HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan

METODOLOGI. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. bawang putih, dan asam jawa. Masing-masing produsen bumbu rujak ada yang

METODE. Waktu dan Tempat

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pembuatan Tablet Effervescent Tepung Lidah Buaya. Tablet dibuat dalam lima formula, seperti terlihat pada Tabel 1,

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nurfahmia Azizah, 2015

5.1 Total Bakteri Probiotik

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kendal terkenal dengan sentra pertanian, salah satunya adalah

III. TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH PROPORSI TEPUNG TERIGU : PISANG TANDUK KUKUS DAN PENAMBAHAN TELUR TERHADAP KUALITAS CAKE SKRIPSI. Oleh :

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pendahuluan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

Bab IV Hasil dan Pembahasan

METODE. Waktu dan Tempat

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

TELUR ASIN PENDAHULUAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kadar Air (%) Tempe Dengan Penambahan Tepung Belut dan Variasi Konsentrasi Usar Tempe

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gemuk untuk diambil dagingnya. Sepasang ceker yang kurus dan tampak rapuh,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian,

TINJAUAN PUSTAKA. kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur

ABSTRAK. Kata kunci: Penaeus sp, stick, limbah kulit udang PENDAHULUAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kue bolu merupakan kue berbahan dasar tepung terigu dengan penambahan

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

PENENTUAN JENIS DAN KOMPOSISI PRODUK

4. PEMBAHASAN. (Depkes RI, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga

PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang,

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

BAB I PENDAHULUAN. berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh : PUJI ASTUTI A

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya adalah tempe, keju, kefir, nata, yoghurt, dan lainlain.

BAB I PENDAHULUAN. berarti bagi tubuh. Menurut Dewanti (1997) bahan-bahan pembuat es krim

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar adalah salah satu komoditas pertanian yang bergizi tinggi, berumur

FORTIFIKASI Fe ORGANIK DARI BAYAM (Amaranthus tricolor L) DALAM PEMBUATAN COOKIES UNTUK WANITA MENSTRUASI

Ulangan 1 Ulangan 2 (%)

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Es krim adalah salah satu makanan kudapan berbahan dasar susu

I. PENDAHULUAN. tidak ada sama sekali. Saat produksi ikan melimpah, belum seluruhnya

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah,

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA Nugget Ayam Menurut SNI (2002) nugget merupakan salah satu produk olahan daging

BAB I PENDAHULUAN. misalnya sebagai lauk pauk, hal ini karena rasanya yang enak dan memiliki nilai. pangan juga tidak jauh berbeda (Hadiwiyoto, 1993).

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. dapat diperoleh di pasar atau di toko-toko yang menjual bahan pangan. Abon dapat

I PENDAHULUAN. juta penduduk Indonesia (Siagian, 2003). Asupan yang cukup serta ketersediaan

I PENDAHULUAN. sehat juga semakin meningkat. Produk-produk fermentasi bisa berasal dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. tampilan dan teksturnya mirip dengan tahu yang berwarna putih bersih

III. METODE PELAKSANAAN. bulan April 2013 sampai dengan pertengahan Juni 2013.

BAB I PENDAHULUAN. Hemoglobin merupakan salah satu komponen sel darah merah yang berfungsi. pembentukan Hb yang mengakibatkan kondisi anemia.

BAB I PENDAHULUAN. ditambahkan dengan starter Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ABSTRACT ABSTRAK PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengandung 83-87,5 g air; 3,3 4,9 g protein dan; 4 7,3 g lemak. Susu kambing

Peluang Aplikasi Mikroenkapsulat Vitamin A dan Zat Besi sebagai. Chance of Microencapsulat Application of Vitamin A and Iron as

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tepung Sorghum. Tepung sorghum yang dihasilkan dianalisis sifat fisik, sifat fungsional dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

II. TINJAUAN PUSTAKA. tapioka menjadi adonan yang kemudian dibentuk menjadi bola-bola seukuran bola

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

METODE. Bahan dan Alat

BAB I PENDAHULUAN. dalam susu dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Di dalam kehidupan sehari-hari,

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2017 Februari 2017 di

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Volume Pengembangan Roti Manis

Lampiran 1 FORMULIR UJI KESUKAAN (UJI HEDONIK) 3. Netralkan indera pengecap anda dengan air putih setelah selesai mencicipi satu sampel.

PEMANFAATAN BIJI TURI SEBAGAI PENGGANTI KEDELAI DALAM BAHAN BAKU PEMBUATAN KECAP SECARA HIDROLISIS DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRAK PEPAYA DAN NANAS

BAB I PENDAHULUAN. permintaan bahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi meningkat.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan dan

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan target penempatan fortifikan yang tepat pada formula wafer krim. Percobaan pertama dimulai dengan kombinasi penghilangan satu fortifikan mineral pada formula krim. Fortifikan yang digunakan adalah mineral berupa kalsium laktat (Ca-laktat), besi laktat (Fe-laktat), seng laktat (Zn-laktat) dan vitamin yang terdiri dari vitamin A dan vitamin C. Fortifikan mineral tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan segi bahan baku yang tersedia dan diinginkan perusahaan untuk digunakan sebagai fortifikan. Formula pertama meniadakan kalsium laktat untuk mengetahui kombinasi rasa yang muncul dari besi-laktat, seng-laktat, vitamin A, dan vitamin C. Formula kedua meniadakan besi laktat untuk mengetahui kombinasi rasa kalsium-laktat, seng-laktat, vitamin A, dan vitamin C. Formula ketiga meniadakan seng laktat untuk mengetahui kombinasi rasa besi-laktat, kalsium-laktat, vitamin A, dan vitamin C. Sebagai pembanding digunakan formula keempat sebagai kontrol yang tidak menggunakan fortifikan. Hasil dari identifikasi atribut organoleptik pada percobaan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil uji organoleptik formulasi wafer krim dengan penghilangan satu fortifikan mineral Formula Wafer Krim Fortifikan Pada Krim Felaktalaktat Zn Calaktat Hasil Identifikasi Atribut Organoleptik Rasa Aroma Vit. Vit. Pahit Asam Asin C A Manis Logam Obat Amis Susu Formula 1 ++ ++ ++ - ++ - Formula 2 ++++ ++++ ++ ++++ - - Formula 3 ++++ ++++ +++ - +++ - Formula 4 - - - - - - - +++ ++++ - - - ++ Hasil percobaan pada Tabel 9 digunakan untuk menduga identifikasi awal karakter organoleptik dari fortifikan mineral. Menurut Kilcast (1999), rasa secara singkat dapat dijelaskan sebagai respon dari lidah terhadap material involatil terlarut. Respon ini dikelompokkan atas asin, manis, asam, dan pahit. Penilaian terhadap rasa dan aroma ini dilakukan secara subjektif dengan cara penilaian (scoring) disertai pemberian tanda + dari range satu sampai lima, dimana semakin banyak tanda + yang diberikan (scoring) pada kolom atribut rasa dan aroma, berarti semakin tinggi intensitas rasa dan aroma yang mucul. Berdasarkan formula 1 dan 3 saat besi-laktat ditambahkan, akan muncul rasa agak pahit disertai aroma logam yang amis. Berdasarkan formula 1 dan 2 saat seng-laktat ditambahkan, akan muncul rasa pahit berintensitas tinggi disertai aroma obat dan logam. Berdasarkan formula 2 dan 3 saat kalsium-laktat ditambahkan, akan muncul rasa pahit dan asam dengan intensitas sangat tinggi disertai aroma obat, logam, dan amis. Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa hasil identifikasi pada perubahan kombinasi fortifikan belum memberikan atribut organoleptik yang tepat sehingga perlu dilakukan percobaan lanjutan. Percobaan berikutnya adalah pembuatan wafer dengan difortifikasi satu jenis fortifikan mineral pada lempengan wafer tanpa penambahan fortifikan vitamin. Formula 1 adalah wafer krim dengan fortifikasi kalsium-laktat. Formula 2 adalah wafer krim dengan fortifikasi besilaktat. Formula 3 adalah wafer krim dengan fortifikasi seng-laktat. Formula 4 adalah wafer krim tanpa fortifikasi. Hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil organoleptik formulasi wafer yang ditambahkan fortifikan mineral pada lembaran wafer Fortifikan Formula Hasil Identifikasi Atribut Organoleptik pada Wafer Lembaran Top note Base note After taste Krim Wafer Rasa Aroma Rasa Aroma Rasa Aroma Formula 1 Kalsium Laktat asam++++ obat++++ pahit++++ obat++++ pahit++++ kapur++++ Formula 2 Besi Laktat asam++ obat+ asin++ besi++ pahit+ krim+ Formula 3 Seng Laktat asam+ obat + asin ++ besi++ pahit+ krim+ Formula 4 - manis++++ susu++++ manis++++ krim++++ manis++++ krim+++ Hasil organoleptik wafer yang difortifikasi diidentifikasi menjadi tiga bagian yaitu top note, base note, dan after taste. Top note adalah sensasi awal yang timbul cepat pada pengindera saat pangan mulai dikunyah di dalam mulut. Base note adalah sensasi yang lama tinggal saat pangan berada di dalam mulut dalam waktu agak lama setelah dikunyah dan merupakan gambaran umum rasa sebenarnya. After taste adalah sensasi yang tertinggal pada mulut dan lidah setelah pangan telah melewati mulut memasuki kerongkongan. Berdasarkan Tabel 10 diketahui hasil organoleptik masing-masing fortifikan mineral saat dimasukkan ke dalam lembaran wafer. Lembaran wafer yang menggunakan kalsium-laktat saat top note memiliki rasa asam dengan aroma obat, dan memiliki tekstur sangat renyah, saat base note memiliki rasa getir, dan memiliki after taste pahit. Lembaran wafer yang menggunakan besilaktat saat top note memiliki aroma karat dan amis, saat base note memiliki rasa besi, dan memiliki after taste netral. Lembaran wafer yang menggunakan seng-laktat saat top note memiliki rasa sedikit pahit, saat base note memiliki rasa asin, dan memiliki after taste pahit sedikit netral. Lembaran wafer kontrol saat top note memiliki rasa manis, gurih, dan renyah, saat base note memiliki rasa asin, dan memiliki after taste netral. Dari hasil ini diketahui kalsium memiliki rasa paling tidak enak dibandingkan dengan besi dan seng. Percobaan berikutnya adalah mencoba membandingkan antara penempatan fortifikan mineral pada lembaran wafer dengan di dalam krim. Hal ini untuk menentukan target akhir penempatan fortifikan pada wafer krim. Sebagai catatan vitamin tidak difortifikasi pada lembaran wafer karena pada proses pencetakan dan pemanggangan lembaran wafer di wafer oven, suhu yang diterapkan mencapai 160 o C. Hal ini bisa merusak vitamin A dan vitamin C. Formula yang diuji untuk kombinasi penempatan fortifikan pada lembaran dan krim wafer ada 4. Formula pertama, semua fortifikan mineral yaitu kalsium-laktat, besi-laktat, dan senglaktat dimasukkan ke dalam lembaran wafer sedangkan vitamin A dan C dimasukkan ke krim wafer. Formula kedua, semua fortifikan yaitu kalsium-laktat, besi-laktat, seng-laktat, vitamin A dan C dimasukkan ke dalam krim. Formula ketiga, kalsium-laktat dimasukkan ke dalam lembaran wafer, sedangkan besi-laktat, seng-laktat, vitamin A dan C dimasukkan ke dalam krim wafer. Formula keempat merupakan kontrol yang ditambahkan fortifikan vitamin A dan C. Hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan hasil organoleptik pada Tabel 11 diketahui formula yang mendekati dengan kontrol adalah formula pertama. Pada formula pertama, kedua, dan ketiga memang dijumpai rasa asam yang kuat pada top note. Namun, pada base note formula pertama, tidak dijumpai aroma logam seperti yang terdapat pada formula kedua dan ketiga. Selain itu after taste formula pertama memiliki rasa sedikit pahit. Formula ini lebih baik dibandingkan dengan formula kedua yang memiliki after taste asam dan pahit, serta formula ketiga yang memiliki after taste pahit. Oleh karena itu penempatan fortifikan yang akan digunakan pada penelitian tahap pertama adalah 36

