1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan Provinsi Kepulauan dengan jumlah pulau 1.192, 305 kecamatan dan 3.270 desa/kelurahan. Sebanyak 22 Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tersebar di pulau-pulau besar dan kecil, Pulau Timor terdiri dari 6 Kabupaten/Kota (Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Malaka), Pulau Sumba 4 Kabupaten (Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, Sumba Timur, Sumba Barat), Pulau Flores 9 Kabupaten (Ende, Ngada, Nagekeo, Sikka, Flores Timur, Lembata, Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur), Pulau Alor (Kabupaten Alor), Pulau Sabu (Kabupaten Sabu Raijua) dan Pulau Rote (Kabupaten Rote Ndao). Akses transportasi yang digunakan untuk mencapai 22 kab/kota wilayah administratif di Provinsi NTT menggunakan transportasi darat, laut dan udara. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (2013) Provinsi NTT merupakan Provinsi tertinggi kasus ISPA, pneumonia dan hepatitis serta tertinggi kedua malaria. Profil Kesehatan NTT 2015 menunjukkan pola 10 penyakit terbanyak di Provinsi NTT berturut-turut: ISPA, Penyakit pada sistem otot dan jaringan, myalgia, penyakit kulit alergi, artritis reumatoid, penyakit kulit infeksi, diare, penyakit lain pada saluran pernapasan bagian atas, demam yang sebabnya tidak diketahui, penyakit infeksi usus lainnya. Mengingat banyaknya kasus penyakit menular dan tidak menular di Provinsi NTT, maka Provinsi NTT masih menjadi target utama pembangunan kesehatan nasional (Riskesdas, 2013). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur secara jelas pembagian Tugas antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pembagian Urusan Kesehatan disebutkan dalam Pasal 13 dan 14 yaitu bahwa penanganan bidang kesehatan 1
2 merupakan urusan yang wajib dilaksanakan baik oleh pemerintahan daerah Provinsi maupun pemerintahan daerah Kabupaten/Kota. Dinas Kesehatan Provinsi merupakan instansi daerah yang mempunyai tugas membantu Gubernur melaksanakan sebagian urusan rumah tangga daerah di bidang kesehatan. Merujuk pada Peraturan Daerah Provinsi NTT Nomor 10 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur, struktur organisasi Dinas Kesehatan Provinsi sebagai berikut: Dinas Kesehatan dipimpin oleh Kepala Dinas Kesehatan dibantu Sekretariat, 4 Bidang yaitu Bidang Pengembangan SDM Kesehatan, Bidang Kesehatan Masyarakat, Bidang Pelayanan Medik, Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Masalah Kesehatan (P2MK), dan 3 Unit Pelaksana Teknis (UPT) yaitu UPT Pelatihan Tenaga Kesehatan, UPT Laboratorium Kesehatan dan UPT Pengelolaan Obat Vaksin dan Perbekalan Kesehatan. UPT Povabekes sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Provinsi NTT mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan obat, vaksin dan perbekalan kesehatan yang meliputi penerimaan, penyimpanan, pendistribusian obat, vaksin dan perbekalan kesehatan yang diperlukan dalam rangka pelayanan kesehatan masyarakat berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur. Untuk melaksanakan tugas dimaksud, UPT Povabekes NTT menyelenggarakan fungsi: 1) penyusunan rencana teknis operasional di bidang pengelolaan obat, vaksin dan perbekalan kesehatan; 2) pelaksanaan kebijakan teknis operasional di bidang pengelolaan obat, vaksin dan perbekalan kesehatan; 3) pelaksanaan penerimaan, penyimpanan, pemeliharaan dan pendistribusian obat, vaksin dan perbekalan kesehatan; 4) penyiapan penyusunan rencana pencatatan dan pelaporan mengenai persediaan dan penggunaan obat, vaksin dan perbekalan kesehatan; 5) pelaksanaan pengamatan mutu dan khasiat obat, vaksin dan perbekalan kesehatan secara umum baik yang ada dalam persediaan maupun yang telah didistribusikan; 6) pemantauan, pembinaan dan evaluasi pelaksanaan program pengelolaan obat, vaksin dan perbekalan kesehatan; 7) pelaksanaan administrasi ketatausahaan yang meliputi
3 urusan umum, perlengkapan, keuangan, kepegawaian dan pelaporan. Pembentukan UPT Povabekes NTT sebagai unit pengelola obat di Provinsi sesuai dengan Standar Pola Organisasi Unit Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan yang disusun oleh Departemen Kesehatan RI (Depkes RI, 2007). Obat merupakan komponen yang tak tergantikan dalam pelayanan kesehatan yang digunakan untuk peningkatan kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan dan pemulihan oleh karena itu obat harus diusahakan agar selalu tersedia pada saat dibutuhkan. Pemerintah Indonesia melalui Kebijakan Obat Nasional (2006) telah merumuskan pokok dan langkah kebijakan pembangunan kesehatan, salah satunya adalah ketersediaan dan pemerataan obat. Pemerintah berkewajiban menyediakan obat program kesehatan dan penyangga (buffer stock) yang aman, bermutu, berkhasiat dan menjamin ketersediaan dan pemerataan obat terutama obat esensial. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2015-2019 menyusun berbagai strategi dalam mencapai tujuan pembangunan kesehatan di Indonesia. Strategi yang dapat ditempuh untuk terwujudnya ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas yaitu pengelolaan obat berbasis satu pintu/one gate policy. Pengelolaan obat satu pintu meliputi kegiatan seleksi, perencanaan, pengadaan, penyimpanan, distribusi dan pencatatan/pelaporan dilakukan dengan mekanisme yang sama oleh unit pengelola obat baik di tingkat Pusat/Kemenkes maupun Daerah (Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota). Sesuai amanat Renstra Kemenkes RI 2014-2015 Ditjen Kefarmasian dan Alkes Kemenkes RI sedang menyusun Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Kebijakan Pengelolaan Obat Satu Pintu. Penguatan implementasi one gate policy pada manajemen tata kelola obat menjadi salah pokok bahasan dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI Tahun 2016. Hasil Rakerkesnas Dirjen Kefarmasian dan Alkes Tahun 2016 merangkum empat (4) resolusi kebijakan subsistem sediaan farmasi dan alat kesehatan yaitu: 1) Pengadaan
4 obat dan alat kesehatan melalui e-catalogue, 2) Pelaksanaan one gate policy pengelolaan obat dan vaksin, 3) Terjaminnya ketersediaan, mutu obat dan vaksin serta pemenuhan standar kefarmasian, 4) Pemerintah pusat dan daerah menjamin kecukupan dan ketersediaan anggaran bagi pelaksanaan one gate policy dan jaminan ketersediaan, mutu obat dan vaksin serta pemenuhan standar kefarmasian. Konsep pengelolaan obat satu pintu di sektor pemerintah daerah dikembangkan dan disempurnakan melalui pembentukan unit pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan atau Instalasi Farmasi. Instalasi Farmasi dibentuk di daerah untuk memelihara mutu obat dan alat kesehatan yang diperlukan dalam menunjang pelaksanaan upaya kesehatan yang menyeluruh, terarah dan terpadu (Depkes RI, 1990). Tugas pokok dan fungsi unit pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan di daerah kepulauan yaitu melaksanakan semua aspek pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian penggunaan, pencatatan pelaporan serta monitoring dan evaluasi (Depkes RI, 2007). Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Daerah Kepulauan (2007) menyebutkan peran Instalasi Farmasi di Provinsi Kepulauan sebagai unit yang melaksanakan kegiatan distribusi obat publik dan perbekalan kesehatan dari berbagai sumber anggaran ke unit pelayanan kesehatan yang membutuhkan dengan memanfaatkan dana sebaik-baiknya dan berkesinambungan guna memenuhi kepentingan masyarakat. Berdasarkan kebijakan pengelolaan obat berbasis satu pintu, Dinas Kesehatan Provinsi NTT menerapkan sistem distribusi obat satu pintu di UPT Povabekes NTT. Pada sistem distribusi obat satu pintu UPT Povabekes NTT ditunjuk sebagai satu-satunya unit yang berwenang mendistribusikan obat dan perbekalan kesehatan dari berbagai sumber anggaran berdasarkan kebutuhan unit pelayanan kesehatan. Sayangnya, penerapan satu pintu pada fungsi distribusi tidak diikuti dengan penerapan satu pintu pada fungsi-fungsi lain seperti perencanaan, pengadaan dan pengendalian penggunaan, dimana dalam tata kelola obat keempat fungsi tersebut
5 harus dilaksanakan secara utuh dan tidak terputus karena masing-masing fungsi terbangun berdasarkan fungsi sebelumnya dan menentukan fungsi selanjutnya. Mengingat vitalnya obat dalam pelayanan kesehatan, maka sistem distribusi obat yang efisien dan efektif harus mampu menjamin pemenuhan ketersediaan obat di daerah. Sejauh mana efisiensi dan efektivitas penerapan sistem distribusi obat satu pintu di UPT Povabekes NTT belum pernah dilakukan penelitian. Hal tersebut mendorong peneliti melakukan penelitian untuk mendeskripsikan penerapan sistem distribusi obat satu pintu serta membandingkan efisiensi dan efektivitas sistem distribusi obat satu pintu dengan sistem sebelumnya. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat dirumuskan permasalah penelitian yaitu Bagaimana penerapan sistem distribusi obat satu pintu di UPT Povabekes NTT? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mendeskripsikan penerapan sistem distribusi obat satu pintu di UPT Povabekes NTT. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mempelajari mekanisme sistem distribusi obat satu pintu di UPT Povabekes NTT. b. Untuk membandingkan efisiensi sistem distribusi obat satu pintu dengan sistem sebelumnya. c. Untuk membandingkan efektivitas sistem distribusi obat satu pintu dengan sistem sebelumnya. d. Untuk menyusun rekomendasi langkah-langkah perbaikan dalam penerapan sistem distribusi obat satu pintu selanjutnya di UPT Povabekes NTT.
