BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan dalam bidang ekonomi membawa dampak perubahan yang cukup signifikan terhadap pengelolaan suatu bisnis dan penentuan strategi bersaing. Para pelaku bisnis mulai menyadari bahwa kemampuan bersaing tidak hanya terletak pada kepemilikan aktiva berwujud, tetapi lebih pada inovasi, sistem informasi, pengelolaan organisasi dan sumber daya manusia yang dimilikinya. Oleh karena itu, organisasi bisnis semakin menitik beratkan akan pentingnya knowledge asset (aset pengetahuan) sebagai salah satu bentuk aset tidak berwujud (Agnes, 2008). Pengetahuan diakui sebagai komponen esensial bisnis dan sumber daya strategis yang lebih sustainable (berkelanjutan) untuk memperoleh dan mempertahankan competitive advantage (Asni, 2007). Bahkan Starovic et al., (2003) menemukan bahwa pengetahuan telah menjadi mesin baru dalam pengembangan suatu bisnis. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam penilaian dan pengukuran knowledge asset (aset pengetahuan) tersebut adalah intellectual capital yang telah menjadi fokus perhatian dalam berbagai bidang, baik manajemen, teknologi informasi, sosiologi, maupun akuntansi (Petty dan Guthrie, 2000). Resource based view menyatakan bahwa intellectual capital adalah sumber daya perusahaan yang memegang peranan penting, sama halnya seperti physical capital dan financial capital (Asni, 2007). Berdasarkan konteks tersebut, perusahaan perlu mengembangkan strategi untuk dapat bersaing dipasaran. Pada prinsipnya sustainable dan kapabilitas suatu 1
perusahaan didasarkan pada intellectual capital, sehingga seluruh sumber daya yang dimiliki dapat menciptakan value added (nilai tambah). Hal ini akan menghasilkan kinerja perusahaan yang efesien dan efektif sehingga dapat menghasilkan produk yang unggul yang dapat bersaing dipasaran sehingga dapat meningkatkan penjualan yang diikuti dengan meningkatnya laba perusahaan. Salah satu area yang menarik perhatian akademisi maupun praktisi adalah terkait dengan kegunaan intellectual capital sebagai salah satu untuk menentukan nilai perusahaan (Edvinsson dan Malone, 1997) dalam Ulum (2008). Pendapat tersebut selaras dengan pendapat Abidin (2000), yang menyatakan bahwa market value terjadi karena masuknya konsep modal intelektual yang merupakan faktor utama yang dapat meningkatkan nilai suatu perusahaan. Nilai perusahaan dapat tercermin dari harga yang dapat dibayar investor atas sahamnya dipasar. Semakin meningkatnya perbedaan antara harga saham dengan nilai buku aktiva yang dimiliki perusahaan menunjukkan adanya hidden value. Apabila nilai perusahaan yang dilaporkan di dalam laporan keuangan ini digunakan untuk pengambilan keputusan, maka akan menyesatkan investor. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk dapat mengidentifikasikan hidden value tersebut, yaitu intellectual capital. Berkurangnya atau bahkan hilangnya aktiva tetap dalam neraca perusahaan tidak menyebabkan hilangnya penghargaan pasar terhadap perusahaan, hal tersebut tercermin dari banyaknya perusahaan yang memiliki aktiva berwujud yang tidak signifikan dalam laporan keuangan namun penghargaan pasar atas perusahaanperusahaan tersebut sangat tinggi (Roos et al., 1997 dalam Sawarjuwono, 2003). Oleh karena itu intellectual capital telah menjadi aset yang sangat bernilai dalam dunia bisnis modern. Hal ini menimbulkan tantangan bagi para akuntan untuk