fortifikan mineral ditempatkan di lembaran wafer sedangkan fortifikan vitamin ditempatkan di dalam krim. Tabel 11. Formulasi kombinasi penempatan fortifikan pada lembaran dan krim wafer Formula Wafer Krim Formula 1 Wafer Fe, Ca, Zn Formula 2 - Formula 3 Ca Lokasi fortifikan Krim Vit. A, Vit.C Fe, Ca, Zn, Vit. A, Vit. C Fe, Zn, Vit. A, Vit. C Formula 4 - Vit. A, Vit. C Hasil Identifikasi Atribut Organoleptik Top note Base note After taste Rasa Aroma Rasa Aroma Rasa Aroma asam++++ obat++++ asin++++ obat++++ pahit++ kapur++++ asam++++ obat+ asin++ besi++ pahit+++ krim+ pahit++ asam + asam++++ besi++ asin++ besi++ pahit+++ krim+ asam+ asam++ susu++++ manis++++ krim++++ manis++++ krim+++ manis++++ asin++ B. PENELITIAN TAHAP PERTAMA Penelitian tahap pertama adalah proses penentuan bentuk senyawa kalsium dalam wafer krim yang paling disukai dari segi organoleptik. Kalsium ditambahkan ke dalam adonan lembaran wafer bersamaan dengan seng dan besi, sedangkan vitamin A dan C ditambahkan ke dalam krim. Mineral yaitu kalsium (laktat, dikalsium fosfat, atau karbonat), besi laktat, dan seng laktat ditambahkan pada saat pengadukan air dalam bowl mixer untuk pembuatan adonan lembaran wafer. Vitamin A dan C ditambahkan ke dalam adonan krim pada saat pengadukan 15 menit terakhir dalam ball mill. Varian penelitian adalah bentuk kalsium, sedangkan fortifikan lainnya sudah ditambahkan dalam proporsi dan bentuk yang tetap. Bentuk kalsium dipilih sebagai perlakuan fortifikan karena zat gizi ini ditambahkan dalam jumlah per sajian paling banyak dibandingkan zat gizi lainnya. Berdasarkan penelitian pendahuluan, kalsium laktat diketahui memberikan kontribusi terhadap rasa asam dan pahit yang intens pada wafer krim serta sulit untuk ditutupi oleh flavor. Oleh karena itu, dalam penelitian tahap pertama ini dilakukan penetapan bentuk kalsium sebagai alternatif dari kalsium laktat yang efeknya terhadap rasa lebih mudah ditutupi flavor. Bentuk kalsium yang dipilih sebagai perlakuan untuk formulasi adalah kalsium laktat, dikalsium fosfat, dan kalsium karbonat. Urutan tingkat absorpsi kalsium tersebut dari yang tertinggi sampai terendah adalah kalsium laktat, kalsium karbonat dan dikalsium fosfat (Purac, 2003). Kalsium laktat memiliki tingkat absorpsi sebesar 35%. Kalsium karbonat memiliki tingkat absorpsi sebesar 28%. Dikalsium fosfat memiliki tingkat absorpsi 25%. Hasil pengamatan terhadap komentar subjektif pada produk yang diujikan memberi informasi bahwa bentuk kalsium berlainan menghasilkan karakteristik produk berbeda. Secara subyektif hasil karakter organoleptik produk yang menggunakan ketiga jenis kalsium dapat dilihat pada Tabel 12. Bentuk kalsium laktat menghasilkan karakteristik yaitu rasa asam, getir, dan aftertaste pahit tetapi tidak begitu kuat. Hal ini sesuai dengan Muchtadi (2008) bahwa kalsium laktat dapat memberikan sedikit rasa pahit atau rasa susu pada penambahan konsentrasi tinggi. Kalsium laktat yang digunakan untuk fortifikasi dalam penelitian ini mengandung 14% kalsium dalam senyawa kalsium laktat. Garam kalsium laktat mempunyai sifat kelarutan dalam air yang tinggi (9.3 g/l), sehingga dalam proses penambahannya ke dalam wafer, fortifikan dilarutkan terlebih dahulu ke dalam air. Penambahan kalsium laktat dalam jumlah tinggi dapat menyebabkan makin banyaknya ion- 37

