BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Material yang diubah ke dalam skala nanometer tidak hanya meningkatkan sifat alaminya, tetapi juga memunculkan sifat baru (Wang et al., 2009). Nanofiber yang memiliki diameter dalam skala nanometer memiliki karakteristik unik yang menjadikannya ideal untuk diaplikasikan ke berbagai bidang. Lebih jelasnya, karakteristik unik tersebut antara lain: aspek rasio yang tinggi, rasio luas permukaan terhadap volume (Nirmala et al., 2010), stabilitas termal dan kimia (Komárek et al., 2013), resistansi ohm yang rendah (Wu et al., 2010), porositas yang tinggi dengan pori-pori yang sangat kecil (Gibson et al., 2001), serta performa mekanik yang meningkat (Khansari et al., 2013), sehingga sangat ideal diaplikasikan sebagai media penyaring, sel substrat biomaterial, media pengiriman obat ke target, dan lain-lain (Collins et al., 2012; Cramariuc et al., 2013; Wang et al., 2009). Elektrospining adalah teknik fabrikasi fiber yang dapat menghasilkan fiber dengan skala diameter submikron hingga nanometer. Fiber dapat dihasilkan dengan beragam teknik selain elektrospining antara lain: drawing, template synthesis, dan lain-lain. Teknik-teknik tersebut jika dibandingkan dengan elektrospining memiliki kelemahan dalam hal kontrol diameter fiber, proses yang kompleks dan diskontinu, serta terbatas hanya pada polimer tertentu (Ramakrishna et al., 2005), sehingga elektrospining menjadi teknik yang paling mudah dan sangat efisien untuk menghasilkan fiber yang kontinu dengan ukuran tertentu. Fabrikasi fiber dengan metode elektrospining, dalam beberapa tahun ini lebih memfokuskan pada produksi fiber dengan kualitas yang sangat baik, dimana diameternya turun dari orde submikron menuju nanometer. Perubahan parameter elektrospining, antara lain: voltase yang digunakan, jarak antara jarum dengan kolektor, diameter jarum, dan laju aliran, adalah cara yang efektif untuk 1
2 mengontrol ukuran diameter fiber, namun parameter-parameter elektrospining tersebut bergantung pada properti polimer yang digunakan. Tidak semua polimer dapat diproses menjadi fiber dengan metode elektrospining, dan hanya beberapa fiber yang dapat diaplikasikan pada kondisi tertentu, karena memiliki parameter yang dibutuhkan (Homayoni et al., 2009). Kitosan adalah salah satu polimer alami yang memiliki karakteristik yang sangat berguna, antara lain: biokompatibilitas, biodegradabel, antimikroba, kemampuan dalam menyembuhkan luka, dan lain-lain (Geng et al., 2005). Kitosan terbukti sangat menantang untuk dielektrospining karena sifat molekulnya yang tidak larut dalam air, namun larut dalam pelarut asam karena adanya grup amino yang terprotonasi pada ph di bawah 6 (Jin et al., 2004). Geng et al (2005) melaporkan efek konsentrasi asam asetat terhadap tegangan permukaan, viskositas, serta densitas total muatan. Kenaikan konsentrasi asam asetat dapat menurunkan tegangan permukaan, menaikkan densitas total muatan, serta menaikkan viskositas walaupun tidak begitu signifikan. Kenaikan densitas total muatan pada larutan kitosan mengakibatkan semakin banyaknya gaya tolakan antar ion-ion sehingga memungkinkan terbentuknya fiber saat proses elektrospining (Geng et al., 2005). Sulitnya mengontrol parameter-parameter larutan kitosan agar dapat dielektrospining mendorong penelitian mengarah pada parameter fisik kelarutan kitosan, yakni : efek ph, kekuatan ionik, derajat deasetilasi (DDA), berat molekul (Min et al., 2004; Cho et al., 2006; Qun and Ajun, 2006; Ziani et al., 2011; Calero et al., 2010), dan properti reologi kitosan (Klossner et al., 2008; Kong dan Zielger, 2012). Vrieze et al (2007) memvariasi pelarut dan parameter elektrospining yang memungkinkan kitosan untuk dapat dielektrospining. Nanofiber kitosan (Mw = 1,9-3,1 x 10 5 g/mol ) dengan diameter 70 ± 45 nm berhasil dibuat dari pelarut asam asetat kuat dengan konsentrasi 90% pada 3 wt% kitosan dengan voltase 2.0 kv cm 1 dan flow rate 0.3 ml h 1. Penurunan konsentrasi asam asetat yang digunakan dari 90% ke 10% mengakibatkan kenaikan tegangan permukaan, diantara konsentrasi tersebut, asam asetat 90% adalah konsentrasi yang paling tepat untuk menghasilkan fiber (Geng et al., 2005; Homayoni et al., 2009). Pada
