13 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel Temulawak Terpilih Pada penelitian ini sampel yang digunakan terdiri atas empat jenis sampel, yang dibedakan berdasarkan lokasi tanam dan nomor harapan. Lokasi tanam terdiri atas daerah Cileungsi (Jawa Barat) dan Boyolali (Jawa Tengah). Pemilihan kedua lokasi tanam tersebut dimaksudkan untuk mewakili kondisi agrobiofisik yang berbeda sehingga dapat menunjukkan lokasi yang paling sesuai untuk membudidayakan tanaman temulawak yang memiliki kandungan bioaktif tertinggi (dalam hal ini xantorizol). Cileungsi mewakili sentra pengembangan budidaya temulawak di Jawa Barat sedangkan Kragilan (Boyolali) yang mewakili sentra pengembangan budi daya temulawak di Jawa Tengah. Nomor harapan yang digunakan sebagai sampel adalah nomor harapan A dan F, yang keduanya merupakan nomor harapan temulawak yang digunakan oleh Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) untuk uji multilokasi. Nomor harapan A dan F dipilih berdasarkan keunggulan produksi rimpang dan mutu kandungan zat berkhasiat dibandingkan enam nomor harapan temulawak lainnya yang telah dilakukan tim peneliti Balittro (Setiono et al. 2006). Berdasarkan uji xantorizol, kedua nomor harapan temulawak memiliki kecenderungan yang berbeda dalam menghasilkan bioaktif. Analisis statistika pengaruh lokasi tanam dan nomor harapan pada kandungan xantorizol ditunjukkan pada Lampiran 2. Hasilnya menunjukkan bahwa lokasi penanaman dan nomor harapan mempunyai pengaruh yang berbeda nyata pada kandungan xantorizol temulawak. Kandungan xantorizol tertinggi dihasilkan oleh nomor harapan temulawak A di lokasi Cileungsi, yaitu 0,0382%. Contoh kromatogram HPLC dan cara perhitungan kadar xantorizol ditunjukkan pada Lampiran 3 dan rekapitulasi hasil pengukuran kandungan xantorizol dalam keempat jenis sampel ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Kandungan xantorizol keempat jenis sampel temulawak Sampel Kadar xantorizol (%) Cileungsi A 0.0382 (±0.0042); SD = 0.0055 Boyolali A 0.0288 (±0.0014); SD = 0.0018 Cileungsi F 0.0306 (±0.0013); SD = 0.0018 Boyolali F 0.0259 (±0.0008); SD = 0.0012
14 Produksi metabolit sekunder pada suatu tanaman dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya genetik, nutrisi, enzim, umur tanaman, dan interaksi antara lingkungan biotik dan abiotik. Setiap faktor memiliki mekanisme biokimiawi kompleks tertentu yang menyebabkan kedua nomor harapan temulawak memproduksi bioaktif xantorizol berbeda baik yang ditanam di Cileungsi maupun di Boyolali. Kondisi curah hujan di lokasi penelitian menurut Setiyono et al. (2006) adalah 5500-6500 mm/tahun untuk Boyolali dan 223,97 mm/tahun untuk Cileungsi. Waterman dan Mole (1989; dalam Seigler 1998) menyatakan bahwa kuantitatif dan kualitatif yang beragam dari metabolit sekunder pada tanaman dapat terjadi sebagai respons dari cekaman yang ditimbulkan oleh lingkungannya. Curah hujan di Cileungsi lebih rendah dan kondisi tanah lebih liat dibandingkan Boyolali. Hal ini diduga merupakan salah satu kondisi cekaman yang memungkinkan terjadinya induksi dalam produksi xantorizol yang tinggi di lokasi Cileungsi. Meskipun induksi xantorizol dipengaruhi juga oleh faktor genetik kedua nomor harapan temulawak tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khaerana (2007) yang menunjukkan bahwa cekaman kekeringan menyebabkan meningkatnya kandungan metabolit jenis asiri dalam temulawak. Kondisi agrobiofisik lokasi penanaman temulawak pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil penelitian, sampel yang menunjukkan kandungan xantorizol tertinggi dimiliki oleh sampel yang ditanam di Cileungsi dengan nomor harapan A, maka sampel tersebutlah yang dipilih sebagai sampel untuk keperluan isolasi xantorizol yang dilakukan pada bagian kedua penelitian ini.
