukum nasionalnya (prescripttive jurisdiction), menerapkan atau melaksanakan dan memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut terhadap siapapun yang melanggarnya (enforcement jurisdiction). Yurisdiksi teritorial sebagaimana dikemukakan pengertiannya oleh J. G. Starke (1984:194) adalah yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu negara terhadap orang, benda, peristiwa atau masalah yang terdapat dan atau terjadi di dalam batas-batas teritorialnya. Siapapun orangnya baik warganegara maupun orang asing yang berada di dalam wilayah suatu negara harus tunduk pada yurisdiksi atau kekuasaan hukum dari negara yang bersangkutan. Setiap benda apapun bentuknya baik bergerak maupun tidak bergerak yang terdapat di dalam wilayah suatu 4

5 negara harus tunduk pada kekuasaan hukum negara tersebut. Demikian pula peristiwa atau masalah apapun yang berlangsung atau terjadi di dalam batas-batas teritorial suatu negara dapat diselesaikan menurut peraturan-peraturan hukum dari negara yang bersangkutan. Apapun yang terjadi di negara tersebut harus tunduk pada yurisdiksi teritorialnya. Negara tersebut mempunyai hak atau kewenangan untuk menciptakan peraturan-peraturan hukumnya sendiri, menerapkan dan memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut dalam kaitan dengan siapapun atau apapun yang berada atau terjadi di dalam batas-batas teritorial dari negara tersebut. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi terutama teknologi transportasi dan komunikasi maupun informasi mengakibatkan timbulnya perluasan yurisdiksi teritorial mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta hasil-hasilnya bagaimanapun harus dapat ditampung dan diakomodasi oleh masyarakat dan hukum internasional. Hal ini disebabkan karena kemajuan dan kecanggihan teknologi tersebut tidak jarang dapat dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh mereka yang berniat melakukan pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum nasional suatu negara dan mereka itu dapat meloloskan diri dari kekuasaan hukum negara tersebut dengan menggunakan fasilitas teknologi yang semakin lama semakin canggih. Dengan latar belakang seperti ini hukum internasional memperkenankan 5

6 suatu negara untuk memperluas yurisdiksi teritorialnya dan perluasan ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan. Kedua pendekatan ini adalah pendekatan berdasarkan prinsip Teritorial Subyektif (the Subjective Territorial Principle) dan pendekatan yang didasarkan atas prinsip Territorial Obyektif (the Objective Territorial Principle). Kedua macam prinsip tersebut dengan demikian mengandung semacam muatan yang disebut Persaingan Yurisdiksi (Concurrent Jurisdiction), yakni persaingan yurisdiksi di antara negara tempat terjadinya pelanggaran atau tindak pidana dengan negara tempat pelakunya berada. Persaingan yurisdiksi sering tidak terhindarkan dalam hubungan antarnegara, namun tidak perlu selalu dipersoalkan sebab hal ini terkait dengan azas kedaulatan dan yurisdiksi teritorial dari masing-masing negara yang berkepentingan atas suatu kasus. Apabila salah satu negara yang merasa berkepentingan dan mempunyai kemampuan dan kemauan untuk menjalankan yurisdiksinya dan melakukan tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana atau terhadap mereka yang terlibat karena mereka ini berada di wilayah negara tersebut, maka negara lain yang juga memiliki kepentingan sama harus dapat menerima pelaksanaan kekuasaan hukum dari negara yang disebut terlebih dahulu karena negara inilah yang paling efektif untuk melaksanakan yurisdiksi teritorialnya, kendati pelanggaran atau tindak pidana tadi tidak dilakukan di 6

7 negara yang disebut terlebih dahulu, tetapi dilakukan di negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa setelah melakukan suatu tindak pidana di suatu negara, dia mungkin melarikan diri ke negara lain dengan memanfaatkan produk teknologi maju, dan apabila negara ini merasa memiliki kepentingan serta memiliki kemauan dan kemampuan, maka sesungguhnya negara ini harus diakui paling efektif untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelakunya, karena pelakunya sudah berada di dalam genggaman kekuasaan hukumnya, sehingga negara tempat terjadinya tindak pidana tidak boleh mempermasalahkan pelaksanaan yurisdiksi teritorial oleh negara tempat pelakunya berada. Ada juga kemungkinan sebagian pelakunya dikenai tindakan hukum di negara tempat kejahatan itu terjadi sebab mereka kebetulan berada di sana, tetapi sebagian lainnya harus menjalani proses hukum di negara lain sebab masingmasing negara mempunyai kepentingan yang sama dan secara efektif dapat menjalankan yurisdiksi teritorialnya terhadap mereka yang tersangkut tindak pidana tersebut. Prinsip teritorial subyektif menunjukkan pengertian bahwa suatu negara diperkenankan untuk mengklaim dan menjalankan yurisdiksi teritorialnya atas suatu tindak pidana yang mulai terjadi atau mulai dilakukan di dalam wilayahnya sendiri, tetapi tindak pidana itu berakhir dan diselesaikan di negara lain. Prinsip ini tidak lazim diterapkan oleh negara- 7

8 negara sehingga prinsip ini tidak menjadi kaidah hukum kebiasaan internasional. Namun demikian prinsip teritorial subyektif yang mungkin pada awalnya adalah suatu teori atau doktrin, ternyata diterapkan dalam beberapa perjanjian internasional, seperti misalnya Konvensi Geneva mengenai Pemberantasan Mata Uang Palsu pada tahun 1929 (Convention on the Suppression of Counterfeiting Currency 1929), dan Konvensi mengenai Pemberantasan Obat-Obat Terlarang tahun 1936 (Convention on the Suppression of the Illicit Drug Traffic 1936). Berdasarkan prinsip teritorial subyektif, negara tempat dimulainya kejahatan pemalsuan mata uang, ataupun kejahatan memproduksi obat-obat terlarang, mempunyai kewenangan untuk mengklaim atau menyatakan yurisdiksinya atas kejahatan tersebut, maupun pelakunya, sekalipun kejahatan tersebut berakhir dan mendatangkan bahaya bagi negara lain. Dalam keadaan demikian tentu sering tidak dapat dihindari terjadinya persaingan yurisdiksi antarnegara peserta, ataupun persaingan yurisdiksi dengan negara bukan peserta perjanjian itu sesuai dengan kepentingannya masingmasing. Dalam hal ini persaingan yurisdiksi antara negara tempat mulai dilakukannya kejahatan tersebut (kegiatan produksi obat-obat terlarang ataupun pemalsuan mata uang) di satu pihak, dengan negara tempat kejahatan itu berakhir dan membahayakan negara tersebut (negara tempat pereda- 8

