BAB I P E N D A H U L U AN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebutuhan rumah tempat tinggal atau hunian di daerah perkotaan semakin meningkat dan dirasakan kurang, mengingat jumlah perumahan yang tersedia tidak berimbang dengan jumlah kebutuhan dari orang yang memerlukan rumah tempat tinggal. Dari segi fungsinya, rumah berfungsi untuk tempat tinggal dan kegiatan usaha atau perkantoran. Kebutuhan akan rumah tempat tinggal adalah mutlak bagi semua orang karena merupakan kebutuhan primer bagi kehidupan keluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian bangsa. Penggunaan rumah sebagai tempat kegiatan usaha adalah tempat segala kegiatan administrasi dan operasional dari suatu badan usaha yang berjalan secara aktif. Begitu juga penggunaan rumah untuk sarana penyimpanan barang-barang hasil produksi. Agar supaya terdapat tertib hukum dalam penggunaan dan pemanfaatan rumah tersebut, maka diperlukan perangkat hukum yang mengaturnya, guna menghindari penggunaan rumah yang tidak sesuai dengan izin peruntukannya, pembatasan kepemilikan rumah tempat tinggal, perbuatan hukum berupa jual beli, hibah, warisan, pembebanan jaminan hutang atas rumah tempat tinggal oleh pihak pemilik tanah dan atau rumah diatasnya 1
kepada pihak lain, terutama apabila berkenaan dengan kepemilikan atau peralihan hak dari dan untuk Warga Negara Asing (WNA) di Indonesia. Kebutuhan akan rumah bagi orang-perorangan, baik untuk tempat tinggal maupun untuk tempat usaha, menjadi kebutuhan yang paling dirasakan mendesak untuk dipenuhi. Kebutuhan ini bukan saja bagi Warga Negara Indonesia (WNI) tetapi juga menjadi kebutuhan Warga Negara Asing (WNA) yang berada atau bekerja atau membuka kegiatan usahanya di Indonesia. Dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan pemukiman, serta mengefektifkan pembangunan tanah terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat, maka perlu dilakukan penataan atas tanah sehingga pemanfaatannya betul-betul dapat dirasakan oleh masyarakat banyak. Dengan demikian di kota-kota besar perlu diarahkan pembangunan perumahan dan pemukiman yang diutamakan sepenuhnya pada pembangunan rumah susun. Menurut struktur bangunan, bangunan dapat berbentuk rumah yang berdiri sendiri atau rumah susun atau rumah bertingkat. Oleh karena itu diperlukan pengaturan tentang bagaimana kebutuhan ini dapat dipenuhi, hak atas tanah untuk perumahan, termasuk tata cara dan syarat-syarat pemberian hak atas tanah bagi orang asing. Regulasi berupa pemberian hak atas tanah bagi orang asing diperlukan sebagai dampak dari globalisasi perdagangan yang menyebabkan semakin terbukanya pihak asing, terutama pelaku bisnis asing, dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia. Dalam kegiatan ekonomi, terdapat tiga pelaku usaha yang memiliki akses sumber daya modal dan akses politik, yaitu 2
pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dalam hal ini, kedudukan pihak masyarakat dengan swasta seringkali tidak seimbang, serta adanya kebijakan pemerintah yang bersifat bias terhadap kepentingan masyarakat kecil, menyebabkan pihak swasta akan lebih mudah memperoleh tanah-tanah untuk pembangunan perumahan dan industri dengan mengorbankan kepentingan masyarakat kecil, sedangkan pada sisi lain, sangat sulit bagi masyarakat kecil untuk memperoleh persetujuan mengerjakan tanah-tanah bekas perkebunan atau kehutanan yang telah ditelantarkan untuk mendapatkan pengakuan haknya secara de jure. 1 Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang agraria, diantaranya yang menjadi dasar bagi rakyat Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Diundangkannya UUPA adalah untuk menciptakan suatu kepastian hukum di Indonesia karena pada saat itu adanya dualisme hukum yang berlaku berkenaan dengan agraria, yaitu hukum adat dan hukum barat. Pada prinsipnya, UUPA secara tegas melarang Warga Negara Asing untuk memiliki hak-hak atas tanah, sebagai pencerminan dari asas nasionalitas yang dianut didalamnya. 2 Terdapat hubungan yang erat antara status kewarganegaran Indonesia dengan hak-hak atas tanah dalam UUPA, hanya Warga Negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik 1 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Prespektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, (Jakarta: Kompas, 2008), hal. 23. 2 Aslan Noor, Konsep hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2006), hal. 262. 3
