BAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel Nyamuk untuk bahan uji dalam penelitian ini berasal dari telur Aedes aegypti yang diperoleh dari wilayah Jakarta Timur yang memiliki kasus demam berdarah tertinggi. Survey pendahuluan untuk menentukan lokasi penelitian dipandu oleh petugas Dinas Kesehatan Jakarta Timur berdasarkan data kasus kejadian tertinggi di wilayah tersebut. Peta lokasi penelitian tersaji pada Gambar 10 dan 11. Gambar 10. Lokasi Kecamatan Duren Sawit di Jakarta Timur
25 RT 4 RT 6 RT 5 RT 9 Gambar 11. Lokasi penelitian di wilayah Kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur Setelah ditentukan wilayah studi oleh petugas Dinas Kesehatan Jakarta Timur maka dari lokasi tersebut dipilih beberapa sub lokasi secara random untuk pengambilan telur nyamuk Aedes aegypti. Pengambilan telur dilakukan dengan menggunakan ovitrap selama satu minggu. Pada penelitian ini dilakukan dua kali pengambilan. Pemasangan ovitrap dilakukan pada wilayah rukun warga (RW) yang paling endemik, yaitu di Rawa Domba Kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur. Pemasangan ovitrap dilakukan pada RW 7 yang terdiri dari 4 RT, yaitu RT 4, RT 5, RT 6 dan RT 9. Lokasi pengambilan telur nyamuk dilakukan pada daerah padat dan kumuh serta daerah terbuka seperti terlihat pada Gambar 12 dan 13.
26 a b c d Gambar 12. Daerah padat dan kumuh a : Tipe rumah tinggal dengan intensitas cahaya kurang (gelap) b: Tipe rumah tinggal dengan talang air yang tidak terawat c: Tipe rumah tinggal tanpa saluran pembuangan air d: Tipe rumah tinggal berfungsi sebagai penampung barang bekas
27 A B Gambar 13. Daerah terbuka a: Lahan terbuka yang berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah b: Lahan terbuka yang mempunyai genangan air Jumlah ovitrap yang dipasang untuk masing-masing RT sebanyak 20 buah. Pemasangan ovitrap dibantu oleh petugas puskesmas, jumantik dan kader. Sebelum pelaksanaan dilakukan pelatihan untuk tenaga yang akan terlibat sesuai kegiatannya. Pengambilan kertas saring di dalam ovitrap dibantu oleh jumantik dan kader dibawah supervisi ketua PKK dan ketua kader jumantik. Setelah masa pemasangan ovitrap selesai maka semua ovitrap dikumpulkan kembali supaya tidak menjadi tempat nyamuk bertelur. Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti di Laboratorium Telur yang didapat dari setiap lokasi ditetaskan di dalam nampan yang berbeda untuk setiap lokasi, nampan-nampan tersebut diisi air bersih sebagai media larva. Setelah menjadi larva, dilakukan pemberian pakan berupa hati ayam rebus. Besarnya kebutuhan pakan larva tergantung pada jumlah dan instar larva. Setelah larva menjadi pupa, maka pupa-pupa tersebut dipindahkan ke wadah yang diisi air bersih untuk ditetaskan dalam sangkar. Setelah menetas, nyamuk diberi pakan larutan gula 10%. Nyamuk betina yang
28 menetas dan akan kawin diberi pakan darah marmut agar telur yang dihasilkan menjadi fertil. Untuk mendapatkan telur, dibuat perangkap telur sederhana berupa kertas saring yang diletakkan dalam mangkuk plastik berisi air secukupnya untuk melembabkan media tersebut. Telur-telur hasil pemeliharaan dan pembiakan di laboratorium dikumpulkan sampai jumlahnya dapat menghasilkan larva nyamuk F2 untuk diuji toleransinya. Pemeliharaan nyamuk yang berasal dari pengambilan telur di lapangan (wilayah pengamatan) dilakukan di Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan IPB a b Gambar 14. Pemeliharaan larva nyamuk Aedes aegypti a: Penetasan telur nyamuk Aedes aegypti b: pemeliharaan larva Aedes aegypti