mengidentifikasi, mengukur dan mengungkapkannya dalam laporan keuangan. Akuntansi tradisional yang digunakan sebagai dasar pembuatan laporan keuangan dirasa gagal dalam memberikan informasi mengenai intellectual capital (Sawarjuwono, 2003). Di lain pihak, para pengguna laporan keuangan membutuhkan informasi kuantitatif dan kualitatif sebagai evaluasi kinerja perusahaan serta informasi mengenai intellectual capital yang dimiliki perusahaan. Praktik akuntansi tradisional hanya mampu mengakui intellectual property sebagai aset tak berwujud dalam laporan keuangan, seperti paten, merk dagang dan goodwill (Starovic et al., 2003). Intangible baru seperti kompetensi staf, hubungan pelanggan, model simulasi, sistem komputer dan administrasi tidak memperoleh pengakuan dalam model keuangan tradisional, ungkap stewart (1997) dalam Tan et al., 2007). Pengakuan terhadap modal intelektual yang merupakan penggerak nilai perusahaan dan keunggulan kompetitif makin meningkat, meskipun demikian pengukuran yang tepat atas modal intelektual masih terus dicari dan dikembangkan (Chen et al., 2005). Sulitnya mengukur intellectual capital secara langsung tersebut, kemudian Pulic (1998) mengusulkan pengukuran secara tidak langsung terhadap intellectual capital dengan suatu ukuran untuk menilai efisiensi dari nilai tambah sebagai hasil dari kemampuan intellectual capital (Value Added Intellectual Coefficient - VAIC TM ). Konsep nilai tambah adalah indikator obyektif secara keseluruhan dari kesuksesan bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menciptakan nilai dengan memasukkan investasi sumber daya termasuk gaji dan bunga untuk aset keuangan, deviden, pajak. Komponen utama dari VAIC TM yang dikembangkan Pulic (1998) tersebut dapat dilihat dari sumber daya perusahaan, yaitu physical capital (VACA value
added capital employed), human capital (VAHU value added human capital), dan structural capital (STVA structural capital value added). VAIC TM juga dikenal sebagai Value Creation Efficiency Analysis, dimana merupakan suatu indikator yang dapat digunakan dalam menghitung efisiensi nilai yang dihasilkan dari perusahaan yang didapat dengan menggabungkan CEE (Capital Employed Efficiency), HCE (Human Capital Efficiency), dan SCE (Structure Capital Effciency) (Pulic, 1998). Lebih lanjut Pulic (1998) menyatakan bahwa intellectual ability (yang kemudian disebut dengan VAIC TM ) menunjukkan bagaimana kedua sumber daya tersebut (physical capital dan intellectual potential) telah secara efisien dimanfaatkan oleh perusahaan. VAIC TM dirasakan memenuhi kebutuhan dasar ekonomi kontemporer dari sistem pengukuran yang menunjukkan nilai sebenarnya dan kinerja suatu perusahaan. Penciptaan value added pada perusahaan memungkinkan benchmarking dan memprediksi kemampuan perusahaan di masa depan. Hal ini berguna bagi semua stakeholder yang berada di dalam value creation process (pemberi kerja, karyawan, manajemen, investor, pemegang saham dan mitra bisnis) dan dapat diterapkan pada semua tingkat aktivitas bisnis (Pulic, 2000). Chen et al., (2005) menggunakan model Pulic (VAIC TM ) untuk menguji hubungan antara intellectual capital terhadap nilai pasar dan kinerja keuangan dengan sampel 4.254 perusahaan yang go public di Taiwan Stock Exchange. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa intellectual capital berpengaruh secara positif terhadap nilai pasar dan kinerja perusahaan. Zhang et al., (2006) dalam penelitiannya pada industri otomotif di Cina, menyatakan bahwa intellectual capital merupakan faktor penentu yang signifikan pada kinerja keuangan perusahaan.