atas tanah. 3 Demikian juga dengan hak-hak atas tanah lainnya seperti Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), dan Hak Pakai. Warga Negara Asing (WNA) yang berkedudukan di Indonesia dapat menguasai tanah dengan Hak Pakai atau Hak Sewa untuk bangunan yang didirikan diatasnya. Dimana Hak Sewa untuk bangunan disebutkan dalam Pasal 44 ayat (1) UUPA bahwa seseorang atau badan hukum mempunyai Hak Sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Hal tersebut berlaku juga untuk Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan Warga Negara Asing (WNA) atau dalam perkawinan campur mereka tidak dibuat Perjanjian Kawin. Sehingga diantaranya terdapat percampuran harta bersama atau harta gonogini. Menyikapi perkembangan yang terdapat di kota-kota besar saat ini, khususnya kebutuhan perumahan dan permukiman yang sangat terbatas pada satu sisi, dan pada sisi lain konsentrasi penduduk yang setiap hari bertambah ke kota. Disamping itu, persediaan tanah di kota yang semakin sempit, akibat terjadinya penumpukan tanah-tanah pada orang-orang tertentu sehingga masyarakat tidak memiliki tanah yang memadai untuk membangun perumahan dan permukiman. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah khususnya di kota-kota besar, mendirikan perumahan yang bersifat vertikal atau bersusun atau flat. hal. 62. 3 Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Alumni, 1961), 4
Sejalan dengan hal tersebut, untuk memberikan dasar hukum pembangunan rumah susun, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang kemudian telah dicabut dan dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Pembangunan rumah susun dilaksanakan untuk memenuhi salah satu kebutuhan pokok manusia, yaitu kebutuhan papan (tempat tinggal) yang layak, dengan meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah-daerah yang berpenduduk padat dan hanya tersedia luas dan terbatas. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian dalam pembangunannya adalah kepastian hukum atas penguasaan dan keamanan dalam pemanfaatan rumah susun itu. 4 Rumah susun, pertokoan, dan bangunan perkantoran merupakan benda yang mempunyai status yang mengambang. Suatu saat bangunan menyatu dengan tanah dan pada saat lain ia terpisah dengan tanah. Penyatuan tanah dengan bangunan yang menjadi alasnya karena asas pemisahan vertikal sedangkan bila bangunan dan tanah terpisah karena asas yang dipakai adalah pemisahan horisontal. Perangkat hukum kita tidak mempunyai pendirian yang konsekuen mengenai asas mana yang dipakai. Apabila UUPA kita bandingkan dengan UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun serta UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, ketiga peraturan tersebut memiliki keterkaitan yang erat, karena dalam pembangunan rumah susun atau perumahan harus dikaitkan dengan hak 4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Djambatan, 2003). 5
atas tanah. Ketiga UU itu terletak pada satu sistem hukum benda yang terdiri dari subsistem hukum agraria dan subsistem hukum bangunan. B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian-uraian latar belakang masalah, penulis menggagas rumusan masalah untuk diteliti sebagai berikut: 1. Bagaimana kepastian hukum dan status kepemilikan tanah (khususnya satuan rumah susun) untuk Warga Negara Indonesia (WNI) yang terikat dalam Perkawinan campuran yang sah dengan Warga Negara Asing (WNA). 2. Bagaimana proses dan persyaratan yang ditempuh Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan Warga Negara Asing (WNA) untuk mempunyai Hak Atas Tanah Dan Bangunan di Indonesia. C. TUJUAN PENELITIAN Dalam penelitian ini, penulis memiliki Tujuan Obyektif, yaitu : a. untuk mengetahui kepastian hukum dan status kepemilikan satuan rumah susun bagi orang Indonesia yang telah terikat dalam perkawinan yang sah dengan Warga Negara Asing (WNA); dan b. untuk mengetahui strategi kepemilikan satuan rumah susun bagi Warga Negara Asing (WNA) dalam praktek hukum di Indonesia serta untuk dapat mengetahui upaya-upaya apa saja yang dilakukan 6