ion kalsium bebas yang terdapat dalam larutan. Ion kalsium bebas tersebut mudah bereaksi dengan senyawa-senyawa lain, misalnya protein bebas, tartrat atau fosfat, membentuk senyawa yang tidak larut (Muchtadi, 2008). Tabel 12. Hasil pengamatan subyektif karakteristik produk wafer fortifikasi dengan tiga jenis sumber kalsium Formula Wafer Krim Perlakuan Fortifikan Kalsium Hasil Identifikasi Atribut Organoleptik Top note Base note After taste Rasa Aroma Rasa Aroma Rasa Aroma Tekstur Formula 1 Ca-Laktat asam+++ obat ++ pahit ++ obat++ pahit++ kapur+ renyah++++ Formula 2 Di-Ca-Fosfat asam + obat + Pahit+ obat+ asam++ kapur++ renyah++++ Formula 3 Ca-Karbonat asam++++ obat +++ pahit+++ obat+++ pahit++++ kapur+++ renyah++++ Pada umumnya, dengan meningkatnya jumlah kalsium, terutama yang tidak larut air seperti kalsium karbonat dan kalsium fosfat, cenderung untuk memberikan rasa berkapur (chalky mouthfeel) di mulut dan menyebabkan timbulnya rasa pahit pada produk yang difortifikasi (Muchtadi, 2008). Wafer yang difortifikasi dengan dikalsium fosfat memiliki tekstur yang lebih renyah, aroma obat dan rasa pahit hanya sedikit sekali teridentifikasi, serta terasa aftertaste asam tetapi dapat diterima. Menurut Muchtadi (2008), kalsium fosfat tidak memberikan flavor (bland flavour), namun dapat memberikan rasa berpasir di mulut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasa berpasir di mulut atau chalky mouthfeel tidak teridentifikasi pada wafer krim fortifikasi. Hal tersebut dikarenakan kalsium yang tidak larut air ini, dilarutkan ke dalam air dan lesitin sehingga mengalami pelarutan fisik di dalam mixer sebelum adonan wafer yang lain ditambahkan ke dalam mixer. Cara ini membuat fortifikan terdapat dalam bentuk lebih terlarut dan penyebaran dalam adonan lebih merata. Wafer krim fortifikasi kalsium karbonat merupakan produk yang memiliki karakteristik paling getir, aftertaste pahit, dan rasa asam sangat kuat. Hasil penelitian ini sesuai yang diutarakan oleh Muchtadi (2008) bahwa kalsium karbonat dapat memberikan rasa sabun atau rasa lemon. Rasa sabun yang dimaksud adalah rasa pahit sebagaimana zat yang bersifat basa diinderai oleh papil pengecap, sedangkan rasa lemon yang dimaksud adalah ada rasa asam getir yang kuat. Produk wafer krim yang difortifikasi dengan kalsium laktat, dikalsium fosfat, dan kalsium karbonat selanjutnya diuji dengan metode rating hedonik. Atribut yang dinilai pada uji organoleptik ini meliputi aroma, rasa, mouthfeel, tekstur, dan aftertaste pada bobot berimbang yaitu masing-masing 20% sehingga totalnya 100%. Hasil uji kesukaan ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil uji kesukaan perlakuan sumber kalsium pada wafer fortifikasi Level of Acceptance (LoA) keseluruhan Atribut Bobot Formula 1 Formula 2 Formula 3 Kalsium Laktat Dikalsium Fosfat Kalsium Karbonat Aroma 20% 2.60 3.30 3.10 Tekstur 20% 3.10 3.50 3.30 Mouthfeel 20% 275 3.40 3.05 Rasa keseluruhan 20% 2.95 3.40 3.15 Aftertaste 20% 2.85 3.00 2.80 Total 100% Rerata = 2.85 Rerata = 3.32 Rerata = 3.08 Skor penilaian : 1 = sangat tidak suka; 2 = tidak suka; 3 = tingkat normal; 4 = suka; dan 5 = sangat suka 38

Hasil uji kesukaan dengan metode rating hedonik menunjukkan terdapat Level of Acceptance (LoA) yang tidak sama pada tiap produk walaupun tingkat kesukaan panelis terhadap ketiga produk tidak berbeda nyata untuk semua atribut yang diujikan pada taraf signifikasi 0.05. Karakteristik produk fortifikasi dari perlakuan bentuk senyawa kalsium yang berbeda menghasilkan formula dengan LoA paling tinggi yaitu dikalsium fosfat (3.32) dibanding kalsium laktat (2.85) dan kalsium karbonat (3.08). LoA panelis diukur dengan metode rating, yaitu level 1 untuk tingkat sangat tidak suka, level 2 untuk tingkat tidak suka, level 3 untuk tingkat normal, level 4 untuk tingkat suka, dan level 5 untuk tingkat sangat suka. Nilai LoA tertinggi ini (3.32) menunjukkan tingkat penerimaan panelis didefinisikan sebagai mulai suka karena berada pada tingkat antara normal dan suka terhadap atribut produk. Berdasarkan hasil pengujian organoleptik dengan metode rating hedonik pada Tabel 12 dikalsium fosfat memiliki nilai LoA paling tinggi dan karakteristik yang lebih baik. Namun, karena nilai LoA yang diperoleh wafer krim dikalsium fosfat (3.32) belum sesuai standar LoA perusahaan tempat penelitian dilakukan (3.5), perlu dilakukan formulasi lanjutan di penelitian tahap dua agar dapat memenuhi standar. Wafer krim terpilih masih memiliki atribut aftertaste rasa asam yang harus ditutupi oleh flavor yang sesuai. Oleh karena itu, pada penelitian tahap dua dipilih perlakuan flavor untuk meningkatan nilai LoA wafer fortifikasi. C. PENELITIAN TAHAP KEDUA Berdasarkan penelitian tahap pertama, penambahan senyawa kalsium berpengaruh terhadap rasa yaitu wafer krim terpilih masih memiliki atribut aftertaste rasa asam. Pengaruh garam kalsium terhadap rasa dapat ditutupi dengan menambahkan flavor (Muchtadi, 2008). Flavor merupakan bahan tambahan untuk memberikan rasa tertentu pada produk pangan yang dihasilkan. Kegunaan flavor dalam bahan pangan antara lain untuk memberikan bau, aroma, menutupi flavor yang tidak disukai, serta menambahkan flavor yang hilang akibat pengolahan (Usman, 2005). Wafer fortifikasi dikalsium fosfat pada tahap pertama memiliki atribut aftertaste rasa asam yang harus ditutupi oleh flavor yang sesuai. Oleh karena itu, formulasi lanjutan adalah penentuan flavor yang cocok untuk menutupi aftertaste asam. Percobaan awal untuk penentuan flavor dilakukan untuk memilih karakter flavor yang sesuai dengan rasa wafer krim. Flavor yang diujikan yaitu yoghurt I, yoghurt II, lemon, jeruk, dan melon. Hasil identifikasi atribut rasa flavor dapat dilihat pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14, maka dipilihlah flavor melon dan lemon karena atribut rasa yang muncul memiliki kesesuaian dengan rasa wafer yang difortifikasi. Flavor ditambahkan pada bagian pembuatan krim karena pada proses ini tidak melibatkan suhu terlalu tinggi yang bisa mengubah atau menghilangkan fungsi flavor. Pada proses pembuatan wafer tidak diberi penambahan flavor karena melibatkan suhu tinggi yang mencapai 160 0 C. Suhu tinggi ini dikhawatirkan menghilangkan fungsi flavor sebagai pemberi rasa dan aroma. Pada penelitian ini dipilih flavor buah (fruity) yang memiliki intensitas rasa asam cukup tinggi dan menyatu dengan rasa krim ditunjukkan pada Tabel 15. Atribut yang diujikan pada penelitian tahap dua ini meliputi aroma, mouthfeel, rasa keseluruhan, dan aftertaste dengan bobot rating yang berlainan. Berbeda dengan penelitian pada tahap pertama, pada uji organoleptik kali ini tidak diujikan atribut tekstur. Hal ini dikarenakan penambahan flavor tidak memberi perubahan terhadap tekstur keseluruhan dan penilaian kesukaan panelis lebih ditekankan terhadap rasa keseluruhan yang diberi bobot terbesar yaitu 50%. Aroma dan mouthfeel diberi bobot yang sama yaitu 20% karena kedua atribut ini 39

