BAB V KESIMPULAN. Sastra peranakan Tionghoa adalah produk budaya dan sosial dari

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. kaya di Asia Tenggara. Hal ini begitu tampak dari pakaian, makanan, dan

BAB I PENGANTAR. lain adalah etnik Jawa, Bugis, Batak, Dayak, Arab,dan Tionghoa. 1

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis

BAB VII PENUTUP. 7.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis terhadap kelima novel terlihat bahwa sastra

, 2015 NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA ETNIS TIONGHOA DALAM ANTOLOGI CERPEN SULAIMAN PERGI KE TANJUNG CINA KARYA HANNA FRANSISCA

BAB I PENDAHULUAN. yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya sastra. Sastra tidak hanya sekedar bidang ilmu atau bentuk

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku

oleh Halimah FPBS Universitas Pendidikan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan negara yang dikenal dengan masyarakatnya

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang majemuk, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Kumpulan surat Habis gelap Terbitlah Terang ditulis oleh R.A Kartini pada

Posisi Semiotika dan Tradisi-tradisi Besar Filsafat Pemikiran

commit to user BAB I PENDAHULUAN

Teori Kebudayaan Menurut E.K.M. Masinambow. Oleh. Muhammad Nida Fadlan 1

MASYARAKAT PERANAKAN TIONGHOA DALAM KARYA-KARYA TAN BOEN KIM

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Tahun-tahun akhir abad ke-19 ditandai dengan semakin kerasnya politik pemerintah Belanda

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Eksistensi Pancasila dalam Konteks Modern dan Global Pasca Reformasi

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

17. Berikut ini yang bukan sebutan identik bahwa Pancasila sebagai dasar negara adalah... a. Ideologi negara

BAB IV KESIMPULAN. Novel A Room With a View muncul sebagai suatu karya E.M. Forster yang

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

BAB IV PENUTUP. identik dengan bacaan-bacaan liar dan cabul yang mempunyai corak realisme-sosialis.

PEMETAAN STANDAR ISI

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan cermin dari sebuah realitas kehidupan sosial masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. XVIII dan XIX. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Kemasan Sisingaan Pada Grup Setia Wargi Muda Kabupaten Subang Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.

I. PENDAHULUAN. perhatian yang khusus. Perjuangan dalam pergerakan kebangsaan Indonesia

I. PENDAHULUAN. nasionalisme, menumbuh kembangkan kecintaan kepada Bahasa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. menyebut dirinya dengan istilah Hokkian, Tiochiu, dan Hakka. Kedatangan

RELEVANSI TEORI MARHAENISME DALAM MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN DI ERA KAPITALISME GLOBAL SKRIPSI ANWAR ILMAR

PENGAMALAN PANCASILA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI DAN REFORMASI

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan diri. Berpikir kritis berarti melihat secara skeptikal terhadap apa yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perasaan, yaitu perasaan estetis. Aspek estetis inilah yang mendorong budi

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tak akan pernah lepas dari pengaruh realitas kehidupan yang

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Hal ini disebabkan masing-masing pengarang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. bahan ajar, media yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekolah dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada (Yamin, 2010:64). Tetapi terkadang dalam

BAB I PENDAHULUAN. Rosyadi (2006) menjelaskan bahwa kebudayaan Cina banyak memberikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIKULTURAL DALAM MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG BERKARAKTER. Muh.Anwar Widyaiswara LPMP SulSel

BAB 4 KESIMPULAN. 69 Universitas Indonesia. Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena

2015 KAJIAN PEMIKIRAN IR. SUKARNO TENTANG SOSIO-NASIONALISME & SOSIO-DEMOKRASI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni

BAB VII PENUTUP. dirumuskan sebelumnya. Kesimpulan yang dimunculkan dalam bab ini berisi

Matakuliah : PANCASILA Oleh : Dewi Triwahyuni

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penciptaan Adi Khadafi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. puisi. Latar belakang kehidupan yang dialami pengarang, sangat berpengaruh

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah penghasil batik banyak terdapat di pulau Jawa dan tersebar. di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DAN DASAR NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. berkembang melalui penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (BNSP, 2006: 5).

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

BAB I PENDAHULUAN. halnya di daerah Sumatera Utara khususnya di kabupaten Karo, rumah adat

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

PENCIPTAAN SERAGAM BATIK UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA. Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH[1].

ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS)

PERAN PANCASILA SEBAGAI ALAT PEMERSATU BANGSA

BAB I PENDAHULUAN. yang bebas mengungkapkan semua ide dan ktreatifitasnya agar pembaca dapat menangkap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah tonggak keberhasilan suatu bangsa. Suatu bangsa yang

A. Pengertian dan Kategori Nasionalisme

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran atau cara lain yang dikenal dan diakui

BAB I PENDAHULUAN. tokoh perjuangan lainnya, seperti dengan Tan Malaka, Soekarno, dan yang

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, keterampilan menulis selalu dibelajarkan. Hal ini disebabkan oleh menulis

Wawasan Kebangsaan. Dewi Fortuna Anwar

BAB I PENDAHULUAN. Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan

1. Oleh: 2. Taat Wulandari 3.

BAB VII RAGAM SIMPUL

BAB I PENDAHULUAN. metaforis, lokalitas merupakan sebuah wilayah tempat masyarakatnya secara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seorang warga negara Indonesia dengan paspor Indonesia belum tentu orang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tradisi merupakan kebiasaan yang diturunkan oleh leluhur secara turuntemurun

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat

BAB VI KESIMPULAN. masyarakat hidup bersama biasanya akan terjadi relasi yang tidak seimbang. Hal

BAB 5 PENUTUP. mendeliberasikan ide-ide mengenai perlindungan terhadap hak publik adalah ruang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Pengembangan Budaya memiliki empat Konteks: 2. Melestarikan dan menghargai budaya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini di kenal dua macam cara berkomunikasi, yaitu komunikasi

MENYUARAKAN KAUM YANG TERABAIKAN

BAB I PENDAHULUAN. Cina merupakan salah satu Negara yang memiliki beragam budaya yang

Transkripsi:

BAB V KESIMPULAN Sastra peranakan Tionghoa adalah produk budaya dan sosial dari masyarakat Inonesia. Struktur teks sastra peranakan Tionghoa menunjukkan berbagai oposisi yang dapat dirangkum sebagai berikut; nilai Barat versus nilai Timur, global/internasional versus lokal, liberalisme dan sosialisme versus spritualitas, dan perubahan versus anti perubahan. Struktur teks sastra peranakan Tionghoa ini menunjukkan suatu gagasan mengenai bangunan manusia ideal menurut pandangan para pengarangnya. Manusia yang ideal dalam teks sastra itu digambarkan dengan manusia yang mampu melakukan harmonisasi dengan alam melalui moralitas (Lo Fen Koei), menemukan gagasan spritualitas Timur (Drama Di Boven Digoel), mengasimilasi dua tradisi, lokalitas dan Barat (Berdjoeang), dan kembali pada lokalitas (R.A. Moerhia). Selain itu, satu teks menunjukkan suatu pilihan yang ambigu yakni antara Barat dan Timur (Nona Tjoe Joe). Struktur teks sastra ini memiliki homologi dengan struktur sosial melalui usaha merespon gagasan mengenai manusia modern versi dunia Barat. Struktur masyarakat kolonial dan gerakan nasionalisme budaya menjadi latar penciptaan teks sastra peranakan Tionghoa. Dalam merespon keadaan itu, teks sastra peranakan Tionghoa melakukan usaha destrukturisasi melalui penciptaan ulang manusia ideal menurut pandangan kelompok intelektual pengarang. Penciptaan manusia ideal ini merupakan suatu usaha dalam bertahan dan mendefinisikan 363

ulang posisinya ketika dihadapkan pada gagasan manusia modern menurut versi dunia Barat. Selain itu, gagasan mengenai manusia baru dan tatanan masyarakat yang baru dapat dilihat dari ide atau oposisi yang terdapat dalam struktur teks. Sebagai contohnya, gagasan ini disimbolkan terutama melalui semangat untuk kembali pada ajaran leluhur (moralitas), usaha bersatu dengan alam dan lingkungan, sifat spritualisme sebagai bingkai kebangsaan atau nasionalisme keindonesiaan, upaya menyiasati realitas, bersatu dengan tradisi lokal, dan kontekstualitas atas tradisi leluhur dengan tradisi setempat. Bahkan, gagasan yang muncul dalam teks sastra tidak bisa melepaskan diri dari lingkungan dan tradisinya ketika menyelesaikan satu persoalan, kegagalan dalam mengapai cita-cita individual karena terikat secara budaya, cenderung menghadirkan persoalan sosial (pilihan ideologi, liberalisme, dan gerakan sosial) secara mimetik, dan mengambil bahan atau materi dari lingkungan zamannya secara mimetik. Meskipun demikian, ada satu teks yang melakukan pilihan yang bersifat ambigu. Hal ini ditunjukkan oleh teks Nona Tjoe Joe yang berada dalam pilihan antara gagasan manusia modern versi Barat dan manusia yang taat pada tradisi. Sebagai akibatnya, perbatasan antara yang manusia modern dan manusia yang taat tradisi ini hadir dengan ciri, yakni sifat tersiksa hidup di antara dua dunia, pilihan yang tidak pasti, keterombang-ambingan atas pikiran dan realitas, keraguan dalam memilih, dan berada dalam dua kaki atau antara yang masa lalu dengan yang sekarang atau antara yang ada dalam angan/pikiran dengan yang dihadapi/realitas. 364

