II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan Wilayah

dokumen-dokumen yang mirip
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

3 KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. daerahnya masing-masing. Oleh karena itu tiap daerah sudah lebih bebas dalam

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi agar terus tumbuh dalam mendorong pertumbuhan sektor-sektor

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN. ARIS SUBAGIYO Halama n

Batam adalah kotamadya kedua di Propinsi Riau setelah Kotamadya Pekanbaru yang bersifat otonom. Tetapi, dengan Keppres

III. KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional

I. PENDAHULUAN. orang pada tahun (Daryanto 2010). Daryanto (2009) mengatakan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Produk Unggulan dan Kriteria Produk Unggulan

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

AGRIBISNIS. Sessi 3 MK PIP. Prof. Rudi Febriamansyah

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISA KETERKAITAN SEKTOR EKONOMI DENGAN MENGGUNAKAN TABEL INPUT - OUTPUT

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan. Orasi Ilmiah di Universitas Medan Area Tanggal 8 Mei 2004

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

JURIDIKTI, Vol. 6 No. 1, April ISSN LIPI :

II. TINJAUAN PUSTAKA. unggulan menurut Sambodo 2002 dalam Usya (2006:18) bahwa sektor unggulan

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat dari berbagai aspek. meluasnya kesempatan kerja serta terangsangnya iklim ekonomi di wilayah

TINJAUAN PUSTAKA Agropolitan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang saat ini lebih ditekankan pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh :

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian segala upaya pelaksanaan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

BAB I. PENDAHULUAN. pencaharian di sektor pertanian. Menurut BPS (2013) jumlah penduduk yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Master Plan

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN DAN METODOLOGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Pengembangan Wilayah Wilayah (region) adalah unit geografis dimana komponen-komponennya memiliki keterkaitan

III. BAHAN DAN METODE

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimiliki daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya

alah satu dinamika pembangunan suatu wilayah diindikasikan dengan laju pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Oleh karena

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

Transkripsi:

15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan Wilayah Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Pengertian wilayah sangat penting untuk diperhatikan apabila berhubungan dengan program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan wilayah dan pengembangan kawasan. Pengembangan wilayah mempunyai cakupan yang lebih luas daripada pengembangan kawasan. Pengembangan wilayah mencakup penelaahan keterkaitan antar kawasan. Sementara itu, pengembangaan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu unit wilayah, mencakup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun pertahanan keamanan. (Rustiadi et al., 2009). Menurut Riyadi (2002), pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, penurunan kesenjangan antar wilayah dan pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup di suatu wilayah. Upaya ini diperlukan karena setiap wilayah memiliki kondisi sosial ekonomi, budaya dan keadaan geografis yang berbeda-beda, sehingga pengembangan wilayah bertujuan untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Optimal berarti dapat tercapainya tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial budaya dan lingkungan yang berkelanjutan. Pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar sektor pembangunan sehingga setiap kegiatan pembangunan dalam kelembagaan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Dalam pandangan sistem industri, keterpaduan sektoral berarti keterpaduan sistem input dan output industri yang efisien dan sinergis. Oleh karena itu, wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis (Rustiadi et al., 2009).

16 Menurut Tarigan (2008), perencanaan pembangunan wilayah dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Pendekatan sektoral dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di suatu wilayah. Pendekatan ini mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor yang dianggap seragam. Pendekatan regional dilakukan dengan melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan dalam ruang wilayah. Dalam prakteknya, pengembangan wilayah perlu memadukan kedua pendekatan tersebut untuk mendapatkan hasil yang optimal. Pengembangan wilayah merupakan suatu bentuk intervensi positif terhadap pembangunan di suatu wilayah. Strategi pengembangan wilayah dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu supply side strategy dan demand side strategy. Strategi supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi keluar. Tujuan strategi ini adalah untuk meningkatkan pasokan dari komoditi yang pada umumnya diproses dari sumberdaya lokal. Strategi demand side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang dan jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal. Tujuan strategi ini adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peningkatan taraf hidup masyarakat ini diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non pertanian sehingga dapat mendorong berkembangnya sektor industri dan jasa yang pada akhirnya akan lebih mendorong berkembangnya suatu wilayah (Rustiadi et al., 2009). Pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2009), karena keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh setiap daerah maka setiap daerah perlu menetapkan skala prioritas dalam perencanaan pembangunannya. Skala prioritas tersebut didasarkan atas pemahaman bahwa: (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan wilayah, dll); (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak

17 merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, buatan dan sosial yang ada. Atas dasar pemikiran tersebut maka di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis karena besarnya sumbangan yang diberikan sektor tersebut terhadap perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut memberikan dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan, dimana dampak tidak langsung terwujud akibat perkembangan sektor tersebut berdampak bagi berkembangnya sektor-sektor lain dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah sasaran. Pada konsep pembangunan daerah yang berbasis sektor/komoditas unggulan ada beberapa kriteria sektor/komoditas sebagai motor penggerak pembangunan suatu daerah, antara lain : mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran, mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward dan backward linkages) yang kuat, mampu bersaing (competitiveness), memiliki keterkaitan dengan daerah lain (complementary), mampu menyerap tenaga kerja, bertahan dalam jangka waktu tertentu, berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal (Alkadri dan Djajadiningrat, 2002). Dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, maka pemerintah seharusnya mengarahkan pengeluaran anggaran kepada sektor-sektor unggulan yang memiliki nilai keterkaitan dan multiplier effect yang besar. Selain itu, investasi pun diharapkan agar diarahkan kepada sektor ungulan sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Kinerja pembangunan daerah dapat tercapai apabila penganggaran telah sesuai dengan tujuan daerah itu sendiri antara lain meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kesenjangan wilayah dan meningkatkan daya beli masyarakat (Suryawardana, 2006) Pengembangan wilayah berbasis pertanian merupakan suatu upaya pengembangan wilayah dengan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal. Pengembangan wilayah berbasis pertanian ini diarahkan untuk mengembangkan wilayah-wilayah yang memiliki potensi di bidang pertanian sehingga diharapkan dapat memacu kemajuan pembangunan wilayah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya yang sebagian besar memiliki mata pencaharian dari kegiatan

18 pertanian. Strategi pengembangan wilayah berbasis pertanian lebih diarahkan kepada pemberdayaan masyarakat petani sebagai pelaku pembangunan, bukan hanya mengandalkan investor asing. Hal ini karena investasi asing tersebut kurang bisa memberikan multiplier effect yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan daerah dan masyarakat. Salah satu strategi yang yang dapat dilakukan adalah dengan pendekatan konsep agropolitan (Hastuti, 2001). 2.2. Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Sektor pertanian sejak tahap awal pembangunan selalu menjadi sektor yang penting dalam pembangunan di Indonesia. Hal ini didasarkan pada kemampuan sektor pertanian dalam berkontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang cukup besar dan sebagai sumber pendapatan sebagian besar penduduk serta menyediakan lapangan pekerjaan. Selain itu, sektor pertanian juga menjadi sektor input bagi sektor-sektor ekonomi lainnya seperti industri dan perdagangan. Di samping itu, selama krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tahun 1997, ternyata sektor tradisional ini yang paling mampu bertahan dan dapat terus memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan hasil kajian Zaini (2005), selama masa krisis ekonomi, sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai nilai netto ekspor positif, yang berarti nilai impornya lebih rendah dibandingkan nilai ekspornya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian memiliki rasio ketergantungan impor yang rendah sehingga mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang berbasis pada potensi lokal. Hal ini menyebabkan sektor pertanian merupakan sektor yang paling mampu bertahan selama masa krisis ekonomi. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki potensi untuk dikembangkan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu wilayah serta mampu berperan baik dalam mengurangi terjadinya disparitas ekonomi antar wilayah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Purnamadewi et al. (2010) yang menyebutkan bahwa prioritas alokasi investasi ke sektor pertanian dan industri berbasis pertanian yang didukung dengan pembangunan infrastruktur atau implementasi strategi pembangunan ADLI (Agricultural Development Led-