oleh orang asing untuk menghindari penyelundupan kepemilikan satuan rumah susun di Indonesia. D. MANFAAT PENELITIAN Dalam penelitian ini terdapat tiga manfaat, yaitu: a. Manfaat Akademis Untuk memenuhi persyaratan meraih gelar S2 pada Program Pascasarjana Magister Hukum Bisnis FH UGM. b. Manfaat Teoritis Memberikan kontribusi pengembangan hukum bisnis, khususnya tentang rumah susun dan pemilikan satuan rumah susun oleh orang asing. c. Manfaat Praktis Diharapkan karya tulis ini dapat memberikan masukan bagi pemerintah khususnya mengenai rumah susun dan pemilikan rumah susun oleh orang asing di Indonesia. E. KEASLIAN PENELITIAN Berdasarkan pengetahuan dan hasil penelusuran yang penulis lakukan terhadap data kepustakaan pada Perpustakaan FH UGM, perpustakaan tesis UGM dan terhadap penulisan maupun penulisan karya ilmiah, hingga kini penulis belum 7
menemukan permasalahan yang sama dengan penulisan ini yaitu khususnya mengenai status kepemilikan hak atas tanah (dalam hal ini satuan rumah susun) oleh Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan Warga negara Asing (WNA). Ada beberapa hal yang penulis temukan yaitu karya tulis yang meneliti mengenai pemilikan/penghunian rumah oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia yang ditulis secara parsial dari sudut pandang yang berbeda. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa tesis ini merupakan karya orisinil penulis, dan karenanya dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Adapun penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian penulis yang berhubungan dengan pemilikan tanah/properti oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia yaitu penelitian yang dilakukan oleh Anjarini Kencahyati, dengan judul tesis Perjanjian nominee dalam kepemilikan tanah oleh warga Negara asing di Bali (studi kasus di Kabupaten Badung) bertujuan untuk mengetahui akibat hukum terhadap perjanjian nominee ketika nominee tidak diketahui keberadaannnya dan bentuk penyelesaian ketika terjadi sengketa para pihak yang terikat suatu perjanjian nominee. Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan yuridis empiris yaitu penelitian yang didasarkan pada penelitian lapangan, tetapi untuk melengkapi data yang diperoleh dari penelitian lapangan dilakukan penelitian kepustakaan. Data yang diperoleh baik dari penelitian kepustakaan maupun dari penelitian lapangan akan dianalisis dengan cara deskriptif kualitatif, yaitu metode analisis data dengan mengelompokan dan 8
menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan, sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hak Pakai dianggap kurang menguntungkan bagi Warga Negara Asing (WNA) sehingga penerapan berbagai peraturan tentang Hak Pakai di Bali khususnya di Kabupaten Badung tidak berjalan dengan baik sehingga menempuh cara dengan menggunakan perjanjian nominee dalam kepemilikan tanah di Bali. Dengan adanya perjanjian nominee, orang asing cukup meminjam identitas dari seorang warga negara Indonesia yang tinggal di Bali untuk dicantumkan namanya dalam suatu sertifikat tanah dan warga negara asing menilai bahwa perjanjian ini jauh lebih praktis dan menguntungkan untuk kedua belah pihak. Secara teknis di lapangan penulis melihat beberapa permasalahan akan timbul apabila tanah tersebut akan dipindahtangankan sementara nominee meninggal dunia, menghilang, atau tidak diketahui alamatnya, akan tetapi persoalan-persoalan tersebut telah diantisipasi oleh orang asing yang bersangkutan dengan membuat suatu perjanjian yaitu perjanjian nominee. Dari penelusuran kepustakaan dapat dikemukakan bahwa penelitian yang membahas serta menganalisis tentang pemilikan/penghunian rumah susun oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia jumlahnya sangat terbatas baik berupa tesis maupun skripsi. Namun secara keseluruhan penelitian/penulisan sebelumnya belum menyinggung hal-hal sebagai berikut : 9
Pertama, belum banyak penelitian-penelitian sebelumnya yang menyinggung langsung tema rumah susun terkait pemilikan/penghunian rumah susun oleh Warga negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan orang asing atau disebut melakukan Perkawinan Campur. Kedua, penelitian terdahulu hanya terfokus pada salah satu cara pemilikan tanah oleh orang asing, yaitu melalui perjanjian nominee. Ketiga, yang menjadi ciri dari penelitian ini adalah menghubungkan serta mengkaji lebih detail dan fokus terhadap proses pemilikan rumah susun oleh orang asing yang melakukan Perkawinan Campur di Indonesia. Oleh karena itu, secara umum berdasarkan penelusuran kepustakaan dapat dikatakan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu. Walaupun demikian, studi-studi terdahulu jelas sangat bermanfaat bagi penelitian ini dan besar kemungkinan pada bagian tertentu penelitian ini juga merupakan kelanjutan dari penelitian-penelitian terdahulu. 10