BAB IV ANALISIS & HASIL PERCOBAAN IV.1 Karakterisasi Serbuk Alumina Hasil Milling Menggunakan SEM Proses milling ditujukan untuk menghaluskan serbuk sehingga diperoleh gradasi ukuran partikel yang tinggi dimana particle packing yang diperoleh akan baik dan kontak antar partikel yang luas akan meningkatkan energi permukaan per volum. Berikut gambar hasil karakterisasi serbuk menggunakan SEM. (a) (b) (c) (d) Gambar IV.1. (a) Serbuk awal sebelum di-milling; (b) Serbuk di-milling 40 jam; (c) Serbuk di-milling 80 jam; (d) Serbuk di-milling 120 jam Pada gambar IV.1 dapat dilihat serbuk alumina yang halus semakin bertambah banyak seiring waktu milling meningkat. Ukuran terkecil yang diperoleh setelah milling 120 jam ialah 200 nm (kualitatif) dengan gradasi ukuran berada diinterval 200 nm- 2µm. 28
IV.2 Hasil & Analisis Pengujian Sifat Mekanik dan Fisik Berikut hasil pengujian sifat mekanik dan fisik dari seluruh sampel disajikan dalam bentuk tabel. Tabel IV.1. Data hasil pengujian mekanik dan fisik No Sampel Kode H V10 (Kg f /mm 2 ) K IC (MPa m ½ ) E (GPa) ρ (gr/cm 3 ) 1 AL10016 1577 ± 22 2,5 ± 0,03 382 ± 8 3,93 2 AL10014 365 ± 20 1,3 ± 0,02 122 ± 6 3,76 3 AL96 1207 ± 39 4,0 ± 0,05 253 ± 9 3,74 4 AL95 1361 ± 32 3,0 ± 0,04 304 ± 14 3,78 5 AZ101 1392 ± 35 3,0 ± 0,05 318 ± 7 3,98 6 AZ102 1407 ± 44 2,2 ± 0,03 340 ± 9 3,98 7 AZ151 1273 ± 35 3,0 ± 0,07 329 ± 19 3,99 8 AZ152 1432 ± 28 3,5 ± 0,14 331 ± 11 3,98 9 AZ201 1372 ± 26 3,5 ± 0,13 327 ± 9 4,11 10 AZ202 967 ± 24 5,5 ± 0,17 214 ± 17 4,03 Sampel 1 (AL10016) dan sampel 2 (AL10014) dibuat untuk melihat perbandingan sifat mekanik yang diperoleh pada trayek sintering 1600 C/1 jam dengan trayek sintering 1400 C/3jam tanpa penambahan aditif (additive) apapun. Dapat dilihat pada tabel IV.1, sampel AL10014 mengalami penurunan sifat mekanik yang drastis pada trayek sintering 1400 C/3jam. Hal ini dikarenakan energi aktivasi (temperatur sintering) terlalu rendah sehingga proses densifikasi tidak sempurna. Pada sampel 3 hingga sampel 10, penambahan niobia sebesar 4%-berat mampu meningkatkan sifat mekanik meskipun pada trayek sintering 1400 C/3jam. Nilai sifat mekanik yang bervariasi (masih dalam interval yang dekat) dari sampel 3 hingga sampel 10 dikarenakan pengaruh dari penambahan aditif (additive) yang lainnya seperti silika, magnesia dan zirkonia. 29
IV.3 Pengaruh % Berat Zirkonia terhadap Fracture Toughness Pada penelitian ini, %-berat zirkonia yang divariasikan ialah 10%-berat, 15%- berat, dan 20%-berat. Masing-masing %-berat zirkonia dibuat dua komposisi dengan perbedaan pada penambahan silika sebesar 0,8%-berat dan tanpa penambahan silika. Pada gambar IV.2 dapat dilihat, bahwa kenaikan persen berat dari zirkonia memberikan kecenderungan peningkatan fracture toughness baik untuk zirkonia dengan penambahan silika sebesar 0,8%-berat maupun zirkonia tanpa penambahan zirkonia. Pengaruh % Berat Zirkonia thd Fracture Toughness 6 Fracture Toughness (MPa m 1/2 ) 5 4 3 2 1 0 0 5 10 15 20 25 Zirkonia+silika zirkonia % Berat Zirkonia Gambar IV.2. Pengaruh %-berat zirkonia terhadap fracture toughness Pada tabel IV.1 dapat dilihat bahwa, kekerasan rata-rata sampel yang ditambah zirkonia tanpa penambahan silika berada dibawah kekerasan rata-rata sampel yang ditambah zirkonia dan silika. Namun untuk nilai fracture toughness, seluruh sampel dengan penambahan zirkonia cenderung mengalami kenaikan tanpa mengurangi secara signifikan nilai dari kekerasannya. Hal ini menunjukkan bahwa, penambahan zirkonia memiliki kecenderungan untuk meningkatkan fracture toughness dan penambahan silika memiliki kecenderungan untuk meningkatkan kekerasan. 30