15 Tabel 5 Ciri agrobiofisik lokasi penanaman temulawak Kondisi agrobiofisik Lokasi penanaman temulawak Cileungsi Boyolali Kondisi iklim: Suhu (ºC) 28-34 18-35 Ketinggian (m dpl) 200 450 Curah hujan ( mm/tahun) 223.97 5500-6500 Sifat fisik tanah: Kandungan komponen (%) Pasir 35.87 41.49 Debu 24.23 37.98 Liat 39.90 20.53 Sifat kimia tanah: ph: H 2 O 4.65 5.10 C Organik (%) 0.95 0.51 N total (%) 0.13 0.09 C/N rasio 7.31 5.67 P tersedia (ppm) 1.06 23.51 Basa yang dapat dipertukarkan (me/100 ): Ca 5.39 2.31 Mg 1.29 0.33 K 0.17 0.11 Na 0.25 0.18 Total 7.10 2.93 Al dd (me/100 g) 2.13 0.41 KTK (me/ 100 g) 15.87 7.27 Kejenuhan basa (%) 44.74 40.30 Sumber: Setiono et al. (2006) Isolasi Xantorizol Pada bagian kedua penelitian ini dilakukan dua jenis metode isolasi xantorizol. Metode pertama menggunakan metode Hwang (2000) sebagai metode pembanding, dan metode kedua menggunakan kromatografi lapis tipis preparatif yang digabung dengan modifikasi dari metode Hwang. Metode Hwang (2000) Ekstraksi menghasilkan ekstrak kasar metanol sebanyak 14.6244 g dari sampel awal 250 g (5.8%). Fraksinasi lanjut dengan etil asetat menghasilkan ekstrak etil asetat sebanyak 5.7127 g (39.06%). Dari hasil fraksinasi kolom ekstrak etil asetat diperoleh 20 fraksi. Masing-masing fraksi yang diperoleh tersebut dianalisis menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) dan dibandingkan dengan KLT standar xantorizol. KLT fraksi hasil separasi kolom dan standar
16 xantorizol ditunjukkan pada Gambar 3. Berdasarkan hasil KLT tersebut, ditentukan fraksi yang mengandung xantorizol adalah fraksi nomor 4 sampai fraksi nomor 10. Fraksi tersebut (2.5083 g) kemudian diasetilasi untuk menghasilkan fraksi xantorizol terasetilasi yang diharapkan dapat memisahkan fraksi yang mengandung xantorizol dengan yang tidak. Skema reaksi yang terjadi saat proses asetilasi ditunjukkan pada Gambar 4. Rf = 0.54 Sampel Stdr 3 5 7 9 11 13 15 17 19 Gambar 3 KLT fraksi hasil separasi kolom metode Hwang O O OH + O Anhidrida asetat xantorizol CH 3 piridin O O C + O CH 3 -O CH3 CH 3 xantorizol terasetilasi Gambar 4 Skema reaksi asetilasi xantorizol
17 Berdasarkan hasil reaksi asetilasi, diperoleh dua fase seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Fase pertama (fase atas) merupakan fase yang tidak larut air sehingga diduga merupakan fase tempat terdapatnya xantorizol, sedangkan fase kedua (fase bawah) merupakan fase yang larut dalam air sehingga diduga tidak terdapat xantorizol. Lapisan atas: xantorizol terasetilasi (tak larut air) Gambar 5 Hasil reaksi asetilasi Lapisan bawah: fraksi larut air Lapisan atas yang diduga mengandung xantorizol terasetilasi dipisahkan dari lapisan bawah dengan menggunakan corong pisah, lalu dianalisis menggunakan KLT. Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 6. xantorizol terasetilasi (Rf = 0.86) Rf = 0.54 xantorizol tak-terasetilasi (Rf = 0.56) a. standar xantorizol b. hasil asetilasi Gambar 6 KLT standar xantorizol dan fraksi xantorizol terasetilasi Fraksi xantorizol sebelum dan sesudah asetilasi juga dianalisis dengan FTIR untuk membuktikan berlangsungnya reaksi asetilasi. Hasil analisis menggunakan
18 FTIR untuk fraksi xantorizol sebelum diasetilasi ditunjukkan pada Lampiran 4a, sedangkan untuk fraksi xantorizol setelah diasetilasi ditunjukkan pada Lampiran 4b. Perbandingan spektrum FTIR sebelum dan setelah asetilasi ditunjukkan pada Gambar 7. Dari spektrum yang diperoleh, pada spektrum hasil asetilasi (warna merah) menunjukkan adanya serapan yang muncul pada bilangan gelombang 1767 cm -1 yang merepresentasikan adanya gugus asetil (Sudjadi 1983), sedangkan pada spektrum sebelum asetilasi (warna biru) tidak ditemukan adanya serapan tersebut. Selain itu, jika dilihat dari keberadaan gugus OH, pada spektrum sebelum asetilasi terdapat