merupakan atribut penting untuk megevaluasi peran flavor dalam produk setelah atribut rasa keseluruhan. Aftertaste hanya diberi bobot 10% karena pada flavor lemon dan melon, atribut ini tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Tabel 14. Pemilihan flavor untuk wafer krim fortifikasi No Jenis flavor Identifikasi atribut rasa Top note Base note After taste 1 Yoghurt I manis asam, manis, dominan sangat asam sensasi krim susu, rasa khas yoghurt sedikit muncul, masih ada rasa besi 2 Yoghurt II manis, ada rasa yogurt 3 Lemon asam, aroma dan rasa lemon langsung keluar 4 Jeruk (orange) muncul rasa jeruk tanpa ada aroma jeruk 5 Melon muncul aroma dan rasa melon Tabel 15. Hasil uji kesukaan flavor pada wafer fortifikasi manis, rasa dan aroma khas yogurt muncul, tetapi lama-kelamaan hanya ada rasa asam manis, asam, rasa lemon menyatu dengan krim rasa asam bertahan agak lama kemudian manis asam, rasa melon bertahan agak lama, ada aroma melon yang segar, rasa manis, menyatu dengan krim asam, ada sedikit rasa besi sedikit asam, aroma lemon masih ada asam sedikit asam Atribut Bobot Level of Acceptance (LoA) keseluruhan Lemon (F1) Melon (F2) Aroma 20% 3.75 3.65 Mouthfeel 20% 3.5 3.65 Rasa keseluruhan 50% 3.75 3.6 Aftertaste 10% 3.5 3.5 Total 100% Rerata= 3.65 Rerata= 3.61 Hasil uji kesukaan pada Tabel 15 menunjukkan produk wafer krim rasa lemon memiliki Level of Acceptance (LoA) tertinggi (3.65) untuk semua atribut yang diujikan. Sampel wafer krim melon memiliki LoA 3.61 untuk semua atribut yang diujikan. Tingkat kesukaan panelis terhadap kedua sampel tidak berbeda nyata untuk semua atribut yang diujikan. Formula dengan fortifikan terpilih yang akan diuji pada penelitian tahap ketiga ditunjukkan pada Tabel 16. Tabel 16. Fortifikan terpilih dari penelitian tahap ketiga Lokasi fortifikan Krim wafer Lembaran wafer Fortifikan Penambahan (g/ 100 g formula) Vitamin C 0.2755 Vitamin A Asetat 0.0105 Dikalsium-fosfat 4.8160 Besi-laktat 0.0910 Seng-laktat 0.0365 40

Berdasarkan hasil formulasi bertahap ini, diketahui bahwa kedua perlakuan flavor telah memenuhi standar LoA perusahaan yaitu lebih besar dari skor 3.5. Namun karena nilai LoA produk sedikit lebih tinggi, dipilihlah formula wafer krim fortifikasi rasa lemon. Formula wafer fortifikasi dengan flavor terpilih kemudian dianalisis sifat organoleptik (uji rating hedonik) dan sifat kimianya (kadar kalsium, zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C) dibandingkan dengan wafer tanpa fortifikasi. 1. Hasil Uji Organoleptik Hasil uji kesukaan yang ditunjukkan Tabel 17 menunjukkan sampel wafer krim fortifikasi memiliki LoA tertinggi lebih besar dari 3.5 yaitu sebesar 3.65 untuk semua atribut yang diujikan. Sampel wafer krim nonfortifikasi juga memiliki LoA lebih dari 3.5 yaitu sebesar 3.51 untuk semua atribut yang diujikan, tetapi tidak lebih besar dari nilai LoA wafer fortifikasi. Tingkat kesukaan panelis terhadap wafer fortifikasi dan wafer nonfortifikasi tidak berbeda nyata untuk semua atribut yang diujikan dalam taraf signifikansi 0.05. Tabel 17. Hasil uji kesukaan wafer non fortifikasi dan wafer fortifikasi Atribut Bobot LoA (Level of Acceptance) Keseluruhan Wafer non fortifikasi Wafer fortifikasi Aroma 20% 3.60 3.65 Tekstur 20% 3.65 3.55 Mouthfeel 20% 3.45 3.80 Rasa keseluruhan 20% 3.55 3.75 Aftertaste 20% 3.30 3.50 Total 100% Rerata = 3.51 Rerata = 3.65 2. Hasil Pengamatan Sifat Kimia Hasil pengamatan sifat kimia menunjukkan kadar fortifikan di dalam wafer krim fortifikasi. Kadar fortifikan yang diukur meliputi kadar kalsium, kadar zat besi, kadar seng, kadar vitamin C, dan kadar vitamin A. Kadar tersebut dibandingkan antara wafer krim non fortifikasi dan wafer krim fortifikasi. Hasil pengamatan sifat kimia wafer krim ditunjukkan pada Tabel 18, sedangkan data pemenuhan nilai Acuan Label Gizi per sajian kemasan wafer krim fortifikasi ditunjukkan pada Tabel 19. Tabel 18. Data pengamatan sifat kimia wafer krim No. Fortifikan Kadar Rerata Kadar Hasil Analisis Penambahan (g/100 g adonan) Overage (g/100 g Wafer Krim Wafer Krim adonan) non Fortifikasi Fortifikasi (%) 1 Kalsium 1.1200 0.2895 1.0238 0.22 2 Zat Besi 0.0182 0.0074 0.0268 32.09 3 Seng 0.0084 0.0044 0.0084 00.00 4 Vitamin C 0.2700 0.0000 0.1800 50.00 5 Vitamin A 0.0092 0.0000 0.0080 15.22 41

Tabel 19. Data pemenuhan nilai Acuan Label Gizi per sajian kemasan wafer krim fortifikasi Kadar pada Wafer Krim Fortifikasi Pemenuhan No. Fortifikan Acuan Label per Sajian Kemasan (%) mg/100 g Gizi (%) 1 Kalsium 0.5850 585.00 18.28 2 Zat Besi 0.0153 15.30 14.71 3 Seng 0.0048 4.80 10.00 4 Vitamin C 0.1200 120.00 33.33 5 Vitamin A 0.0053 5.30 21.54 a. Kadar Kalsium Kalsium difortifikasi dalam bentuk senyawa dikalsium fosfat pada saat pengadukan air untuk pembuatan adonan wafer di dalam mixer. Kalsium difortifikasi ke dalam wafer karena kalsium merupakan fortifikan yang stabil terhadap pemanasan. Kestabilan kalsium terhadap pemanasan mencapai suhu 600 0 C. Kalsium ditambahkan pada proses pengadukan adonan wafer karena kalsium difosfat memiliki kelarutan yang baik di dalam air dan cukup stabil terhadap panas. Panas yang ditimbulkan akibat pengolahan wafer di dalam oven mencapai suhu 180 0 C. Setelah krim didinginkan, krim langsung dioles ke dalam lembaran wafer lalu segera dikemas dalam kemasan dua layer. Wafer krim yang telah dikemas langsung dilakukan persiapan pengukuran kadar kalsium menggunakan metode AAS (Atom Absorption Spectrophotometry). Pengukuran kadar kalsium dilakukan pada wafer krim non fortifikasi maupun wafer krim fortifikasi. Wafer krim non fortifikasi merupakan wafer krim yang diolah tanpa penambahan fortifikan dan dikemas langsung dengan kemasan dua layer sebelum diuji. Pengukuran kadar kalsium pada wafer krim non fortifikasi dilakukan dengan tujuan melihat apakah pada bahan pembawa sudah terkandung kalsium. Berdasarkan hasil penelitian, besarnya kandungan kalsium yang terdapat di dalam produk wafer non fortifikasi adalah 0.2895% (Tabel 18). Hal ini menunjukkan bahwa di dalam bahan awal baik untuk pembuatan wafer krim, telah mengandung kalsium sebesar 0.2895 gram per 100 gram adonan. Bahan awal pembuat wafer maupun krim yang mengandung kalsium diantaranya adalah tepung terigu, susu bubuk full cream, dan whey bubuk. Namun jumlah ini masih belum memenuhi target pencantuman kandungan kalsium di dalam kemasan wafer krim fortifikasi. Oleh karena itu tetap diperlukan fortifikasi kalsium agar remaja yang mengkonsumsi wafer krim ini bisa memenuhi sebagian dari kebutuhan kalsium hariannya lebih banyak dibanding mengkonsumsi wafer krim biasa. Fortifikasi kalsium pada wafer krim adalah jenis penambahan zat gizi yang telah tersedia secara alami pada produk pangan tersebut karena bahan yang digunakan untuk pembuatan produk memang telah membawa fortifikan. Fortifikasi bertujuan menyediakan wafer krim sebagai sumber kalsium untuk meningkatkan status gizi remaja yang lebih baik lagi dibanding wafer krim biasa. Pada proses fortifikasi, kadar fortifikan yang ditambahkan di dalam adonan wafer krim yaitu sebesar 1.1200 gram/ 100 gram formula krim. Hasil pengukuran kadar kalsium pada wafer krim fortifikasi menunjukkan terjadinya kehilangan kalsium selama proses pengolahan sebanyak 8.59%. Data ini ditunjukkan pada Tabel 18. Kandungan kalsium pada pembuatan krim mengalami penurunan yakni ditambahkan sebanyak 1.1200 gram kalsium/ 100 gram adonan menjadi 1.0238 gram 42