9 ran atau pemasaran obat terlarang ataupun peredaran mata uang palsu) di lain pihak. Dalam praktek perlu dilakukan kerjasama internasional, termasuk pula kerjasama regional dan bilateral guna mengatasi timbulnya persaingan yurisdiksi, sehingga negara manapun yang merasa mempunyai kepentingan, serta kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan kekuasaan hukumnya terkait kasus pemalsuan mata uang maupun obatobat terlarang, sehingga diakui paling efektif untuk melakukan tindakan hukum atas pelakunya, atau mereka yang terlibat tidak perlu dipermasalahkan oleh negara lain yang juga mempunyai kepentingan yang sama atas kasus tersebut. Negara lain mempunyai kewajiban untuk menghormati tindakan hukum, dan pelaksanaan yurisdiksi teritorial oleh negara yang secara efektif dapat menjalankannya, sebab hal ini bersangkut paut dengan prinsip kedaulatan negara yang tidak dapat diintervensi oleh negara lain. Berbeda dengan prinsip teritorial subyektif, maka prinsip Teritorial Obyektif (the Objective Territorial Principle) memperkenankan suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya atas suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri, namun tindak pidana ini diselesaikan serta mendatangkan bahaya terhadap wilayah, masyarakat, bangsa dan negaranya. Prinsip teritorial obyektif sudah lazim digunakan dalam praktik negara-negara, sehingga prinsip ini telah berkembang menjadi kaidah hukum kebiasaan interna- 9

10 sional, malahan prinsip ini juga telah diterima melalui pelbagai instrumen perjanjian internasional. Kedua konvensi yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu the Geneva Convention on the Suppression of Counterfeiting Currency 1929, dan the Geneva Convention on the Suppression of the Illicit Drug Traffic 1936, serta pelbagai perjanjian internasional lainnya, seperti Konvensi PBB mengenai anti korupsi (UN Convention against Corruption), Konvensi PBB mengenai Pemberantasan Terorisme (UN Convention on the Suppression of Terrorism), ternyata sudah menerapkan prinsip tersebut di mana negara-negara pesertanya, diperkenankan untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya, terhadap siapapun yang terlibat dalam tindak pidana pemalsuan mata uang dan obat-obat terlarang, maupun peredaran dan pemasarannya, terutama apabila tindak pidana seperti itu yang mulai dilakukan di luar negeri, tetapi berakhir di negaranya serta membahayakan negaranya sendiri. Perjanjian-perjanjian tersebut bertujuan untuk mengatasi kemungkinan timbulnya persaingan yurisdiksi di antara beberapa negara, khususnya di antara negara tempat dimulainya kejahatan, misalnya, pemalsuan mata uang ataupun obat-obat terlarang di satu pihak, dengan negara tempat diselesaikannya kejahatan tersebut dan membahayakan negara tersebut, dan juga negara tempat para pelakunya berada maupun melarikan diri di lain pihak. 10

11 Dalam praktik perlu dijalin kerjasama internasional, regional ataupun bilateral untuk mengatasi persaingan yurisdiksi terkait dengan kasus pemalsuan mata uang ataupun obat-obat terlarang, dan tentu saja pelbagai kejahatan lain yang bersifat transnasional, sehingga negara manapun yang pada akhirnya dapat menjalankan yurisdiksi territorialnya, entah negara tempat mulainya tindak pidana tersebut dilakukan (negara produsen), atau negara korban tempat tindak pidana tersebut berakhir (negara tempat pemasaran hasil-hasil kejahatan itu), ataukah negara tempat para pelakunya berada atau melarikan diri, sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan, sebab yang paling utama adalah bahwa kasus kejahatan tadi tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa proses hukum dari negara setempat, tetapi negara setempat di mana para pelakunya berada seharusnya melakukan tindakan hukum seperti penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, peradilan hingga dilaksanakannya keputusan pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dari negara yang bersangkutan. Bilamana hal ini dapat dijalankan secara efektif oleh negara tempat para pelakunya berada, sesuai dengan kepentingannya, maka negara-negara lain yang juga memiliki kepentingan yang sama harus menghormati proses hukum, atau pelaksanaan yurisdiksi territorial terkait dengan kasus tersebut, sebab apa yang dilakukan oleh negara yang bersangkutan adalah bagian dari kedaulatannya yang tidak 11

12 dapat dicampuri oleh negara manapun (I Wayan Parthiana, 1990:301). Prinsip teritorial obyektif yang menurut Starke selain telah menjadi kaidah hukum kebiasaan internasional, serta diterima dan diterapkan di dalam pelbagai macam perjanjian internasional, juga penerapannya dapat ditemukan di dalam sebuah putusan yang sangat terkenal dari Mahkamah Internasional Permanen (the Permanent Court of International Justice) dalam hubungan dengan timbulnya kasus Lotus (the Lotus Case) pada tahun 1927 (L.C. Green, 1978:211). Kasus ini melibatkan dua negara, yakni Perancis dan Turki. Perkara ini timbul karena adanya tubrukan kapal yang terjadi di laut bebas di luar perairan teritorial Turki. Peristiwa ini mengakibatkan tenggelamnya kapal Turki, sebagian awak dan penumpangnya tewas ataupun hilang. Kapal Perancis yang bernama MV Lotus berhasil menyelamatkan sebagian orang yang berasal dari kapal pengangkut batu bara atau kapal Turki. Kemudian kapal Lotus meneruskan perjalanannya menuju pelabuhan Turki. Setibanya di tempat tujuan, maka mereka yang dianggap bertanggungjawab atas timbulnya musibah tersebut, khususnya nahkoda kapal Perancis dikenai tindakan penahanan oleh aparat hukum negeri Turki. Dia diseret ke depan pengadilan Turki, dengan tuduhan bahwa dia telah melakukan tindak pidana pembunuhan (manslaughter), 12