serapan dengan intensitas yang sangat besar pada bilangan gelombang sekitar 3500 cm -1, sedangkan pada spektrum setelah asetilasi juga ditemukan serapan tersebut namun dengan intensitas yang jauh lebih kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa reaksi asetilasi berlangsung dengan baik. Secara teoretis, reaksi asetilasi xantorizol juga dapat diduga berdasarkan efek konjugasi dan induksi dari gugus-gugus fungsi yang terlibat. Gugus asetil dari anhidrida asetat akan cenderung memilih terikat pada gugus fenol dibandingkan terikat pada cincin benzena dari struktur xantorizol. Hal ini dikarenakan efek induksi dari atom oksigen (O) yang lebih dominan dibandingkan efek konjugasi. Akibatnya energi yang dihasilkan lebih tinggi dan bilangan gelombang ikatan C=O juga bergeser ke bilangan gelombang yang lebih tinggi. Ikatan C=O pada ester normalnya memiliki bilangan gelombang sekitar 1730 cm -1, sedangkan pada spektrum FTIR setelah asetilasi yang diperoleh muncul serapan pada bilangan gelombang 1767 cm -1. Sebaliknya, kemungkinan gugus asetil terikat pada cincin benzena dapat dieliminasi, karena secara teori jika hal tersebut terjadi, maka efek konjugasi atau delokalisasi elektron π antara ikatan C=O dengan cincin bezena akan lebih dominan, sehingga menaikkan karakter ikatan rangkap dari ikatan yang menghubungkan C=O dengan cincin, dan akan menurunkan bilangan gelombang sebesar 20-30 cm -1 (Sudjadi 1983). Artinya jika hal ini terjadi, seharusnya akan muncul serapan pada bilangan gelombang sekitar 1700 cm -1.
19 setelah asetilasi gugus OH sebelum asetilasi gugus asetil (COCH3) Gambar 7 Perbandingan spektrum FTIR sebelum dan setelah asetilasi (metode Hwang) Lapisan atas (xantorizol terasetilasi sebanyak 1.0951 g) difraksinasi lebih lanjut dengan kolom kromatografi. Kondisi operasi kolom sama seperti kolom pertama, lalu hasilnya dikembangkan lagi dengan KLT (Gambar 8) untuk memperoleh fraksi tunggal xantorizol terasetilasi. Berdasarkan hasil KLT, diduga fraksi yang mengandung xantorizol terasetilasi adalah fraksi 1 dan fraksi 2. Stdr 1 3 5 7 9 11 13 Stdr 1 2 3 Gambar 8 KLT fraksi xantorizol terasetilasi hasil separasi kolom metode Hwang
20 Fraksi xantorizol terasetilasi tersebut (0.6175 g) (selanjutnya dilarutkan dalam metanol, lalu dideasetilasi dengan cara ditambahkan KOH 5%, kemudian di masukkan ke dalam resin penukar kation (Dowex C-211). Fungsinya adalah untuk memperoleh kembali xantorizol murni dengan prinsip menukarkan kembali ion asetil yang diperoleh dari hasil asetilasi dengan ion H + yang berasal dari resin. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kembali fraksi yang diduga xantorizol sebanyak 0.1608 g (0.064%). KLT fraksi dugaan xantorizol ditunjukkan pada Gambar 9. Pencirian lain yang dilakukan adalah dengan FTIR, HPLC dan LC- MS, yang masing-masing hasilnya ditunjukkan berturut-turut pada Lampiran 4c, Lampiran 5, dan Lampiran 7. Rf = 0.56 Gambar 9 KLT fraksi dugaan xantorizol metode Hwang Berdasarkan spektrum FTIR yang diperoleh, terlihat kembali serapan dengan intensitas yang cukup besar pada bilangan gelombang 3430.88 cm -1 yang menunjukkan terbentuknya kembali gugus OH dari xantorizol, dan hilangnya serapan gugus asetil pada daerah serapan sekitar 1700 cm -1. Berdasarkan kromatogram HPLC yang diperoleh, terlihat bahwa muncul satu puncak pada waktu retensi 14.817 menit dengan luas area yang cukup besar. Jika dibandingkan dengan kromatogram standar xantorizol (Lampiran 6) yang menunjukkan puncak xantorizol pada waktu retensi 14.820 menit, maka dapat diduga bahwa hasil isolasi dengan metode Hwang berhasil memperoleh senyawa xantorizol. Hal ini juga diperkuat dengan data hasil LC-MS yang juga menunjukkan adanya satu puncak dengan bobot molekul 218.03 yang merupakan bobot molekul dari xantorizol.
