BAB. IV. Simulasi Analisis Marka Mikrosatelit Untuk Penduga Heterosis Pada Populasi Inbrida

dokumen-dokumen yang mirip
BAB. I PENDAHULUAN. Latar Belakang

Oleh MARCIA BUNGA PABENDON

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Oleh MARCIA BUNGA PABENDON

Karakterisasi Kemiripan Genetik Koleksi Inbrida Jagung Berdasarkan Marka Mikrosatelit

I. PEMBAHASAN. Hasil Uji Kuantitatif dan Kualitatif DNA. menggunakan teknik elektroforesis gel agarosa konsentrasi 1% pada tangki berisi

( 2 ) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada setiap generasi silang balik dan

Salah satu kesulitan dalam pembentukan kultivar

PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditas

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

Wereng batang coklat (WBC)

BAB. III ABSTRAK. Kata kunci: jagung pulut, keragaman genetik, Simple Sequence Repeats (SSRs), korelasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB. I PENDAHULUAN. Latar Belakang

Keragaman Genetik Inbrida Jagung QPM dan Normal Berbasis Marka Mikrosatelit dan Hubungannya dengan Penampilan Hibrida

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara mega biodiversitas karena memiliki

Nurul Qalby *, Juhriah a, A. Masniawati a, Sri Suhadiyah a. Universitas Hasanuddin, Makassar

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK MUTAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) HASIL PERLAKUAN MUTAGEN KOLKISIN BERDASARKAN PENANDA MOLEKULER RAPD

homozigot lebih banyak didapatkan pada tanaman BC2F2 persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 dan Batur x NIL-C443 dibandingkan dengan Situ Bagendit x

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

Penelitian III: Seleksi dan Uji Daya Gabung Galur-Galur Hasil Introgresi Gen Resesif Mutan o2 untuk Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung

TINJAUAN PUSTAKA Varietas Jagung Hibrida

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri.

Rizki Eka Putri Innaka Ageng R /Puji Lestari Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian UMY ABSTRACT

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR

Elektroforesis Hasil Amplifikasi Analisis Segregasi Marka SSR Amplifikasi DNA Kelapa Sawit dengan Primer Mikrosatelit HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Selain sebagai bahan pangan, akhir-akhir ini jagung juga digunakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Penanda Morfologi

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)

I. PENDAHULUAN. protein yang mencapai 35-38% (hampir setara protein susu sapi). Selain

DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

BAB I PENDAHULUAN. Mangga merupakan salah satu buah tropis unggulan. Luas panen dan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

ISOLASI DNA DAN AMPLIFIKASI, (PCR) GENOM DNA KOPI (Coffea Sp ) MELALUI PROSES ELEKTROFORESIS GEL POLIAKRILAMID

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara

METODE PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI

BAB VII PEMBAHASAN UMUM

Karakterisasi keragaman genetik koleksi plasma

I. PENDAHULUAN. Kedelai termasuk salah satu komoditas yang dibutuhkan, karena protein yang

I. PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Hingga saat ini jati masih menjadi komoditas mewah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama

Dalam genetika kuantitatif telah dijelaskan

KEANEKARAGAMAN 36 GENOTIPE CABAI (Capsicum SPP.) KOLEKSI BAGIAN GENETIKA DAN PEMULIAAN TANAMAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan

SKRIPSI. ANALISIS POPULASI GENETIK PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack) BERDASARKAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil

SUMBERDAYA GENETIK. 2 Highlight Balitsereal Plasma Nutfah P

STUDI KEKERABATAN KULTIVAR KAMBOJA (Plumeria sp.) DENGAN TEKNIK RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD)

HASIL DAN PEMBAHASAN. (a)

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat

Korelasi Jarak Genetik Berbasis Marka Mikrosatelit Inbrida Jagung dengan Bobot Biji F1

ANALISIS KERAGAMAN DNA TANAMAN DURIAN SUKUN (Durio zibethinus Murr.) BERDASARKAN PENANDA RAPD

Cindy Yohana Siga 1, Juhriah 2, A. Masniawati 2, Muhtadin Asnady S. 2

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAHAN DAN METODE. Adapun lokasi penelitian ini dilaksanakan ialah : 1. Kambing Kacang di desa Paya Bakung, desa Hamparan Perak dan desa

BAB. V. Introgresi Gen Resesif Mutan opaque-2 ke dalam Galur Jagung Pulut (waxy corn) Memanfaatkan Alat Bantu Marker Assisted Selection (MAS) ABSTRAK

PEMANFAATAN MARKA MOLEKULER UNTUK IDENTIFIKASI VARIETAS TANAMAN DALAM BIDANG PEMULIAAN TANAMAN. Oleh. Marcia Bunga Pabendon

SKRIPSI OLEH : HERMANYANTO LAIA / PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017

Pokok Bahasan: Pemuliaan untuk Tanaman Menyerbuk Sendiri. Arya Widura R., SP., MSI PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi

MAKALAH SEMINAR UMUM. PENGGUNAAN PENANDA MOLEKULER UNTUK MENDUGA PENAMPILAN F1 JAGUNG (Zea mays) HIBRIDA SILANG TUNGGAL

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi

terkandung di dalam plasma nutfah padi dapat dimanfaatkan untuk merakit genotipe padi baru yang memiliki sifat unggul, dapat beradaptasi serta tumbuh

Sriyuni Patandung 1), Juhriah 2), A. Masniawati 3), Andi Ilham Latunra 4)

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun,

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merril) merupakan salah satu komoditas penting dalam

Lampiran 1 Bagan alir penelitian

BAB I PENDAHULUAN. unggul yang telah dihasilkan dibagi menjadi empat generasi, yaitu: Generasi-1 ( ) : Seedling selected

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. fenotipe yang diamati menunjukkan kriteria keragaman yang luas hampir pada

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1

APLIKASI BIOINFORMATIKA PADA STUDI GENETIK JAGUNG PROVITAMIN A. Bioinformatics Application on Genetic Study of Provitamin A Maize

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan luas pertanaman dan hasil biji kedelai. Salah satu faktor pembatas bagi

Evaluasi dan Identifikasi Markah Molekuler untuk Sifat Tahan Penyakit Bulai dan Heterosis pada Tanaman Jagung

ANALISIS POLA PITA ANDALIMAN (Zanthoxylum acanthopodium D.C) BERDASARKAN PRIMER OPC-07, OPD-03, OPD-20, OPM-20, OPN-09

Analisis Cluster, Analisis Diskriminan & Analisis Komponen Utama. Analisis Cluster

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAHAN DAN METODE. Adapun bahan yang digunakan adalah kuda yang sudah dewasa kelamin

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

EFFECTIVENESS OF RAPD AND SSR MARKERS FOR GENETIC ANALYSIS OF NINE PISIFERA OIL PALM (Elaeis guineensis Jacq.) ORIGINATED FROM NIGERIA.

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian

PERAKITAN KULTIVAR KACANG TANAH TAHAN PENYAKIT KAPASITAS SOURCE-SINK SEIMBANG UNTUK

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan serealia utama penghasil beras yang dikonsumsi sebagai makanan

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman

Transkripsi:

BAB. IV Simulasi Analisis Marka Mikrosatelit Untuk Penduga Heterosis Pada Populasi Inbrida ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan paket marka SSR (Single Sequence Repeats) yang efektif dalam membedakan inbrida satu dengan yang lain dan dapat membentuk kelompok heterotik potensial yang stabil. Penelitian ini dalam bentuk simulasi data biner hasil karakterisasi 34 inbrida jagung menggunakan 36 marka mikrosatelit. Simulasi data dalam dua cara yaitu (a) melalui iterasi data, dan (b) melalui analisis PCA (Principal Component Analysis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa paket marka dengan 25 marka SSR menghasilkan nilai koefisien korelasi tertinggi sebesar 0,79. Walaupun nilai tersebut sudah cukup baik tapi hanya dalam hal kemampuan membedakan inbrida satu dengan yang lain. Kelompok heterotik yang terbentuk berdasarkan paket marka SSR sebanyak 36, 30, dan 25 lokus belum tegas karena nilai korelasi masih < 90%. Perlu melanjutkan iterasi data atau menambahkan primer untuk mendapatkan set marka yang aplikatif untuk digunakan oleh pemulia. Kata kunci: data biner, korelasi kofenetik, iterasi data, PCA 37

Simulation Analysis of Microsatellite Markers as Estimation of Heterosis in Hybrid Population ABSTRACT The objective of the study is to observe the SSR marker package that iseffective to differentiate among inbreds and could develop potential heterotic groups. This study is a simulation of binary data from 34 inbred lines characterized by 36 microsatellite markers. The data of simulation analysis are developed in two ways i.e. (a) iteration method, and (b) PCA (Principal Component Analysis) method. The result suggestes that 25 SSR marker package SSR-based provide a high value of cofenetic correlation coefficient i.e. 0.79; however, the value is quite sufficient to differentiate the inbreds. Heterotic groups developed based on 36, 30, and 25 are yet to be assertive to divide into five groups. It is necessary to continue the data iteration or add primers to obtain the set of primers applicable to the breeder Key words: binary data, cophenetic correlation, data iteration, PCA 38

PENDAHULUAN Teknik marka telah berhasil dalam membantu para pemulia tanaman khususnya dalam menangani populasi dalam jumlah besar untuk mengidentifikasi target rekombinan pada sejumlah lokus yang diseleksi (Howes et al., 1998). Selain itu memungkinkan seleksi lebih akurat pada generasi awal dari pada skrining, karena skrining pada generasi lanjut di dalam jumlah besar tidak akan praktis dan akan memberikan sedikit atau bahkan tidak ada keuntungan dibandingkan seleksi secara fenotipik. Teknologi marka DNA juga telah diaplikasikan di dalam sidikjari genotipe, dalam menentukan kemurnian benih, di dalam sistematik sampling plasma nutfah, dan dalam analisis filogenetik. Informasi pedigree secara individu penting dalam program pemuliaan karena digunakan dalam menghitung koefisien kekerabatan atau koefisien coancestry dan memberikan dasar kepada pemulia untuk menyeleksi tetua dan mengambil keputusan dalam merancang persilangan. Sejumlah program perangkat lunak yang dapat digunakan untuk menganalisis data marka molekuler sehingga data tersebut dapat diaplikasikan. Salah satu program yang telah banyak digunakan adalah program NTSYS-pc 2.1 (Rohlf, 2000), khususnya sebagai alat bantu untuk melakukan analisis kekerabatan sejumlah plasma nutfah. Dalam program pemuliaan berbasis marka molekuler, modifikasi jumlah marka yang tepat seperti marka mikrosatelit atau SSR dalam pembentukan kelompok heterotik berdasarkan tingkat kekerabatan secara akurat sangat diperlukan. Hal tersebut berkaitan dengan efisiensi penggunaan primer, enzim dan bahan kimia lain seperti buffer dan juga tenaga dan waktu yang dibutuhkan dalam proses karakterisasi. Beberapa hasil penelitian yang mengelompokkan galur-galur berdasarkan tingkat kekerabatan menggunakan marka SSR rata-rata sekitar 50 primer atau lebih dan merata pada seluruh kromosom seperti Senior et al. (1998) pada jagung (63 primer), Warburton et al., 2001 pada jagung (85 primer), Fregene et al. (2003) pada singkong (67 primer), Vaz Patto et al., 2004 (50 primer). Namun demikian ada penelitian lain yang menggunakan marka SSR di bawah 50 seperti yang dilakukan pada gandum (El-Maghraby, et al., 2005). Selain itu, ada juga sejumlah studi keragaman genetik berbasis SSR dengan jumlah primer di bawah 50 39

seperti yang telah dilakukan pada kedelai (Glycine Max L. Merr), yang menggunakan tujuh primer mikrosatelit (Rongwen et al., 1995), 15 primer pada barley (Hordeum vulgare L.)(Struss dan Plieske, 1998) dan 23 primer pada gandum (Plaschke et al., 1998). Di negara sedang berkembang, laboratorium marka molekuler pada umumnya masih bisa dihitung dengan jari, dan sebagian besar dengan fasilitas laboratorium yang sederhana dan sangat terbatas, serta pendanaan yang juga relatif terbatas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya diperlukan modifikasi baik dalam penggunaan alat, bahan, maupun protokol yang digunakan. Konstruksi dendrogram yang stabil diperlukan untuk studi keragaman genetik dan penentuan koleksi inti, untuk seleksi tetua potensial dalam pengembangan hibrida. Jumlah minimum lokus mikrosatelit atau alel-alel harus ditentukan terlebih dahulu untuk konstruksi dendrogram yang stabil. Hal tersebut akan menghemat waktu dan tenaga, khususnya untuk tanaman yang mempunyai sejumlah besar varietas atau koleksi. Kemampuan statistik dapat dimanfaatkan untuk mengamati pengujian berbasis marka, tergantung dari posisi marka, berat jenis, atau tingkat polimorfisme dari marka. Oleh karena itu disarankan untuk menentukan jumlah marka yang dibutuhkan untuk menentukan batas kemampuan (Heckenberger et al., 2005). Marka DNA bebas dari pengaruh pleiotropik, sehingga memungkinkan sejumlah marka dapat dimonitor dalam populasi tunggal. Perangkat lunak seperti program NTSYS-pc 2.1 (Rohlf, 2000), bermanfaat di dalam mendapatkan informasi berbasis marka molekuler untuk analisis sidikjari, keragaman genetik, dan MAS. Simulasi marka SSR menggunakan berbagai program seperti program NTSYS-pc 2.1, dapat membantu para pemulia tanaman dalam program pengembangan hibrida, khususnya dalam membantu mengelompokkan galur-galur ke dalam kelompok heterotik berdasarkan jumlah dan jenis marka yang digunakan sehingga lebih mudah dalam menyeleksi kandidat tetua hibrida potensial. Penelitian ini diharapkan akan dapat mengurangi jumlah primer yang digunakan tetapi efisien dan akurat dalam penetapan kelompok pola heterotik. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan paket marka SSR yang efektif dalam membentuk kelompok heterotik potensial yang stabil sehingga kombinasi tetua yang menghasilkan heterosis tinggi dapat diprediksi lebih awal. 40

BAHAN DAN METODE Materi yang digunakan dalam simulasi ini adalah data biner 34 galur elit hasil genotyping dari 36 marka SSR. Simulasi dilakukan dengan menggunakan fasilitas komputer program NTSYS-pc 2.1. Simulasi dilakukan melalui dua cara yaitu (1) iterasi marka molekuler, (2) analisis PCA. Iterasi data marka molekuler Iterasi data dilakukan untuk mengetahui apakah dendrogram yang terbentuk dengan menggunakan 36 marka molekuler masih sama jika marka dikurangi untuk efisiensi. Pengurangan marka dimulai dari marka dengan nilai polimorfisme terkecil yaitu dengan pengurangan lima marka setiap analisis, kecuali pada pengurangan pertama sebanyak 6 marka. Konstruksi dendrogram berdasarkan UPGMA (Unweighted Pair- Group Method with Arithmathic Averages) dilakukan untuk setiap set baru untuk melihat pengelompokan. Untuk melihat posisi relatif dari masing-masing inbrida dilakukan analisis Principal Coordinate Analysis (PCoA). Analisis dihentikan pada saat hasil analisis menghasilkan lebih dari satu dendrogram. Nilai koefisien korelasi kofenetik (r) dari masing-masing dendrogram dihitung dengan menggunakan program NTSYS-pc 2.1, yang membantu dalam menetapkan paket marka efektif untuk pembentukan kelompok heterotik inbrida elit jagung. Analisis Komponen Utama (PCA) Analisis komponen utama untuk mengetahui primer-primer yang berperanan dalam pembentukan dendrogram. Komponen utama dari peubah data asal diperoleh dari matriks varians-kovarians peubah asalnya. Skor komponen utama untuk setiap pengamatan dihitung melalui persamaan: ( x x) Y = a ( x x) Yh 1 = a1 h,... h k h, dimana Y h1 = skor komponen ke-1 dari k obyek pengamatan ke-h, a 1 = vektor pembobot komponen utama ke-1 dan X h = vector 41

data pengamatan dari obyek ke-h dan X = vektor nilai rata-rata dari variabel asal (Dillon dan Goldstein, 1984). Metode kedua ini menyeleksi alel yang berperanan dalam pembentukan dendrogram. Jadi berkurangnya primer berdasarkan pengurangan alel secara otomatis berdasarkan analisis komponen utama. HASIL Korelasi kofenetik berdasarkan jumlah primer Hasil konstruksi dendrogram melalui iterasi data yaitu 36, 30, 25, 20, dan 15 primer SSR terbentuk hanya satu dendrogram pada masing-masing set yang dianalis. Selain itu, inbrida dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Jika iterasi dilanjutkan menggunakan 10 primer, dihasilkan dua konstruksi dendrogram (data tidak ditampilkan). Pada Gambar 3 (Bab III) sampai Gambar 12 ditampilkan konstruksi dendrogram (a) dan posisi relatif dari masing-masing genotipe dalam ruang dua dimensi (b) untuk masing-masing paket marka hasil iterasi marka mikrosatelit. Posisi relatif dari masing-masing galur pada setiap paket marka menunjukkan ketujuh tetua terseleksi stabil pada masing-masing kelompok pada set 36, 30, dan 25 primer. Jika jumlah primer dikurangi lagi maka ada tetua yang berpindah pada kelompok lain. Pada Tabel 4 menunjukkan hasil iterasi terhadap lima paket marka SSR, diperoleh nilai koefisien korelasi kofenetik yang tertinggi pada penggunaan 25 primer yaitu sebesar (0,79), disusul oleh paket marka 30 primer (0,78) sedangkan yang terendah pada penggunaan 15 primer dengan nilai 0,75. Pada Gambar 3 sampai Gambar 12, adalah penampilan 34 inbrida jagung berdasarkan hasil konstruksi dendrogram dan posisi relatif dari masing-masing inbrida dalam dua dimensi berdasarkan analisis PCoA. Dari tujuh inbrida yang terseleksi untuk set persilangan dialel, paket yang menggunakan 30 dan 25 marka mikrosatelit berada pada posisi relatif yang sama. 42

Gambar 4 Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 36 marka SSR dengan nilai koefisien kofenetik (r) sebesar 0,76. Gambar 5 Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 30 marka SSR. (r = 0,78) 43

Gambar 6 Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 30 marka SSR dengan nilaikoefisien kofenetik (r) sebesar 0,78. Gambar 7. Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 25 marka SSR (r = 0,79). 44

Gambar 8. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 25 marka SSR dengan nilai koefisien kofenetik (r) sebesar 0,79. Gambar 9. Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 20 marka SSR (r = 0,76). 45

Gambar 10. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 20 marka SSR dengan nilai koefisien kofenetik (r) sebesar 0,76. Gambar 11. Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 15 marka SSR (r = 0,75) 46

Gambar 12. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 15 marka SSR dengan nilai koefisien kofenetik (r) sebesar 0,76. Pada Gambar 13 adalah diagram batang menunjukkan paket marka berdasarkan jumlah primer dibandingkan dengan koefisien korelasi kofenetik, tingkat polimorfisme, dan total alel untuk masing-masing paket marka. Berdasarkan nilai koefisien korelasi kofenetik (r), paket yang menggunakan 25 primer menghasilkan nilai r yang paling tinggi. Tabel 4 Jumlah marka, koefisien korelasi kofenetik (r), jumlah alel, dan tingkatpolimorfisme (PIC) No. Jumlah Marka SSR Nilai r Jumlah alel PIC rata-rata 1 15 0,75 85 0,74 2 20 0,76 106 0,72 3 25 0,79 128 0,70 4 30 0,78 143 0,67 5 36 0,76 162 0,61 6 29* 0,72 52 - Keterangan: * data berdasarkan hasil analisis PCA. 47

0.79 Koef. korelasi kofenetik 0.78 0.77 0.76 0.75 0.74 0.73 15 20 25 30 36 Jumlah primer Gambar 13 Diagram jumlah primer dan koefisien korelasi kofenetik. Berdasarkan hasil PCA, diperoleh empat komponen utama pertama yang memiliki akar ciri >1. Komponen utama (PC-1, PC-2, PC-3, PC-4) dapat menerangkan keragaman pita SSR masing-masing sebesar 9,54%, 8,04%, 7,86%, dan 6,66%. Total keempat komponen utama tersebut sebesar 32,09%. Dari total nilai komponen utama tersebut diperoleh 52 alel yang berperanan dalam pembentukan dendrogram, yang berada pada 29 lokus SSR. Dari total 36 lokus SSR yang digunakan terdapat tujuh lokus yang tidak berperan dalam konstruksi dendrogram yaitu phi064, nc133, phi127, phi213984, phi423796, phi448880, phi96342 (Tabel 5). Dari total tujuh primer yang tereliminasi, lima primer dengan tingkat polimorfisme terendah juga dengan jumlah alel terendah. Namun terdapat dua primer yaitu phi064 dan phi127 mempunyai jumlah alel cukup tinggi dengan tingkat polimorfisme masing-masing 0,82 dan 0,57 (Tabel 6). 48

Tabel 5 Nilai komponen utama (PC) dari masing-masing pita/alel yang berperanan dalam membedakan 34 genotipe jagung yang dikarakterisasi No. Lokus SSR No. Bin Ukuran (bp) PC1 PC2 PC3 PC4 Σ Alel 1 phi109275 1.00 i3(132) -0.01747-0.16246 0.09608-0.16089 2 2 i6(123) 0.02314 0.10405 0.04222 0.15690 3 phi96100 2.00 e2(289) 0.02851-0.20299 0.18377-0.07580 1 4 phi109642 2.00 h1(144) 0.20189 0.21386-0.00341-0.11409 1 5 phi083 2.04 i3(134) -0.21239 0.08771 0.02140 0.08357 2 6 i6(127) 0.24541-0.06746-0.04990-0.00096 7 phi101049 2.09 f2(234) -0.02942 0.07094 0.05574 0.31965 2 8 f3(230) 0.10995-0.11433 0.19184-0.16207 9 phi374118 3.03 f1(238) 0.06623 0.01944 0.26704-0.09177 3 10 f2(232) 0.02628-0.11965-0.22770 0.04286 11 f4(223) -0.13152 0.17613-0.00576 0.06458 12 phi029 3.04 g3(152) -0.22020 0.05233 0.02670-0.10506 2 13 h1(150) 0.23705-0.06295-0.03766 0.28665 14 phi053 3.05 g2(191) 0.31990 0.17193 0.16791-0.06024 3 15 g3(187) -0.08011-0.14931 0.08061-0.15978 16 g4(175) -0.14077-0.06632-0.27673 0.09951 17 phi046 3.08 m1(66) 0.24503-0.04061 0.09075 0.03405 2 18 m2(62) -0.24557 0.03512-0.09282-0.04004 19 umc1136 3.10 g2(156) -0.14451 0.10312 0.02481 0.17399 3 20 h1(148) -0.06049-0.05662 0.20663-0.14669 21 i3(132) 0.15122-0.05252-0.24170-0.07999 22 phi072 4.00 h1(149) -0.17959-0.09072 0.24690-0.00446 2 23 h2(148) 0.23336-0.15993-0.08745-0.08213 24 phi079 4.05 g3(193) -0.10962 0.00987 0.05291 0.16514 1 25 phi093 4.08 e1(294) 0.21294 0.08040-0.06498 0.11358 2 26 e2(290) -0.12260-0.02370 0.19931-0.05419 27 umc1109 4.10 j1(117) 0.25585-0.10817-0.04299 0.18409 2 28 j3(110) -0.25425 0.08802-0.11498-0.20494 29 phi102228 5.00 i2(127) -0.16623 0.14418-0.18504-0.15736 1 30 phi109188 5.00 g5(164) -0.07037-0.11895-0.26914-0.01796 1 31 phi087 5.06 g1(174) -0.27058-0.13718-0.17984-0.03797 1 32 umc1153 5.09 j2(109) -0.03384 0.03126-0.23198-0.02021 2 33 j4(105) -0.02308-0.16173 0.23682-0.06762 34 umc1143 6.00 k1(87) -0.09729-0.19105-0.12755 0.18058 2 35 k4(83) 0.01546 0.16963 0.22766-0.00497 36 umc1545 7.00 k3(86) 0.10629 0.08830-0.05204 0.24490 2 37 k5(84) -0.12799-0.12487-0.08931-0.30719 38 phi034 7.02 i3(122) -0.03316 0.09849 0.21599 0.10977 1 39 phi328175 7.04 i1(130) 0.09436-0.34402 0.13225 0.01465 1 40 phi114 7.05 g1(169) -0.02385 0.33514-0.14318-0.05680 2 41 i1(137) -0.14386-0.38207-0.00901 0.03360 42 phi233376 8.03 g3(151) 0.37124-0.09487 0.00897-0.02975 1 43 umc1161 8.06 g2(152) -0.24004-0.08832 0.16603-0.03081 2 44 h2(146) 0.23685-0.04360-0.08353-0.13351 45 umc1279 9.00 k3(092) 0.07981-0.17850-0.10512 0.05066 1 46 phi065 9.03 g1(151) 0.00495 0.23971 0.18270-0.02178 2 47 i1(131) 0.08083-0.30464-0.09926 0.01910 48 umc1061 10.06 j1(107) -0.17618-0.17144 0.16851-0.09210 3 49 j2(105) 0.20902 0.27443-0.08741-0.27626 50 j3(103) -0.13751 0.05246-0.01310 0.29095 51 umc1196 10.07 g1(161) 0.08764-0.23440-0.23790 0.13315 2 52 h1(149) 0.11653 0.14319 0.08977-0.16042 Akar ciri 2.13 1.80 1.75 1.49 52 Keragaman (%) 9.54 8.04 7.86 6.66 Kumulatif 9.54 17.58 25.43 32.09 Keterangan: Angka tebal pada komponen utama tertentu adalah nilai komponen utama dari alel tertentu pada lokus yang berperanan dalam pembentukan dendrogram. 49

Tabel 6 Primer SSR yang tidak berperan dalam pembentukan dendrogram berdasarkan analisis komponen utama (PCA) No. Lokus SSR No. Bin 1 2 3 4 5 6 7 phi064 nc133 phi127 phi213984 phi423796 phi448880 phi96342 1,11 2,05 2,09 4,01 6,02 9,05 10,02 Tingkat polimorfisme (PIC) 0,82 0,32 0,57 0,22 0,24 0,36 0,33 Pada Gambar 14 dan 15 adalah konstruksi dendrogram dan posisi relatif dari masing-masing genotipe dalam ruang dua dimensi berdasarkan jumlah alel yang berperanan dalam pembentukan dendrogram dari hasil analisis PCA. Gambar 14. Dendrogram 34 inbrida menggunakan 29 marka SSR (r = 0,72). 50

Gambar 15. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 29 marka SSR dengan nilai koefisien kofenetik (r) sebesar 0,72. PEMBAHASAN Bedasarkan hasil konstruksi dendrogram dan analisis PCoA dua dimensi, tujuh tetua yang terseleksi berdasarkan nilai jarak genetik stabil pada posisi relatif yang sama pada paket 30 dan 25 primer. Hal ini ada kaitannya dengan nilai korelasi kofenetik dimana korelasi kofenetik yang tinggi adalah paket marka 25 primer (0,79) dan 30 primer (0,78). Paket marka 25 primer menghasilkan nilai korelasi kofenetik yang paling tinggi menghasilkan 128 alel (Tabel 4). Paket marka 36 primer (0,76) mempunyai nilai korelasi lebih rendah dari paket marka 25 dan 30 primer. Hal tersebut mungkin disebabkan terdapat sejumlah alel yang tidak berperanan dalam pembentukan dendrogram. Nilai korelasi kofenetik menggambarkan keakuratan pengelompokan berdasarkan kemiripan genetik. Walaupun nilai korelasi kofenetik sudah tergolong cukup bagus, namun yang mampu untuk membedakan kelompok heterotik secara tegas adalah nilai r > 90% (Rohlf, 2000). Selain itu yang perlu dipertimbangkan adalah apakah ketujuh tetua yang terseleksi stabil pada kelompok heterotik yang sama dan mampu menghasilkan heterosis tinggi. Jika materi genetik diganti apakah primer 51

tersebut masih efektif dalam membentuk kelompok heterotik potensial dan menghasilkan heterosis tinggi. Bertin et al. (2001) melakukan karakterisasi molekuler terhadap sejumlah genotipe menunjukkan bahwa 113 alel cukup untuk membentuk klaster dari kultivar gandum pada kelompok European. Masih ada sejumlah penelitian lain yang melakukan karakterisasi marka molekuler dengan jumlah primer yang rendah sekitar 7-30 primer, seperti yang telah disebutkan pada pendahuluan. Tidak ada aturan statistik formal untuk menetapkan berapa marka genetik yang dibutuhkan untuk mengklasifikasi aksesi secara akurat, menjelaskan pola genetik, atau mengestimasi jarak genetik atau fenogram secara akurat. Idealnya, marka genetik untuk perlindungan varietas dan mengklasifikasi materi genetik yang belum diketahui harus dengan marka polimorfisme tinggi dan menyebar secara merata pada genom (Bernardo, 1992). Untuk laboratorium yang sederhana, cenderung untuk memilih teknik yang murah dan sederhana tanpa mengurangi kualitas data. Jumlah alel, nampaknya tidak banyak berpengaruh terhadap nilai korelasi kofenetik dimana jumlah alel yang terendah masih mampu menghasilkan nilai korelasi kofenetik 0,72. Hasil penelitian Zhang et al. (2002) pada koleksi gandum di Cina melaporkan bahwa penggunaan hanya 167 alel memungkinkan untuk membedakan semua genotipe gandum. Koefisien korelasi matriks jarak genetik antar 501 alel dan 167 alel masing-masing 0,74 mengindikasikan bahwa 167 alel cukup untuk membedakan semua varietas, bahkan galur-galur inbrida terseleksi. Namun demikian, 167 alel tidak cukup untuk mengkonstruksi dendrogram yang stabil untuk menggambarkan secara obyektif hubungan genetik. Hal tersebut penting untuk tidak hanya membedakan varietas tetapi juga untuk mendapatkan dendrogram yang stabil yang merefleksikan hubungan genetik secara benar pada sejumlah varietas gandum. Penemuan titik jenuh pada tanaman seperti gandum, yang mempunyai sejumlah besar aksesi, akan mengurangi waktu dan biaya di dalam menetapkan koleksi inti. Dari hasil penelitian ini nampaknya bahwa lima paket marka yaitu, 36, 30, 25, 20, dan 15 marka SSR dapat membedakan inbrida satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan karena paket dengan jumlah marka yang rendah adalah yang mempunyai nilai korelasi yang cukup tinggi yaitu >0,56. Dengan demikian paket marka yang 52

digunakan mengkarakterisasi jarak genetik, belum merupakan paket marka yang terbaik. Usaha untuk mendapatkan paket marka yang betul-betul sesuai antara jarak genetik dan tingkat heterosisnya masih perlu terus dilakukan melalui iterasi paket marka yang telah ada atau penambahan marka lainnya untuk memperoleh nilai korelasi >90%. Berbeda dengan metode iterasi data yang didasarkan pada tingkat polimorfisme, pada PCA, jumlah primer yang terseleksi berdasarkan jumlah alel yang berperanan terhadap konstruksi dendrogram. Total empat komponen utama tersebut sebesar 32,09%, artinya keragaman dari karakter pita SSR pada 34 inbrida jagung dapat diterangkan oleh nilai komponen utama sebesar 32,09%. Dari ketujuh primer tersebut lima primer yang mempunyai tingkat polimorfisme terendah. Primer tersebut adalah primer yang sama yang tereliminasi pertama pada proses iterasi data marka molekuler. Namun demikian ada dua primer yang mempunyai tingkat polimorfisme tinggi yaitu phi064 dan phi127 yang tereliminasi. Ada kemungkinan bahwa kedua primer tersebut menghasilkan kualitas pita yang rendah sehingga validasi hasil skoring rendah. Visualisasi pola pita yang baik dipengaruhi oleh kualitas DNA, kualitas reaksi PCR, kualitas hasil sekuensing, dan tingkat kemahiran dan ketelitian personal yang melakukan skoring. Semua itu akan berpengaruh terhadap akurasi data biner yang akan digunakan dalam analisis genotipeik. Dengan demikian tingginya tingkat polimorfisme suatu primer belum sepenuhnya dijamin bahwa primer tersebut berperan dalam pembentukan dendrogram. Seperti yang disebutkan terdahulu bahwa 32,09% dari nilai komponen utama untuk menerangkan keragaman dari 34 inbrida. Dengan demikian, 29 primer dengan dengan total alel 52 mampu membedakan inbrida secara individu, tetapi tidak menyinggung mengenai kestabilan dendrogram. Hal yang menyulitkan jika menggunakan metode PCA adalah seleksi alel secara random sehingga sehingga agak sukar untuk memilih primer yang tepat dalam jumlah terbatas. Plasma nutfah jagung tropis sukar diklasifikasikan secara tepat ke dalam kelompok heterotik. Warburton et al. (2002) melakukan studi galur murni dan populasi jagung tropis menggambarkan luasnya keragaman genetik yang menjadi penyebab sulitnya memilah struktur galur-galur murni. Situasi yang sama juga ditemukan pada studi keragaman galur-galur murni yang mewakili beberapa negara secara regional di Asia 53

(George et al., 2004 b ). Namun demikian, pada penelitian lain yang melibatkan populasi jagung tropis (Reif et al., 2003) dapat menghasilkan beberapa kelompok heterotik yang jelas melalui marka SSR. Menurut Vaz Patto et al. (2004) seperti telah disebutkan pada kegiatan penelitian pertama bahwa indeks yang ideal untuk korelasi kofenetik >0,56, berarti nilai r yang tertera pada Tabel 6 menunjukkan bahwa kelompok heterotik yang terbentuk masih memadai untuk digunakan. Yang menarik pada penggunaan 29 primer berdasarkan hasil analisis PCA, hanya 52 alel yang terseleksi, namun nilai koefisien kofenetik masih >0,56. Hal tersebut kemungkinan karena tidak semua alel dalam lokus terseleksi terpilih, melainkan hanya alel berkualitas. Selain itu, walaupun alel sedikit tetapi alel-alel tersebut berada pada lokus yang menyebar di dalam genom. Zhang et al. (2002) menyatakan bahwa dalam estimasi kemiripan genetik harus berdasarkan pada alel-alel yang representatif dari seluruh genom. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan maka disimpulkan bahwa: Dari hasil iterasi data, paket marka dengan 25 primer SSR mampu membedakan inbrida satu dengan yang lain dan membedakan inbrida ke dalam lima kelompok heterotik sama dengan paket marka 36 dan 30 primer SSR namun belum tegas. Dari hasil analisis PCA, 29 primer terseleksi berdasarkan alel yang berperanan terhadap pembentukan dendrogram, sama dengan penggunaan 25 primer berdasarkan tingkat polimorfisme tertinggi. 54