13 disebabkan kelalaiannya sehingga kedua kapal bertubrukan dan menewaskan banyak orang berkewarganegaraan Turki. Hukum pidana Turki menyatakan bahwa barang siapa melakukan tindak pidana di luar negeri dan menimbulkan kerugian terhadap bangsa dan warganegara Turki, diancam dengan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun. Peraturan hukum pidana negeri tersebut memuat semacam azas perlindungan warganegara atas kejahatan di luar wilayah nasionalnya, tetapi menimbulkan kerugian terhadap bangsa dan warganegaranya. Dengan menerapkan ketentuan pasal hukum pidana Turki, pengadilan menjatuhkan putusan yang mempersalahkan dan menghukum kapten kapal Lotus. Pemerintah Perancis mengajukan protes terhadap Pemerintah Turki akibat putusan tersebut. Pemerintah Perancis beranggapan bahwa tindakan Turki yang menjalan-kan kekuasaan hukum atau yurisdiksi teritorialnya atas tindak pidana (criminal jurisdiction) yang terjadi di luar batas-batas teritorialnya adalah sesuatu yang bertentangan dengan hukum internasional umum. Sebaliknya pihak Turki berpendapat bahwa peristiwa tubrukan yang menewaskan banyak warganegaranya itu harus tunduk di bawah yurisdiksi (yurisdiksi teritorial) Turki. Karena kedua negara tidak dapat menyelesaikannya secara bilateral, maka dengan menggunakan dan menerapkan suatu perjanjian yang disebut perjanjian Laussanne yang telah mengikat banyak negara pada waktu itu, termasuk kedua 13

14 negara yang bersangkutan, maka Pemerintah Perancis yang merasa dirugikan kemudian mengajukan gugatan melawan Pemerintah Turki di depan Mahkamah Internasional Permanen. Tuntutan Perancis antara lain adalah agar Mahkamah Internasional menyatakan bahwa yurisdiksi teritorial dalam perkara kriminal (criminal jurisdiction) yang dijalankan pengadilan Turki adalah tidak sah serta bertentangan dengan kaidah hukum kebiasaan internasional. Di samping itu Perancis juga menuntut kompensasi atau sejumlah uang gantirugi atas kerugian yang dideritanya akibat tindakan pengadilan Turki yang menghukum warga Perancis. Masalah yang dipersengketakan di depan Mahkamah Internasional adalah apakah yurisdiksi yang dijalankan pengadilan Turki terhadap kapten kapal Lotus dalam kasus tubrukan kapal di laut bebas adalah bertentangan dengan hukum internasional umum? Pemerintah Perancis berpendapat bahwa hanya Negara Bendera (Flag State) yang dapat menjalankan yurisdiksinya terhadap setiap peristiwa yang terjadi di atas kapal yang sedang berlayar di perairan laut bebas. Pemerintah Perancis berpegang pada apa yang disebut doktrin laut bebas sebagai prinsip yang berlaku umum. Menurut doktrin ini Laut bebas (High Seas) memiliki status sebagai bagian laut yang terlepas dari kedaulatan negara manapun, dan dengan demikian laut lepas tidak tunduk di 14

15 bawah yurisdiksi, atau kekuasaan hukum dari negara manapun, terkecuali kekuasaan hukum dari negara bendera (Flag State), yaitu kekuasaan hukum atau yurisdiksi dari negara yang benderanya dipergunakan dan dikibarkan oleh kapal yang bersangkutan. Karena kapal yang melakukan tubrukan dan menimbulkan korban jiwa di laut bebas adalah kapal yang berbendera Perancis, maka negeri Perancis selaku negara bendera yang mempunyai wewenang untuk menjalankan yurisdiksi, atau kekuasaan hukumnya terhadap peristiwa tubrukan di laut bebas di luar wilayah laut teritorial Turki. Turki mengemukakan pendapat bahwa suatu kapal di manapun berlayar atau berada, baik di laut teritorial maupun di laut bebas adalah merupakan bagian dari wilayah negara bendera. Pandangan Turki ini didasarkan atas doktrin mengenai Pulau Terapung (Floating Island). Dengan pendekatan demikian, kapal Turki yang berada di laut bebas di luar laut teritorialnya, adalah bagian integral dari wilayah teritorial Turki. Peristiwa apapun yang dialami kapal tersebut, khususnya peristiwa tubrukan kapal, harus tunduk pada kekuasaan hukum dan yurisdiksi teritorial Turki, yang berarti peristiwa tersebut harus diselesaikan berdasarkan hukum Turki. Hukum Pidana Turki harus diterapkan dalam kasus tubrukan yang menyebabkan kapal Turki tenggelam, dan sebagian awaknya tewas. Ketentuan hukum pidana negeri itu (Turki) antara lain menyatakan bahwa siapapun yang melaku- 15

16 kan tindak pidana di luar negeri, atau di luar wilayah nasional Turki, dan menyebabkan kerugian terhadap bangsa dan warganegaranya, diancam dengan sanksi pidana paling lama 5 tahun. Ketentuan hukum negeri itu memuat suatu Azas Perlindungan (Protective Principle), atau memuat yurisdiksi negara menurut azas perlindungan (jurisdiction according to the protective principle), yang memperkenankan Turki untuk menangani kasus tubrukan yang membawa korban jiwa terhadap warganegaranya. Mahkamah Internasional Permanen tidak mempermasalahkan sah tidaknya penerapan hukum pidana negeri itu di dalam hukum internasional umum, sebab hukum pidana Turki memang memuat suatu azas hukum internasional yang disebut yurisdiksi negara menurut azas perlindungan. Mahkamah hanya menyatakan bahwa tidak terdapat larangan di dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk melaksanakan yurisdiksinya terhadap suatu peristiwa yang terjadi di luar wilayahnya, namun merugikan negara tersebut ataupun warganya. Dengan demikian berdasarkan hukum kebiasaan internasional, Turki tidak dilarang untuk menjalankan yurisdiksi teritorialnya, dan menerapkan ketentuan hukum pidananya, terhadap kasus tubrukan kapal yang terjadi di perairan laut lepas di luar perairan teritorialnya. Hukum Pidana Turki memberikan kewenangan kepada aparat hukumnya untuk bertindak dalam kasus terse- 16