6 Manfaat Teoritis: D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan arah kebijakan dalam upaya peningkatan kualitas pengelolaan obat serta akses obat di sektor pemerintahan. Manfaat Praktis: 1. Bagi Kemenkes RI Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu kajian Kemenkes RI dalam menyusun regulasi terkait kebijakan pengelolaan obat satu pintu. 2. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi NTT Hasil penelitian ini menjadi masukan untuk langkah perbaikan pengelolaan obat satu pintu selanjutnya. 3. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Hasil penelitian ini memberikan gambaran penerapan sistem distribusi obat satu pintu di UPT Povabekes NTT sehingga dapat dijadikan masukan dan pertimbangan dalam pengelolaan obat satu pintu di Kabupaten/Kota masing-masing. 4. Bagi peneliti lain Hasil penelitian ini sebagai sumber data informasi awal untuk dilakukan penelitian lain tentang variabel luar yaitu kebijakan, hukum, regulasi dan pengawasan yang dapat berpengaruh dan variasinya sangat besar antara satu Kabupaten/Kota dengan lainnya. 5. Bagi peneliti Hasil penelitian ini menambah pemahaman yang lebih mendalam tentang penerapan sistem distribusi obat satu pintu di UPT Povabekes NTT. E. Keaslian Penelitian Penelitian lain yang pernah dilakukan dan masih berkaitan dengan penelitian ini antara lain penelitian Kusmini (2016) tentang Evaluasi Pelaksanaan E-purchasing Obat di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun
7 2015. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Kusmini (2016) antara lain: 1) jenis dan desain penelitian; 2) cara pengambilan sampel dengan purposive sampling dan 3) cara analisis data, sedangkan perbedaannya yaitu: 1) tempat dan waktu penelitian; 2) subjek penelitian; 3) variabel penelitian; 4) instrumen penelitian. Harahap (2009) tentang Evaluasi Pengelolaan Obat Pada Pusat Pengelola Farmasi Kota Pontianak untuk mengevaluasi efisiensi dan efektivitas pengelolaan obat pada tahap seleksi, perencanaan, pengadaan di Dinas Kesehatan, penyimpanan dan pendistribusian di Puslafor Kota Pontianak dan penggunaan obat di Puskesmas Kota Pontianak. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian Harahap (2009) yaitu: 1) jenis dan desain penelitian dan 2) cara analisis data. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Harahap (2009) adalah: 1) tempat dan waktu penelitian; 2) subjek penelitian; 3) variabel penelitian; 4) instrumen penelitian. Pira (2008) melakukan penelitian dengan judul Proses Perencanaan dan Penganggaran Program Pencegahan dan Pemberantasan Malaria Terpadu pada Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tujuan penelitian yaitu mengetahui dinamika interaksi pengelola program malaria dalam perencanaan dan penganggaran dalam program pencegahan dan pemberantasan malaria terpadu pada Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Pira (2008) yaitu: 1) jenis dan desain penelitian; 2) cara pengambilan sampel dengan purposive sampling; 3) lokasi penelitian, sedangkan yang membedakan adalah: 1) waktu penelitian; 2) subjek penelitian; 3) variabel penelitian; 4) instrumen penelitian.