kalsium/ 100 gram adonan di dalam wafer fortifikasi atau terjadi retensi kalsium sebesar 91.41% dari kadar fortifikan awal yang ditambahkan. Jumlah kadar kalsium yang mengalami penurunan dalam jumlah sedikit ini dikarenakan pada bahan awal pembuatan wafer krim telah mengandung kalsium sebanyak 0.2895 gram kalsium/ 100 gram adonan. Perhitungan overage kalsium juga dilakukan untuk melihat seberapa besar kalsium yang perlu ditambahkan untuk mengkompensasikan kehilangan akibat pengolahan. Overage dihitung berdasarkan jumlah kalsium basis basah bahan yang diambil dari data kalsium pada pengolahan krim. Data kadar kalsium yang dipakai dalam perhitungan overage kalsium adalah data pada Tabel 18. Adapun perhitungan overage kalsium adalah sebagai berikut (OMNI, 2005): Penurunan kalsium = (1.1200 1.0238) gram kalsium /100 gram adonan krim = 0.0962 gram kalsium /100 gram adonan krim % Penurunan kalsium = (0.0962/1.1200)*100% = 8.59% Sehingga, % kalsium yang masih ada setelah pengolahan (% amount remaining) = 100% 8.59% = 91.41% Jumlah kalsium yang ditambahkan seharusnya: = (100%/ % amount remaining) x jumlah target = (100/91.41) x 1.1200 mg = 1.1225 g/ 100g bahan basah Sehingga overage = 1.1225 1.1200 g / 100 g bahan basah = 0. 0025 g/100 g bahan basah % overage = (0.0025/1.1200) x 100% = 0.22% Jadi persen overage kalsium yang akan difortifikasi ke dalam wafer krim adalah sebesar 0.22%. Artinya, overage sebesar 0.22% dapat mengembalikan jumlah kalsium yang hilang selama pengolahan wafer untuk memperoleh jumlah kalsium target. Hal ini dikarenakan pada bahan awal sudah terdapat kalsium sebesar 0.2895%. Setelah perhitungan overage, seharusnya dilakukan verifikasi fortifikasi kalsium untuk melihat kesesuaian jumlah overage yang ditambahkan dengan jumlah akhir kandungan kalsium pada wafer fortifikasi. Pada penelitian ini, verifikasi tidak dilakukan karena keterbatasan fortifikan dan bahan baku. Pada produk akhir wafer krim fortifikasi terdapat kalsium sejumlah 585.00 mg/100 gram atau 0.5850% per sajian kemasan (Lampiran 2). Artinya, dalam setiap serving size wafer fortifikasi (25 gram) yang dikonsumsi akan diperoleh kalsium sebesar 146.25 mg. Jumlah ini memenuhi acuan label gizi harian remaja sebesar 18.28% (Tabel 19). Jika dibandingkan dengan data pada Tabel 2, kandungan kalsium pada wafer fortifikasi ini setara dengan 75.29% kandungan kalsium pada keju yang memiliki kalsium 777 mg/100 gram. b. Kadar Zat Besi Zat besi difortifikasi dalam bentuk senyawa zat besi laktat pada saat pengadukan air untuk pembuatan adonan wafer di dalam mixer. Zat besi difortifikasi ke dalam wafer karena zat besi merupakan fortifikan yang stabil terhadap pemanasan. Kestabilan zat besi terhadap pemanasan mencapai suhu 600 0 C. Zat besi ditambahkan pada proses pengadukan adonan wafer karena zat besi laktat memiliki kelarutan yang baik di dalam air dan cukup stabil terhadap panas. Panas yang ditimbulkan akibat pengolahan wafer di 43

dalam oven mencapai suhu 180 0 C. Setelah krim didinginkan, krim langsung dioles ke dalam lembaran wafer lalu segera dikemas dalam kemasan dua layer. Wafer krim yang telah dikemas langsung dilakukan persiapan pengukuran kadar zat besi menggunakan metode AAS (Atom Absorption Spectrophotometry). Pengukuran kadar zat besi dilakukan pada wafer krim non fortifikasi maupun wafer krim fortifikasi. Wafer krim non fortifikasi merupakan wafer krim yang diolah tanpa penambahan fortifikan dan dikemas langsung dengan kemasan dua layer sebelum diuji. Pengukuran kadar zat besi pada wafer krim non fortifikasi dilakukan dengan tujuan melihat apakah pada bahan pembawa sudah terkandung zat besi. Berdasarkan hasil penelitian, besarnya kandungan zat besi yang terdapat di dalam produk wafer non fortifikasi adalah 0.0074% (Tabel 18). Hal ini menunjukkan bahwa di dalam bahan awal baik untuk pembuatan wafer krim, telah mengandung zat besi sebesar 0.0074 gram per 100 gram adonan. Bahan awal pembuat wafer maupun krim yang mengandung zat besi diantaranya adalah tepung terigu, susu bubuk full cream, dan whey bubuk. Namun jumlah ini masih belum memenuhi target pencantuman kandungan zat besi di dalam kemasan wafer krim fortifikasi. Oleh karena itu tetap diperlukan fortifikasi zat besi agar remaja yang mengkonsumsi wafer krim ini bisa memenuhi sebagian dari kebutuhan zat besi hariannya lebih banyak dibanding mengkonsumsi wafer krim biasa. Fortifikasi zat besi pada wafer krim adalah jenis penambahan zat gizi yang telah tersedia secara alami pada produk pangan tersebut karena bahan yang digunakan untuk pembuatan produk memang telah membawa fortifikan. Fortifikasi bertujuan menyediakan wafer krim sebagai sumber zat besi untuk meningkatkan status gizi remaja yang lebih baik lagi dibanding wafer krim biasa. Pada proses fortifikasi, kadar fortifikan yang ditambahkan di dalam adonan wafer krim yaitu sebesar 0.0182 gram/ 100 gram formula krim. Hasil pengukuran kadar zat besi pada wafer krim fortifikasi menunjukkan terjadinya peningkatan zat besi selama proses pengolahan sebanyak 47.25%. Data ini ditunjukkan pada Tabel 18. Kandungan zat besi pada pembuatan krim mengalami peningkatan yakni ditambahkan sebanyak 0.0182 gram zat besi/ 100 gram adonan menjadi 0.0268 gram zat besi/ 100 gram adonan di dalam wafer fortifikasi atau terjadi retensi zat besi sebesar 147.25% dari kadar fortifikan awal yang ditambahkan. Selama proses pengolahan terjadi penambahan zat besi sebanyak 4.58% per sajian kemasan (Tabel 18). Hal ini dapat disebabkan karena kontaminan logam zat besi pada alat dan wadah untuk proses pengolahan wafer krim. Alat mengandung logam besi terlapis yang dipakai pada pembuatan wafer krim adalah bowl mixer dan wafer oven. Dari kondisi kedua alat tersebut, terlihat goresan akibat gesekan di bagian tempat diletakkannya bahan. Pada bowl mixer, goresan terjadi karena gesekan langsung antara bagian tengah dalam mangkuk logam dengan pengaduk. Pada wafer oven, goresan terjadi karena gesekan dan tekanan tinggi alat cetak kulit wafer bagian atas dan bawah yang mengapit bahan. Perhitungan overage zat besi juga dilakukan untuk melihat seberapa besar zat besi yang perlu ditambahkan untuk mengkompensasikan perubahan akibat pengolahan. Overage dihitung berdasarkan jumlah zat besi basis basah bahan yang diambil dari data zat besi pada pengolahan krim. Data kadar zat besi yang dipakai dalam perhitungan overage zat besi adalah data pada Tabel 18. Adapun perhitungan overage zat besi adalah sebagai berikut (OMNI, 2005): Peningkatan zat besi = (0.0268 0.0182) gram zat besi /100 gram adonan krim 44