19 Industrialisation) menghasilkan dampak terbaik terhadap pertumbuhan ekonomi dan disparitas ekonomi antar wilayah. Menurut Hermanto (2009), pada dasarnya sektor pertanian dapat menjadi basis pembangunan perekonomian wilayah karena memiliki keterkaitan yang baik dengan sektor lainnya, baik keterkaitan ke depan (forward linkage) maupun kaitan ke belakang (backward linkage). Besarnya keterkaitan tergantung pada beberapa faktor diantaranya sumberdaya manusia, akses modal, infrastruktur, iklim usaha, sarana prasarana produksi, dll. Semakin kuat keterkaitan sektor pertanian dengan sektor lain maka posisi sektor pertanian menjadi sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Peran penting sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian suatu wilayah antara lain : (1) menyediakan kebutuhan bahan pangan yang diperlukan masyarakat untuk menjamin ketahanan pangan; (2) menyediakan bahan baku industri; (3) sebagai pasar potensial bagi produk-produk industri; (4) sumber tenaga kerja dan pembentukan modal yang diperlukan bagi sektor lain; (5) sumber perolehan devisa; (6) mengurangi kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan; (7) menyumbang pembangunan perdesaan dan pelestarian lingkungan hidup (Harianto, 2007). Sektor pertanian memiliki nilai multifungsi yang besar dalam peningkatan ketahanan pangan, kesejahteraan petani dan menjaga kelestarian hidup. Menurut Sudaryanto dan Rusastra (2006), kemampuan sektor pertanian dalam peningkatan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan ditentukan oleh tiga faktor yaitu : (1) kemampuan mengatasi kedala pengembangan produksi, (2) kapasitas dalam melakukan reorientasi dan implementasi arah dan tujuan pengembangan agribisnis, (3) keberhasilan pelaksanaan program diversifikasi usahatani di lahan sawah dengan mempertimbangkan komoditas alternatif non padi seperti palawija dan hortikultura. Pembangunan yang selama ini hanya mengejar pertumbuhan ekonomi cenderung mengabaikan peran sektor pertanian. Pembangunan pertanian saat ini belum berhasil mengangkat pertanian dan petani pada posisi yang lebih baik. Kesenjangan kesejahteraan antara petani dengan pekerja lain di luar sektor pertanian semakin melebar. Hal ini menyebabkan para generasi muda cenderung

20 memilih untuk berkerja di luar sektor pertanian sehingga lama kelamaan sektor pertanian ini akan ditinggalkan dan semakin terpuruk. Selain itu, peningkatan produktivitas usahatani dan kualitas produk belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Produk-produk pertanian lokal menjadi kurang memiliki daya saing dengan produk-produk pertanian dari luar. Sejauh ini peran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja, masih menerima beban yang besar dan tidak berimbang dengan alokasi anggaran, sehingga produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian relatif masih rendah dibandingkan dengan sektor lainnya. Rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja sektor pertanian akan mempengaruhi adopsi teknologi yang pada akhirnya akan berdampak pada rendahnya produktivitas sektor pertanian. Dampak negatif lain dari terpuruknya sektor pertanian ini adalah menurunnya tingkat ketahanan pangan, meningkatnya kemiskinan, ketergantungan pada pangan luar menjadi tinggi, industrialisasi yang terjadi input produksinya sangat tergantung dari bahan baku impor dan meningkatnya pengangguran di perdesaan (Harianto, 2007). Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan tersebut perlu perhatian besar dari pemerintah dalam upaya pembangunan sektor pertanian. Revitalisasi pertanian yang digalakkan oleh Kementerian Pertanian menitikberatkan pada program ketahanan pangan untuk menjamin adanya ketersediaan pangan yang cukup, mudah diperoleh, aman dikonsumsi dan harga yang terjangkau. Sektor pertanian yang mempunyai kontribusi terbesar dalam penyediaan pangan bagi masyarakat adalah subsektor tanaman bahan makanan. Oleh karena itu pembangunan pertanian subsektor tanaman bahan makanan menjadi sangat penting dalam menunjang program ketahanan pangan. Selain itu, pangan merupakan salah satu hak dasar bagi rakyat (basic entitlement). Pembangunan subsektor tanaman bahan makanan memiliki potensi yang besar dalam upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari potensinya sebagai penyumbang terbesar terrhadap nilai PDRB suatu wilayah dan subsektor ini merupakan subsektor pertanian yang paling banyak digeluti oleh sebagian besar masyarakat terutama masyarakat pedesaan.

21 2.3. Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Berlakunya otonomi daerah membawa implikasi bagi setiap pemerintah daerah untuk mampu melihat sektor-sektor yang memiliki keunggulan ataupun kelemahan di wilayahnya. Oleh karena itu setelah berlakunya otonomi daerah, setiap daerah memiliki kewenangan dalam menetapkan sektor atau komoditas yang akan menjadi prioritas pengembangan. Sektor atau komoditas yang memiliki keunggulan memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat menjadi push factor bagi sektor-sektor lain untuk berkembang (Tarigan, 2008). Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah adalah keberadaan sektor unggulan. Sektor unggulan merupakan sektor perekonomian yang diharapkan menjadi motor penggerak perekonomian wilayah. Dengan mengetahui dan mengoptimalkan sektor unggulan ini maka diharapkan terdapat efek positif bagi kemajuan aktivitas perekonomian daerah (Syahidin, 2006). Salah satu alat analisis yang bisa digunakan untuk mengetahui keberadaan sektor unggulan ini adalah teori basis ekonomi. Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Teori ini menyatakan bahwa sektor basis dapat membangun dan memacu penguatan dan pertumbuhan ekonomi lokal sehingga diidentifikasi sebagai mesin ekonomi lokal. Menurut Rustiadi et al. (2009), sektor ekonomi wilayah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi di dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Sektor basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah sedangkan sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di wilayahnya sendiri dan kapasitas ekspor wilayah belum berkembang. Metode yang sering dipakai sebagai indikasi sektor basis adalah metode Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Analisis Location Quotient (LQ) merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah dalam