17 but guna memberikan perlindungan bagi warganegaranya (jurisdiction according to the protective principle). Di samping azas perlindungan yang melandasi kekuasaan hukum dan yurisdiksi territorial Turki, Mahkamah Internasional juga ternyata menggunakan dan menerapkan prinsip teritorial obyektif (the objective territorial principle), sebagai landasan kekuasaan hukum, dan yurisdiksi teritorialnya dalam menangani kasus tubrukan kapal di laut bebas. Diterapkannya prinsip teritorial obyektif oleh Mahkamah Internasional, karena menurutnya, kapal Turki yang mengalami musibah akibat bertubrukan dengan kapal Perancis, dipersamakan dengan wilayah teritorial atau wilayah nasional Turki. Turki mempunyai kewenangan untuk menjalankan yurisdiksi teritorialnya terhadap peristiwa tubrukan yang membawa korban jiwa, karena peristiwa ini mulai terjadi di atas kapal Perancis di laut bebas, tetapi berakhir di atas kapal Turki, dan menimbulkan kerugian bagi negara tersebut sehingga tindakan aparat hukum Turki adalah sah atau tidak bertentangan dengan hukum internasional umum. 17

18 18

19 BAGIAN II PELBAGAI MACAM YURISDIKSI DAPAT DI KLAIM SELAIN DARIPADA YURISDIKSI TERITORIAL Hukum Internasional mengakomodasi dan mengakui hak suatu negara untuk mengklaim apa yang dinamakan yurisdiksi perseorangan atau Yurisdiksi Personal (Personal Jurisdiction), atau yurisdiksi negara menurut azas personalitas, yaitu yurisdiksi terhadap seseorang, baik dia adalah warganegaranya sendiri ataupun orang asing, yang melakukan kesalahan atau pelanggaran atas peraturan hukum nasionalnya. Hanya saja, orang yang bersangkutan tidak berada di dalam batas-batas teritorial, atau tidak berada di dalam wilayah kedaulatan, ataupun wilayah yurisdiksi dari negara yang bersangkutan, tetapi berada di dalam wilayah dari negara lain (J. G. Starke, 1984:224). Negara tersebut baru dapat menjalankan yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya, dan melakukan proses hukum terhadap orang itu, hanya apabila dia sudah berada di dalam wilayah dari negara tersebut (yurisdiksi territorial). Pertanyaannya adalah bagaimana dia bisa berada di dalam wilayah kekuasaan dari negara tersebut? Ada beberapa kemungkinan jawabannya. Kemungkinan pertama dia berada kembali dalam wilayah kekuasaannya, karena orang tersebut datang sendiri secara sukarela, atau tanpa tekanan maupun paksaan. Kemungkinan kedua dia berada kembali dalam wilayah ke- 19

20 daulatannya, karena dia didatangkan dengan cara paksaan, misalnya melalui proses ekstradisi. Proses ekstradisi dapat dilakukan baik berdasarkan perjanjian ekstradisi, ataupun berdasarkan azas saling menghormati dalam hubungan antarnegara, khususnya di antara negara-negara yang berkepentingan atas pelaku pelanggaran atau tindak pidana tersebut. Hukum Internasional memperkenankan suatu negara, untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksi atau kewenangannya, atas suatu kasus tindak pidana yang terjadi di luar negeri, karena pelaku dan atau korbannya adalah warganegara dari negara yang bersangkutan. Negara tersebut berkepentingan untuk menyatakan yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya berdasarkan azas personalitas. Penggunaan azas personalitas untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya, atas kasus yang terjadi di luar wilayah dari negara yang bersangkutan didasarkan atas dua macam prinsip, yaitu Prinsip Nasionalitas Aktif (Active Nationality Principle) serta Prinsip Nasionalitas Pasif (Passive Nationality Principle). Prinsip nasionalitas aktif memperkenankan suatu negara untuk mengklaim, dan menyatakan yurisdiksinya, terhadap seseorang yang bersalah dalam pengertian melakukan pelanggaran terhadap peraturan hukum nasionalnya. Klaim dan pernyataan yurisdiksi seperti ini, dapat dilakukan oleh negara tersebut apabila pelakunya adalah warganegaranya sendiri. Seorang warganegara di manapun dia berada, 20

21 serta ke manapun dia pergi, akan selalu diikuti dengan hukum nasional dari negerinya sendiri. Dia berada di luar negeri dan melakukan suatu tindak pidana, seperti pembunuhan, penganiayaan atau kejahatankejahatan lain yang semuanya ini diatur dalam hukum nasional dari negara-negara pada umumnya, termasuk pula hukum nasional dari negara asal pelakunya. Apabila Negara asalnya merasa berkepentingan atas kasus yang melibatkan warganya di luar negeri, maka negara itu dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan prinsip nasionalitas aktif. Untuk dapat melaksanakan yurisdiksinya dan melakukan tindakan hukum secara nyata dan efektif terhadap warganegaranya yang melakukan tindak pidana di luar negeri, maka tidak ada jalan kecuali orang yang bersangkutan harus kembali atau dikembalikan oleh negara setempat kepada negara asalnya. Sejauh mana negara setempat akan mengembalikan orang tersebut kepada negeri asalnya, sehingga negeri ini benar-benar dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif, hal ini adalah merupakan urusan domestik dari negara setempat. Kalau negara setempat mengembalikan atau menyerahkan si pelaku kepada negara asalnya, maka sudah barang tentu negara asalnya yang mengklaim yurisdiksi berdasarkan prinsip nasionalitas, dapat melakukan tindakan hukum secara efektif terhadap warganya, sesuai dengan 21

22 peraturan hukum nasionalnya, asal saja yang bersangkutan sudah berada di dalam wilayah teritorial negara asalnya. Hal ini berarti negara asalnya telah dapat menjalankan yurisdiksi teritorialnya secara nyata dan efektif, terhadap warganya yang sudah berada di wilayah kekuasaan hukum negara asalnya. Sebaliknya, kalau negara setempat berkepentingan untuk tidak mengembalikan, karena negara tersebut mampu dan mau menjalankan proses hukum, terhadap orang yang bersangkutan sesuai dengan peraturan hukum nasionalnya sendiri, maka dalam hal ini kita melihat timbulnya Persaingan Yurisdiksi (Concurrent Jurisdiction) antara kedua negara, yaitu antara negara asal dari warganya yang kebetulan tidak berada di negaranya sendiri, di satu pihak dengan negara tempat kejahatan itu terjadi, dan atau negara tempat pelakunya berada pada lain pihak. Namun demikian, dengan dilaksanakannya yurisdiksi teritorial dan tindakan hukum oleh negara setempat, maka negara asalnya harus menerima dan menghormati yurisdiksi, dan proses hukum yang dijalankan oleh negara setempat, karena apa yang dijalankannya adalah merupakan pelaksanaan dari kedaulatan, dan yurisdiksi teritorialnya yang tidak dapat dicampuri oleh negara manapun, termasuk negara asal dari pelaku kejahatan tersebut. Kasus pembunuhan dua warganegara Indonesia, dan seorang warganegara India, serta pelaku kejahatan ini adalah seorang warganegara Indonesia yang terjadi di Los Angeles 22