= 0.0086 gram zat besi /100 gram adonan krim % Peningkatan zat besi = (0.0086/0.0182)*100% = 47.25% Sehingga, % zat besi yang ada setelah pengolahan (% amount remaining) = 100% + 47.25% = 147.25% Jumlah zat besi yang ditambahkan seharusnya: = (100%/ % amount remaining) x jumlah target = (100/147.25) x 0.0182 mg = 0.0124 g/ 100g bahan basah Sehingga overage = 0.0124 0.0182 g / 100 g bahan basah = 0. 0058 g/100 g bahan basah % overage = ( 0. 0058/0.0182) x 100% = 32.09% Jadi persen overage zat besi yang akan difortifikasi ke dalam wafer krim adalah sebesar 32.09%. Overage bernilai negatif ini menunjukkan adanya kontaminasi logam dari alat yang menambah jumlah zat besi ke dalam wafer krim. Setelah perhitungan overage, seharusnya dilakukan verifikasi fortifikasi zat besi untuk melihat kesesuaian jumlah overage yang ditambahkan dengan jumlah akhir kandungan zat besi pada wafer fortifikasi. Pada penelitian ini, verifikasi tidak dilakukan karena keterbatasan fortifikan dan bahan baku. Pada produk akhir wafer krim fortifikasi terdapat zat besi sejumlah 15.30 mg/100 gram atau 0.0153% per sajian kemasan (Lampiran 3). Artinya, dalam setiap serving size wafer fortifikasi (25 gram) yang dikonsumsi akan diperoleh zat besi sebesar 3.825 mg. Jumlah ini memenuhi acuan label gizi harian remaja sebesar 14.71% (Tabel 19). Jika dibandingkan dengan data pada Tabel 4, kandungan zat besi pada wafer fortifikasi ini setara dengan 153% kandungan zat besi pada tempe kacang kedelai murni yang memiliki zat besi 10 mg/100 gram. c. Kadar Seng Seng difortifikasi dalam bentuk senyawa seng laktat pada saat pengadukan air untuk pembuatan adonan wafer di dalam mixer. Seng difortifikasi ke dalam wafer karena seng merupakan fortifikan yang stabil terhadap pemanasan. Kestabilan seng terhadap pemanasan mencapai suhu 480 0 C. Seng ditambahkan pada proses pengadukan adonan wafer karena seng laktat memiliki kelarutan yang baik di dalam air dan cukup stabil terhadap panas. Panas yang ditimbulkan akibat pengolahan wafer di dalam oven mencapai suhu 180 0 C. Setelah krim didinginkan, krim langsung dioles ke dalam lembaran wafer lalu segera dikemas dalam kemasan dua layer. Wafer krim yang telah dikemas langsung dilakukan persiapan pengukuran kadar seng menggunakan metode AAS (Atom Absorption Spectrophotometry). Pengukuran kadar seng dilakukan pada wafer krim non fortifikasi maupun wafer krim fortifikasi. Wafer krim non fortifikasi merupakan wafer krim yang diolah tanpa penambahan fortifikan dan dikemas langsung dengan kemasan dua layer sebelum diuji. Pengukuran kadar seng pada wafer krim non fortifikasi dilakukan dengan tujuan melihat apakah pada bahan pembawa sudah terkandung seng. Berdasarkan hasil penelitian, besarnya kandungan seng yang terdapat di dalam produk wafer non fortifikasi adalah 0.0044% (Tabel 18). Hal ini menunjukkan bahwa di dalam bahan awal baik untuk pembuatan wafer krim, telah mengandung seng sebesar 0.0044 gram per 100 gram 45

adonan. Bahan awal pembuat wafer maupun krim yang mengandung seng diantaranya adalah tepung terigu, susu bubuk full cream, dan whey bubuk. Namun jumlah ini masih belum memenuhi target pencantuman kandungan seng di dalam kemasan wafer krim fortifikasi. Oleh karena itu tetap diperlukan fortifikasi seng agar remaja yang mengkonsumsi wafer krim ini bisa memenuhi sebagian dari kebutuhan seng hariannya lebih banyak dibanding mengkonsumsi wafer krim biasa. Fortifikasi seng pada wafer krim adalah jenis penambahan zat gizi yang telah tersedia secara alami pada produk pangan tersebut karena bahan yang digunakan untuk pembuatan produk memang telah membawa fortifikan. Fortifikasi bertujuan menyediakan wafer krim sebagai sumber seng untuk meningkatkan status gizi remaja yang lebih baik lagi dibanding wafer krim biasa. Pada proses fortifikasi, kadar fortifikan yang ditambahkan di dalam adonan wafer krim yaitu sebesar 0.0084 gram/ 100 gram formula krim. Hasil pengukuran kadar seng pada wafer krim fortifikasi menunjukkan terjadinya kehilangan seng selama proses pengolahan sebanyak 00.00%. Data ini ditunjukkan pada Tabel 18. Kandungan seng pada pembuatan krim tetap yakni ditambahkan sebanyak 0.0084 gram seng/ 100 gram adonan dan tetap sebanyak jumlah tersebut di dalam wafer fortifikasi atau terjadi retensi seng sebesar 100% dari kadar fortifikan awal yang ditambahkan. Jumlah kadar seng yang tetap ini dikarenakan pada bahan awal pembuatan wafer krim telah mengandung seng sebanyak 0.0044 gram seng/ 100 gram adonan. Perhitungan overage seng juga dilakukan untuk melihat seberapa besar seng yang perlu ditambahkan untuk mengkompensasikan kehilangan akibat pengolahan. Overage dihitung berdasarkan jumlah seng basis basah bahan yang diambil dari data seng pada pengolahan krim. Data kadar seng yang dipakai dalam perhitungan overage seng adalah data pada Tabel 18. Adapun perhitungan overage seng adalah sebagai berikut (OMNI, 2005): Penurunan seng = (0.0084 0. 0084) gram seng /100 gram adonan krim = 0.000 gram seng /100 gram adonan krim % Penurunan seng = (0.000/0.0084)*100% = 00.00% Sehingga, % seng yang masih ada setelah pengolahan (% amount remaining) = 100% 00.00% = 100% Jumlah seng yang ditambahkan seharusnya: = (100%/ % amount remaining) x jumlah target = (100/100) x 0.0084 mg = 0.0084 g/ 100g bahan basah Sehingga overage = 0.0084 0.0084 g / 100 g bahan basah = 0. 0000 g/100 g bahan basah % overage = (0.000/0.0084) x 100% = 0.00% Jadi persen overage seng yang akan difortifikasi ke dalam wafer krim adalah sebesar 0.00%. Artinya, overage sebesar 0.00% dapat mengembalikan jumlah seng yang hilang selama pengolahan krim untuk memperoleh jumlah seng target. Hal ini dikarenakan pada bahan awal sudah terdapat seng sebesar 0.0044%. Setelah perhitungan overage, seharusnya dilakukan verifikasi fortifikasi seng untuk melihat kesesuaian jumlah overage yang ditambahkan dengan jumlah akhir kandungan seng pada wafer fortifikasi. 46

Pada penelitian ini, verifikasi tidak dilakukan karena keterbatasan fortifikan dan bahan baku. Pada produk akhir wafer krim fortifikasi terdapat seng sejumlah 4.80 mg/100 gram atau 0.0048% per sajian kemasan (Lampiran 4). Artinya, dalam setiap serving size wafer fortifikasi (25 gram) yang dikonsumsi akan diperoleh seng sebesar 1.20 mg. Jumlah ini memenuhi acuan label gizi harian remaja sebesar 10% (Tabel 19). Jika dibandingkan dengan data pada Tabel 5, kandungan seng pada wafer fortifikasi ini setara dengan 40% kandungan seng pada hati anak sapi yang memiliki seng sebesar 12 mg/100 gram. d. Pengukuran Kadar Vitamin C Vitamin C difortifikasi dalam bentuk butiran kristal asam askorbat dengan kemurnian 98% pada saat pengadukan krim di dalam ball mill. Vitamin C difortifikasi ke dalam krim karena vitamin C merupakan fortifikan yang cepat rusak akibat pemanasan. Panas yang ditimbulkan ketika proses pembuatan krim lebih rendah dibanding pada proses pembuatan lembar wafer sehingga dipilihlah krim sebagai pembawa fortifikan vitamin C. Vitamin C ini ditambahkan pada 15 menit terakhir proses pengadukan krim untuk meminimalkan degradasi vitamin C akibat pemanasan. Panas yang ditimbulkan akibat gesekan porcelain ball dan batang pengaduk saat pengadukan ini bisa mencapai suhu 65 0 C. Untuk mencegah kehilangan vitamin C lebih banyak lagi, setelah krim didinginkan, krim langsung dioles ke dalam lembaran wafer lalu segera dikemas dalam kemasan dua layer. Wafer krim yang telah dikemas langsung dilakukan persiapan pengukuran kadar vitamin C menggunakan metode titrasi iodometri yang dimodifikasi. Metode titrasi dimodifikasi karena disesuaikan dengan kondisi barrier (pembawa) fortifikan vitamin C yang mengandung ion besi. Pembawa fortifikan dalam penelitian ini adalah wafer krim dimana vitamin C dan vitamin A difortifikasi ke dalam krim, sedangkan mineral (zat besi, seng, dan kalsium) difortifikasi ke dalam wafer. Pengukuran kadar vitamin C dengan metode titrasi iodometri dapat diinterfensi dengan adanya ion besi di dalam barrier (pembawa) sehingga kadar vitamin C yang terukur bukan kadar vitamin C sebenarnya. Berdasarkan metode modifikasi pengukuran kadar vitamin C untuk produk fortifikasi yang di dalamnya terdapat ion besi, dilakukan penambahan asam trikloroasetat. Penambahan asam ini bertujuan meminimalisasi atau menghambat interfensi dari ion besi (Fe) (Jacobs, 1984). Pengukuran kadar vitamin C dilakukan pada wafer krim non fortifikasi maupun wafer krim fortifikasi. Wafer krim non fortifikasi merupakan wafer krim yang diolah tanpa penambahan fortifikan dan dikemas langsung dengan kemasan dua layer sebelum diuji. Pengukuran kadar vitamin C pada wafer krim non fortifikasi dilakukan dengan tujuan melihat apakah pada bahan pembawa sudah terkandung vitamin C. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan titrasi iodometri modifikasi, besarnya kandungan vitamin C yang terdapat di dalam produk wafer non fortifikasi adalah 0% (Tabel 18). Hal ini menunjukkan bahwa di dalam bahan awal baik untuk pembuatan wafer maupun krim, tidak mengandung vitamin C per sajian kemasan (25 gram). Oleh karena itu, diperlukan fortifikasi vitamin C agar remaja yang mengkonsumsi wafer krim ini bisa memenuhi sebagian dari kebutuhan vitamin C hariannya. Fortifikasi vitamin C pada wafer krim adalah jenis penambahan zat gizi baru yang secara alami tidak ada pada produk pangan tersebut. Fortifikasi bertujuan menyediakan 47