Karya sastra peranakan Tionghoa menolak gagasan sastra yang dilepaskan dari dunia sosial. Karya sastra peranakan Tionghoa memiliki cara tersendiri dalam membangun konsep estetikanya. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa oposisi yang terdapat di dalam karya sastra tersebut bukanlah oposisi yang tidak terselesaikan seperti Barat versus Timur, spritual versus materi, materialisme (sosialisme dan liberalisme) versus semi-payuban, pasar bebas versus koperasi, lokalitas versus Tionghoa, lokalitas versus Barat, dunia Timur (lokalitas dan Tionghoa) versus dunia Barat, dan lain-lain. Oposisi itu merupakan oposisi yang tidak saling meniadakan atau menolak dan tidak juga bersifat asimilasi, tetapi melengkapi. Sebagai contohnya, pengunaan lokalitas dan Tionghoa harus diimbangi dengan pengunaan tradisi Barat, yakni Barat sebagai instrumen untuk tujuan manusia Timur. Fakta ini, yang berarti Barat, tidak diinternalisasi, tidak ditiadakan atau dinegasi, dan tidak diasimilasi dalam dunia Timur. Barat tetap hadir dalam dunia Timur sebagai penyeimbang keberlangsungan dunia dan citacita Timur tanpa menjadikan Barat berada dan menyatu dalam diri dunia Timur. Sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruh permulaan abad ke-20 merupakan sastra yang bersifat pragmatis karena menjadi salah satu sarana atau alat dalam memberikan tanggapan terhadap situasi sosial. Selain itu, sastra ini menunjukkan suatu usaha nasionalisme kebudayaan. Usaha ini diwujudkan dengan mempertemukan berbagai lokalitas dalam masyarakat Indonesia ketika itu. Melalui kesamaan dari berbagai lokalitas yang beragam itu, lokalitas itu perlu memiliki suatu wadah, yang disebut sebagai bangsa. Bangsa yang dimaksudkan teks sastra ini adalah bangsa Timur, yang artinya keragaman lokalitas dengan satu 365

dasar yang sama, misalnya cita-cita manusia Timur, kesopanan Timur, dan spritualitas Timur. Gagasan yang demikian ini menunjukkan bahwa nasionalisme atau kebangsaan yang diungkapkan bukanlah kebangsaan yang anti pada penjajah Belanda, melainkan kebangsaan atas kesamaan gagasan manusia ideal atau tatanan masyarakat Timur yang perlu disatukan dalam wadah bangsa Timur, yakni Indonesia. Beberapa pengarang seperti Gouw Peng Liang, Tio Ie Soei, Kwee Tek Hoay, Njoo Cheong Seng, dan Liem Khing Hoo menjadi representasi kelompok intelektual pengarang dalam masyarakat peranakan Tionghoa. Gagasan atau pandangan dunia yang dimiliki oleh kelompok intelektual ini didasarkan atas ajaran leluhur terutama Kong Hucu dan bersifat realis organis, yakni realitas dianggap sebagai satu proses yang berkelanjutan. Subjek kolektif ini melakukan upaya dalam menjaga, melestarikan, dan merestorasi identitas ketionghoaan di tanah perantauan melalui dunia kesastraan. Ketionghoaan bukan lagi pada persoalan ras, darah, dan keturunan, tetapi pada pemahaman mengenai kebudayaan, terutama ajaran para leluhur dan kontekstualisasi atas tradisi. Beberapa pengarang memiliki persamaan bahwa identitas ketionghoaan didasarkan pada unsur yang dominan, yakni ajaran leluhur. Selain itu, hal yang utama yang dijadikan sebagai perjuangan kelompok intelektual pengarang ini adalah cara menempatkan diri di tanah perantauan atau posisi dirinya. Upaya menjaga, memelihara, dan merestorasi identitas ketionghoaan tersebut hanya sebatas pada tingkat permukaan yang dihadirkan oleh kelompok intelektual saja. Sementara itu, tanggapan yang berada di ranah 366