23 (Amerika Serikat/AS) belasan tahun lalu, sesungguhnya telah menimbulkan persaingan yurisdiksi antara AS dan Indonesia. AS mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya, berdasarkan azas yurisdiksi territorial terkait dengan tempat kejadian, korban kejahatan, alat bukti dan barang bukti semuanya terdapat di dalam wilayah teritorial AS. Sebaliknya, negeri kita (Indonesia) mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya juga berdasarkan atas azas yurisdiksi teritorial dan azas yurisdiksi personal. Yurisdiksi atau kewenangan Indonesia, berdasarkan azas yurisdiksi teritorial itu dikaitkan dengan fakta, di mana pelaku kejahatan dengan nama Harmoko Dewantono alias Oki, telah terlanjur masuk ke dalam wilayah Indonesia, kendati yang bersangkutan memakai paspor palsu. Klaim yurisdiksi Indonesia menurut azas yurisdiksi personal, harus dikaitkan dengan kenyataan di mana pelaku peristiwa pembunuhan di AS adalah seorang warganegara Indonesia, demikian pula korban kejahatan yaitu Gina Sutan Aswar, serta adik kandung dari si pelaku sendiri yang bernama Erik, adalah juga warganegara Indonesia, sehingga Indonesia mempunyai kepentingan untuk menangani kasus tersebut. Walaupun aparat hukum AS telah berkali-kali mengajukan permintaan ekstradisi, namun hal ini ditolak oleh Pemerintah Republik Indonesia. Sikap Indonesia ini didasarkan atas alasan tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua negara. Seandainya juga terdapat perjanjian ekstradisi, 23

24 pelaksanaan ekstradisi dalam kasus seperti itu mungkin sulit dijalankan, sebab berdasarkan prinsip-prinsip umum yang berlaku dalam pelbagai perjanjian ekstradisi, pada umumnya suatu negara yang dimintai ekstradisi tidak terikat untuk menyerahkan warganegaranya sendiri guna menjalani proses hukum di negara yang meminta ekstradisi. Demikian pula dengan Indonesia, tidak berkewajiban untuk menyerahkan warganegaranya sendiri (Oki) kepada aparat hukum AS, kendati misalnya ada perjanjian ekstradisi yang berlaku di antara kedua negara, apalagi kalau kedua negara tidak memiliki perjanjian ekstradisi. Karena negeri kita (Indonesia), berkepentingan dengan kasus kejahatan yang terjadi di Los Angeles, terkait dengan fakta-fakta tersebut di atas, mempunyai kemauan serta kemampuan untuk melaksanakan tindakan hukum, apalagi pelakunya telah berada di dalam wilayah kedaulatan dan kekuasaan hukum Indonesia, maka negeri kita (Indonesia) harus diakui paling efektif untuk menjalankan yurisdiksi teritorialnya, terhadap pelaku kejahatan yang terjadi di luar negeri. Pihak AS ternyata menghormati tindakan dan proses hukum yang dilakukan oleh aparat hukum Indonesia, serta menyerahkan seluruh alat bukti dan barang bukti kepada aparat hukum kita (Indonesia) dalam usaha menyelesaikan kasus tersebut sesuai dengan hukum Indonesia. 24

25 Di samping prinsip yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi personal, menurut azas nasionalitas aktif yang melandasi klaim kewenangan Indonesia, klaim kewenangan ini juga didasarkan atas prinsip nasionalitas pasif, mengingat para korban kejahatan lebih banyak yang berasal dari Indonesia. Para korban, termasuk pihak keluarga korban adalah warganegara Indonesia, yang menuntut perlindungan hukum dan keadilan dari Pemerintah Republik Indonesia. Klaim yurisdiksi personal telah berkembang dan beralih menjadi klaim yurisdiksi territorial, dan yurisdiksi territorial ini ternyata dapat dilaksanakan secara efektif, karena pelaku kejahatan yang terjadi di AS, sudah berada dalam wilayah kedaulatan dan yurisdiksi teritorial Indonesia. Prinsip Nasionalitas Pasif (the Passive Nationality Principle atau the passive Personality principle), memungkinkan dan memperkenankan suatu negara, untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya atas suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri, di mana pelakunya adalah orang asing, tetapi korbannya adalah warganegaranya sendiri. Orang asing yang melakukan suatu tindak pidana di luar negeri, serta menimbulkan kerugian terhadap warganegaranya sendiri, maka negara yang warganya menjadi korban dapat mengklaim, dan menyatakan yurisdiksinya guna melakukan proses hukum, baik dari segi pidana maupun perdata. Proses hukum ini dapat dijalankan secara nyata dan efektif, sepanjang pelakunya sudah berada di dalam wilayah 25

26 kedaulatan dan yurisdiksi territorial dari negara korban, yaitu di negara yang warganya dirugikan, misalnya akibat penghinaan atau pencemaran nama baik. Kasus terkenal (the leading case), mengenai azas ini adalah the Cutting Case pada tahun 1886, yang menyangkut sebuah pemberitaan di Texas yang berisi pernyataan fitnah yang dilakukan oleh warga Amerika terhadap seorang warganegara Meksiko (Malcolm N. Shaw, 1986:357). Cutting ditahan sementara di Meksiko, serta dihukum atas kejahatan memfitnah (kejahatan di bawah hukum Meksiko), serta Meksiko mempertahankan hak yurisdiksinya berdasarkan Azas Personalitas Pasif (the Passive Personality Principle). AS mengecam keras tindakan Meksiko, tetapi karena hal ini tidak meyakinkan, maka pihak yang dirugikan terpaksa menanggung akibatnya. Kasus pencemaran nama baik mantan Presiden Republik Indonesia (Soeharto dan keluarganya) pernah terjadi beberapa tahun lalu, ketika Majalah Time yang kantor pusatnya berkedudukan di AS, memberitakan tentang harta kekayaannya dalam jumlah spektakuler, yang berbentuk valuta asing dan tersimpan di perbankan luar negeri. Bagi mantan Presiden RI dan keluarganya, berita majalah mingguan itu adalah sesuatu yang tidak benar sehingga dianggap fitnah dan merupakan pencemaran nama baik. Kuasa hukum mantan Presiden ini melaporkan dan mengadukan masalah tersebut kepada Kepolisian RI agar 26