wafer krim sebagai sumber vitamin C yang diperlukan oleh remaja sehingga status atau mutu gizinya bisa ditingkatkan. Pada proses fortifikasi, kandungan vitamin C awal dihitung dari kadar fortifikan yang ditambahkan di dalam adonan wafer krim yaitu sebesar 0.2700 gram/ 100 gram formula krim. Hasil pengukuran kadar vitamin C pada wafer krim fortifikasi menunjukkan terjadinya kehilangan vitamin C selama proses pengolahan sebanyak 33.33%. Data ini ditunjukkan pada Tabel 18. Kandungan vitamin C pada pembuatan krim mengalami penurunan yakni dari 0.2700 gram vitamin C/ 100 gram adonan krim menjadi 0.1800 gram vitamin C /100 gram adonan krim atau terjadi retensi vitamin C sebesar 66.67% dari kadar fortifikan awal yang ditambahkan. Adanya penurunan kadar vitamin C ini dikarenakan proses pemanasan yang membuat vitamin C mengalami degradasi. Menurut Gutterson (1972), kerusakan zat gizi selama proses panas bergantung pada dua hal. Pertama, waktu atau perlakuan suhu yang digunakan sebagai dasar proses. Kedua, laju pemindahan panas ke dalam produk sehingga pengembangan secara komersil terutama dipusatkan pada peningkatan laju pemindahan panas ke dalam produk. Perhitungan overage vitamin C juga dilakukan untuk melihat seberapa besar vitamin C yang perlu ditambahkan untuk mengkompensasikan kehilangan akibat pengolahan. Overage dihitung berdasarkan jumlah vitamin C basis basah bahan yang diambil dari data vitamin C pada pengolahan krim. Data kadar vitamin C yang dipakai dalam perhitungan overage vitamin C adalah data pada Tabel 18. Adapun perhitungan overage vitamin C adalah sebagai berikut (OMNI, 2005): Penurunan vitamin C = (0.2700 0.1800) gram vitamin C /100 gram adonan krim = 0.090 gram vitamin C /100 gram adonan krim % Penurunan vitamin C = (0.090/0.2700)*100% = 33. 33% Sehingga, % vitamin C yang masih ada setelah pengolahan (% amount remaining) = 100% 33. 33% = 66.67% Jumlah vitamin C yang ditambahkan seharusnya: = (100%/ % amount remaining) x jumlah target = (100/66.67) x 0.2700 mg = 0.4050 g/ 100g bahan basah Sehingga overage = 0.4050 0.2700 g / 100 g bahan basah = 0. 1350 g/100 g bahan basah % overage = (0.1350/0.2700) x 100% = 50% Jadi persen overage vitamin C yang akan difortifikasi ke dalam wafer krim adalah sebesar 50%. Artinya, overage sebesar 50% dapat mengembalikan jumlah vitamin C yang hilang selama pengolahan krim untuk memperoleh jumlah vitamin C target. Setelah perhitungan overage, seharusnya dilakukan verifikasi fortifikasi vitamin C untuk melihat kesesuaian jumlah overage yang ditambahkan dengan jumlah akhir kandungan vitamin C pada wafer fortifikasi. Pada penelitian ini, verifikasi tidak dilakukan karena keterbatasan fortifikan dan bahan baku. Pada produk akhir wafer krim fortifikasi terdapat vitamin C sejumlah 120 mg /100 g atau 0.12% per sajian kemasan (Lampiran 8). Artinya, dalam setiap serving size wafer fortifikasi (25 gram) yang dikonsumsi akan diperoleh vitamin C sebesar 30 mg. Jumlah ini memenuhi acuan label gizi harian remaja sebesar 33.33%. Jika dibandingkan dengan data pada Tabel 6, kandungan vitamin C pada wafer krim fortifikasi ini setara dengan 48

dua kali lipat kandungan vitamin C pada buah jeruk yang memiliki vitamin C sebesar 59 mg/100 gram. e. Kadar Vitamin A Vitamin A difortifikasi dalam bentuk butiran kristal retinil asetat pada saat pengadukan krim di dalam ball mill. Vitamin A difortifikasi ke dalam krim karena vitamin A merupakan fortifikan yang sensitif terhadap pemanasan. Panas yang ditimbulkan ketika proses pembuatan krim lebih rendah dibanding pada proses pembuatan lembar wafer sehingga dipilihlah krim sebagai pembawa fortifikan vitamin A. Vitamin A ini ditambahkan pada 15 menit terakhir proses pengadukan krim untuk meminimalkan degradasi akibat pemanasan. Panas yang ditimbulkan akibat gesekan porcelain ball dan batang pengaduk saat pengadukan ini bisa mencapai suhu 65 0 C. Untuk mencegah kehilangan vitamin A lebih banyak lagi, setelah krim didinginkan, krim langsung dioles ke dalam lembaran wafer lalu segera dikemas dalam kemasan dua layer. Wafer krim yang telah dikemas langsung dilakukan persiapan pengukuran kadar vitamin A menggunakan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Pengukuran kadar vitamin A dilakukan pada wafer krim non fortifikasi maupun wafer krim fortifikasi. Wafer krim non fortifikasi merupakan wafer krim yang diolah tanpa penambahan fortifikan dan dikemas langsung dengan kemasan dua layer sebelum diuji. Pengukuran kadar vitamin A pada wafer krim non fortifikasi dilakukan dengan tujuan melihat apakah pada bahan pembawa sudah terkandung vitamin A. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan HPLC, besarnya kandungan vitamin A yang terdapat di dalam produk wafer non fortifikasi adalah 0% (Tabel 18). Hal ini menunjukkan bahwa di dalam bahan awal baik untuk pembuatan wafer maupun krim, tidak mengandung vitamin A per sajian kemasan (25 gram). Oleh karena itu, diperlukan fortifikasi vitamin A agar remaja yang mengkonsumsi wafer krim ini bisa memenuhi sebagian dari kebutuhan vitamin A hariannya. Fortifikasi vitamin A pada wafer krim adalah jenis penambahan zat gizi baru yang secara alami tidak ada pada produk pangan tersebut. Fortifikasi bertujuan menyediakan wafer krim sebagai sumber vitamin A yang diperlukan oleh remaja sehingga status atau mutu gizinya bisa ditingkatkan. Pada proses fortifikasi, kandungan vitamin A awal dihitung dari kadar fortifikan yang ditambahkan di dalam adonan wafer krim yaitu sebesar 0.0092 gram/ 100 gram formula krim. Data ini dapat dilihat pada Tabel 18. Hasil pengukuran kadar vitamin A pada wafer krim fortifikasi menunjukkan terjadinya kehilangan vitamin A selama proses pengolahan sebanyak 13.04%. Kandungan vitamin A pada pembuatan krim mengalami penurunan yakni dari 0.0092 gram vitamin A/ 100 gram adonan krim menjadi 0.0080 gram vitamin A /100 gram adonan krim atau terjadi retensi vitamin A sebesar 86.96% dari kadar fortifikan awal yang ditambahkan. Adanya penurunan kadar vitamin A ini dikarenakan proses pemanasan yang membuat vitamin A mengalami degradasi. Perhitungan overage vitamin A juga dilakukan untuk melihat seberapa besar vitamin A yang perlu ditambahkan untuk mengkompensasikan kehilangan akibat pengolahan. Overage dihitung berdasarkan jumlah vitamin A basis basah bahan yang diambil dari data vitamin A pada pengolahan krim. Data kadar vitamin A yang dipakai dalam perhitungan overage vitamin A adalah data pada Tabel 18. Adapun perhitungan overage vitamin A adalah sebagai berikut (OMNI, 2005): 49