Ghosh dan Mondal (2009) meneliti hubungan intellectual capital dengan kinerja keuangan perusahaan publik pada industri perangkat lunak dan farmasi di India. Ghosh dan Mondal menyatakan bahwa intellectual capital berpengaruh signifikan pada tingkat profitabilitas perusahaan dan tidak berpengaruh pada produktivitas dan valuasi pasar di India. Namun demikian, Firer dan Williams (2003) melakukan penelitian pada 75 perusahaan publik di Afrika selatan yang membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara intellectual capital dan kinerja keuangan perusahaan yang dalam hal ini adalah profitabilitas. Hal yang sama juga dibuktikan oleh Najibullah (2005) yang meneliti hubungan IC dengan kinerja pada perusahaan sektor perbankan yang listing di Dhaka Stock Exchange Bangladesh. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang kuat antara intellectual capital dengan kinerja perusahaan dan market value perusahaan. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan ternyata menunjukkan hasil yang berbeda mengenai pengaruh intellectual capital terhadap nilai pasar dan kinerja perusahaan. Perbedaan perkembangan dan penggunaan teknologi mungkin dapat mengakibatkan perbedaan dalam penggunaan intellectual capital di berbagai negara. Tingkat penggunaan intellectual capital yang berbeda menyebabkan perbedaan kinerja keuangan perusahaan dan kemampuan perusahaan dalam menciptakan nilai. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya masih memberikan hasil yang tidak konsisten. Masih adanya perbedaan dari hasil penelitian-penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya tersebut membuat penelitian mengenai hubungan intellectual capital dengan kinerja perusahaan masih menarik untuk diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha
meneliti pengaruh intellectual capital terhadap kinerja perusahaan dengan menggunakan data dari perusahaan industri barang konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris pengaruh antara intellectual capital diukur dengan VAIC TM yang dikembangkan oleh Pulic (1998) terhadap kinerja perusahaan industri barang konsumsi di Indonesia. Mengacu pada penelitian Ghosh dan Mondal (2009), indikator kinerja perusahaan yang digunakan adalah Return on Asset (ROA), Asset Turnover Ratio (ATO), dan Market to Book Value Ratio (MBR). ROA merupakan ukuran profitabilitas sedangkan ATO merupakan ukuran produktivitas, dan MBR merupakan ukuran valuasi pasar. Profitabilitas mengukur kinerja laba peruahaan, produktivitas mengukur efisiensi perusahaan dalam menggunakan asetnya untuk menghasilkan output, sedangkan valuasi pasar mengukur nilai pasar perusahaan. Metode Pulic dipakai dalam mengukur intellectual capital karena seluruh informasi tersedia di laporan keuangan. Tabel 1.1 Tabel Pertumbuhan Perusahaan Industri Barang Konsumsi Tahun 2007-2010 (dlm jutaan rupiah) 2007 2008 2009 2010 Total Penjualan 113,718,575 140,104,668 151,139,484 166,607,204 Laba Bersih 8,983,202 10,753,572 15,473,997 20,443,731 Total Beban 18,672,133 22,717,074 25,334,169 28,369,077 Harga Saham 155,987 120,378 300,652 482,306 Sumber: www.idx.co.id (data diolah, 2012) Sales growth ratio atau rasio pertumbuhan penjualan yang mengukur seberapa baik perusahaan mempertahankan posisi ekonominya, baik dalam industrinya maupun dalam kegiatan ekonomi secara keseluruhan (Weston & Copeland, 1992). Pertumbuhan penjualan menunjukkan kemampuan perusahaan untuk dapat bertahan dalam kondisi persaingan. Pertumbuhan penjualan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kenaikan biaya akan mengakibatkan kenaikan laba perusahaan. Jumlah laba yang diperoleh secara teratur serta kecenderungan atau trend keuntungan yang meningkat merupakan suatu faktor yang sangat menentukan perusahaan untuk tetap survive. Sementara perusahaan dengan rasio pertumbuhan penjualan negatif berpotensi besar mengalami penurunan laba sehingga apabila manajemen tidak segera mengambil tindakan perbaikan, perusahaan dimungkinkan tidak akan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Peningkatan pangsa pasar harus sejalan dengan strategi pemasaran yang tepat dan perusahaan selalu melakukan inovasi, hal ini bermakna bahwa dengan strategi yang tepat dapat meningkatkan pertumbuhan penjualan melalui pengembangan produk yang diminati konsumen. Industri barang konsumsi dipilih karena industri barang-barang konsumsi (consumer goods) mempunyai peranan yang sangat strategis dalam upaya mensejahterakan kehidupan masyarakat