22 cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Metode LQ juga dapat digunakan untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan bukan basis karena merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Suatu wilayah yang memiliki nilai koefisien lokalisasi (LQ) lebih dari satu untuk suatu kegiatan maka wilayah tersebut berpotensi ekspor sehingga dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi wilayahnya serta memiliki daya saing ekonomi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Dalam konteks perencanaan pengembangan wilayah, upaya untuk mengidentifikasi aktivitas ekonomi basis menjadi bagian yang penting untuk dapat memetakan komoditas atau sektor unggulan. Asumsi yang digunakan dalam analisis sektor basis dengan menggunakan metode LQ ini adalah (1) kondisi geografis unit wilayah relatif seragam, (2) pola aktivitas antar unit wilayah bersifat seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan kualitas produk yang sama dan dinilai dalam satuan yang sama (Pribadi et al., 2010). Analisis LQ juga memberikan gambaran mengenai sektor atau kegiatan ekonomi mana yang terkonsentrasi (memusat) dan yang tersebar. Tarigan (2008) menyatakan bahwa analisis LQ sebagai petunjuk adanya keunggulan komparatif dapat digunakan bagi sektor-sektor yang telah lama berkembang, sedangkan bagi sektor yang baru atau sedang tumbuh apalagi yang selama ini belum pernah ada, metode LQ tidak dapat digunakan karena produk totalnya belum menggambarkan kapasitas riil daerah tersebut. Berkaitan dengan percepatan dan efisiensi pengembangan wilayah, perlu dilakukan penentuan sektor dan komoditas unggulan yang memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif dalam hal ini adalah keunggulan suatu sektor atau komoditas dalam suatu wilayah relatif terhadap sektor atau komoditas pada wilayah lainnya. Upaya pengembangan keunggulan komparatif komoditas pertanian perlu berdasarkan pada sumberdaya lokal. Komoditas yang dikembangkan harus mampu menyerap tenaga kerja lokal dengan didukung oleh kesesuaian lingkungan sumberdaya lokal. Ukuran keunggulan komparatif yang dimaksud pada tulisan ini didasari atas nilai Location Quotient (LQ).

23 Dalam pengembangan wilayah, selain mengetahui keunggulan komparatif perlu diketahui juga keunggulan kompetitif. Pengukuran ini menjadi penting untuk diketahui karena seringkali dalam pengembangan wilayah perlu menentukan sektor mana yang akan dikembangkan. Untuk menentukan hal tersebut selain mengetahui potensi perlu juga diketahui bagaimana kinerja atau tingkat pertumbuhan sektor tersebut dibandingkan dengan wilayah lainnya yang berdekatan dalam sistem wilayah. Keunggulan kompetitif suatu wilayah merupakan keunggulan suatu sektor atau komoditas relatif terhadap sektor atau komoditas lainnya dalam suatu wilayah berdasarkan kinerjanya. Untuk mengetahui keunggulan kompetitif suatu wilayah dapat digunakan analisis shift share dan analisis input-output. Suatu wilayah dikatakan memiliki keunggulan kompetitif apabila dalam waktu tertentu mengalami peningkatan aktivitas yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah lain atau memiliki tingkat pertumbuhan yang positif. Shift Share Analysis (SSA) merupakan teknik analisis yang digunakan untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas berdasarkan kinerja sektor lokal di wilayah tersebut. Kinerja sektor lokal menjadi penting karena dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal wilayah dan memiliki daya tahan terhadap pengaruhpengaruh faktor eksternal. Teknik analisis SSA bertujuan untuk menganalisis pergeseran kinerja suatu sektor di suatu wilayah untuk dipilah berdasarkan sumber-sumber penyebab pergeseran. Ada tiga sumber penyebab pergeseran yaitu : 1. Komponen regional share (komponen laju pertumbuhan total). Komponen ini menunjukkan kontribusi pergeseran total semua sektor di seluruh wilayah yang menunjukkan dinamika total wilayah. 2. Komponen proportional shift (komponen pergeseran proporsional). Komponen ini menunjukkan pergeseran total sektor tertentu di wilayah agregat yang lebih luas yang menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total dalam wilayah. 3. Komponen differential shift (komponen pergeseran diferensial). Komponen ini menunjukkan pergeseran suatu sektor tertentu di suatu wilayah tertentu.