IV.4 Hubungan Fracture Toughness Terhadap Kekerasan Pada gambar IV.3 dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai kekerasan dari material maka fracture toughness cenderung menurun. Pada sampel dengan nilai kekerasan tertinggi, yaitu sampel AL10016 dengan kekerasan, H V =1577 (Kg f /mm 2 ) memiliki nilai fracture toughness yang lebih rendah dibandingkan dengan sampel yang lain yang memiliki harga kekerasan dibawah sampel AL10016. Sampel dengan fracture toughness tertinggi, yaitu sampel AZ202 dengan fracture toughness 5,5 (MPa m 1/2 ) memiliki kekerasan yang lebih rendah daripada sampel dengan kekerasan yang lebih tinggi dari sampel AZ202. Grafik Hubungan Fracture Toughness Terhadap Kekerasan Fracture Toughness (Mpa m 1/2 ) 6 5 4 3 2 1 0 0 500 1000 1500 2000 AL10016 AL10014 AL96 AL95 AZ101 AZ102 AZ151 AZ152 AZ201 AZ202 Kekerasan, Hv (Kg f /mm 2 ) Gambar IV.3. Grafik hubungan fracture toughness terhadap kekerasan Namun pada sampel AL10014 dan sampel AZ102 hubungan yang berbanding terbalik antara harga kekerasan dengan harga fracture toughness tidak berlaku. Pada sampel AL1004, hal ini dikarenakan proses sintering pada 1400 C selama 3 jam tidak mampu memberikan energi aktivasi yang cukup untuk sampel AL10014 mengalami densifikasi. Sedangkan pada sampel AZ102 hubungan yang berbanding terbalik antara harga kekerasan dengan harga fracture toughness tidak 31
berlaku, dikarenakan proses pencampuran serbuk yang tidak homogen. Pada sampel AZ101, sampel tanpa penambahan 0,8%-berat silika, sampel memiliki kekerasan dan fracture toughness yang tinggi dibandingkan dengan AZ102. Hal ini berbanding terbalik dengan komposisi sampel lain yang memiliki kecenderungan akan meningkat kekerasannya dengan penambahan silika. Penambahan zirconia seharusnya memberikan efek peningkatan fracture toughness. Hal ini juga berbanding terbalik dengan kecenderungan sampel yang lain, dimana fracture toughness akan meningkat dengan penambahan zirkonia. Proses pencampuran yang tidak homogen pada dasarnya akan mempengaruhi morfologi dari mikrostruktur. Penambahan aditif (additive) berfungsi untuk mengontrol pertumbuhan butir sehingga efek pengkasaran butir tidak dominan. Jika proses pengkasaran butir tidak dominan, maka proses reduksi permukaan bebas produk green compact akan didominasi oleh proses densifikasi. Jika proses densifikasi dominant untuk terjadi, maka kekuatan material akan meningkat. Sedangkan jika pengkasaran butir yang dominan terjadi, maka kekuatan akan menurun. Penurunan fracture toughness dikarenakan zirkonia tidak homogen pada saat pencampuran sehingga fasa metastabil tetragonal dari zirkonia yang mampu menahan retakan melalui mekanisme transformation toughening pada material tidak berperan sebagaimana mestinya. IV.5 Indeks Kegetasan Relatif (Relative Index of Brittleness) Indeks kegetasan merupakan nilai yang menunjukkan tingkat kegetasan suatu material diperoleh dari perbandingan antara kekerasan dan fracture toughness. Pada penelitian sebelumnya, indeks kegetasan menunjukkan hasil yang konsisten terhadap fakta yang ada [3]. Semakin tinggi index kegetasan relatif suatu material keramik, maka akan memiliki kecenderungan untuk bersifat lebih getas. 32