3 proses elektrospining tegangan permukaan menentukan besarnya medan listrik, semakin tinggi tegangan permukaan maka akan semakin besar medan listrik yang dibutuhkan. Pancaran likuida, sebagai awal terbentuknya fiber, terjadi karena adanya keseimbangan antara gaya listrik dengan gaya tegangan permukaan larutan, namun ketika tegangan permukaan larutan polimer memiliki korelasi linier dengan voltase kritis maka yang menentukan adalah besarnya konduktivitas listrik larutan (Kilic et al., 2008). Penambahan garam pada larutan secara umum digunakan untuk memodifikasi konduktivitas suatu larutan. Zhang et al (2005) memaparkan bahwa penambahan 0,05 gram NaCl kedalam larutan poly(vinyl alcohol) (PVA) 8 wt% mengakibatkan kenaikan konduktivitas yang sangat signifikan. Modifikasi konduktivitas dengan penambahan garam berupa NaCl kedalam larutan polimer juga mengakibatkan berkurangnya diameter fiber yang terbentuk dari proses elektrospining (Matabola and Moutloali., 2013; Rogina., 2014; Son et al., 2004; Yu et al., 2012; Zhang et al., 2005). Zong et al (2002) mempelajari efek penambahan garam KH 2 PO 4, NaH 2 PO 4, dan NaCl 1% w/v pada PDLLA (Poly (D,L-lactic acid)). Fiber yang dihasilkan dari proses elektrospining menunjukkan morfologi yang halus, tidak ada beads, dan memiliki ukuran diameter yang lebih kecil bila dibandingkan dengan larutan yang tidak mengandung garam. Fiber yang dihasilkan dari penambahan NaCl memiliki ukuran diameter yang lebih kecil dibandingkan dengan KH 2 PO 4. Ukuran ion memberikan efek terhadap ukuran diameter fiber yang dihasilkan. Ion dengan radius yang lebih kecil memiliki densitas muatan yang lebih tinggi sehingga berpengaruh pada pemanjangan fiber pada proses elektrospining (Pillay et al., 2013). Penambahan garam pada kitosan berperan sebagai penyetabil larutan, karena larutan kitosan yang disimpan dalam beberapa hari akan mengalami penurunan viskositas. Kondisi tersebut dikarenakan ion-ion garam mencegah terbentuknya polielektrolit dengan cara menyekat gaya tolak-menolak antar muatan yang terdapat pada rantai polimer. Klossner et al (2008) melaporkan bahwa larutan kitosan yang di dalamnya terkandung 1,25 wt% NaCl masih dapat
4 terbentuk fiber ketika dielektrospining setelah satu hari penyimpanan, dibandingkan dengan larutan kitosan tanpa NaCl (Klossner et al., 2008). Kitosan yang dilarutkan dalam asam akan terbentuk polielektrolit dan ketika ditambahkan garam perilaku polielektrolit tersebut akan berubah. Pada penambahan konsentrasi garam yang rendah rantai kitosan akan lebih terurai dan tersebar karena gaya tolakan antar muatan polielektrolit, sedangkan pada konsentrasi garam yang tinggi muatan-muatan pada rantai kitosan akan menghilang kemudian rantai kitosan akan menggulung (Martinová dan Lubasová, 2008). PVA bersifat tidak beracun, larut dalam air, biokompatibel, dapat terurai secara biologi, sehingga PVA sering digunakan sebagai matriks bagi polimer lain yang sulit untuk dielektrospining. Ohkawa et al (2006) memilih PVA untuk dicampurkan pada kitosan karena pada PVA dapat berinteraksi secara kuat dengan kitosan melalui ikatan hidrogen pada molekulnya (Ohkawa et al., 2006). Efek penambahan garam pada campuran PVA/kitosan terhadap perubahan terhadap perubahan morfologi fiber belum banyak dilaporkan, sehingga adanya penelitian ini memberikan informasi tambahan mengenai fiber yang dihasilkan dari larutan PVA/kitosan dengan NaCl. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalah yang ingin dibahas dalam laporan ini adalah : 1. Bagaimana efek penambahan NaCl terhadap besaran fisis (konduktivitas, tegangan permukaan, dan viskositas) larutan kitosan/pva?. 2. Bagaimana struktur morfologi fiber yang dihasilkan dari larutan kitosan/pva dengan penambahan berbagai variasi konsentrasi NaCl?. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Menentukan pengaruh penambahan NaCl terhadap perubahan besaran fisis larutan (viskositas, tegangan permukaan, dan konduktivitas).
5 2. Menentukan pengaruh penambahan NaCl terhadap perubahan struktur morfologi fiber PVA/kitosan yang dikarakterisasi dengan menggunakan scanning electron microscopy (SEM). 1.4 Batasan Masalah Batasan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Tidak dilakukan variasi rasio massa PVA/kitosan di atas 8:2. 2. Tidak digunakan pelarut lain pada PVA/kitosan selain asam asetat 1% 3. Tidak digunakan parameter tegangan dan jarak ujung jarum ke kolektor pada proses elektrospining selain 15 kv dan 14 cm. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh penambahan garam terhadap morfologi fiber, sehingga dapat dijadikan referensi pada modifikasi morfologi fiber terhadap penambahan NaCl, serta dapat menggali potensi aplikasi yang dapat dikembangkan dari nanofiber PVA/kitosan.