LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KONSEP DASAR. serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003). dasarnya mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik.

BAB II TINJAUAN TEORI. pengecapan maupun perabaan (Yosep, 2011). Menurut Stuart (2007)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca indera tanpa adanya

BAB II KONSEP TEORI. Perubahan sensori persepsi, halusinasi adalah suatu keadaan dimana individu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang sebenarnya tidak ada stimulus dari manapun baik stimulus suara,

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI (HALUSINASI) Mei Vita Cahya Ningsih. Pengertian

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP DASAR. A. Pengertian. Halusinasi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

MERAWAT PASIEN PERUBAHAN PERSEPSI SENSORIK : HALUSINASI

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN SENSORI PERSEPSI: HALUSINASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tidak muncul sama sekali. Namun jika kondisi lingkungan justru mendukung

BAB II TUNJAUAN TEORI. orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins, 1993)

NASKAH PUBLIKASI ILMIAH

BAB II TINJAUAN TEORI. Adapun definisi lain yang terkait dengan halusinasi adalah hilangnya

BAB II KONSEP DASAR. Halusinasi merupakan salah satu respon neurobiology yang maladaptive, yang

BAB II KONSEP DASAR. tanda-tanda positif penyakit tersebut, misalnya waham, halusinasi, dan

BAB II TINJAUAN TEORI. sebenarnya tidak ada stimulus dari manapun, baik stimulus suara, bayangan, bau-bauan,

Koping individu tidak efektif

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

PENGKAJIAN HALUSINASI Jenis halusinasi Data Objektif Data Subjektif Halusinasi Dengar/suara Bicara atau tertawa sendiri Marah-marah tanpa sebab

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI. menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam

BAB II KONSEP DASAR. A. Pengertian. Halusinasi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami


BAB II TINJAUAN KONSEP

BAB II KONSEP DASAR. orang lain maupun lingkungan (Townsend, 1998). orang lain, dan lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1998).

BAB II KONSEP DASAR. A. Pengertian. Perubahan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam

BAB II TINJAUAN TEORI. (DepKes, 2000 dalam Direja, 2011). Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Walgito (2001, dalam Sunaryo, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan

BAB II KONSEP DASAR. datang internal atau eksternal. (Carpenito, 2001) organic fungsional,psikotik ataupun histerik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. H DENGAN PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI HALUSINASI PENDENGARAN DI RUANG SENA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB II TINJAUAN TEORI. maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (isolasi diri).

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sistem saraf. Gejala psikologis dikelompokan dalam lima katagori utama fungsi

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB II KONSEP DASAR. A. Pengertian. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang

BAB I PENDAHULUAN. Menuju era globalisasi manusia disambut untuk memenuhi kebutuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang

BAB II KONSEP DASAR. A. Pengertian. Perubahan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam

LAPORAN PENDAHULUAN. 1. Masalah Utama Perilaku Kekerasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN MENARIK DIRI INTERAKSI PERTAMA/AWAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku

MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN RESIKO BUNUH DIRI DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

BAB II KONSEP DASAR. rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan di mana terjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dirasakan sebagai ancaman (Nurjannah dkk, 2004). keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan, kedalam

BAB II TINJAUAN TEORI

LAPORAN PENDAHULUAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar. menjawabpertanyaan what misalnya apa air, apa manusia, apa alam dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. stimulus yang sebenarnya tidak ada stimulus dari manapun, baik stimulus

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL ANXIETAS DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

BAB II TINJAUAN TEORI. Gangguan harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II KONSEP DASAR. mungkin organik, fungsional, psikotik ataupun histerik (Maramis, 2004).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB II KONSEP DASAR. Halusinasi adalah gangguan pencerapan ( persepsi ) panca indera tanpa

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

BAB II KONSEP DASAR. perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana individu melakukan atau. (1998); Carpenito, (2000); Kaplan dan Sadock, (1998)).

BAB IV PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 merupakan

BAB III TINJAUAN KASUS. Sakit Jiwa Daerah Dr.Aminogondhohutomo semarang, dengan. Skizofrenia berkelanjutan. Klien bernama Nn.S, Umur 25 tahun, jenis

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok

BAB II KONSEP DASAR. memelihara kesehatan mereka karena kondisi fisik atau keadan emosi klien

BAB II TINJUAN PUSTAKA

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN MASALAH UTAMA ISOLASI SOSIAL: MENARIK DIRI

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA TN. S DENGAN GANGGUAN MENARIK DIRI DI RUANG ABIMANYU RSJD SURAKARTA

LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 18. secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari

BAB II TINJAUAN TEORI. kecemasan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman.