Penurunan vitamin A = (0.0092 0.0080) gram vitamin A /100 gram adonan krim = 0.0012 gram vitamin A /100 gram adonan krim % Penurunan vitamin A = (0.0012/0.0092)*100% = 13.04% Sehingga, % vitamin A yang masih ada setelah pengolahan (% amount remaining) = 100% 13. 04% = 86.96% Jumlah vitamin A yang ditambahkan seharusnya: = (100%/ % amount remaining) x jumlah target = (100/86.96) x 0,0092mg = 0.0106 g/ 100g bahan basah Sehingga overage = 0.0106 0.0092g / 100 g bahan basah = 0.0014 g/100 g bahan basah % overage = (0.0014/0.0092) x 100% = 15.22% Jadi persen overage vitamin A yang akan difortifikasi ke dalam wafer krim adalah sebesar 15.22%. Artinya, overage sebesar 15.22% dapat mengembalikan jumlah vitamin A yang hilang selama pengolahan krim untuk memperoleh jumlah vitamin A target. Setelah perhitungan overage, seharusnya dilakukan verifikasi fortifikasi vitamin A untuk melihat kesesuaian jumlah overage yang ditambahkan dengan jumlah akhir kandungan vitamin A pada wafer fortifikasi. Pada penelitian ini, verifikasi tidak dilakukan karena keterbatasan fortifikan dan bahan baku. Pada produk akhir wafer krim fortifikasi terdapat vitamin A sejumlah 5.30 mg/100 gram atau 5300 µg/100 gram atau 0.0053% per sajian kemasan (Lampiran 6). Artinya, dalam setiap serving size wafer fortifikasi (25 gram) yang dikonsumsi akan diperoleh vitamin A sebesar 1.325 mg. Jumlah ini memenuhi acuan label gizi harian remaja sebesar 21.54% (Tabel 19). Jika dibandingkan dengan data pada Tabel 7, kandungan vitamin A pada wafer fortifikasi ini setara dengan 40.24% kandungan vitamin A pada hati sapi yang memiliki vitamin A sebesar 13,170 µg/100 gram. D. PENELITIAN TAHAP KETIGA Setelah diperoleh wafer fortifikasi dari tahap kedua, dilakukan uji umur simpan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Test) berdasarkan kadar vitamin C dengan perlakuan dua kemasan berbeda yaitu kemasan dua layer dan kemasan tiga layer. Pemilihan vitamin C sebagai indikator umur simpan wafer krim disebabkan beberapa faktor. Vitamin C atau asam askorbat sangat sensitif terhadap pengaruh-pengaruh luar yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, konsentrasi gula dan garam, ph, oksigen, enzim, ekspos cahaya, dan katalisator logam. Harper et al., (1980) mengatakan bahwa asam dapat mempertahankan atau menghambat degradasi vitamin C selama pengolahan maupun penyimpanan, sedangkan logam tembaga mempercepat degradasi vitamin C selama pemasakan. Menurut Eddy (1941), vitamin C mudah sekali teroksidasi terutama bila zat dipanaskan dalam larutan alkali atau netral. Selain itu kehilangan vitamin C selama penyimpanan mungkin terjadi dalam jumlah besar dan sebaiknya penyimpanan dilakukan pada suhu 10 0 C atau kurang (Priestley, 1979). Kondisi penyimpanan produk pun harus diperhatikan agar dapat mencegah terjadinya susut vitamin C selama penyimpanan. Vitamin C yang bersifat sensitif terhadap panas dan oksigen, dengan mudah hilang dari produk yang disimpan pada kondisi aerob (Salunkhe, 1976). 50

Studi penyimpanan wafer fortifikasi dengan vitamin C sebagai rejected point pada penelitian ini menggunakan penurunan mutu ordo nol (zero order reaction). Hal ini dikarenakan dari data perubahan atau penurunan mutu selama penyimpanan pada berbagai suhu yang disebut di atas, model reaksi ordo nol yang paling cocok untuk menginterpretasikan penurunan mutu vitamin C terhadap waktu dimana laju reaksi tidak tergantung pada konsentrasi reaktan. Hal ini terlihat dari nilai R 2 yang baik yaitu rerata 0.99. Nilai ini dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9. Berdasarkan Hariyadi (2006), penentuan ordo reaksi dilakukan dengan melihat persamaan yang diperoleh, kemudian ditentukan nilai konstanta laju reaksi atau penurunan mutu untuk masing-masing suhu percobaan serta nilai R 2 -nya. Dengan demikian, bila digunakan tiga suhu percobaan, maka akan diperoleh nilai k pada tiga suhu yang berbeda. Nilai R 2 berguna untuk melihat kedekatan persamaan matematika dalam memprediksi nilai mutu pada waktu penyimpanan tertentu. Semakin tinggi nilai R 2, berarti model matematika yang digunakan dapat memprediksi data percobaan lebih baik. Dengan membandingkan nilai R 2, orde reaksi yang paling cocok dengan data yang diperoleh dapat ditentukan. Model yang dipilih secara umum yang memberikan R 2 tinggi. Jika nilai R 2 pada kedua ordo sama-sama tinggi, maka dapat dilakukan pertimbangan manajemen yaitu berdasarkan keyakinan perusahaan terhadap produk, misalnya dengan mempertimbangkan waktu produk terjual habis dipasaran. Umumnya, bila dipilih ordo nol maka hasil perhitungan umur simpan yang diperoleh akan lebih pendek dari model ordo satu (Hariyadi, 2006). Pada reaksi ordo pertama (1 st order reaction), laju reaksi hanya melibatkan satu komponen (monomolekuler) dan berbanding lurus dengan konsentrasi. Umumnya banyak reaksi perubahan di alam yang menggunakan model reaksi ordo pertama, misalnya inaktivasi enzim, inaktivasi mikroorganisme, dan degradasi zat gizi seperti vitamin (Hariyadi, 2006). Namun karena pada penelitian ini nilai R 2 pada ordo satu lebih rendah dibanding ordo nol, maka perhitungan umur simpan dilakukan dengan ordo nol. Perhitungan umur simpan didasarkan pada penurunan kandungan vitamin C selama penyimpanan. Vitamin C yang terdapat pada wafer krim fortifikasi yang baru dibuat adalah 0.12% per sajian kemasan (Tabel 18). Jumlah ini memenuhi kebutuhan acuan label gizi untuk umum sebesar 33.33%. Setelah itu dilakukan penyimpanan wafer fortifikasi dengan kemasan dua layer dan tiga layer di dalam chamber suhu 35 0 C, 40 0 C, dan 45 0 C. Perlakuan suhu dilakukan untuk melihat ketahanan vitamin C terhadap perubahan panas. Vitamin C pada wafer fortifikasi yang dikemas dalam kemasan dua layer pada suhu 35 0 C, 40 0 C, dan 45 0 C pada hari ke-7 mengalami penurunan berturut-turut menjadi 0.11534%, 0.11113%, dan 0.10943%. Pada hari ke-14, vitamin C kembali mengalami penurunan pada suhu 35 0 C, 40 0 C, dan 45 0 C berturut-turut menjadi 0.11075%, 0.10348%, dan 0.09800%. Pengamatan pada hari ke-21, vitamin C mengalami penurunan pada suhu 35 0 C, 40 0 C, dan 45 0 C berturut-turut menjadi 0.1047%, 0.09523%, dan 0.09065%. Pengamatan terakhir pada hari ke-28, kadar vitamin C pada wafer fortifikasi dengan kemasan dua layer ada suhu 35 0 C, 40 0 C, dan 45 0 C berturut-turut menjadi 0.09886%, 0.09072%, dan 0.08137%. Data keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 9. Plot hubungan nilai mutu wafer fortifikasi dalam hal ini rata-rata kadar vitamin C terhadap waktu penyimpanan dalam kemasan dua layer ditunjukkan dengan Gambar 8. Penurunan kadar vitamin C yang terjadi selama penyimpanan wafer fortifikasi ini disebabkan oleh suhu, oksigen, keberadaan zat besi, ph, dan kadar air. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan Muchtadi (1991), vitamin C (asam askorbat) yang difortifikasi pada makanan kering, memiliki stabilitas yang kurang baik pada daerah ph 6 hingga 8 dan tidak stabil terhadap proses pemanasan. Oksidasi vitamin ini pada ph asam maupun netral, dikatalisis oleh zat besi (Fe) dan 51