24 Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ketakunggulan) suatu sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain Untuk memetakan sektor unggulan dapat digunakan data PDRB per sektor atau jumlah tenaga kerja per sektor. Data PDRB per sektor dugunkan untuk mengidentifikasi sektor unggulan berdasarkan besaran nilai tambah yang dihasilkan, sementara data tenaga kerja dapat digunakan untuk mengidentifikasi sektor unggulan berdasarkan kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja sehingga mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun untuk memetakan potensi komoditas unggulan wilayah, data yang digunakan bisa berupa data produksi atau produktivitas. Data produksi digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan bedasarkan kapasitas aktual dari aktivitas produksi. Data produktivitas digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan berdasarkan kapasitas potensial dari aktivitas produksi (Pribadi et al., 2010). Dengan berlangsungnya perdagangan bebas, maka perdagangan dunia akan cenderung pada spesialisasi perdagangan, dalam hal ini maka setiap negara akan berusaha memperdagangkan produk-produk yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Bila produk yang diperdagangkan bersifat komplementer, maka peluang negara yang bersangkutan menikmati manfaat perdagangan bebas akan besar. Namun apabila produk yang diperdagangkan bersifat subtitusi maka manfaat yang diperoleh dari perdagangan bebas akan tergantung dari kemampuan produk tersebut untuk bersaing dengan produk sejenis dari negara lain (Saragih, 2010). Tingkat keunggulan komparatif dan kompetitif suatu komoditas dapat digunakan sebagai ukuran untuk menentukan posisi daya saing komoditas tersebut. Produk-produk pertanian khususnya hortikultura mengalami kesulitan untuk bersaing karena masalah kualitas, kuantitas, kontinuitas pasokan dan tingginya kerusakan selama pengangkutan. Ditinjau dari aspek kuantitas, potensi pengembangan produksi komoditas pertanian masih dapat ditingkatkan melalui pengembangan ketersediaan lahan dan peluang peningkatan adopsi teknologi.

25 Sementara itu, dari aspek kualitas dan kontinuitas pasokan salah satunya dapat diatasi dengan pengembangan teknologi budidaya, panen dan pasca panen. Menurut Saptana et al. (2006), daya saing komoditas pertanian dipengaruhi pula oleh kinerja sumberdaya manusia, terutama kemampuan manajerialnya. Untuk mengatasi hal tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan strategi pengembangan kelembagaan kemitraan usaha melalui proses sosial yang matang dan dengan dasar saling mempercayai (trust) di antara para pelaku agribisnis. 2.4. Keterkaitan Sektor Pengembangan sektor memiliki relevansi yang kuat dengan pengembangan wilayah. Suatu wilayah dapat berkembang melalui berkembangnya sektor unggulan di wilayah tersebut yang akan mendorong berkembangnya sektor-sektor lainnya. Selanjutnya, sektor-sektor lain yang akan berkembang dan mendorong sektor-sektor yang terkait sehingga membentuk suatu sistem keterkaitan antar sektor. Keterkaitan antar sektor ekonomi dipandang penting dalam pengembangan wilayah. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan yang terpadu antar sektor ekonomi, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antara sektor yang sangat dinamis. Pendekatan yang dipandang relevan untuk menelaah karakteristik struktur ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan distribusi sumbangan sektoral serta keterkaitan antar sektor perekonomian adalah analisis Input Output (I-O). Tabel input-output (Tabel I-O) pada dasarnya merupakan suatu bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antara sektor yang satu dengan sektor lainnya dalam suatu kegiatan perekonomian di suatu negara/daerah pada suatu periode waktu tertentu. Tabel input-output (I-O) merupakan matriks yang sistem penyajiannya menggunakan dimensi baris dan dimensi kolom. Isian sepanjang baris menunjukkan pengalokasian atau pendistribusian dari output yang dihasilkan oleh suatu sektor dalam memenuhi permintaan antara oleh sektor lainnya dan