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA KOMUNITAS (CMHN)

PENATALAKSANAAN PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN ISOLASI SOSIAL: MENARIK DIRI DI RUANG ARIMBI RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. Oleh

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN RESIKO BUNUH DIRI DI RSJD. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. Oleh : AGUNG NUGROHO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

NASKAH PUBLIKASI ILMIAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. S DENGAN GANGGUAN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG SHINTA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

MAKALAH SISTEM NEUROBEHAVIOR II ASKEP HALUSINASI

BAB I PENDAHULUAN. yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan manic depresif

LAPORAN KASUS PENGELOLAAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI PENDENGARAN PADA

PROSES TERJADINYA MASALAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP DASAR A.

MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN WAHAM DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

STUDI KASUS ASUHANKEPERAWATAN PADA Nn. M DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI PENDENGARAN DI RUANG SRIKANDI RSJD SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN ANSIETAS

BAB III TINJAUAN KASUS

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN JIWA. PADA Sdr.W DENGAN HARGA DIRI RENDAH. DI RUANG X ( KRESNO ) RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. 1. Inisial : Sdr.

BAB II KONSEP DASAR. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan

BAB III RESUME KEPERAWATAN. Pengkajian dilaksanakan pada tanggal 3 Desember Paranoid, No Register

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

MAKALAH HALUSINASI. Rentang respon :

BAB II KONSEP DASAR PERILAKU KEKERASAN. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon

BAB 1 PENDAHULUAN. deskriminasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa (Suliswati, 2005).

Transkripsi:

LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI A. MASALAH UTAMA Gangguan persepsi sensori : halusinasi B. PROSES TERJADINYA MASALAH 1. Pengertian Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indera (Isaacs, 2002). Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005). Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart, 2007). Dari beberapa pengertian yang dikemukan oleh para ahli mengenai halusinasi di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa halusinasi adalah persepsi klien melalui panca indera terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata. 2. Jenis Halusinasi Menurut (Menurut Stuart, 2007), jenis halusinasi antara lain : a. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 % Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara suara orang, biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu. b. Halusinasi penglihatan (Visual) 20 % Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau

panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan. c. Halusinasi penghidu (olfactory) Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan seperti : darah, urine atau feses. Kadang kadang terhidu bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia. d. Halusinasi peraba (tactile) Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain. e. Halusinasi pengecap (gustatory) Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses. f. Halusinasi sinestetik Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine. g. Halusinasi Kinesthetic Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak. 3. Fase Halusinasi Fase halusinasi ada 4 yaitu (Stuart dan Laraia, 2001): a. Comforting Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas sedang, kesepian, rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik. b. Condemning Pada ansietas berat pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak

dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita. c. Controling Pada ansietas berat, klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain. d. Consquering Terjadi pada panik Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan. 4. Tanda dan Gejala Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi yang dialaminya (apa yang dilihat, didengar atau dirasakan). Berikut ini merupakan gejala klinis berdasarkan halusinasi (Budi Anna Keliat, 1999) : a. Tahap 1: halusinasi bersifat tidak menyenangkan Gejala klinis: 1) Menyeriangai/tertawa tidak sesuai 2) Menggerakkan bibir tanpa bicara 3) Gerakan mata cepat 4) Bicara lambat

5) Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan b. Tahap 2: halusinasi bersifat menjijikkan Gejala klinis: 1) Cemas 2) Konsentrasi menurun 3) Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata c. Tahap 3: halusinasi bersifat mengendalikan Gejala klinis: 1) Cenderung mengikuti halusinasi 2) Kesulitan berhubungan dengan orang lain 3) Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah 4) Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti petunjuk). d. Tahap 4: halusinasi bersifat menaklukkan Gejala klinis: 1) Pasien mengikuti halusinasi 2) Tidak mampu mengendalikan diri 3) Tidak mamapu mengikuti perintah nyata 4) Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan. 5. Faktor Predisposisi Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah: a. Biologis Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut: 1) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik. 2) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.

3) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem). b. Psikologis Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien. c. Sosial Budaya Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress. 6. Faktor Presipitasi Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006). Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah: a. Biologis Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan. b. Stress lingkungan Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.

c. Sumber koping Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor. 7. Penyebab Gangguan persepsi sensori halusinasi sering disebabkan karena panik, sterss berat yang mengancam ego yang lemah, dan isolasi sosial menarik diri (Townsend, M.C, 1998). Menurut Carpetino, L.J (1998) isolasi sosial merupakan keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak. Sedangkan menurut Rawlins, R.P dan Heacock, P.E (1998), isolasi sosial menarik diri merupakan usaha menghindar dari interaksi dan berhubungan dengan orang lain, individu merasa kehilangan hubungan akrab, tidak mempunyai kesempatan dalam berpikir, berperasaan. Berprestasi, atau selalu dalam kegagalan. Isolasi sosial menarik diri sering ditunjukkan adanya perilaku (Carpentino, L.J 1998) : Data subjektif : a. Mengungkapkan perasaan kesepian atau penolakan b. Melaporkan dengan ketidaknyamanan konyak dengan situasi sosial c. Mengungkapkan perasaan tak berguna Data objektif : a. Tidak tahan terhadap kontak yang lama b. Tidak komunikatif c. Kontak mata buruk d. Tampak larut dalam pikiran dan ingatan sendiri e. Kurang aktivitas f. Wajah tampak murung dan sedih g. Kegagalan berinteraksi dengan orang lain

8. Akibat Adanya gangguang persepsi sensori halusinasi dapat beresiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat, B.A, 2006). Menurut Townsend, M.C suatu keadaan dimana seseorang melakukan sesuatu tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik pada diri sendiri maupuan orang lain. Seseorang yang dapat beresiko melakukan tindakan kekerasan pada diri sendiri dan orang lain dapat menunjukkan perilaku : Data subjektif : a. Mengungkapkan mendengar atau melihat objek yang mengancam b. Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir Data objektif : a. Wajah tegang, merah b. Mondar-mandir c. Mata melotot rahang mengatup d. Tangan mengepal e. Keluar keringat banyak f. Mata merah 9. Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara : a. Menciptakan lingkungan yang terapeutik Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi knntak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di lakukan. Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas,

misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan b. Melaksanakan program terapi dokter Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan. c. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien. d. Memberi aktivitas pada pasien Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai. e. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalny dari percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugaslain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.

C. MASALAH DAN DATA YANG PERLU DIKAJI No Masalah Keperawatan Data Subyektif 1. Masalah utama : Klien mengatakan gangguan persepsi melihat atau sensori halusinasi mendengar sesuatu. Klien tidak mampu mengenal tempat, waktu, orang. Data Obyektif Tampak bicara dan ketawa sendiri. Mulut seperti bicara tapi tidak keluar suara. Berhenti bicara seolah mendengar atau melihat sesuatu. Gerakan mata yang cepat. 2. Isolasi sosial : Klien mengatakan Tidak tahan terhadap menarik diri merasa kesepian. kontak yang lama. Klien mengatakan tidak Tidak konsentrasi dan dapat berhubungan pikiran mudah beralih sosial. saat bicara. Klien mengatakan tidak Tidak ada kontak berguna. mata. Ekspresi wajah murung, sedih. Tampak larut dalam pikiran dan ingatannya sendiri. Kurang aktivitas. Tidak komunikatif. 3. Resiko mencederai Klien mengungkapkan Wajah klien tampak diri sendiri dan takut. tegang, merah. orang lain Klien mengungkapkan Mata merah dan

apa yang dilihat dan didengar mengancam dan membuatnya takut. melotot. Rahang mengatup. Tangan mengepal. Mondar mandir. D. POHON MASALAH Resiko mencederai diri sendiri, Orang lain dan lingkungan Akibat Core Problem Gangguan persepsi sensori: Halusinasi Isolasi sosial menarik diri Gambar Pohon Masalah (Keliat, B.A, 2006) Cause E. DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan yang dapat ditarik dari pohon masalah tersebut adalah : 1. Gangguan persepsi sosial: Halusinasi 2. Isolasi sosial: Menarik Diri 3. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan F. FOKUS INTERVENSI Menurut Rasmun (2001) tujuan utama, tujuan khusus, dan rencana tindakan dari diagnosa utama : resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan halusinasi adalah sebagai berikut :