dimana produknya sangat diperlukan untuk kebutuhan sehari-hari. Selama ini pertumbuhan sektor konsumsi merupakan sektor pendukung pertumbuhan ekonomi karena sektor ini berkembang cukup pesat bahkan ketika krisis moneter terjadi sektor ini merupakan salah satu penyelamat ekonomi nasional. Keunggulan industri barang konsumsi adalah tingkat permintaan yang inelastic, dengan kata lain barang konsumsi kebutuhan pokok tetap dibutuhkan masyarakat, walaupun harganya naik. Perusahaan yang tergabung ke dalam industri barang konsumsi memiliki tingkat persaingan yang tinggi, sehingga menuntut kinerja perusahaan yang selalu prima agar unggul dalam persaingan. Kondisi ini turut mempengaruhi pergerakan harga saham emiten dalam sektor barang konsumsi, ketertarikan investor terhadap saham perusahaan tersebut tercermin dari fluktuasi sahamnya di BEI. Dalam
menyingkapi hal tersebut, pilihan yang lebih baik adalah saham yang tetap berkembang selama krisis. Indonesia dipilih menjadi negara pnegambilan sampel karena penelitian di Indonesia masih sedikit terutama penelitian intellectual capital pada perusahaan industri barang konsumsi. Dalam penelitian Gan dan Saleh (2008), disarankan untuk menambahkan variabel kontrol pada penelitian selanjutnya yang sejenis. Tujuan disertakannya variabel ukuran perusahaan dan leverage perusahan sebagai variabel kontrol adalah untuk mengendalikan agar hubungan yang terjadi pada variabel terikat tersebut murni dipengaruhi oleh variabel bebas bukan faktor-faktor lain. Industri barang konsumsi adalah industri besar yang memiliki tingkat persaingan yang tinggi. Oleh karena ukuran perusahaan di indutsri barang konsumsi ini berbeda-beda maka tingkat penggunaan leveragenya juga berbeda-beda sesuai dengan karakter spesifik aset perusahaan. Leverage perusahaan dalam penelitian ini dilihat dari seberapa jauh aktiva perusahaan dibiayai oleh hutang, dan ukuran perusahaan dalam penelitian ini dilihat dari total asetnya. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis mengambil judul PENGARUH INTELLECTUAL CAPITAL TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN INDUSTRI BARANG KONSUMSI DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2007-2010. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang dikemukakan di atas, maka masalah penelitian ini selanjutnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah Intellectual Capital, Ukuran Perusahaan, Leverage berpengaruh secara positif terhadap profitabilitas (Return on Asset) perusahaan industri barang konsumsi? 2. Apakah Intellectual Capital, Ukuran Perusahaan, Leverage berpengaruh secara positif terhadap produktivitas (Asset Turnover Ratio) perusahaan industri barang konsumsi? 3. Apakah Intellectual Capital, Ukuran Perusahaan, Leverage berpengaruh secara positif terhadap valuasi pasar (Market to Book Value Ratio) perusahaan industri barang konsumsi? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memberikan bukti empiris mengenai apakah Intellectual Capital, Ukuran Perusahaan, Leverage berpengaruh secara positif terhadap profitabilitas (Return on Asset) perusahaan industri barang konsumsi. 2. Memberikan bukti empiris mengenai apakah Intellectual Capital, Ukuran Perusahaan, Leverage berpengaruh secara positif terhadap produktivitas (Asset Turnover Ratio) perusahaan industri barang konsumsi. 3. Memberikan bukti empiris mengenai apakah Intellectual Capital, Ukuran Perusahaan, Leverage berpengaruh secara positif terhadap penilaian pasar (Market to Book Value Ratio) perusahaan industri barang konsumsi. 1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat bagi banyak pihak, baik pemegang saham, (calon) investor, regulator, manajer, maupun akademisi. 1. Bagi akademisi, penelitian ini dapat memberikan manfaat teoritis dalam pengembangan literatur keuangan, terutama dalam kajian modal intelektual yang saat ini masih mencari model serta format pengukuran yang tepat. 2. Bagi investor dan calon investor, penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam menilai kinerja intellectual capital perusahaan sektor industri barang konsumsi yang selanjutnya dapat digunakan untuk menilai competitive advantage (keunggulan bersaing) perusahaan sehubungan dengan keputusan investasi mereka. 3. Bagi manajer perusahaan, penelitian ini diharapkan menjadi tambahan informasi pada penelitian kinerja organisasi bisnis serta dalam pengelolaan modal intelektual perusahaan untuk dapat menciptakan nilai bagi perusahaan (firm s value creation).