dalam yang dihadirkan oleh kelompok intelektual pengarang ini adalah usaha membela diri atau mempertahankan diri agar posisinya tetap aman di tengah keragaman etnis dan menempati daerah jajahan. Pembelaan diri terhadap keberadaan diri mereka itu dapat dilihat dari usaha mereka dalam menghadapi perjumpaan dengan lokalitas, kolonialisme Barat, dan upaya melihat Tionghoa atau ketionghoaannya sendiri. Dalam melihat posisinya dengan lokalitas, kelompok intelektual pengarang ini pada masa awalnya (1900-1920-an) cenderung mengingkari nilai dan tradisi lokalitas seperti yang dilakukan oleh Gouw Peng Liang. Usaha yang dilakukan adalah dengan menumbuhkan ketionghoaan yang puritanisme, yakni pemurniaan tradisi Kong Hucu, sebab mereka yakin bahwa ajaran leluhur yang tidak dicampuri lokalitas mampu menjadi daya tahan atau daya hidup di tanah perantauan. Selain bersifat puritanisme, pertengahan 1915-an atau 1920-an dijumpai sifat yang mendua atas tradisi lokalitas, yakni hidup diantara lokalitas dengan tradisi leluhur, tetapi tidak menunjukkan unsur yang dominan dan yang dipilihnya atau kadang mengunakan lokalitas dan menggunakan leluhur seperti Tio Ie Soei. Sementara itu, tahun 1925-1942-an terjadi kecenderungan yang berbeda. Sebagai contohnya adalah menemukan dunia lokalitas atau Tionghoa yang diungkapkan oleh Kwee Tek Hoay melalui spritualitas Timur sebagai jawaban terhadap pilihan lokalitas. Sementara itu, internalisasi terhadap nilai lokalitas sebagai unsur pertahanan orang Tionghoa peranakan dilakukan oleh Njoo Cheong Seng dan Liem Khing Hoo. Njoo Cheong Seng cenderung menunjukkan keragaman lokalitas sebagai usaha pemersatu dan mengembalikan 367

tatanan masyarakat pada kebijkan tradisi masing-masing etnisnya. Liem Khing Hoo berusaha mengemukan gagasan manusia dan tatanan baru dengan mendasarkan pada persatuan nilai Barat dan Timur. Era tahun 1920-an hingga 1942-an kecenderungan yang muncul diantaranya adalah tidak mengingkari adanya hibriditas dan justru mendorong memunculkan keragaman nilai lokalitas. Hal ini dilakukan untuk mendukung upaya persatuan keindonesiaan atau sebagai upaya mewujudkan konsep bangsa yang beragam. Dalam menghadapi perjumpaan dengan Barat, kelompok intelektual pengarang ini pada masa awalnya (sekitar 1900 hingga 1920-an) menolak dengan tegas internalisasi pemikiran Barat seperti yang dilakukan oleh Gouw Peng Liang. Sementara itu, tahun 1920-an terjadi sikap mendua atau ambivalen terhadap perjumpaannya dengan Barat. Sikap ambivalen ini muncul sebagai akibat isu pembaratan seperti yang dilakukan oleh Tio Ie Soei. Sementara itu, tahun berikutnya dari 1925-1942-an, kecenderungan yang muncul adalah menolak nilai dan tradisi Barat, tetapi tidak bersifat anti terhadap Barat. Nilai dan tradisi Barat dijadikan instrumen atau alat untuk mencapai tujuan dan cita-cita Timur atau Tionghoa seperti yang dilakukan oleh Kwee Tek Hoay, Liem Khing Hoo, dan Njoo Cheong Seng. Secara umum, kelompok intelektual ini menolak internalisasi nilai, pemikiran, dan cita-cita Barat, tetapi mereka mempelajarinya sebagai sarana atau instrumen untuk tujuan Timur. Namun, Liem Khing Hoo menginternalisasi nilai Barat hanya untuk menunjukkan tatanan masyarakat, tetapi cita-cita manusia dalam tatanan masyarakat yang hibrid itu adalah cita-cita manusia Timur. 368

Gagasan mengenai manusia yang ideal dalam teks sastra peranakan Tionghoa menunjukkan bahwa teks sastra ini menjadi arena pergulatan dan pembangun identitas masyarakat peranakan Tionghoa. Gagasan manusia yang ideal dalam teks sastra ini merupakan satu upaya tandingan atas munculnya gagasan manusia modern versi dunia Barat. Ketionghoaan yang diungkapkan dalam teks sastra bukanlah atas dasar darah dan ras, melainkan atas dasar kontekstualisasi ajaran leluhur, terutama Kong Hucu. Nilai moralitas dan upaya mencapai keseimbangan menjadi ciri ketionghoaan yang dikembangkan oleh teks sastra ini. Gagasan manusia ideal yang dimaksudkan oleh teks sastra itu bukan hanya untuk manusia Tionghoa, tetapi untuk manusia Timur. Istilah dunia Timur yang ada dalam teks sastra ini merujuk pada gagasan bangsa Timur. Gagasan ini menunjukkan bahwa teks sastra ini membangun konsep bangsa dan nasionalisme dengan cara yang berbeda, yakni nasionalisme atas dasar keragaman lokalitas yang disatukan oleh kesamaan sebagai manusia Timur dan dalam wadah yang satu, yakni bangsa Timur atau bangsa Indonesia. 369