27 melakukan proses hukum terhadap Kantor Perwakilan Majalah Time yang ada di Jakarta. Pengacaranya juga mengajukan gugatan gantirugi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kedua belah pihak sudah sempat melakukan perdebatan, baik di depan aparat penyidik maupun terutama di pengadilan. Bagaimana kelanjutan proses hukumnya dalam sidang perkara pencemaran nama baik mantan Presiden RI tersebut, baik dari aspek pidana maupun perdata, masih belum jelas sampai saat ini. Mungkin kasusnya sudah dihentikan penyidikannya atau di SP3 kan. Mungkin pula telah diselesaikan secara damai antara keluarga Pak Harto dengan pihak majalah Time tanpa suatu publikasi sehingga tidak diketahui masyarakat luas. Terlepas dari hal ini, maka sebenarnya kasus pencemaran nama baik tersebut mengandung unsur persaingan yurisdiksi antara AS dan Indonesia, yang masing-masing memiliki kepentingan. AS berkepentingan untuk menyatakan ataupun tidak menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas yurisdiksi territorial, mengingat pelakunya yaitu pihak Majalah Time (pemilik, pengelola dan lain-lainnya termasuk asset-asetnya) berada di dalam wilayah kedaulatan atau wilayah hukum AS. Sedangkan Indonesia berkepentingan untuk mengklaim atau menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas pasif, mengingat korban pencemaran nama baik adalah warganegara Indonesia. 27

28 Sesuai dengan kepentingannya AS tidak berbuat apaapa, atau tidak menyatakan yurisdiksinya dalam kaitan dengan kasus pencemaran tersebut, tetapi sesuai pula dengan kepentingannya, pihak Indonesia menyatakan yurisdiksinya dan berupaya untuk menjalankan proses hukum kendati upaya ini tidak dapat berjalan secara efektif mengingat pelaku utamanya berada di dalam wilayah hukum AS. Selain azas yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi personal, maupun bermacam-macam azas yurisdiksi lainnya yang dapat digunakan oleh suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya atas suatu kasus, maka di dalam hukum internasional, diakui juga apa yang dinamakan azas yurisdiksi universal, atau yurisdiksi negara menurut azas universal (jurisdiction according to the universal principle atau the principle of universal jurisdiction). Terdapat berbagai macam tindak pidana yang memungkinkan semua negara tanpa terkecuali, untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap beberapa tindak pidana tertentu maupun pelakunya. Karakteristik dari pelbagai tindak pidana seperti pembajakan laut (piracy), pembajakan udara (hijacking), kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan terhadap perdamaian dunia (crimes against international peace), kejahatan terorisme (terrorism crimes) dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya, memungkinkan dan memperkenankan semua negara tanpa terkecuali, untuk 28

29 mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya guna melakukan proses hukum, mengadili dan menghukum siapapun pelakunya, tanpa memperhatikan kebangsaan dari pelakunya, atau mereka yang terlibat tindak pidana tersebut, tanpa memperhatikan siapa yang menjadi korban tindak pidana tersebut, apakah korbannya adalah warganegara dari negaranya sendiri, ataukah dari negara lain, juga tanpa memperhatikan kapan terjadinya maupun tempat terjadinya tindak pidana tersebut. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa hukum internasional memperkenankan semua negara, untuk mengklaim dan menyatakan kekuasaan hukumnya, dalam hal terjadi kejahatan-kejahatan yang dapat menggerogoti kepentingan semua negara, atau seluruh umat manusia, karena kejahatan-kejahatan seperti itu bertentangan dengan sendisendi kemanusiaan, serta keadilan bagi seluruh umat manusia, tanpa melihat nasionalitas dari pelaku dan korbannya, maupun tanpa memperhatikan waktu dan tempat terjadinya kejahatan tersebut. Namun untuk dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif, maka pertama-tama masing-masing negara yang merasa berkepentingan, seharusnya mengatur melalui hukum nasionalnya sesuai dengan kepentingannya terkait dengan pelbagai jenis kejahatan yang bertentangan dengan perasaan kemanusiaan dan keadilan dalam rangka mengan- 29

30 tisipasi, mencegah serta menanggulangi timbulnya kejahatankejahatan seperti itu. Misalnya saja Indonesia yang telah berhasil mengundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 mengenai Pemberantasan Terorisme, karena kejahatan terorisme (sebagaimana halnya dengan pelbagai macam kejahatan melawan kemanusiaan), memberikan yurisdiksi atau kekuasaan hukum kepada masing-masing negara tanpa terkecuali, untuk melakukan tindakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasionalnya. Para pelakunya ataupun mereka yang terlibat dalam aksi terorisme, sudah banyak yang dinyatakan terbukti bersalah, serta dijatuhi hukuman berat berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Sejauh mana suatu negara entah negara tempat terjadinya kejahatan, negara asal dari pelakunya, negara asal dari korban, negara tempat pelaku berada, atau negara tempat pelarian, ataukah negara lain yang juga merasa berkepentingan telah mengimplementasikan yurisdiksi negara menurut azas universal atau azas yurisdiksi universal? maka jawabannya sangat bergantung pada kepentingan dan kemauan politik dari negara yang bersangkutan, sehingga dalam konteks ini, suatu negara dapat memiliki kepentingan, baik untuk menyatakan yurisdiksinya, maupun untuk tidak menyatakannya terkait dengan suatu kasus tindak pidana 30

31 yang sesungguhnya tunduk di bawah azas yurisdiksi universal. Preseden (Precedent) yang menjadi tonggak awal timbulnya pengakuan masyarakat internasional, atas yurisdiksi negara menurut azas universal adalah ketika terbentuk Mahkamah Pengadilan Kriminal Internasional di Nuremberg dan Tokyo berdasarkan perjanjian London (the London Agreement tahun 1942I, yaitu suatu perjanjian internasional yang diadakan oleh negara-negara sekutu yang menjadi pemenang perang dalam Perang Dunia II. Sejak terbentuknya, maka banyak pelaku kejahatan yang berhasil diseret ke depan pengadilan nasional di pelbagai negara, khususnya pengadilan nasional di negara-negara yang menjadi korban dalam Perang Dunia II atau negara-negara yang warganya banyak dibunuh oleh para pejabat Nazi (Hitler). Salah satu negara yang dianggap paling menderita selama Perang Dunia II, akibat kekejaman rezim Nazi terhadap jutaan warganya adalah Negara Yahudi atau Negara Israel yang baru eksis sebagai satu negara merdeka dan berdaulat beberapa tahun usai Perang Dunia II. Ketika bangsa Yahudi yang selama berabad-abad warganya kebanyakan hidup tersebar di benua Eropa (diaspora), katanya mengalami perlakuan yang sangat kejam dari para pejabat Nazi, maka pada waktu itu bangsa Yahudi atau Israel belum eksis sebagai satu negara merdeka dan berdaulat. 31