1. Tujuan umum Klien tidak mencederai diri sendiri dan orang lain. 2. Tujuan khusus a. TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya. 1) Kriteria evaluasi: Ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi. 2) Intervensi Bina hubungan saling percaya dengan : a) Sapa klien dengan ramah dan baik secara verbal dan non verbal. b) Perkenalkan diri dengan sopan. c) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien. d) Jelaskan tujuan pertemuan. e) Jujur dan menepati janji. f) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya. g) Beri perhatian pada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk memperlancar hubungan interaksi selanjutnya. b. TUK II : Klien dapat mengenal halusinasi 1) Kriteria evaluasi : a) Klien dapat menyebutkan waktu, isi dan frekuensi timbulnya halusinasi. b) Klien dapat mengungkapkan perasaan terhadap halusinasinya. 2) Intervensi a) Adakan sering dan singkat secara bertahap.

Kontak sering dan singkat selain upaya membina hubungan saling percaya juga dapat memutuskan halusinasinya. b) Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya. Bicara dan tertawa tanpa stimulus, memandang ke kiri dan ke kanan seolah-olah ada teman bicara. Rasional: Mengenal perilaku pada saat halusinasi timbul memudahkan perawat dalam melakukan intervensi. c) Bantu klien mengenal halusinasinya dengan cara : a.a Jika menemukan klien yang sedang halusinasi tanyakan apakah ada suara yang di dengar. a.b Jika klien menjawab ada lanjutkan apa yang dikatakan. a.c Katakan bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, namun perawat sendiri tidak mendengarnya (dengan nada sahabat tanpa menuduh/menghakimi). a.d Katakan pada klien bahwa ada juga klien lain yang sama seperti dia. a.e Katakan bahwa perawat akan membantu klien. Mengenal halusinasi memungkinkan klien untuk menghindari faktor timbulnya halusinasi. d) Diskusikan dengan klien tentang : a.a Situasi yang menimbulkan/tidak menimbulkan halusinasi. a.b Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore dan malam atau jika sendiri, jengkel, sedih) Dengan mengetahui waktu, isi dan frekuensi munculnya halusinasi mempermudah tindakan keperawatan yang akan dilakukan perawat.

e) Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi (marah, takut, sedih, tenang) beri kesempatan mengungkapkan perasaan. Untuk mengidentifikasi pengaruh halusinasi pada klien. c. TUK III : Klien dapat mengontrol halusinasinya. 1) Kriteria evaluasi : a) Klien dapat menyebutkan tindakan yang biasanya dilakukan untuk mengendalikan halusinasinya. b) Klien dapat menyebutkan cara baru. c) Klien dapat memilih cara mengatasi halusinasi seperti yang telah didiskusikan dengan klien. d) Klien dapat melakukan cara yang telah dipilih untuk mengendalikan halusinasi. e) Klien dapat mengetahui aktivitas kelompok. 2) Intervensi a) Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi (tidur, marah, menyibukkan diri sendiri dan lainlain) Upaya untuk memutus siklus halusinasi sehingga halusinasi tidak berlanjut. b) Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien, jika bermanfaat beri pujian. Reinforcement dapat mneingkatkan harga diri klien. c) Diskusikan cara baru untuk memutus/mengontrol timbulnya halusinasi : a.a Katakan : Saya tidak mau dengar kau pada saat halusinasi muncul.

a.b Menemui orang lain atau perawat, teman atau anggota keluarga yang lain untuk bercakap-cakap atau mengatakan halusinasi yang didengar. a.c Membuat jadwal sehari-hari agar halusinasi tidak sempat muncul. a.d Meminta keluarga/teman/perawat, jika tampak bicara sendiri. Rasional: Memberikan alternatif pilihan untuk mengontrol halusinasi. d) Bantu klien memilih cara dan melatih cara untuk memutus halusinasi secara bertahap, misalnya dengan : a.a Mengambil air wudhu dan sholat atau membaca al-qur an. a.b Membersihkan rumah dan alat-alat rumah tangga. a.c Mengikuti keanggotaan sosial di masyarakat (pengajian, gotong royong). a.d Mengikuti kegiatan olah raga di kampung (jika masih muda). a.e Mencari teman untuk ngobrol. Memotivasi dapat meningkatkan keinginan klien untuk mencoba memilih salah satu cara untuk mengendalikan halusinasi dan dapat meningkatkan harga diri klien. e) Beri kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih. Evaluasi : hasilnya dan beri pujian jika berhasil. Memberi kesempatan kepada klien untuk mencoba cara yang telah dipilih. f) Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi realita dan stimulasi persepsi. Stimulasi persepsi dapat mengurangi perubahan interprestasi realitas akibat halusinasi.