Tabel IV.2 Indeks kegetasan relatif dari seluruh sampel NO KODE H V10 (GPa) K IC (MPa m 1/2 ) H V10 /K IC 1 AL10016 15,5 2,5 6,2 2 AL10014 3,6 1,3 2,8 3 AL96 11,8 4 2,95 4 AL95 13,3 3 4,4 5 AZ101 13,6 3 4,5 6 AZ102 13,8 2,2 6,3 7 AZ151 12,5 3 4,2 8 AZ152 14,1 3,5 4 9 AZ201 13,5 3,5 3,9 10 AZ202 9,5 5,5 1,7 Pada Tabel IV.2 dapat dilihat bahwa material keramik dengan kekerasan yang tinggi namun memiliki fracture toughness yang rendah akan memiliki indeks kegetasan relatif yang tinggi. Sampel AZ102 yang memiliki kekerasan tinggi tetapi memiliki fracture toughness yang rendah akan memiliki indeks kegetasan relatif yang tinggi. Namun sampel AZ152 yang memiliki kekerasan lebih tinggi dibandingkan sampel AZ102, memiliki indeks kegetasan relatif yang lebih rendah dikarenakan memliki fracture toughness yang lebih tinggi dibandingkan sampel AZ102. Perbandingan yang optimum antara kekerasan dan fracture toughness harus dijaga agar diperoleh kemampuan balistik yang baik dari material [1]. Dalam hal ini, kajian mengenai indeks kegetasan relatif harus dilengkapi oleh data pengujian balistik setiap sampel agar kecenderungan yang terjadi dapat dipelajari lebih lanjut. IV.6 Analisis Struktur Mikro menggunakan SEM & EDS Pada gambar IV.4 dapat dilihat bahwa penambahan aditif (additive) mempengaruhi proses densifikasi dan pengkasaran butir (coarsening) yang terjadi pada setiap sampel. Pada sampel (a) alumina dengan penambahan 4 % berat niobia, terdapat butir yang mengalami pengasaran. Bentuk butir didominasi 33
dengan bentuk memanjang (elongated) dengan panjang ± 10µm. Porositas terlihat besar dibanding dengan sampel yang lain. Pada sampel (b) alumina dengan penambahan 4 % berat niobia + 0,8 % silika, butir terlihat lebih halus dibandingkan sampel yang hanya ditambah 4 % berat niobia saja. Bentuk butir didominasi dengan bentuk memanjang dengan aspect ratio yang lebih besar (kualitatif) dibandingkan dengan sampel penambahan 4 % berat niobia saja. Porositas yang terdapat pada sampel (b) pun lebih kecil bila dibandingkan dengan sampel (a). (a) ( (b) (c) Gambar IV.4. Struktur mikro (a) Sampel AL96; (b) Sampel AL95; (c) Sampel AZ152 Pada sampel (c) alumina dengan penambahan 4 % berat niobia + 0,8 % berat silika + 15 % berat zirkonia, butir yang terbentuk relatif lebih halus dibandingkan dengan sampel sebelumnya. Bentuk butir didominasi oleh butir dengan aspect 34