26 memenuhi permintaan akhir. Isian sepanjang kolom menunjukkan struktur input yang digunakan oleh masing-masing sektor dalam kegiatan produksinya. Tabel I-O mempunyai kegunaan antara lain untuk : (1) memperkirakan dampak permintaan akhir dan perubahannya (pengeluaran rumah tangga, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor) terhadap berbagai output sektor produksi, nilai tambah (PDRB), pendapatan masyarakat, kebutuhan tenaga kerja, pajak (PAD) dan sebagainya; (2) mengetahui komposisi penyediaan dan penggunaan barang dan jasa sehingga mempermudah analisis tentang kebutuhan import dan kemungkinan substitusinya; dan (3) memberi petunjuk mengenai sektor-sektor yang mempunyai pengaruh terkuat serta sektor-sektor yang peka terhadap pertumbuhan ekonomi (Pribadi et al., 2010). Secara metodologi tabel I-O mempunyai beberapa keterbatasan karena model I-O dilandasi oleh asumsi-asumsi, antara lain sebagai berikut : (1) Asumsi homogenitas yang mensyaratkan bahwa tiap sektor hanya memproduksi suatu jenis output yang seragam (homogenity) dengan sruktur input tunggal dan antar sektor tidak dapat saling mensubstitusi. (2) Asumsi linieritas/proporsionalitas yang mensyaratkan bahwa dalam proses produksi, hubungan antara input dan output merupakan fungsi linier atau berbanding lurus (proporsionality), yang berarti perubahan tingkat output tertentu akan selalu didahului oleh perubahan pemakaian input yang sebanding. (3) Asumsi aditivitas, yaitu efek keseluruhan dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan (additivity) dari proses produksi masingmasing sektor secara terpisah. Dengan kata lain, di luar sistem input-output semua pengaruh dari luar diabaikan (Rustiadi et al., 2009). Adanya asumsi tersebut menyebabkan tabel I-O memiliki keterbatasan antara lain : rasio I-O tetap konstan sepanjang periode analisis sehingga produsen tidak dapat menyesuaikan perubahan-perubahan inputnya atau mengubah proses produksi. Asumsi-asumsi tersebut tidak meliput adanya perubahan teknologi ataupun produktivitas yang dapat terjadi dari waktu ke waktu. Meskipun memiliki keterbatasan, analisis I-O tetap merupakan alat analisis yang lengkap dan komprehensif (BPS, 2000).

27 Menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010a), pemakaian model I-O akan mendatangkan keuntungan bagi perencanaan pembangunan daerah, antara lain: (1) dapat memberikan deskripsi yang detail mengenai perekonomian nasional atau regional dengan menguantifikasikan ketergantungan antar sektor dan asal dari ekspor dan impor; (2) untuk suatu perangkat permintaan akhir dapat ditentukan besaran output dari setiap sektor dan kebutuhannya akan faktor produksi dan sumber daya; (3) dampak perubahan permintaan terhadap perekonomian baik yang disebabkan oleh swasta maupun pemerintah dapat ditelusuri dan diramalkan secara terperinci; dan (4) perubahan-perubahan permintaan terhadap harga relatif dapat diintegrasikan ke dalam model melalui perubahan koefisien teknik. Menurut Djakapermana (2010), hambatan terbesar yang dihadapi oleh lembaga-lembaga perencanaan, terutama di daerah dalam menggunakan analisis I- O antara lain adalah : (1) biaya yang relatif besar dalam pengumpulan data, (2) data pokok yang belum memadai, dan (3) keterbatasan kemampuan teknis. Apabila kendala-kendala tersebut mampu diatasi oleh daerah, maka model analisis I-O merupakan model yang canggih untuk merencanakan pembangunan ekonomi suatu wilayah secara terintegrasi. Keperluan menggunakan model I-O dalam perencanaan pembangunan daerah semakin terasa penting jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Daerah otonom memiliki kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakannya sendiri untuk pembiayaan pembangunan daerah. Permasalahan yang sering muncul yaitu ketika pemerintah daerah otonom mulai merencanakan anggaran pembangunan untuk tiap sektor. Penempatan anggaran sektoral seringkali tidak sesuai dengan potensi sektor yang ada terutama terkait dengan efek sebar yang dimiliki oleh suatu sektor dalam mewujudkan pembangunan. Suatu sektor, meskipun dilihat dari kontribusinya terhadap perekonomian wilayah sangat besar namun belum tentu memiliki efek sebar yang besar pula dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi wilayah. Padahal dampak pembangunan ekonomi suatu sektor tidak cukup hanya dilihat dari kemampuannya menciptakan PDRB, namun yang lebih penting adalah bagaimana sektor tersebut mampu menggerakkan seluruh roda perekonomian wilayah. Maka, model I-O sangat diperlukan untuk memotret fenomena semacam ini.

28 2.5. Komoditas Unggulan Penetapan komoditas unggulan nasional dan daerah merupakan langkah awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi era perdagangan bebas. Menurut Syafaat dan Supena (2000) dalam Hendayana (2003) langkah menuju efisiensi pembangunan pertanian dapat ditempuh dengan mengembangkan komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan sosial ekonomi petani di suatu wilayah, sedangkan dari sisi permintaan komoditas unggulan dicirikan dari kuatnya permintaan di pasar baik pasar domestik maupun internasional. Setiap daerah memiliki karakteristik wilayah, penduduk dan sumberdaya yang berbeda-beda. Hal ini membuat potensi masing-masing daerah akan menjadi berbeda pula dan akan mempengaruhi arah kebijakan pengembangan kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas tersebut mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain atau komoditas tersebut unggul secara komparatif dan kompetitif serta memiliki keterkaitan antar sektor yang kuat sehingga berpotensi sebagai motor penggerak perekonomian wilayah. Pada lingkup kabupaten/kota, komoditas unggulan kabupaten diharapkan memenuhi kriteria sebagai berikut : (1) mengacu kriteria komoditas unggulan nasional; (2) memiliki nilai ekonomi yang tinggi di Kabupaten; (3) mencukupi kebutuhan sendiri dan mampu mensuplai daerah lain/ekspor; (4) memiliki pasar yang prospektif dan merupakan komoditas yang berdaya saing tinggi; (5) memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri dan (6) dapat dibudidayakan secara meluas di wilayah kabupaten (Sari, 2008). Menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010b), kriteria komoditas unggulan adalah sebagai berikut :

29 1. Harus mampu menjadi penggerak utama (prime mover) pembangunan perekonomian. Dengan kata lain, komoditas unggulan tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran. 2. Mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages) yang kuat, baik sesama komoditas unggulan maupun komoditas lainnya. 3. Mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lain (competitiveness) di pasar nasional maupun pasar internasional dalam harga produk, biaya produksi dan kualitas pelayanan. 4. Memiliki keterkaitan dengan wilayah lain (regional linkages), baik dalam hal pasar (konsumen) maupun pemasok bahan baku. 5. Memiliki status teknologi (state-of-the-art) yang terus meningkat, terutama melalui inovasi teknologi. 6. Mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara optimal sesuai dengan skala produksinya. 7. Dapat bertahan dalam jangka panjang tertentu, mulai dari fase kelahiran (increasing), pertumbuhan (growth) hingga fase kejenuhan (maturity) atau penurunan (decreasing). 8. Tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal. 9. Pengembangannya harus mendapatkan berbagai bentuk dukungan, misalnya keamanan, sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, fasilitas insentif/disinsentif dan lain-lain. 10. Pengembangannya berorientasi pada kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. 2.6. Isu Utama Kebijakan Pengembangan Wilayah Pembangunan daerah merupakan suatu upaya untuk merubah tatanan sosial, ekonomi dan budaya melalui berbagai rekayasa dan pengembangan demi menuju ke arah tatanan wilayah yang lebih baik dan produktif di masa yang akan datang. Perubahan pola dan tatanan perekonomian serta peradaban sangat dipengaruhi oleh berbagai isu dan permasalahan strategis pembangunan, dimana

30 segenap isu strategis tersebut bukan saja dapat menjadi faktor pendorong terjadinya pembangunan di suatu daerah atau wilayah tetapi juga dapat menjadi faktor kendala pembangunan. Melalui pemberian otonomi yang besar pada daerah, maka saat ini dan masa yang akan datang keberhasilan pengembangan wilayah sangat tergantung pada kebijaksanaan pemerintah daerah itu sendiri terutama dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi. Oleh karena itu setiap pemerintah daerah harus mampu mengembangkan visi pengembangan wilayahnya masing-masing yang sesuai dengan nilai, arah dan tujuan yang mampu mengarahkan untuk tercapainya masa depan yang baik bagi masyarakat di wilayah yang bersangkutan. Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan dalam rangka pengembangan wilayah maka proses pembangunan perlu diupayakan melalui penguatan kapasitas lokal. Penguatan kapasitas lokal dapat dicapai dengan memaksimalkan keunggulan lokal dan memberdayakan masyarakat yang tinggal di wilayah lokal tersebut. Pembangunan sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman bahan makanan yang merupakan sektor basis dalam perekonomian daerah membutuhkan apresiasi tinggi dari pemerintah daerah untuk memprioritaskan pembangunan pertanian tanpa mengabaikan sinerginya dengan sektor lain. Untuk itu, kebijakan pembangunan pertanian subsektor tanaman bahan makanan yang tepat di suatu daerah sangat diperlukan sehingga nilai tambah yang dihasilkan dapat lebih dipastikan akan memberikan manfaat yang maksimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan nilai tambah pada pembangunan sektor pertanian, perlu adanya reorientasi kebijakan pertanian dari kebijakan pembangunan pertanian yang bersifat parsial dan eksploitatif ke arah kebijakan yang lebih terintegrasi dengan memperhatikan keterkaitan antar sektor ekonomi dan dalam perspektif pembangunan berwawasan lingkungan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup (Hermanto, 2009). Menurut Saragih (2010), pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian nasional sehingga pembangunan ekonomi abad ke-21 masih tetap akan berbasis pertanian. Sejalan dengan tahapan-tahapan perkembangan

31 ekonomi maka kegiatan jasa dan bisnis yang berbasis pertanian juga akan meningkat, sehingga agribisnis menjadi paradigma baru dalam pembangunan ekonomi wilayah berbasis pertanian. Agribisnis merupakan cara baru melihat pertanian yang dulu hanya dilihat secara sektoral sekarang menjadi intersektoral. Agribisnis menunjukkan adanya keterkaitan antar subsistem agribisnis serta keterkaitan horizontal dengan sistem atau subsistem lain di luar pertanian seperti jasa perbankan, tranportasi, perdagangan, dll. Permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah sebagian besar agribisnis berada dalam skala usaha kecil sehingga dibutuhkan upaya promosi melalui pengembangan organisasi ekonomi agar mampu menangkap peluang bisnis dan menjadi mitra sejajar dengan bisnisbisnis besar lainnya, membenahi kualitas sumberdaya manusia dan teknologi. Selain itu, diperlukan pula upaya menghilangkan sekat-sekat yang ada dalam pengembangan agribisnis seperti sekat administrasi, organisasi dan program. Dalam pelaksanaan globalisasi ekonomi sangat diperlukan kebijakan pemerintah melalui seluruh perangkat yang ada di pusat maupun daerah dalam memberikan perhatian yang lebih besar terhadap sektor pertanian. Dengan membangun keterpaduan kegiatan pertanian di dalam era otonomi daerah diharapkan peningkatan kegiatan agribisnis lebih dapat menghasilkan produkproduk pertanian yang mempunyai daya saing sehingga secara langsung memberikan dampak yang besar bagi perekonomian saat ini maupun di masa yang akan datang (Anugrah, 2003). Pembangunan dan pengembangan sektor pertanian khususnya subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka diupayakan fokus pada komoditas unggulan dengan memerlukan dukungan dari beberapa subsistem yang potensial, antara lain subsistem hulu, subsistem usahatani, subsistem agribisnis hilir dan subsistem jasa layanan pendukung serta diperlukan pula dukungan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM), sarana prasarana dan kelembagaan dari masing-masing subsistem tersebut. Penentuan prioritas pembangunan sektor pertanian tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan yang mengakomodir keinginan (preferensi) dari para pengguna (stakeholders) melalui AHP, dengan mengadopsi langkah-langkah yang dilakukan oleh Saaty (2008). Hasil analisis ini menghasilkan suatu peringkat prioritas atau bobot dari tiap

32 alternatif keputusan atau pilihan yang akan diambil dalam penentuan kebijakan sektor pertanian. Analysis Hierarchy Process (AHP) dilakukan untuk mengetahui isu-isu utama yang akan dijadikan prioritas dalam pengambilan keputusan pembangunan. Tujuan utama yang ingin dicapai dengan metode AHP adalah menjaring persepsi tentang prioritas dalam penentuan kebijakan pembangunan untuk mendukung pengembangan wilayah. Menurut Saaty (2008), model AHP ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi konflik. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utama berupa persepsi manusia. Suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dengan hirarki dapat dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki. Pendekatan AHP merupakan salah satu alat untuk memilih alternatif kebijakan serta dapat digunakan untuk menilai kesesuaian kebijakan. AHP dipilih karena memiliki keunggulan dalam memecahkan permasalahan kompleks dimana aspek atau kriteria dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria alternatif yang dipilih cukup banyak. Selain itu, AHP juga mampu menghitung validasi sampai pada pengambilan keputusan. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utama berupa persepsi manusia. Dengan hirarki suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dapat dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan yang kompleks yang tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian yang tertata dalam suatu hirarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik, secara subjektif tentang arti pentingnya variabel tersebut dan secara relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil. (Marimin dan Maghfiroh, 2011)