d. TUK IV : Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya. 1) Kriteria evaluasi a) Keluarga dapat saling percaya dengan perawat. b) Keluarga dapat menyebutkan pengertian, tanda dan tindakan untuk mengendalikan halusinasi. 2) Intervensi a) Membina hubungan saling percaya dengan menyebutkan nama, tujuan pertemuan dengan sopan dan ramah. Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk memperlancar hubungan interaksi selanjutnya. b) Anjurkan klien menceritakan halusinasinya kepada keluarga. Untuk mendapatkan bantuan keluarga dalam mengontrol halusinasinya. c) Diskusikan halusinasinya pada saat berkunjung tenang : a.a Pengertian halusinasi a.b Gejala halusinasi yang dialami klien. a.c Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus halusinasi. a.d Cara merawat anggota keluarga yang berhalusinasi di rumah, misalnya : beri kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, bepergian bersama. a.e Beri informasi waktu follow up atau kapan perlu mendapat bantuan : halusinasi tidak terkontrol, dan resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Untuk mengetahui pengetahuan keluarga tentang halusinasi dan menambah pengetahuan keluarga cara merawat anggota keluarga yang mempunyai masalah halusinasi.

e. TUK V : Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik. 1) Kriteria evaluasi a) Klien dan keluarga dapat menyebutkan manfaat, dosis dan efek samping obat. b) Klien dapat mendemonstrasikan penggunaan obat dengan benar. c) Klien mendapat informasi tentang efek dan efek samping obat. d) Klien dapat memahami akibat berhenti minum obat tanpa konsutasi. e) Klien dapat menyebutkan prinsip 5 benar penggunaan obat. 2) Intervensi a) Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis dan frekuensi serta manfaat minum obat. Dengan menyebutkan dosis, frekuensi dan manfaat obat diharapkan klien melaksanakan program pengobatan. b) Anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat dan merasakan manfaatnya. Menilai kemampuan klien dalam pengobatannya sendiri. c) Anjurkan klien untuk bicara dengan dokter tentang mafaat dan efek samping obat yang dirasakan. Dengan mengetahui efek samping klien akan tahu apa yang harus dilakukan setelah minum obat. d) Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter. Program pengobatan dapat berjalan dengan lancar. e) Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar dosis, benar obat, benar waktunya, benar caranya, benar pasiennya).

Dengan mengetahui prinsip penggunaan obat, maka kemandirian klien untuk pengobatan dapat ditingkatkan secara bertahap.

DAFTAR PUSTAKA Boyd, M.A & Nihart, M.A, 1998. Psychiatric Nuersing cotemporary Practice, Edisi 9 th. Philadelphis: Lippincott Raven Publisrs,. Carpenito, L.J, 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan (terjemahan). Edisi 8, Jakarta: EGC. Keliat, B.A. 1997. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC. Keliat, B.A. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC. Keliat, B.A. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC. Kusuma, W.1997. Dari A sampai Z Kedaruratan Psiciatric dalam Praktek, Edisi I. Jakarta: Profesional Books. Maramis, W.f. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 9 Surabaya: Airlangga University Press. Rasmun. 2001. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatrik Terintegrasi Dengan Keluarga, Edisi I. Jakarta: CV. Sagung Seto. Rawlins, R.P & Heacock, PE. 1998. Clinical Manual of Pdyshiatruc Nursing, Edisi 1. Toronto: the C.V Mosby Company. Stuart, G.W & Sundeen, S.J. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa (Terjemahan). Edisi 3, EGC, Jakarta. Stuart, G.W & Sundeen, S.J. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa (Terjemahan). Jakarta: EGC. Townsend, M.C. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri (terjemahan), Edisi 3. Jakarta: EGC.