ratio yang kecil dibandingkan dengan sampel (a) dan sampel (b). Porositas yang terbentuk pun terlihat lebih halus atau kecil dibandingkan kedua sampel sebelumnya. Struktur mikro yang diperoleh dari setiap sampel dengan variasi penambahan jenis aditif (additive) yang berbeda, mempengaruhi sifat mekanik dan fisik yang diperoleh. Berikut sifat mekanik dan fisik dari sampel (a), sampel (b) dan sampel (c). Tabel IV.3 Data sifat mekanik dan sifat fisik sampel yang dikarakterisasi struktur mikro menggunakan SEM dan EDS Sampel Kode Hv 10 (Kg f /mm 2 ) K IC (MPa m ½ ) E (GPa) ρ (gr/cm 3 ) (a) AL96 1207 ± 39 4,0 ± 0,05 253 ± 9 3,74 (b) AL95 1361 ± 32 3,0 ± 0,04 304 ± 14 3,78 (c) AZ152 1432 ± 28 3,5 ± 0,14 331 ± 11 3,98 Pada tabel IV.3 dapat dilihat bahwa sampel (c) memiliki sifat mekanik yang paling baik dibandingkan sampel (a) dan sampel (b). Hal ini dapat dijelaskan dengan struktur mikro yang terbentuk. Pada sampel (c), butir yang terbentuk relatif halus dengan porositas yang lebih kecil. Hal ini menjelaskan bahwa penambahan aditif (additive) mampu mengontrol pertumbuhan butir sehingga efek pengasaran butir tidak terjadi secara dominan. Jika efek pengasaran tidak terjadi dengan dominan, maka dapat dipastikan bahwa proses densifikasi yang akan mendominasi proses reduksi permukaan bebas dari produk green compact. 35
IV.7 Analisis Fasa Menggunakan XRD Pada gambar IV.5 dapat dilihat bahwa puncak (peak) alumina mendominasi dari keseluruhan puncak yang muncul. Pada sampel AL95 dan sampel AL96 terdapat puncak dari niobia. Pada sampel AZ152 terdapat puncak dari niobia dan zirkonia. Pada seluruh sampel, tidak terdeteksi peak-peak dari fasa kedua (secondary phase). Pada penelitian sebelumnya, penambahan niobia akan membentuk fasa kedua AlNbO 4 dan penambahan silika pada matriks alumina akan membentuk mullite (Al 6 Si 2 O 13 ) [5]. Baik fasa kedua AlNbO 4 ataupun mullite akan berada dibatas butir, mengontrol pertumbuhan butir dan mereduksi porositas sehingga meningkatkan densitas dari proses sintering. Penambahan silika juga dapat memunculkan gelas silikat (silicate glassy phase) [6] yang berpengaruh pada proses eliminasi porositas. Gambar IV.5 Hasil XRD dari sampel (berturut-turut dari atas) AL95; AL96; AZ152 Pada gambar IV.5 puncak (peak) dari magnesia tidak muncul ataupun puncak dari fasa kedua magnesia seperti spinel (MgAl 2 O 4 ). Pada gambar diagram fasa 36
Al 2 O 3 -MgO dapat dilihat bahwa, penambahan magnesia pada alumina dalam jumlah kecil akan membentuk larutan padat (solid solution) MgAl 2 O 4 atau disebut spinel. Pada penilitian sebelumnya, alumina yang didoping 0,2-0,5%-berat magnesia akan terbentuk spinel [6]. Penambahan MgO akan menghambat pertumbuhan butir yang tidak diskontinyu (discontinuous grain growth), yaitu batas butir yang terpisah dari porositas sehingga porositas yang terpisah dari batas butir tadi akan berada didalam butir yang membesar. Gambar IV.6 Diagram fasa MgO-Al 2 O 3 Pada sampel AZ152, komposit zirconia-toughened alumina (ZTA) dapat terbentuk. Zirkonia yang terdispersi merata (gambar IV.4 (c)) memiliki fasa metastabil tetragonal. Hal ini didasarkan pada analisis puncak yang muncul pada hasil karakterisasi menggunakan XRD. Analisis didasarkan dari database Joint Committee of Powder Diffraction Standard (JCPDS) dimana puncak zirkonia yang muncul merupakan salah satu dari 93 puncak (peak) yang dimiliki zirkonia. Puncak yang muncul memiliki PDF-number 791770, 791771 dan 802155. Dari 37
database yang ada, PDF-number tersebut merupakan PDF-number dari zirkonia dengan fasa tetragonal. Hal ini merupakan penjelasan dari peningkatan fracture toughness pada sampel yang ditambah oleh zirkonia. Pada sampel AL10016 (kekerasan tertinggi), nilai fracture toughness lebih rendah dibandingkan dengan nilai fracture toughness sampel AZ152 (kekerasan tertinggi kedua) dengan penambahan zirkonia. Peningkatan fracture toughness (lihat tabel IV.1) tidak terlalu signifikan dikarenakan ukuran partikel zirkonia yang cukup besar. Pada penelitian sebelumnya, ukuran zirkonia yang seharusnya terdispersi pada matriks alumina ialah ± 0,3µm [1]. Sifat mekanik dari suatu sampel sangat dipengaruhi oleh morfologi struktur mikronya. Morfologi struktur mikro sangat dipengaruhi oleh aditif yang ditambahkan. Aditif atau aktivator ialah partikel berukuran kecil yang ditambahkan dalam konsentrasi yang rendah namun mampu secara efektif mengubah energi permukaan, mobilitas batas butir, populasi kekosongan, laju difusi, dan bahkan stabilitas suatu fasa [4]. Pada penelitian ini terdapat empat jenis aditif yang digunakan, yaitu: niobia, silika, zirkonia, dan magnesia. Pada prinsipnya, penambahan aditif ditujukan untuk meningkatkan proses densifikasi melalui mekanisme pengontrolan pertumbuhan butir dan reduksi porositas. Niobia berfungsi sebagai pengontrol pertumbuhan butir [4]. Silika memiliki fungsi sebagai spesi yang mereduksi porositas dengan membentuk silicate glassy phase [6] dan mullite yang juga berfungsi sebagai pengontrol pertumbuhan butir [5]. Zirkonia berfungsi untuk mengontrol pertumbuhan butir dan mereduksi porositas. Dari hasil struktur mikro (gambar IV.4) penambahan niobia diikuti secara berturutturut dengan penambahan silika dan zirkonia mampu memperbaiki proses densifikasi dengan ditunjukkan pada butir alumina dan porositas yang terbentuk semakin halus. Morfologi struktur mikro yang terbentuk berhubungan erat dengan sifat mekanik yang diperoleh. Semakin baik proses densifikasi yang terjadi, maka sifat mekanik akan meningkat. Hal ini terbukti dengan hasil pengujian sampel (lihat tabel IV.3). Proses densifikasi yang terjadi dengan baik akan berbanding lurus dengan peningkatan kekerasan dan modulus elastisitas. Proses densifikasi tidak berbanding lurus dengan fracture toughness. Hal ini sesuai dengan analisis 38
data sebelumnya bahwa kekerasan memiliki hubungan yang terbalik dengan fracture toughness-nya. Namun pada sampel 8 (AZ152), seiring dengan peningkatan kekerasan, fracture toughness-nya pun meningkat. Hal ini dikarenakan zirkonia yang ditambahkan mampu berkontribusi dalam peningkatan fracture toughness melalui mekanisme transformation toughening. Penambahan zirkonia yang optimum diperoleh pada komposisi sampel 8. Pada sampel 9, sifat mekanik dan indeks kegetasan relatife yang diperoleh tidak berbeda jauh dengan sifat mekanik dan indeks kegetasan relatif sampel 8. Namun dari hasil pengukuran massa jenis, sampel 9 memiliki massa jenis yang lebih besar dengan nilai 4,11 gr/cm 3 dibandingkan dengan sampel 8 yaitu 3,98 gr/cm 3. Hal ini dikarenakan penambahan zirkonia sebesar 20%-berat atau 5%-berat lebih banyak dari sampel 8. Zirkonia memiliki massa jenis ±6 gr/cm 3, merupakan satu-satunya aditif yang memiliki massa jenis diatas alumina (matriksnya). 39