29 Gambar 15. Kandang pemeliharaan nyamuk Aedes aegypti dewasa Gambar 16. Marmut umpan sebagai sumber darah untuk nyamuk Aedes aegypti dewasa
30 Uji Toleransi Uji Toleransi Larva Nyamuk Aedes aegypti Terhadap Temefos Uji toleransi yang digunakan sesuai standar WHO dan mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Polson (Polson et al, 2001). Sebanyak 50 larva ditempatkan pada wadah plastik yang berisi 500 ml air tanah. Larva-larva dikontakkan dengan temefos berkonsentrasi 0,00004; 0,0002; 0,0001; 0,01 dan 0,025 ppm. Pengujian dilakukan masing-masing dengan tiga kali pengulangan dan kontrol menggunakan nyamuk yang berasal dari Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan IPB sebagai pembanding. Mortalitas dihitung setelah larva nyamuk berkontak dengan temefos selama 24 jam. Kriteria toleransi larva terhadap temefos ditentukan sebagai berikut: kematian sebesar 99 100% (peka) kematian sebesar 80 98% (diperlukan verifikasi/toleran) kematian sebesar <80% (resisten) Uji Toleransi Nyamuk Dewasa Aedes aegypti Terhadap Malation Uji toleransi yang digunakan sesuai standar WHO (1981) untuk insektisida malation (organofosfat). Percobaan ini dilakukan berdasarkan kontak nyamuk dewasa dengan insektisida yang terimpregnasi (impregnated) dalam kertas saring. Kertas saring yang digunakan mempunyai konsentrasi 0,8% dan 5% (v/v). Nyamuk yang digunakan adalah nyamuk betina dewasa. Sebagai pembanding atau kontrol digunakan nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari insektarium Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Empat pasang tabung disiapkan dan pada setiap tabung uji (yang diberi tanda merah) dipasang kertas berinsektisida memutari dinding tabung (Gambar 17). Selanjutnya ke dalam tabung uji dimasukkan nyamuk betina sebanyak 25 ekor dengan kondisi abdomen kenyang air gula. Uji toleransi nyamuk Aedes aegypti dilakukan dengan dua standar: 1. Standar WHO, nyamuk yang dikontakkan dengan insektisida malation 0,8% selama 5, 15, 30, 45 dan 60 menit. Setelah uji selesai dan diperoleh data rentang
31 waktu untuk melakukan percobaan, dilakukan percobaan dengan cara yang sama tetapi waktu kontak 45 sampai dengan 90 menit. 2. Standar Indonesia: nyamuk dikontakkan dengan insektisida malation 5% selama 2, 5, 10, 15 dan 30 menit. a b Gambar 17. Peralatan pengujian resistensi nyamuk Aedes aegpti terhadap malation. a. Tabung pengujian resistensi nyamuk dewasa terhadap malation b. Pengujian resistensi nyamuk dewasa terhadap malation Sebagai kontrol digunakan 2 tabung yang diberi tanda hijau dan dilengkapi kertas tanpa insektisida. Setelah nyamuk diuji kontak, kemudian dipindahkan kedalam tabung penyimpanan (holding) yang diberi tanda hijau. Kematian nyamuk dihitung/diamati setelah 24 jam penyimpanan. Selama penyimpanan kelembaban dijaga dengan cara pada ujung tabung penyimpanan diletakkan kapas basah. Percobaan yang sama dilakukan pada nyamuk pembanding. Data seluruh uji toleransi baik larva maupun nyamuk dewasa digunakan untuk menghitung konsentrasi kematian (LC) untuk larva dan waktu kematian (LT) untuk dewasa menggunakan piranti lunak POLO. Perbandingan nilai LC nyamuk yang diamati dengan nyamuk laboratorium merupakan nilai rasio resistensi (RR).