21 Metode Modifikasi Metode modifikasi dilakukan dengan ekstraksi pelarut, reaksi asetilasi dan KLT preparatif. Pelarut yang digunakan adalah etanol 96%. Ekstrak kasar etanol yang diperoleh dari 250 g sampel awal adalah sebanyak 18.0454 g (7.2%). Ekstrak etanol ini lebih besar daripada ekstrak kasar metanol yang diperoleh pada metode Hwang (5.8%). Hal ini karena polaritas etanol yang lebih rendah dibandingkan metanol, sehingga komponen-kompenen yang bersifat semi-polar juga ikut terekstrak. Reaksi asetilasi terhadap ekstrak etanol tersebut menghasilkan dua lapisan, sama seperti hasil asetilasi pada metode Hwang (Gambar 6). Lapisan atas yang diduga mengandung xantorizol terasetilasi dipisahkan dari lapisan bawah dengan menggunakan corong pisah, lalu dianalisis menggunakan KLT. Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 10. Hasil asetilasi dan ekstrak etanol sebelum asetilasi juga dianalisis dengan FTIR untuk membuktikan berlangsungnya reaksi asetilasi. Hasil analisis menggunakan FTIR untuk ekstrak etanol sebelum diasetilasi ditunjukkan pada Lampiran 8a, sedangkan untuk fraksi setelah diasetilasi ditunjukkan pada Lampiran 8b. Perbandingan spektrum FTIR ekstrak etanol sebelum dan setelah asetilasi ditunjukkan pada Gambar 11. Spektrum hasil asetilasi menunjukkan serapan yang muncul pada bilangan gelombang 1768 cm -1 yang merepresentasikan adanya gugus asetil (Sudjadi 1983), sedangkan pada spektrum sebelum asetilasi tidak ditemukan adanya serapan tersebut. Namun pada spektrum sebelum asetilasi terdapat serapan pada bilangan gelombang 1748 cm -1 yang menunjukkan adanya gugus karbonil. Hal ini diduga karena sebelum asetilasi, masih banyak senyawa kandungan temulawak lain yang ikut terekstraksi ke dalam etanol 96% yang digunakan sebagai pelarut, terutama senyawa-senyawa yang bersifat semipolar, seperti α-turmeron, β-turmeron, atau ar-turmeron. Rumus struktur beberapa senyawa yang mungkin terdapat dalam temulawak ditunjukkan pada Lampiran 9. Selain itu, jika dilihat dari keberadaan gugus OH, pada spektrum sebelum asetilasi terdapat serapan dengan intensitas yang sangat besar pada bilangan gelombang sekitar 3400 cm -1, sedangkan pada spektrum setelah asetilasi juga ditemukan serapan tersebut namun dengan intensitas yang jauh lebih kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa reaksi asetilasi telah berlangsung namun efisiensi reaksi belum sempurna.
22 xantorizol terasetilasi (Rf= 0.87) xantorizol tak terasetilasi (Rf= 0.47) Gambar 10 KLT fraksi xantorizol hasil asetilasi (pelarut heksana:etil asetat=10:1) setelah asetilasi sebelum asetilasi gugus OH gugus asetil (COCH3) Gambar 11 Perbandingan spektrum FTIR ekstrak etanol sebelum dan setelah asetilasi (metode modifikasi) Sebanyak 8.1152 g fraksi xantorizol hasil asetilasi difraksinasi lebih lanjut dengan KLT preparatif menggunakan eluen yang sama (heksana:etil asetat). Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 12. Terlihat bahwa pemisahan berlangsung baik, dengan hasil spot dugaan xantorizol terasetilasi (fraksi 1) dan xantorizol tak terasetilasi (fraksi 2). Setiap larik tersebut dikerok, lalu dilarutkan kembali dengan
23 heksana, kemudian diuji lagi dengan KLT analitik. Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 13. 1 xantorizol terasetilasi (Rf= 0.88) 2 xantorizol terasetilasi (Rf= 0.57) Gambar 12 KLT preparatif fraksi xantorizol hasil asetilasi metode modifikasi 1 (Rf= 0.88) 2 (Rf= 0.47) Gambar 13 KLT fraksi xantorizol 1 dan 2 hasil asetilasi metode modifikasi Fraksi 1 (xantorizol terasetilasi sebanyak 0.7456 gram) lalu dideasetilasi, (dengan cara yang sama dengan metode Hwang), sehingga menghasilkan fraksi dugaan xantorizol sebanyak 0.1155 g (0.140%). Hasil KLT-nya ditunjukkan pada Gambar 14.