32 Kasus kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sangat terkenal setelah Perang Dunia II, adalah kasus Rudolph Eichmann (Eichmann Case). Kasus ini diadili dan diputuskan melalui Pengadilan Nasional Israel, dan merupakan kasus kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang sangat tersohor, dan sekaligus kontroversial. Hal ini disebabkan karena perbuatan yang dituduhkan atas diri Eichmann, yaitu melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan khususnya, terhadap bangsa Yahudi yang dituduhkan terhadapnya berlangsung selama Perang Dunia II, yang pada waktu itu bangsa Yahudi belum eksis sebagai negara berdaulat. Dengan demikian belum memiliki sebuah sistem hukum, termasuk dan terutama peraturan hukum pidana, yang dapat digunakan dalam melakukan proses hukum, khususnya yang terkait dengan kasus kejahatan tersebut. Setelah merdeka karena diberi kemerdekaan oleh Inggeris yang merupakan tindak lanjut dari Balfour Declaration (sebuah deklarasi yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri Inggeris pada waktu itu), maka Pemerintah Negara Yahudi membuat pelbagai macam peraturan hukum, termasuk peraturan hukum pidana yang dapat menjerat mereka yang dianggap bertanggungjawab atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang katanya menyebabkan jutaan orang Yahudi tewas dan hilang. 32

33 Salah seorang penjahat perang yang bernama Rudolph Eichmann, yang sejak lama menjadi buronan pihak intelijen Israel (mossad), telah berhasil diculik dari Argentina, dan kemudian diterbangkan ke Israel untuk menjalani proses hukum sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di negeri tersebut. Pengadilan Nasional Israel berhasil membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu terbukti melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia, serta kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya terhadap bangsa Yahudi, sehingga pengadilan menjatuhkan putusan hukuman mati atas diri Eichmann, yang pelaksanaan atau eksekusi ini dijalankan di atas kursi beraliran listrik. Pelbagai kalangan, terutama kalangan ahli hukum melontarkan kecaman atas tindakan pengadilan Israel yang menjatuhkan putusan hukuman mati atas terdakwa Eichmann. Protes yang dilontarkan itu pada prinsipnya didasarkan atas terjadinya penyimpangan dari azas hukum yang pada waktu itu dianggap berlaku secara universal, yaitu azas legalitas atau azas Nullum Delictum. Azas ini menegaskan bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum apabila tidak ada peraturan hukum yang telah dibuat sebelum terjadinya perbuatan itu. Berdasarkan azas ini, Negara Israel atau pengadilan distrik dari negara Yahudi, sesungguhnya tidak boleh menerapkan peraturan hukum pidananya atas perbuatan 33

34 yang dituduhkan telah dilakukan oleh Eichmann, karena perbuatan yang dituduhkan berupa kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia dan kejahatan melawan kemanusiaan, khususnya kejahatan terhadap bangsa Yahudi itu terjadi sebelum dibuatnya hukum pidana negara itu, bahkan negara itu sendiri belum eksis. Pada waktu itu, Perbuatan yang dituduhkan atas diri Eichmann, dilakukan sebelum bangsa Yahudi mendapat kemerdekaan dari Inggeris, sehingga banyak yang beranggapan bahwa tindakan pengadilan Israel dengan menjatuhkan hukuman mati atas diri Eichmann merupakan suatu penggerogotan, atau penyimpangan terhadap azas legalitas yang ketika itu masih dianut secara universal, yakni azas yang melarang suatu negara untuk menerapkan atau memberlakukan secara retroaktif (surut) peraturan hukum nasionalnya, pada perbuatan yang dilakukan sebelum peraturan hukum itu sendiri dibuat. Kasus kejahatan perang, serta kejahatan terhadap kemanusiaan umumnya diadili melalui Mahkamah Pengadilan Internasional di Nuremberg (The Nuremberg Tribunal atau the Nuremberg Trial) dan di Tokyo (the Tokyo Tribunal atau the Tokyo Trial), yang terbentuk berdasarkan Perjanjian London. Akan tetapi tidak sedikit kasus-kasus kejahatan seperti itu yang diajukan dan diselesaikan melalui pengadilan nasional dari pelbagai negara, terutama negara-negara yang menjadi korban kejahatan tersebut. 34

35 Mereka yang terlibat dalam kejahatan perang dan kejahatan melawan kemanusiaan, baik pejabat tinggi negara atau pejabat pemerintah, pejabat tinggi militer dan lainlainnya, dibebani dengan pertanggungjawaban yang bersifat individual (individual responsibility), sehingga mereka tidak boleh berlindung di belakang kepentingan dan tanggungjawab dari negaranya sendiri (State Responsibility). Para pelakunya, terutama para pejabat dari rezim Hitler dan pejabat negeri Sakura, dan negara-negara lain yang dikategorikan sebagai negara-negara poros yang diadili, baik di depan pengadilan internasional maupun pengadilan nasional dari beberapa negara, sekalipun mereka senantiasa membela diri, dengan menyatakan bahwa tindakan mereka dilakukan atas kebijakan, instruksi maupun perintah dari negara atau pemerintahnya sendiri, namun pihak pengadilan pada umumnya menolak alasan dan dalih seperti itu, karena kejahatan-kejahatan yang tunduk di bawah yurisdiksi universal harus dipertanggungjawabkan secara individual. Pada tahun 1998 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Majelis Umum, mensahkan atau mengadopsi sebuah perjanjian internasional yang disepakati di Roma, yaitu perjanjian mengenai pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional (The International Criminal Court), yang berkedudukan di Den Haag. Perjanjian internasional yang berhasil dirumuskan dan disepakati dalam bentuk Statuta Roma (The Rome 35

