1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum jumlah penyandang autis terus meningkat, namun belum ada lembaga resmi yang memiliki angka prevalensi individu autistik di Indonesia sesuai fakta lapangan dikarenakan alasan biaya, tenaga kerja, dan keengganan orang tua mengakui bahwa putra-putrinya menyandang autisme. (http://nasional.kompas.com/read/2008/06/08/1739470/ boom. autisme.terus.meningkat). Autisme berbeda dengan penyakit. Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan otak pada anak dan mempengaruhi hubungan sosial, komunikasi, minat, dan perilaku anak. Karakteristik autisme dapat ditunjukkan dari perbedaan perilaku dalam jenis kelamin, usia, prevalensi (seberapa sering perilaku muncul), onset (kapan perilaku muncul), dan tingkat keparahan (http://www.mcf.gov.bc.ca/autism/pdf/autism_handbook _web.pdf ) Keengganan orang tua mengakui bahwa anaknya menyandang autisme disebabkan oleh rasa frustasi orang tua mengingat anak mereka tidak mungkin memiliki masa kecil yang riang. Orang tua hanya akan melihat keputus-asaan, ketergantungan, dan isolasi sosial dengan adanya perbedaan yang terjadi pada perkembangan anaknya dengan anak normal lainnya (Seligman & Darling dalam Altiere & Kluge, 2009). Disamping itu, orang tua juga harus menghadapi beberapa masalah dengan anak autistik, seperti mempersiapkan mental untuk dapat menerima kenyataan bahwa
2 putra atau putri mereka menyandang autisme dan mengukur kemampuan keluarga dari segi waktu, tenaga, dan biaya dalam menjalankan program penanganan autisme. (Pamoedji,2010) Orang tua cenderung menyalahkan diri mereka karena memiliki anak autistik diakibatkan oleh perilaku mereka. Hal ini terutama dirasakan oleh ibu. Rasa bersalah pada ibu muncul karena ia merasa sebagai penyebab anak menjadi penyandang autis. Selain itu, ibu juga menganggap dirinya sebagai bagian yang paling bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan anaknya yang menyandang autisme (Gray dalam Meadan, Halle, & Ebata, 2010). Rasa bersalah tersebut menyebabkan frustasi (Gray, dalam Altiere & Kluge, 2009). Menurut Hasting dan Hering (dalam Meadan, Halle, & Ebata, 2010), meskipun beberapa penelitian tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam peran yang dimiliki ibu dan ayah, tetapi sebagian besar melaporkan bahwa stres, depresi, dan kecemasan lebih sering dihadapi oleh ibu daripada ayah. Kondisi stres, depresi, dan cemas yang dialami oleh ibu dapat menyebabkan ibu tidak dapat mengasuh anaknya dengan baik. Untuk dapat mengatasi masalah tersebut, diperlukan adanya dukungan sosial. Ibu yang merasa menerima tingkat dukungan lebih tinggi, terutama dari pasangannya dan saudaranya, melaporkan rendahnya tingkat depresi yang berhubungan dengan gejala somatik dan masalah dalam pernikahannya (Dunn, Burbine, Bowers, & Tantleff-Dunn, 2001). Dukungan sosial dapat bersifat formal dan informal. Dukungan formal didefinisikan sebagai bantuan yang bersifat sosial, psikologis, finansial, dan disediakan baik secara gratis atau imbalan untuk biaya lembaga. Sementara
3 dukungan informal adalah jaringan yang mencakup keluarga dekat, teman, tetangga, dan orang lain yang membentuk kelompok dengan keluhan yang sama (Schopler & Mesibov dalam Plumb, 2008). Sifat dukungan yang lebih banyak diterima ibu adalah dalam bentuk informal. Karena menurut Herman dan Thompson (dalam Plumb, 2011), dukungan informal lebih banyak memberi dukungan pada saat dukungan formal seperti perkumpulan orang tua, kelompok sosial, dan day care tidak tersedia. Sedikit atau banyaknya dukungan sosial yang diterima akan tergantung dari persepsi ibu atas dukungan sosial tersebut. Persepsi dukungan sosial adalah cara individu menafsirkan ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan peristiwa stres (Zimet dalam Louw & Viviers, 2010). Persepsi atas adanya dukungan sosial tidak hanya membantu ibu mengatasi stres, tetapi juga dapat membantu penerimaan ibu terhadap anaknya yang menyandang autisme (Dunn, Burbine, Bowers, & Tantleff- Dunn, 2001). Menurut Porter (1954) penerimaan adalah, perasaan dan perilaku orang tua yang dapat menerima keberadaan anak tanpa syarat, menyadari bahwa anak juga memiliki hak untuk mengekspresikan perasaannya, dan kebutuhan anak untuk menjadi individu yang mandiri. Penelitian terhadap tiga pasang orang tua anak autistik menemukan bahwa penerimaan orangtua terhadap anak autistik dipengaruhi oleh faktor dukungan dari keluarga besar, masyarakat umum, para ahli, tingkat pendidikan, kemampuan keuangan, dan lain-lain. Ginanjar (2008) mengatakan, penerimaan yang tulus dari orang tua adalah terapi yang sangat luar biasa bagi anak-anak dengan kebutuhan
4 khusus. Apabila ibu sudah dapat menerima anaknya maka proses pembelajaran dan perkembangan anak akan lebih cepat (Meadan, Halle, & Ebata, 2010). Melihat pentingnya dukungan sosial yang dipersepsikan dan penerimaan ibu terhadap anak autistik, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara dukungan sosial dengan penerimaan ibu yang memiliki anak penyandang autis. 1.2 Rumusan Masalah Masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan antara persepsi dukungan sosial dan penerimaan ibu yang memiliki anak autistik? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi dukungan sosial dan penerimaan ibu yang memiliki anak autistik. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis - Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya penelitian tentang penerimaan diri dan dukungan sosial dalam perkembangan disiplin ilmu psikologi.
5 2. Manfaat praktis - Memberikan tambahan informasi kepada ibu akan pentingnya penerimaan terhadap anak autistik dan faktor-faktor yang terkait dengan pencapaian tahap penerimaan. - Memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai pentingnya persepsi dukungan sosial agar diharapkan dapat memberikan dukungan sosial kepada keluarga yang yang memiliki anak autistik.