I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan peserta pendidikan di tingkat perguruan tinggi negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi. Mahasiswa dalam perkembangannya berada pada kategori remaja akhir dengan rentang usia antara 18-21 tahun, namun beberapa mahasiswa dapat pula terkategori sebagai dewasa awal yaitu 21-28 tahun (Monks, 2001). Mahasiswa kedokteran gigi merupakan peserta pendidikan yang telah diterima di fakultas kedokteran gigi. Kurikulum pendidikan kedokteran gigi ditujukan untuk mencapai keahlian yang beragam meliputi pengetahuan teoritis, kompetensi klinis, serta keterampilan interpersonal (Thornton dkk., 2004). Pendidikan kedokteran gigi merupakan lingkungan pembelajaran dengan banyak tuntutan akademik seperti harus menghadiri perkuliahan, mengikuti ujian dan lulus tepat waktu. Tuntutan akademik ini memberi tekanan yang melampaui batas kemampuan mahasiswa, yang mengacu pada stress (Sanders dan Lushington, 2002; Potter dan Perry, 2005). Stres merupakan respon fisik atau psikis terhadap ancaman yang dirasakan (Kabo, 2008). Tingkat stres pada mahasiswa kedokteran gigi lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa lainnya. Stres pada mahasiswa secara umum berkaitan dengan beban tugas yang diberikan, konflik dan persaingan prestasi akademis. Sumber stres pada mahasiswa kedokteran gigi berasal dari beban tugas perkuliahan, keterbatasan waktu untuk menyelesaikan tugas kuliah, kesulitan tugas perkuliahan, ujian, kurangnya rasa percaya diri, kurangnya waktu luang untuk 1
2 beristirahat, melengkapi syarat kelulusan, takut menghadapi kegagalan, suasana klinik serta kurangnya suasana rumah. Tingkat stres yang tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan terjadinya burnout (Ara, dkk., 2015; Polychronopoulou dan Divaris, 2005; Sedky, 2012; Rajpurohit dkk., 2015). Burnout merupakan keadaan kelelahan mental dan atau fisik sebagai akibat stres yang berlebih dan berkepanjangan. Pada awalnya burnout hanya diamati dalam lingkungan pelayanan masyarakat seperti rumah sakit, namun saat ini burnout juga dapat dialami oleh mahasiswa. Burnout pada mahasiswa merujuk pada rasa lelah secara emosional yang disebabkan oleh tuntutan belajar, memiliki perilaku sinis, dan merasa sebagai pelajar yang tidak berkompeten (Brazeau, 2010; Schaufeli dkk., 2002). Gejala yang ditimbulkan burnout pada mahasiswa meliputi adanya jam perkuliahan yang terlalu padat, tidak adanya waktu untuk istirahat, keluhan-keluhan yang menyangkut fisik, penarikan diri dari lingkungan, perubahan dalam diri sendiri seperti kelelahan emosional, hilangnya harga diri, tekanan dan frustasi (Greenberg, 2002). Prevalensi burnout pada mahasiswa kedokteran gigi di beberapa negara bervariasi seperti di Brasil sebesar 17 % (Campos dkk., 2012), di Kolombia sebesar 7% (Mafla dkk., 2014), dan di Jerman sebesar 7% (Pohlmann, 2005). Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) atau secara umum dikenal sebagai apthae adalah penyakit yang sering terjadi pada mukosa mulut (Scully, 2006; Scully, 2004). Stomatitis Aftosa Rekuren merupakan kondisi umum berupa ulkus kambuhan sebanyak 2-4 kali dalam setahun (Barrons, 2001; Robinson dan Guitart, 2013). Ulkus ini ditemukan terutama pada mukosa non keratinisasi yaitu mukosa
3 labial, mukosa bukal, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, serta palatum lunak (Jurge, dkk., 2006; Scully, 2004; Dowst, 2013). Prevalensi SAR berkisar antara 20-60% dari populasi di dunia. Beberapa negara telah melaporkan angka kejadian SAR seperti Amerika Serikat (60%), Swedia (2%), Spanyol (1,9%), dan Malaysia (0,5%) (Regezi dkk., 2012). Tangkilisan, dkk. (2013) dan Mintjelungan, dkk. (2013) melaporkan bahwa prevalensi SAR di FKG Universitas Sam Ratulanggi sebesar 59,7% disebabkan tingkat stres yang tinggi dan 80% disebabkan penggunaan alat orthodontic cekat. Etiologi SAR mungkin multifaktorial, dengan berbagai faktor predisposisi dan perubahan imunologi yang dipicu oleh berbagai faktor. Faktor predisposisi yang berperan dalam kemunculan SAR meliputi genetik, defisieni hematinik, stres, perubahan hormon, trauma, serta obat-obatan (Scully, 2004; Scully, 2003). Gallo, dkk. (2009) melaporkan bahwa stres menginduksi aktivitas imun dengan menaikkan jumlah leukosit pada lokasi yang mengalami inflamasi akibat SAR, dan berperan dalam keparahan SAR. Keparahan SAR diukur menggunakan Ulcer Severity Score (USS). Parameter USS ini mengukur keparahan dari beberapa aspek yaitu rerata jumlah, ukuran, durasi, periode bebas ulkus, lokasi dan persepsi rasa nyeri (Tappuni, dkk., 2013). Berbagai penelitian melaporkan bahwa SAR terkait dengan stres dan stres yang berkepanjangan mengakibatkan terjadinya burnout, sehingga perlu diteliti apakah keparahan SAR berhubungan dengan burnout.
4 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut, apakah terdapat hubungan antara burnout dengan keparahan stomatitis aftosa rekuren pada mahasiswa Strata Satu Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada. C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai hubungan SAR dengan faktor etiologi telah diteliti sebelumnya oleh beberapa peneliti. Gallo, dkk. (2009) melaporkan bahwa stres memicu kemunculan SAR. Kumar, dkk. (2014) melaporkan bahwa adanya hubungan antara stres dengan SAR. Rosarina, dkk. (2009) melaporkan bahwa stres mempengaruhi prevalensi SAR sebesar 67%. Tangkilisan, dkk (2013) melaporkan bahwa pengalaman SAR sebesar 59,7% dengan tingkat stres yang tinggi. Penelitian mengenai hubungan burnout dengan keparahan stomatitis aftosa rekuren (SAR), sepengetahuan penulis belum pernah diteliti sebelumnya. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara burnout dengan keparahan stomatitis aftosa rekuren pada mahasiswa Strata Satu Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada.
5 E. Manfaat penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan informasi mengenai hubungan antara burnout dengan keparahan SAR 2. Menjadi acuan atau referensi penelitian lebih lanjut.