I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang Undang nomor 22 tahun 1999 dan telah direvisi menjadi Undang Undang nomor 32 tahun 2004 telah membawa Indonesia memasuki paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan memberikan kewenangan (otoritas) yang luas, nyata dan bertanggung jawab secara proporsional kepada daerah. Hal itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah, yaitu: demokrasi (democratization), peran serta masyarakat (community participation), memperhatikan keanekaragaman daerah, pemerataan dan keadilan serta terkelolanya potensi sumberdaya di daerah secara efisien dan efektif. Melalui otonomi daerah, pemerintah daerah kini memiliki kewenangan yang besar untuk merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan serta program pembangunan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Oleh karena itu menurut McCulloch dan Suharnoko (2003), salah satu kunci yang harus diperhatikan dalam otonomi daerah adalah bahwa pemerintah daerah harus lebih responsif terhadap kebutuhan penduduknya. Pada banyak negara berkembang termasuk Indonesia, mayoritas penduduknya masih terjerat pada kondisi miskin dan oleh karenanya desentralisasi diharapkan akan menciptakan kebijakankebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan penduduk miskin. Jika kita secara khusus peduli dengan kemiskinan, maka hal terpenting dan menjadi kunci adalah melihat bagaimana dampak desentralisasi pada distribusi sumberdaya di
2 dalam wilayah tersebut (intra-regional), dan bukan pada efisiensi alokasi sumberdaya antar-wilayah (inter-regional). Desentralisasi pembangunan memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk lebih dekat dan lebih cepat menangani urusan-urusan masyarakat secara langsung dengan kebijakannya. Selain itu, dalam jangka panjang desentralisasi menciptakan iklim kompetisi pertumbuhan pembangunan dengan memperhatikan transparansi, akuntabilitas dalam manajemen sumberdaya alam dan manusia. Tetapi perlu diperhatikan, desentralisasi dapat menimbulkan kerentanan pada praktik kebijakan yang mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok (vested interest) dan besarnya tekanan terhadap sumberdaya alam untuk mengejar pendapatan sehingga kurang memperhatikan keberlanjutan pembangunan. Kemiskinan menjadi isu utama pembangunan karena tingkat kemiskinan menjadi indikator penting dalam mengukur keberhasilan proses pembangunan. Selain itu, kemiskinan menunjukkan ketimpangan pembangunan dan tidak meratanya distribusi pendapatan. Pada prioritas pembangunan yang termuat di dalam Undang Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas, pemerintah menegaskan akan mengurangi jumlah penduduk miskin absolut 4 persen dalam jangka waktu 5 tahun. Pengurangan derajat kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah dalam tiga dekade terakhir dengan program bantuan kredit, pemberdayaan dan pendampingan. Tetapi hasilnya masih memiliki banyak kelemahan, di antaranya masih berorientasi pada pertumbuhan makro, kebijakan yang terpusat, lebih bersifat karikatif, memposisikan masyarakat sebagai objek, hanya memperhatikan sisi ekonomi dan kurang memperhatikan spesifikasi dan karakteristik kemiskinan
3 pada waktu dan tempat yang berbeda. Hal ini menyebabkan kerentanan kemiskinan atas perubahan politik, ekonomi dan sosial serta bencana alam sehingga perlu dikoreksi secara menyeluruh dan mendasar. Isu penanggulangan kemiskinan dewasa ini dihadapkan pada kenyataan tantangan dan isu yang berkembang berupa desentralisasi dan otonomi daerah yang mengembangkan potensi daerah sesuai dengan kondisi daerahnya, tuntutan pengelolaan pemerintahan yang baik dan penolakan terhadap segala bentuk praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, serta tuntutan globalisasi yang memberikan kompetisi yang kadang memarjinalkan masyarakat lemah dan miskin. Provinsi Riau merupakan Provinsi yang mengalami berbagai perubahan dengan desentralisasi. Pendapatan Daerah Regional Bruto yang cukup besar sebesar 29,884 triliyun rupiah dan ditambah dari minyak dan gas seharusnya mampu mengangkat derajat masyarakat ke tingkat kesejahtaraan yang tinggi. Angka kemiskinan berdasarkan Susenas tahun 2002, yang diukur menurut kebutuhan makanan sebesar 2100 kalori per kapita, pada tahun 1999 adalah 14,00 persen dari total penduduk menurun menjadi 13,12 persen pada tahun 2005, lebih rendah dibandingkan dengan angka kemiskinan rata-rata Nasional. Menurut Hasil Pendataan Penduduk/Keluarga Miskin Provinsi Riau tahun 2004 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau, diketahui persentase rumah tangga dan penduduk miskin yang relatif tinggi terdapat pada 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Indragiri Hulu, dan Kabupaten Kuantan Singingi. Persentase rumah tangga dan penduduk miskin paling rendah terdapat di Kota Pekanbaru yang mencapai 10,91 persen. Riau dan dengan karakteristik penduduk yang heterogen dan wilayah yang terdiri dari
4 daratan dan kepulauan menghadapi permasalahan-permasalahan diantaranya rendahnya tingkat pendidikan, infrastruktur yang terbatas, laju pertumbuhan pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu 3,65 persen dan banyaknya penduduk/rumah tangga miskin, menuntut kerja keras pemerintah dan masyarakat Riau dalam menanggulangi permasalahan tersebut. Peningkatan kesejahteraan sudah mulai terlihat diantaranya peningkatan IPM propinsi Riau dari 69,0 tahun 2002 menjadi 73,6 ditahun 2005. Begitu juga terjadi peningkatan pada indikator pendidikan dari tahun ke tahun seperti angka melek huruf dan lama sekolah, dimana tahun 2005 angka melek huruf di Provinsi Riau menjadi 98,8 dari sebelumnya 96,5 di tahun 2002 dan lama sekolah dari 8,30 tahun (2002) menjadi sebesar 8,98 tahun (2005). Otonomi daerah memberikan suatu pencerahan baru bagi masyarakat Riau di mana pengelolaan pembangunan diserahkan kepada pemerintahan daerah. Riau menjadi wilayah yang mempunyai PDRB yang cukup besar terutama dari dana bagi hasil migas yang mencapai Rp 68 triliun (15 persen) di mana pendapatan non migas sebesar Rp 29 triliun dan menjadi Provinsi tertinggi kedua pendapatannya setelah Provinsi Kalimantan Timur. Dengan penerimaan daerah yang cukup besar ini Provinsi Riau melakukan pembangunan di segala sektor. Pembangunanpembangunan mega proyek dan infrastruktur mulai dirintis dan menjadi prioritas. Tetapi dalam hal ini perlu dipertimbangkan apakah pembangunan mega proyek ini benar-benar dibutuhkan dan meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat Riau umumnya atau hanya akan dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja atau hanya sebagai proyek mercu suar. Oleh sebab itu diperlukan penilaian dan evaluasi yang komprehensif agar setiap pembangunan yang
5 dilakukan tidak sia-sia dan benar-benar dirasakan manfaatnya bagi masyarakat terutama masyarakat miskin. 1.2. Perumusan Masalah Kemiskinan dengan segala dimensinya mempunyai karakteristik dan kecendrungan tersendiri sesuai dengan kondisi masyarakat dan lingkungannya. Sangat penting untuk mengetahui faktor penentu dari kemiskinan dari suatu wilayah yang sangat membantu dalam usaha pengentasan kemiskinan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui karakteristik kelompok sasaran (target groups) dan metode apa yang dipilih sebagai solusinya. Di sini diperlukan peran dan keberpihakan pemerintah yang sungguh-sungguh yang diwujudkan dengan program pembangunan yang berpihak pada masyarakat miskin. Kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks dan kronis saat ini. Karena hal tersebut, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer. Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Misalnya dari dimensi pendidikan, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor-faktor seperti kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat
6 kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan. Desentralisasi pembangunan memberikan kesempatan kepada pemerintah lebih dekat dan lebih cepat menangani urusan-urusan masyarakat secara langsung dengan kebijakannya. Selain itu dalam jangka panjang desentralisasi menciptakan iklim kompetisi pertumbuhan pembangunan dengan memperhatikan transparansi, akuntabilitas dalam manajemen pengelolaan sumberdaya alam dan manusia. Tetapi perlu diperhatikan desentralisasi menimbulkan kerentanan pada praktik kebijakan yang mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok (vested interest) dan besarnya tekanan terhadap sumberdaya alam untuk mengejar pendapatan sehingga kurang memperhatikan keberlanjutan pembangunan. Di era otonomi, konsep pengembangan kapasitas daerah diwujudkan dengan kemandirian daerah dan pemberdayaan masyarakat melalui pengentasan kemiskinan. Seiring dengan hal itu peningkatan tanggung jawab pemerintah terhadap kebutuhan dan kondisi daerah sangat diperlukan untuk proses pengambilan keputusan guna mengurangi kemiskinan di daerah. Pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dalam rangka pengembangan usaha ekonomi produktif penduduk miskin, penyediaan prasarana dasar perdesaan, serta penyediaan pelayanan kebutuhan dasar dalam bidang kesehatan dan pendidikan, ternyata berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin secara signifikan.
7 Dengan adanya otonomi daerah, banyak kemudahan-kemudahan yang diharapkan akan memberikan banyak prakarsa penanganan kemiskinan terutama dari pemerintah daerah. Kebijakan penanganan yang dilakukan sebaiknya diarahkan pada: 1) Peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan sumberdaya, terutama yang dikuasai oleh kelompok miskin. 2) Pengembangan aksesibilitas kelompok miskin terhadap tanah, modal, infrastruktur dan input-input produktif lainnya 3) Pengembangan struktur sosial kelembagaan dalam meningkatkan kemampuan masyarakat, khususnya kelompok miskin, dalam mengatasi masalah secara mandiri. Dengan permasalahan di atas penelitian ini diarahkan pada pertanyaan mendasar yaitu: (1) Bagaimana kondisi kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau setelah dilaksanakannya otonomi daerah dan (2) Apakah desentralisasi cukup berpengaruh terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. 1.3. Tujuan Adapun penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui kondisi umum dan perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau. 2. Mengetahui dampak otonomi dan desentralisasi fiskal terhadap penurunan jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau.
8 1.4. Ruang Lingkup Lingkup penelitian adalah sebagai berikut : 1. Pemerintah daerah yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemerintahan daerah pada tingkat kota atau kabupaten di Provinsi Riau yang terdiri dari 2 Kota dan 9 Kabupaten. 2. Analisis terhadap Provinsi dan kabupaten/kota yang baru terbentuk masih digabungkan dengan penamaan daerah sebelumnya. 3. Analisis ini dilakukan di tingkat kota/kabupaten dengan melihat efektifitas penerimaan dan pengeluaran pemerintah dalam usaha pengentasan kemiskinan. 4. Analisis ini melihat dari sisi penerimaan daerah, pengeluaran daerah, makro ekonomi daerah dan sisi kemiskinan di perkotaan dan perdesaan. 1.5. Kegunaan Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi evaluasi dan masukan agar kebijakan, kegiatan dan program pembangunan yang dilakukan memiliki dampak yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat miskin. Selain itu hasil penelitian ini bisa menjadi pertimbangan dalam arah kebijakan penanganan masalah kemiskinan serta dapat berma nfaat bagi peneliti dan akademisi guna penelitian lanjutan.