24 Spot 1 (Rf= 0.52) Spot 2 (Rf= 0.39) Gambar 14 KLT fraksi dugaan xantorizol metode modifikasi Berdasarkan hasil KLT tersebut, dapat dideteksi dua spot yang muncul dibawah sinar lampu UV pada λ = 254 nm, spot pertama (Rf = 0.52) teridentifikasi sebagai xantorizol dan spot kedua (Rf = 0.39) belum dapat teridentifikasi. Pencirian lain yang dilakukan adalah dengan FTIR, HPLC, dan LC-MS, yang hasilnya ditunjukkan berturut-turut pada Lampiran 8c, Lampiran 10 dan Lampiran 11. Berdasarkan spektrum FTIR yang diperoleh, terlihat kembali serapan dengan intensitas yang cukup besar pada bilangan gelombang 3445 cm -1 yang menunjukkan terbentuknya kembali gugus OH dari xantorizol dengan intensitas yang lebih besar, namun pada daerah serapan sekitar 1700 cm -1 masih terdapat serapan dengan intensitas rendah. Hal ini menunjukkan bahwa belum semua gugus asetil terdeasetilasi kembali menjadi gugus -OH. Berdasarkan kromatogram HPLC yang diperoleh, terlihat bahwa muncul dua puncak pada waktu retensi berturut-turut 6.103 menit dan 14.817 menit. Jika dibandingkan dengan kromatogram standar xantorizol (Lampiran 5) yang menunjukkan puncak xantorizol pada waktu retensi 14.820 menit, maka dapat diduga bahwa hasil isolasi dengan modifikasi metode ini berhasil memperoleh senyawa xantorizol (puncak kedua). Hal ini juga diperkuat dengan data pada tabel hasil LC-MS (Lampiran 9) yang juga menunjukkan adanya dua puncak yang muncul, yaitu puncak pertama pada waktu retensi 2.9 menit dan puncak kedua pada waktu retensi 16.8 menit. Dapat dipastikan bahwa puncak pertama adalah xantorizol dengan BM 218.03. Puncak kedua pada waktu retensi 16.8 menit tidak terdeteksi
25 bobot molekulnya, sehingga tidak dapat diduga secara pasti jenis dan struktur senyawanya. Namun berdasarkan waktu retensi yang lebih besar dibanding waktu retensi xantorizol, dapat diduga bahwa senyawa tersebut bersifat lebih polar dibandingkan xantorizol. Rendemen yang dihasilkan dari metode modifikasi ini adalah 0.140% (b/b). Jika dibandingkan dengan rendemen verifikasi metode Hwang (2000) yang dilakukan sebagai metode pembanding pada penelitian ini (0.064%), rendemen yang diperoleh dari modifikasi metode ini dua kali lebih besar. Hal ini mungkin disebabkan oleh tahapan dalam metode ini lebih sederhana, tanpa melalui tahap kolom kromatografi yang memungkinkan kehilangan sampel cukup besar, serta asetilasi yang dilakukan terhadap ekstrak kasar sebelum pemurnian memungkinkan jumlah xantorizol yang terisolasi lebih besar. Namun dari segi kemurnian hasil masih kurang, karena masih terdapat dua puncak yang terdeteksi dari hasil KLT, kromatogram HPLC dan LC-MS, dan puncak kedua belum dapat teridentifikasi jenis dan strukturnya karena masih memerlukan pemurnian lebih lanjut, misalnya dengan KLT preparatif tahap II. Berdasarkan hasil KLT (Gambar 12), jarak antara spot 1 (Rf = 0.52) yang diduga merupakan senyawa xantorizol dengan spot 2 (Rf = 0.39) cukup jauh, sehingga masih dimungkinkan untuk dapat dipisahkan kembali dengan cara KLT preparatif. Kemurnian senyawa xantorizol yang diperoleh dari metode modifikasi adalah 99.5%, sedangkan Hwang (2000) berhasil mengisolasi xantorizol dengan kemurnian 99.9%.