32 Untuk membuktikan secara komprehensif status toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap temefos dilakukan perhitungan probit untuk menentukan LC 50, LC 95 dan rasio resistensi (RR). Setelah LC 50, LC 95 diperoleh dari perhitungan probit, maka nilai rasio toleransi (RR) dapat dihitung menggunakan persamaan di bawah ini (Rawlins, 1998., Ponlawat et al, 2005): RR = LC LC strain yang diamati strain pembanding Uji Peningkatan Enzim Esterase Non Spesifik (Lee, 1990 dalam Widiarti, et al 2002) Larutan yang disediakan untuk pengujian peningkatan enzim esterase adalah: 1. Larutan α-naftil asetat (α-na), dibuat dengan cara melarutkan 0,0559 g α-na ke dalam 10 ml aseton sehingga diperoleh α-na 30 mm (larutan stock) 2. Larutan β-naftil asetat (β-ba) dibuat dengan cara melarutkan 0,0559 g α-nb ke dalam 10 ml aseton sehingga diperoleh α-na 30 mm (larutan stock) 3. Larutan A (NaH 2 PO 4 0,2M) dibuat dengan cara melarutkan 6 g Na 2 H 2 PO 4 ke dalam 200ml H 2 O. 4. Larutan B (Na 2 HPO 4 0,2M) dibuat dengan cara melarutkan 6 g Na 2 HPO 4 ke dalam 200ml H 2 O. 5. Larutan fosfat buffer (PBS) 0,1 M; ph 7, dibuat dengan cara mencampur 35 ml larutan A + 90 ml larutan B + 125 ml H 2 O. 6. Larutan fosfat buffer (PBS) 0,2 M; ph 7,2 dibuat dengan cara mencampur 5 ml larutan A + 90 ml larutan B + 125 ml H 2 O. 7. Larutan SDS 5% dibuat dengan cara melarutkan 2,5 g SDS ke dalam 50 ml PBS 0,1M ph 7. 8. Larutan α-na 0,3 mm dibuat dengan cara mencampur 120 μl larutan α-na 30 mm ke dalam 11,88 ml PBS 0,002M; ph 7,2. 9. Larutan β-na 0,3 mm dibuat dengan cara mencampur 120 μl larutan β-na 30 mm ke dalam 11,88 ml PBS 0,002M; ph 7,2. 10. Larutan fast blue, dibuat dengan cara melarutkan 50 mg Fast Blue B salt + 5 ml H 2 O + 11,66 ml SDS 5%. 11. Asam asetat 10%
33 Cara pengujian sebagai berikut, seekor larva nyamuk Aedes aegypti instar 4 digerus dengan dengan 150 μl deionized water di dalam tabung Eppendorf menggunakan grinder bertenaga baterai sampai hancur. Untuk setiap piringan dengan jumlah lubang 96 buah dibutuhkan 47 larva, satu larva digunakan untuk dua sumur, masing-masing untuk pengujian dengan α-na dan β-na. Sebagai standar digunakan air untuk diisikan pada dua buah sumur pertama (A1 dan B1). Setelah itu ekstrak dari setiap satu tabung minitub eppendorf diambil 2 X 20 μl larutan yang mengandung gerusan larva nyamuk (homogenat), satu sumur diisi 20 μl homogenat. Untuk baris pertama, ketiga, kelima dan ketujuh (A, C, E dan G) direaksikan dengan 200 μl larutan α-na, sedangkan untuk barisan kedua, keempat, keenam dan kedelapan (B, D, F dan H) direaksikan dengan 200 μl larutan β-na, setelah itu didiamkan selama satu menit, kemudian ditambahkan 50 μl larutan fast blue. Reaksi dibiarkan berlangsung selama 15 menit. Untuk menghentikan reaksi ditambahkan 50 μl larutan asam asetat ke dalam setiap mikroplate. Pembacaan hasil reaksi dilakukan mengunakan Elisa reader pada panjang gelombang 450 nm. Tanggapan masyarakat terhadap penyakit DBD dan pengendaliannya Tanggapan masyarakat terhadap penyakit DBD dan pengendaliannya dilakukan dengan membagikan angket berupa kuesioner yang disampaikan kepada 80 kepala keluarga. Angket tersebut berupa isian data mengenai: (1) Karakteristik responden: umur, pekerjaan dan penghasilan perbulan (2) Pengetahuan terhadap perilaku nyamuk Aedes aegypti (3) Sikap responden terhadap pengendalian vektor penyakit DBD.