36 Statute), dimaksudkan untuk membawa siapapun yang tersangkut atau terbukti terlibat dalam pelbagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk kejahatan etnis (Genocide), entah mereka itu pejabat tinggi sipil ataupun militer, dapat diajukan ke depan Mahkamah Kriminal Internasional guna mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pembentukan Mahkamah ini, dilatarbelakangi dengan pelbagai kejadian yang menimpa rakyat dari berbagai negara, seperti peristiwa pembantaian etnis yang disebut Ethnic Cleansing terhadap rakyat Bosnia, yang mayoritas penduduknya adalah muslim atau beragama Islam, pembantaian etnis Albania di Kosovo. Bosnia dan Kosovo, selain Herzegovina, Kroasia dan Slovenia maupun Serbia adalah merupakan negara-negara bagian yang tergabung di dalam Negara Federal Yugoslavia. Kini negara-negara bagian tersebut, umumnya telah berstatus sebagai negara-negara merdeka dan berdaulat, tetapi ditinjau dari beberapa aspek, negara-negara ini sangat kecil dan lemah ketimbang ketika negara-negara bagian tersebut masih berada di bawah naungan Negara Federal Yugoslavia. Sebagian besar dari negara-negara bagian tersebut telah merdeka, setelah meletusnya perang saudara antara pasukan pemerintah negara federal yang dikuasai oleh etnis Serbia, berhadapan dengan pasukan dari masing-masing 36

37 megara bagiannya, khususnya dari negara bagian Kroatia serta Bosnia. Selama perang saudara yang sebenarnya adalah urusan domestik dari Negara Federal Yugoslavia, dan tidak dapat diintervensi oleh negara manapun, bahklan oleh PBB sekalipun, terkecuali untuk tujuan kemanusian (humanitarian intervention), maka kelompok negara-negara tertentu dengan motif yang sangat primitif dan tidak terkait dengan tujuan kemanusiaan, dan dengan mengatasnamakan masyarakat internasional, melontarkan tudingan bahwa pemerintah Yugoslavia yang dikuasai oleh etnis Serbia, melakukan kejahatan perang dan kemanusiaan, serta kejahatan genocide khususnya terhadap komunitas muslim di negara bagian Bosnia, maupun terhadap etnis Albania di negara bagian Kosovo. Seusai Perang saudara yang menelan banyak korban jiwa, dengan dukungan negara-negara tertentu yang mengatasnamakan masyarakat internasional, dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada pemerintah negara-negara bagian tersebut, pada akhirnya bermuara pada kemerdekaan negara-negara bagian tersebut. Timbulnya pelbagai kejahatan kemanusiaan dan genosida (genocide) di bekas negara-negara bagian Yugoslavia, berkontribusi bagi terbentuknya Mahkamah Kriminal Internasional yang bersifat ad hoc untuk menangani kasus pembantaian etnis di Yugoslavia, di mana 37

38 pembentukannya didasarkan atas Pasal 24 dan Pasal 25 Piagam PBB. Mereka yang dianggap terlibat dalam kejahatan tersebut, harus diserahkan kepada pengadilan kriminal internasional ad hoc di Den Haag untuk menjalani proses peradilan. Kendati demikian diserahkan tidaknya mereka itu sangat tergantung pada kebijakan negara setempat. Apabila negara atau pemerintah negara setempat tidak berkeinginan menyerahkan pelakunya, hal ini tidak menjadi permasalahan, selama pemerintah negara setempat masih mempunyai komitmen untuk melakukan proses hukum berdasarkan peraturan hukum nasional yang mengacu pada standar internasional. Berdasarkan standar internasional, mereka yang tersangkut kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan, tidak boleh dibatasi hanya pada tingkatan tertentu saja, tetapi peradilannya seharusnya dapat menjangkau siapapun, termasuk pejabat tinggi bahkan pejabat tertinggi sekalipun, baik dari kalangan sipil maupun militer sehingga mereka yang diadili bukan hanya terdiri dari para pelaku operasional, melainkan juga dan terutama mereka yang mempunyai kebijakan dan memberikan perintah ataupun membiarkan terjadinya tindak kejahatan tersebut. Melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1993 yang sesungguhnya bersumber dari ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 Piagam PBB, disepakati pembentukan Mahkamah 38

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA Oleh: Ida Ayu Karina Diantari Putu Tuni Cakabawa Landra Made Maharta Yasa Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME UMUM Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Resolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984) Majelis

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan serius terhadap hak asasi manusia, selain kejahatan perang. Kejahatankejahatan tersebut secara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 277). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (TREATY ON MUTUAL

Lebih terperinci

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 277, 2015 PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5766). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59 REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA: Berhasrat untuk mengadakan kerjasama yang lebih efektif antara kedua negara dalam memberantas kejahatan dan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

Prinsip Dasar Peran Pengacara

Prinsip Dasar Peran Pengacara Prinsip Dasar Peran Pengacara Telah disahkan oleh Kongres ke Delapan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) mengenai Pencegahan Kriminal dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7

Lebih terperinci

Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional

Prinsip Jus Cogens dalam Hukum Internasional Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional Mochammad Tanzil Multazam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo "Adalah norma yang memaksa dan mengikat pembentuk hukum internasional" Prinsip jus cogens oleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5518 PENGESAHAN. Konvensi. Penanggulangan. Terorisme Nuklir. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2014 Nomor 59) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013 lembaga ekstrayudisial. Hal ini mengingat beberapa hal: Pertama, pengembalian aset tidak selamanya berkaitan dengan kejahatan atau pidana, dapat saja aset yang akan dikembalikan berada dalam wilayah rezim

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN KEPANITERAAN DAN SEKRETARIAT JENDERAL MAHKAMAH KONSTISI REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Imigrasi telah dicabut dan diganti terakhir dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

UU 8/1994, PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UU 8/1994, PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA Copyright 2002 BPHN UU 8/1994, PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA *8599 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1994 (8/1994) Tanggal:

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS) PERJANJIAN

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM)

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA INDONESIA DAN AUSTRALIA

NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA INDONESIA DAN AUSTRALIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA INDONESIA DAN AUSTRALIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MENIMBANG: a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Sepuluh Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Banyak kesalahpahaman terjadi terhadap Pengadilan Rakyat Internasional. Berikut sepuluh hal yang belum banyak diketahui

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional, penegakan hukum terhadap imunitas kepala

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 100 (1) Barangsiapa dengan sengaja merusak atau melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan tidak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelaku Kejahatan Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PEMERIKSAAN KECELAKAAN KAPAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PEMERIKSAAN KECELAKAAN KAPAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PEMERIKSAAN KECELAKAAN KAPAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 93 ayat (3) Undang-undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi);

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi); UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci