HASIL DAN PEMBAHASAN
|
|
- Ratna Budiaman
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 34 HASIL DAN PEMBAHASAN Status toleransi larva Aedes aegypti terhadap temefos Penentuan staus toleransi Aedes aegypti terhadap temefos di Kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur, dilakukan berdasarkan kriteria WHO (WHO 1981) bahwa suatu populasi dianggap resisten bila pada saat dilakukan pengujian bioassay, kematian nyamuk kurang dari 80% dengan konsentrasi temefos 0,02 ppm. Hasil pengujian bioassay ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Persentase kematian larva nyamuk Aedes aegypti pada uji toleransi terhadap temefos Jumlah larva nyamuk yang mati (%) Konsentrasi temopos (ppm) Lokasi 0, ,0002 0,001 0,01 0,025 Control RT 4 Ulangan Ulangan Ulangan Rata-rata 36, RT 5 Ulangan Ulangan Ulangan Rata-rata 23,33 55, RT 6 Ulangan Ulangan Ulangan Rata-rata 38,67 79,33 91, RT 9 Ulangan Ulangan Ulangan Rata-rata 60, Nyamuk Lab IPB Ulangan Ulangan Ulangan Rata-rata 88 95,
2 35 Merujuk Tabel 3, pemakaian temefos pada konsentrasi 0,00004 ppm menunjukkan jumlah kematian larva nyamuk Aedes aegypti pada seluruh daerah pengamatan berkisar antara 23,33 sampai dengan 60,67%. Pada konsentrasi tersebut larva nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang digunakan sebagai pembanding mengalami kematian sebesar 88%. Pada konsentrasi temefos 0,0002 ppm jumlah larva nyamuk yang mati berada pada kisaran 55,33 sampai dengan 92%. Disisi lain kematian larva nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari laboratorium entomologi FKH IPB 95,33%. Pada konsentrasi temefos 0,001% menunjukkan respon kematian yang signifikan pada kisaran 78 sampai dengan 100% untuk larva nyamuk dari seluruh daerah pengamatan. Pemakaian konsentrasi temefos 0,01% atau setengah dari konsentrasi yang dianjurkan oleh WHO menunjukkan seluruh larva nyamuk mengalami kematian sebanyak 100%, demikian juga pada konsentrasi temefos 0,025%. Berdasarkan hasil percobaan menunjukkan bahwa larva nyamuk Aedes aegypti pada semua lokasi pengamatan belum berada pada status resisten. Hal ini merujuk pada WHO, yang menyatakan bahwa suatu populasi dinyatakan resisten jika persen kematian larva nyamuk kurang dari 80% setelah mengalami pajanan temefos 0,02 ppm selama 24 jam (WHO, 1981). Dari pengolahan data menggunakan perhitungan probit diperoleh hubungan antara respon kematian larva nyamuk Aedes aegypti terhadap pengaruh peningkatan konsentrasi temefos (mortalitas dalam probit), hal ini ditunjukkan pada Gambar 18. Dari gambar tersebut dapat dilihat adanya hubungan antara respon kematian larva Aedes aegypti terhadap pengaruh peningkatan konsentrasi temefos yang digunakan. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi antara log konsentrasi dengan mortalitas dalam probit pada semua daerah pengamatan. Hasil perhitungan koefisien korelasi tersebut untuk wilayah RT 4, RT 5, RT 6 dan RT 9 berturut-turut adalah 0,861; 0,9041; 0,913 dan 0,805.
3 Mortalitas dalam prob RT 4 RT 5 RT 6 RT 9 IPB Log Konsentrasi Gambar 18. Hubungan kematian larva Aedes aegypti terhadap konsentrasi temefos Nilai koefisien korelasi tersebut diatas 0,5 atau 50% yang berarti terdapat hubungan antara kematian larva Aedes aegypti dengan konsentrasi temefos pada kisaran 0,00004 sampai dengan 0,025 ppm. Nilai koefisien korelasi disetiap daerah pengamatan yang berkisar antara 0,805 sampai dengan 0,913 menunjukkan adanya homogenitas respon larva nyamuk terhadap konsentrasi temefos. Perhitungan probit yang digunakan untuk menyatakan status toleransi larva nyamuk Aedes aegypti terhadap larvasida temefos di kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Analisis probit larva nyamuk Aedes aegypti terhadap pemakaian temefos 0,00004 sampai dengan 0,025 ppm LC 50 LC 95 Lokasi (ppm) (ppm) RR 50 RR 95 Persamaan regresi RT 4 0, , ,15 Y = 2, ,41X RT 5 0, , ,38 Y = 1,21 + 4,58X RT 6 0, , ,23 Y = 1,27 + 5,36X RT 9 0, , ,85 Y = 1,26 + 5,81X Nyamuk Lab IPB 0, ,00013 Y = 1,02 + 5,62X
4 37 Mengacu pada Tabel 4, nilai RR 50 larva Aedes aegypti yang berasal dari RT 4, RT 5, RT 6 dan RT 9 berturut-turut 6, 17, 6 dan 2 kali dibandingkan dengan larva nyamuk pembanding. Disisi lain nilai RR 95 larva yang berasal dari RT 4, RT 5, RT 6 dan RT 9 berturut-turut 2,15; 29,38; 9,23 dan 3,85 kali dibandingkan dengan larva nyamuk pembanding. Berdasarkan nilai rasio resistensi (RR) maka terbukti pemakaian temefos untuk menangani kasus demam berdarah di Kelurahan Duren sawit, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur belum berada pada status resisten. Hal ini mengacu pada Brown (1989) yang menyatakan bahwa nyamuk berada pada tahap resisten jika nilai rasio resistensi meningkat lebih dari 10 kali dan nilai LC 50 melebihi 0,25 ppm. Walaupun sebagian besar wilayah Kelurahan Duren Sawit Jakarta Timur belum berada pada status resisten tetapi perlu diwaspadai kemungkinan peningkatan status toleran terhadap temefos. Dari Hasil penelitian Gunandini (2002) pada 20 generasi terlihat bahwa besarnya LC 50 temefos semakin meningkat dengan semakin bertambahnya generasi yaitu pada konsentrasi 0,025 ppm (Fo), 0,032 ppm (F5) 0,042 ppm (F10), 0,062 (F15) dan 0,071 ppm (F20). Toleransi terhadap temefos pada Aedes aegypti telah dilaporkan di Bangkok. Pada tahun 1966, larva Aedes aegypti yang berasal dari 14 daerah di kota Bangkok menunjukkan toleran terhadap temefos. Tahun 1986 sampai dengan 1993 nyamuk Aedes aegypti terindikasi resisten terhadap temefos (Ponlawat, et.al 2005). Paeporn et al (2005) melaporkan terdapat satu kasus toleran terhadap temefos dari 4 wilayah pengamatan di Thailand. Tingkat resistensi yang tinggi terdeteksi di wilayah Surat Thani yang ditunjukkan oleh nilai rasio resistensi (RR 95 ) sebesar 130 kali terhadap strain pembanding. Uji toleransi terhadap temefos di Rajahmundry town India, memberikan hasil pada konsentrasi malation 0,125 dan 0,625 ppm menyebabkan kematian larva nyamuk Aedes aegypti sebesar 100% (Mukhopadhyay et al, 2006). Laporan internal Environmental Surveillance Directory Brazil menunjukkan sebanyak 33,833 ton temefos telah digunakan sepanjang tahun Terkait dengan hal tersebut, penelitian uji kepekaan nyamuk Aedes aegypti terhadap temefos di Brazil menunjukkan indikasi resisten. Dua dari tujuh wilayah yang diamati yaitu Ceilandia dan Gama masih menunjukkan status peka terhadap temefos. Tiga wilayah lainnya yaitu: Planaltina, Sobradinho dan Taguartinga terindikasi kepekaan menengah
5 38 dan dua wilayah Guara dan N. Bandeirante terindikasi resisten. Dua wilayah yang diindikasikan resisten tersebut berdasarkan hasil percobaan bioassay menunjukkan sebanyak 54,1% sampai dengan 61,9% larva nyamuk Aedes aegypti yang mati pada konsentrasi temefos 0,012 ppm (de Carvalho et al, 2004). Berdasarkan data pembanding kasus resistensi di kedua negara tersebut diatas, timbul pertanyaan mengapa disebagian besar wilayah pengamatan belum terdapat kasus resistensi temefos. Dari 4 wilayah pengamatan, hanya 1 wilayah yang terindikasi toleran yaitu di RT 5. Di wilayah ini bertahun-tahun terjadi kasus demam berdarah yang cukup tinggi dan mendapat perhatian yang cukup besar dari setiap stake holder termasuk upaya pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti. Disisi lain pemakaian temefos di Indonesia juga telah digunakan selama bertahun-tahun dan secara masal pernah digunakan pada tahun 1986 sampai dengan 1989 di berbagai kota endemis (Hoedojo, 1993). Menurut petunjuk Departemen Kesehatan RI konsentrasi temefos yang dianjurkan adalah 1% atau jauh lebih tinggi dari konsentrasi yang dianjurkan oleh WHO yaitu 0,02% (Suroso et al, 2003). Belum terindikasinya resistensi temefos di wilayah pengamatan ini kemungkinan karena upaya pengendalian nyamuk Aedes aegypti sebagian besar hanya dilakukan melalui pemutusan rantai penularan manusia-nyamuk-manusia, yaitu dengan membasmi habitat nyamuk dan jarang dilakukan menggunakan metoda kimiawi. Usaha ini lebih banyak dilakukan dengan program pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan menguras dan menutup tempat penampungan air serta mengubur wadah-wadah yang dapat digunakan untuk berkembangbiak nyamuk dibandingkan dengan pemakaian temefos. Hal ini dapat dijelaskan dari hasil kuesioner dengan responden sebanyak 50 kepala keluarga (30 kepala keluarga tidak mengembalikan kuesioner) di wilayah penelitian ini. Berdasarkan hasil kuesioner, sebanyak 48,15% tidak mengetahui penyakit demam berdarah sedangkan 46,15% dari responden mengetahui penyakit demam berdarah tetapi tidak mengetahui cara pemberantasan jentik nyamuk Aedes aegypti menggunakan temefos. Seperti halnya diberbagai wilayah di Indonesia, pemberantasan sarang nyamuk dilakukan dan dikoordinasi oleh juru pemantau jentik (jumantik) dibawah pengawasan puskesmas setempat. Kegiatan PSN dilakukan setiap minggu dengan menyisir, memantau
6 aegypti. Pengujian pendahuluan dilakukan pada konsentrasi 0,8% untuk memperoleh 39 dan mengambil tindakan pemusnahan jentik dari rumah ke rumah dan lingkungan sekitarnya. Hasil kegiatan PSN ini seharusnya menekan perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang berdampak pada penurunan jumlah kasus DBD bukan sebaliknya. Namun demikian berdasarkan data dari puskesmas, kasus demam berdarah di wilayah ini cenderung meningkat. Jadi yang perlu diteliti lebih lanjut adalah apakah pelaksanaan PSN di wilayah kelurahan Duren Sawit ini sudah dilakukan dengan baik dan diawasi dengan ketat. Status toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation Toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation di Kelurahan Duren Sawit Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur berpeluang terjadi karena penggunaann malation yang sering dilakukan. Penggunaan malation untuk mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti sudah dilakukan sejak tahun 1969 pada radius 100 m di sekitar rumah penderita DBD (Hoedojo, 1993). Untuk mengetahui kemungkinan terjadinya toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation, dilakukan pengujian berdasarkan metoda bioassay. Pengujian tersebut meliputi pengujian pendahuluan dan pengujian resistensi nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi malation 0,8% serta 5%. Konsentrasi malation 0,8% merupakan konsentrasi anjuran WHO yang tertuang dalam Discriminating concentration for adult mosquito-who/cdb/cpc/mal/ Disisi lain konsentrasi malation 5% merupakan konsentrasi yang digunakan di Indonesia dalam mengendalikan vektor nyamuk Aedes variabel waktu terhadap kematian nyamuk Aedes aegypti. Hasil pengujian pendahuluan menunjukkan pada rentang waktu 5 sampai dengan 60 menit, nyamuk Aedes aegypti belum menunjukkan respon kematian 100% termasuk nyamuk laboratorium entomologi FKH IPB yang digunakan sebagai pembanding. Berdasarkan hal tersebut maka pengujian toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation 0,8% dilakukan pada rentang waktu 45 sampai dengan 90 menit. Hasil pengujian pendahuluan ditunjukkan pada Tabel 5 dan Lampiran 2.
7 40 Tabel 5. Persentase kematian nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi malation 0,8% Jumlah nyamuk yang mati (%) Lokasi menit 60 menit 75 menit menit RT 4 Ulangan Ulangan Ulangan Rata-rata 12 22, RT 5 Ulangan Ulangan Ulangan Rata-rata 16 26,67 66, RT 6 Ulangan Ulangan Ulangan Rata-rata RT 9 Ulangan Ulangan Ulangan Rata-rata 25,33 66,67 90, Nyamuk Lab IPB Ulangan Ulangan Ulangan Rata-rata 66, Berdasarkan data pada Tabel 5, nyamuk Aedes aegypti mengalami kematian 100% setelah kontak dengan malation 0,8% selama 90 menit atau 1,5 jam. Hasil perhitungan probit yang menjelaskan respon kematian nyamuk Aedes aegypti terhadap malation 0,8% ditunjukkan pada Gambar 19 dan Tabel 6.
8 RT 4 RT 5 RT 6 RT 9 IPB Mortalitas dalam probit Log Waktu Gambar 19. Hubungan antara waktu kontak dengan kematian nyamuk Aedes aegypti pada penggunaan malation 0,8% Tabel 6. Analisis probit uji pendahuluan pemakaian malation 0,8% terhadap nyamuk Aedes aegypti Lokasi LT 50 LT 95 RR 50 RR 95 Persamaan regresi RT 4 66,31 98,04 1,24 1,24 Y= 9,68 17,64X RT 5 63,95 96,90 1,22 1,22 Y= 9,11-16,46X RT 6 57,49 87,60 1,11 1,11 Y = ,82X RT 9 53, ,99 1,00 Y = 16,64 9,63X Lab IPB 39,20 79,20 Y = 10,36 6,50 X Berdasarkan Gambar 19, perhitungan koefisien korelasi nyamuk yang berasal dari RT 4, 5, 6, dan 9 berturut-turut sebesar 0,75, 0,79, 0,89 dan 0,89 atau berkisar pada 75 sampai dengan 89%. Perhitungan ini menunjukkan terdapat korelasi antara waktu dan kematian nyamuk serta homogenitas respon nyamuk terhadap insektisida malation. Hasil perhitungan ini memberikan informasi bahwa seluruh nyamuk yang digunakan sebagai hewan uji mempunyai kesamaan respon terhadap insektisida malation.
9 42 Mengacu pada Tabel 5, diperoleh LT 95 sebesar 79,13 sampai dengan 98,04 menit dan nilai RR 95 berkisar antara 1,00 sampai engan 1,24. Nilai RR 95 memberikan informasi bahwa penggunaan malation sesuai anjuran WHO belum menunjukkan resisten terhadap nyamuk Aedes aegypti. Namun demikian data tersebut tidak realistis karena tidak memungkinkan fooging dilakukan selama 90 menit disuatu lokasi. Berdasarkan hal tersebut maka percobaan toleransi Aedes aegypti terhadap malation dilakukan menggunakan konsentrasi 5% atau sesuai dengan dosis yang digunakan di Indonesia. Konsentrasi ini 6,25 kali lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi malation 0,8% sehingga LT 95 diperkirakan 14,4 menit. Percobaan menggunakan konsentrasi malation 5% ditunjukkan pada Tabel 7 dan Tabel 13 Lampiran 4. Tabel 7. Persentase kematian nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi malation 5% 2 menit Jumlah nyamuk yang mati (%) menit menit 5 menit 30 menit Lokasi Kontrol RT 4 Ulangan Ulangan Ulangan Rata-rata 22, , RT 5 Ulangan Ulangan Ulangan Rata-rata 33, , RT 6 Ulangan Ulangan Ulangan Rata-rata 30,67 62,67 90, RT 9 Ulangan Ulangan Ulangan Rata-rata 53,33 85, Nyamuk Lab IPB Ulangan Ulangan Ulangan Rata-rata
10 43 Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa 100% kematian nyamuk terjadi setelah nyamuk kontak dengan malation selama 15 menit. Jika diaplikasikan dilapangan hal ini tidak realistik karena pengasapan malation (fogging) hanya membutuhkan waktu yang singkat dimana kontak nyamuk dengan malation hanya berlangsung dibawah lima menit. Kontak berikutnya tetap terjadi tetapi konsentrasi malation mengalami penurunan yang disebabkan oleh pengenceran udara. Untuk menghindari keraguan menetapkan status toleransi nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, maka dilakukan perhitungan probit untuk memperoleh homogenitas respon, lethal time dan nilai Rasio Toleransi. Hasil perhitungan yang menjelaskan respon nyamuk terhadap insektisida malation ditunjukkan pada Gambar RT 4 RT 5 RT 6 RT 9 IPB Mortalitas dalam probit Log Waktu Gambar 19. Hubungan antara waktu kontak dengan kematian nyamuk Aedes aegypti pada penggunaan malation 5% Berdasarkan Gambar 19, diperoleh perhitungan nilai koefisien korelasi antara waktu kontak dengan mortalitas dalam probit untuk RT 4, 5, 6 dan 9 berturut-turut sebesar 0,877; 0,911; 0,92 dan 0,814. Nilai koefisien korelasi ini meunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara waktu kontak dan mortalitas dalam probit serta homogenitas respon. Keadaan ini indentik dengan penggunaan malation 0,8% yang
11 44 membuktikan homogenitas respon nyamuk Aedes aegypti dari seluruh wilayah pemantauan terhadap insektisida malation. Perhitungan probit konsentrasi malation 5% ditunjukkan pada Tabel 8 Tabel 8. Hasil perhitungan probit uji pendahuluan pemakaian malation 5% terhadap nyamuk Aedes aegypti Lokasi LT 50 LT 95 RR 50 RR 95 Persamaan regresi RT 4 3,88 12,12 2,38 4,59 Y= -1, X RT 5 3,12 11,49 1,91 4,35 Y = -1,43 + 2,90X RT 6 3,39 14,16 1,72 2,13 Y = -1,40 + 2,67X RT 9 1,97 6,64 1,21 2,52 Y=0,91+ 3,11X Lab IPB 1,63 2,64 Y= -3, X Mengacu pada Tabel 8, LT 50 nyamuk Aedes aegypti terhadap pemakaian malation 5% untuk wilayah RT 4, RT 5, RT 6, RT 9 dan nyamuk laboratorium IPB berturut-turut sebesar 3,88; 3,12; 3,39; 1,97 dan 1,63. Nilai LT 95 nyamuk Aedes aegypti terhadap pemakaian malation 5% untuk wilayah RT 4, RT 5, RT 6, RT 9 dan nyamuk laboratorium IPB berturut-turut sebesar 12,12; 11,49; 14,16; 6,64 dan 2,64. dan 1,63. Nilai RR 50 nyamuk yang berasal dari wilayah wilayah RT 4, RT 5, RT 6, RT 9 dan nyamuk laboratorium IPB berturut-turut sebesar 3,88; 3,12; 3,39; 1,97 dan 1,63. Nilai RR 95 nyamuk yang berasal dari wilayah wilayah RT 4, RT 5, RT 6, RT 9 dan nyamuk laboratorium IPB berturut-turut sebesar 4,59; 4,35; 2,13 dan 2,52. Berdasarkan nilai RR 95 maka nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari seluruh daerah pengamatan terindikasi tidak resisten (RR 95 <10). Hal ini mengacu pada Brown (1989) yang menyatakan bahwa nyamuk berada pada tahap resisten jika nilai rasio resistensi meningkat lebih dari 10 kali. Pemakaian yang terus menerus seharusnya menyebabkan toleransi sedang (RR 95 >40) dan toleransi berat (RR 95 >100). Untuk memperoleh justifikasi hasil percobaan ini dilakukan perbandingan kasus toleransi malation dibeberapa negara lain. Rawlins (1998) melaporkan penelitian toleransi terhadap malation yang digunakan secara terusmenerus selama 20 sampai dengan 30 tahun di wilayah Karibia hanya menunjukkan toleransi rendah (RR 95 <4). Toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation di Thailand menunjukkan tingkatan rendah, dengan nilai RR 95 berkisar antara 2,2 sampai
12 45 dengan 6,6 (Ponlawat et al, 2005). Akan tetapi jika mengacu pada Brown (1989) maka penelitian tersebut belum menunjukkan resistensi. Peningkatan enzim esterase Esterase adalah enzim hidrolase yang menguraikan ester dengan penambahan air menjadi alkohol dan asam asetat. Enzim eseterase mampu mendetoksifikasi insektisida dari golongan organofosfat. Enzim esterase bekerja secara cepat dalam mengikat toksin insektisida dibandingkan metabolisme insektisida tersebut. Peningkatan enzim esterase ditunjukkan pada Tabel 9 dan 10 serta Lampiran 4 dan 5. Tabel 9. Nilai α-esterase larva Aedes aegypti Asal nyamuk Aedes aegypti Nilai α -esterase larva Aedes aegypti (µmol/menit/mg protein) RT ,0362 RT 5 1, ,054 RT 6 1, ,0043 RT 9 1, ,101 Nyamuk Laboratorium IPB 0, ,022 Tabel 10. Nilai β-esterase larva Aedes aegypti Asal nyamuk Aedes aegypti Nilai β -esterase larva Aedes aegypti (µmol/menit/mg protein) RT 4 0, ,0094 RT 5 0, ,0060 RT 6 0, ,04 RT 9 0, ,055 Nyamuk Laboratorium IPB 0, , Mengacu pada Tabel 9 dan 10, Peningkatan enzim α esterase Aedes aegypti sebesar 4,31 sampai dengan 5,58 kali dibandingkan dengan nyamuk laboratorium entomologi IPB, sedangkan peningkatan enzim β esterase Aedes aegypti sebesar 2,45 sampai dengan 7,76 kali dibandingkan dengan nyamuk laboratorium entomologi IPB.
13 46 Terjadinya peningkatan enzim α dan β esterase menunjukkan kedua gen yang mengkode esterase berada pada lokus yang sama /amplicon (Small, 1998). Dari hasil penelitian dan Wicaksana (2006), seleksi 20 generasi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation menunjukkan adanya peningkatan enzim α esterase, setelah itu terjadi peningkatan enzim asetilkolinesterase. Nilai enzim α esterase pada generasi F0 semula 0,15 menjadi 0,215, seharusnya pada generasi nyamuk F20. Sedangkan nilai peningkatan aktivitas enzim ACHE dari 20,35 (F0) menjadi 24,9% pada generasi F20. Hasil survei terhadap masyarakat Dari 80 angket yang disampaikan pada masyarakat ternyata hanya sebanyak 50 buah angket (62,5%) yang dikembalikan dengan berbagai alasan. Hal ini menunjukkan keperdulian masyarakat setempat untuk mendukung penelitian penanggulangan nyamuk Aedes aegypti sangat minim. Tabulasi hasil survei terhadap masyarakat ditunjukkan pada Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Hasil survei tentang sikap masyarakat terhadap penanggulangan penyakit DBD No Uraian Jumlah (%) 1. Pengeluaran rata-rata perbulan: a. Lebih kecil dari Rp ,- b. Rp ,- sampai dengan kurang dari Rp ,- c. Rp ,- sampai dengan Rp d. Diatas Rp ,- 2. Pendidikan a. Tidak sekolah b. Sekolah Dasar (SD) c. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) d. Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) e. Diploma III, Sarjana muda f. Sarjana ke atas 0 14,81 70,38 14,81 3,7 14,81 25,93 55, Pernah menerima penyuluhan DBD Pengetahuan terhadap penyakit DBD Dari yang mengetahui tersebut terdiri : a. pengetahuan terhadap nyamuk Aedes aegypti b. pengetahuan terhadap tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti c. sikap terhadap pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3 M d. sikap terhadap pengendalian sarang nyamuk dengan penggunaan temefos 51,85 46,15 46,15 46,15 46,15
14 47 Berdasarkan hasil tersebut, partisipasi masyarakat terhadap pengendalian penyakit DBD sangat minim. Dari 50 kepala keluarga yang mengembalikan angket, hanya 51,85% mengetahui penyakit DBD dan setelah menerima penyuluhan tentang penyakit DBD. Sebanyak 46,15% dari 51,85% kepala keluarga yang mengetahui penyakit DBD, mempunyai pengetahuan yang cukup terhadap nyamuk Aedes aegypti, tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti serta sikap terhadap pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3M dan penggunaan insektisida temefos (abate). Dengan demikian hanya 23,93% dari 50 kepala keluarga yang mengembalikan kuesioner yang peduli terhadap penyakit DBD. Disisi lain jumlah kepala keluarga yang berpendidikan cukup tinggi (lulusan SLTA) sebanyak 55,56% dengan tingkat penghasilan yang cukup (belanja perbulan Rp sampai dengan Rp ,-) sebanyak 70,38% seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi tehadap penanganan DBD. Pengetahuan yang tidak cukup, dapat mempercepat resistensi terhadap kedua insektisida tersebut karena penggunaan dosis yang mungkin tidak sesuai dengan anjuran.
BAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel
BAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel Nyamuk untuk bahan uji dalam penelitian ini berasal dari telur Aedes aegypti yang diperoleh dari wilayah Jakarta Timur yang memiliki kasus demam berdarah tertinggi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya wabah demam dengue di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selama hampir dua abad, penyakit Demam Berdarah Dengue dianggap sebagai penyakit penyesuaian diri seseorang terhadap iklim tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever (DHF) merupakan penyakit akut bersifat endemik yang di sebabkan oleh virus dengue yang masuk ke peredaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 dan yang terbaru adalah Den-5.
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes spp. betina yang membawa virus dengue yang termasuk dalam golongan Flavivirus.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim tropis, dimana negara
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim tropis, dimana negara dengan iklim tropis ini hanya memiliki dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Pergantian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dengue adalah salah satu penyakit infeksi yang. dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengue adalah salah satu penyakit infeksi yang dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi masalah penting bagi kesehatan masyarakat. Penyakit ini disebarkan melalui gigitan
Lebih terperinciSumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas 2013
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Insidensi DBD di seluruh dunia telah meningkat tajam dalam beberapa dekade terakhir. Lebih dari 2,5 miliar orang atau 40% penduduk dunia beresiko untuk terkena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus dan mengalami perkembangan
Lebih terperinciBAB I LATAR BELAKANG
BAB I LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Penyakit demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) merupakan penyakit akibat infeksi virus dengue yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dengue (DEN) dari kelompok Arbovirus B, yaitu termasuk arthtropod-borne virus
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di tanah air. Sejak pertama kali dilaporkan yaitu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia melalui perantara vektor penyakit. Vektor penyakit merupakan artropoda
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Vector borne disease merupakan penyakit-penyakit yang ditularkan pada manusia melalui perantara vektor penyakit. Vektor penyakit merupakan artropoda yang dapat menularkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demam berdarah dengue / DBD adalah salah satu penyakit yang dapat menyebabkan kematian dan telah dikenal selama > 200 tahun (CDC, 2012). Diperkirakan
Lebih terperinciSARANG NYAMUK DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DI DESA KLIWONAN MASARAN SRAGEN
HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DI DESA KLIWONAN MASARAN SRAGEN SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan mencapai derajat
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit yang disebabkan oleh vektor masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam Berdarah Dengue
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat baik fisik, mental, spiritual maupun sosial yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis. Pemerintah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan ditularkan oleh gigitan nyamuk Ae. aegypti ini menjadi penyakit tular virus
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) saat ini masih menjadi ancaman utama bagi kesehatan masyarakat global. Penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh gigitan
Lebih terperinciEFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN RAMBUTAN (Nephelium lappaceum L.)TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK Aedes aegypti INSTAR III
EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN RAMBUTAN (Nephelium lappaceum L.)TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK Aedes aegypti INSTAR III Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi oleh virus dengue yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kasus DBD di Indonesia pertama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.
BAB I PENDAHULUAN 1.4 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, yang masuk keperedaran darah manusia melalui gigitan nyamuk dari genus aedes
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan dampak sosial dan ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan cenderung
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. yang ditularkan ke manusia dengan gigitan nyamuk Aedes Aegypty.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang ditandai dengan panas tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas disertai bintik-bintik merah pada kulit. Demam Berdarah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di negara negara
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Nyamuk Aedes aegypti merupakan salah satu vektor yang dapat menyebabkan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lancarnya transportasi (darat, laut dan udara), perilaku masyarakat yang kurang sadar
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, karena jumlah penderita penyakit DBD cenderung meningkat dari tahun ke
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Salah satu penyakit yang ditularkan oleh nyamuk sebagai vektornya adalah Demam
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu penyakit yang ditularkan oleh nyamuk sebagai vektornya adalah Demam Berdarah Dengue (DBD), yang sampai saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dan merupakan penyakit endemis di Indonesia. 1 Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menunjukkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. utama di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, Indonesia UKDW
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) telah menjadi masalah kesehatan utama di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, Indonesia menduduki urutan tertinggi kasus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia yang jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang. disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh vektor nyamuk betina
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh vektor nyamuk betina Aedes aegypti. DBD ditunjukkan empat manifestasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah World Health Organization (WHO) memperkirakan penduduk yang terkena DBD telah meningkat selama 50 tahun terakhir. Insiden DBD terjadi baik di daerah tropik
Lebih terperinciPromotif, Vol.5 No.1, Okt 2015 Hal 09-16
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PELAKSANAAN PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK (PSN) DENGAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KELURAHAN TALISE KECAMATAN PALU TIMUR KOTA PALU 1) DaraSuci 2) NurAfni Bagian Epidemiologi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
daerah. 3 Selama 40 tahun terakhir, zat kimia telah banyak digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu jenis penyakit yang berkembang di daerah tropis. Seluruh wilayah Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit
Lebih terperinciEFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN PANDAN WANGI (Pandanus amaryllifolius Roxb.) DALAM MEMBUNUH LARVA Aedes aegypti
EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN PANDAN WANGI (Pandanus amaryllifolius Roxb.) DALAM MEMBUNUH LARVA Aedes aegypti Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memproleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat Disusun
Lebih terperinciPERILAKU 3M, ABATISASI DAN KEBERADAAN JENTIK AEDES HUBUNGANNYA DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE
Yunita K.R. dan Soedjajadi K., Perilaku 3M, Abatisasi PERILAKU 3M, ABATISASI DAN KEBERADAAN JENTIK AEDES HUBUNGANNYA DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE 3M Behavior, Abatitation, Aedes aegypti Larva
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. musim hujan dan musim kemarau. Salah satu jenis penyakit yang sering
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Salah satu jenis penyakit yang sering muncul pada musim hujan ini antara
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan yang ditemukan di
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis, terutama di daerah perkotaan. DBD merupakan penyakit dengan potensi
Lebih terperinciBAB I : PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh virus dengue, virus ini ditularkan melalui
1 BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (Dengue Hemorrhagic Fever) atau lazimnya disebut dengan DBD / DHF merupakan suatu jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Dengue, virus ini terdiri dari 4 serotip Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Penyakit viral
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi di daerah tropis
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi di daerah tropis dan ditularkan lewat hospes perantara jenis serangga yaitu Aedes spesies. DBD adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. virus dengue yang ditularkan dari gigitan nyamuk Aedes aegypti sebagai
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Denge (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan dari gigitan nyamuk Aedes aegypti sebagai pembawa virus. Penyakit ini dapat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. serangga yaitu Aedes spesies. Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah. penyakit demam berdarah akut, terutama menyerang anak-anak dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit infeksi yang umumnya ditemukan di daerah tropis dan ditularkan lewat hospes perantara jenis serangga yaitu Aedes spesies.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan menempati urutan pertama di Asia. Pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan menempati urutan pertama di Asia. Pada tahun 2014, sampai pertengahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perjalanan penyakit yang cepat, dan dapat menyebabkan. kematian dalam waktu yang singkat (Depkes R.I., 2005). Selama kurun waktu
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyakit ini banyak menimbulkan kekhawatiran masyarakat karena perjalanan penyakit
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan di. Berdasarkan data Dinas Kesehatan kota Bandar Lampung Januari hingga 14
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Menurut Depkes RI Jumlah kasus DBD pada tahun 2010 sebanyak 156.086 kasus dengan jumlah kematian
Lebih terperinci5. TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PEMBERANTASAN PENYAKIT DBD (Studi Kasus Kabupaten Indramayu)
5. TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PEMBERANTASAN PENYAKIT DBD (Studi Kasus Kabupaten Indramayu) 5.1. PENDAHULUAN Sebagian besar perkotaan di Indonesia merupakan wilayah endemik
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan utama masyarakat internasional dan merupakan jenis penyakit yang berpotensi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. vektor penyakit infeksi antar manusia dan hewan (WHO, 2014). Menurut CDC
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Insekta telah lama dikenal sebagai kelompok hewan yang memiliki diversitas paling tinggi di muka bumi. Insekta yang tercatat oleh Sabrosky (1952), pada tahun 1948 adalah
Lebih terperinciA. LATAR BELAKANG MASALAH
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular disebabkab oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan Aedes aegypti. Penyakit ini dapat menyerang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan daerah tropis yang banyak berkembang nyamuk Aedes. kepadatan penduduk (Kementerian Kesehatan RI, 2010).
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan daerah tropis yang banyak berkembang nyamuk Aedes aegypti yang mengakibatkan banyaknya jumlah penderita demam berdarah dengue setiap tahunnya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Jumlah penderita maupun luas daerah penyebarannya
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah
1 BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan bahwa Asia menempati urutan pertama dalam
Lebih terperinciINFORMASI UMUM DEMAM BERDARAH DENGUE
INFORMASI UMUM DEMAM BERDARAH DENGUE I. Kondisi Umum Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di sebagian kabupaten/kota
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) termasuk salah satu penyakit yang tersebar di kawasan Asia Tenggara dan sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. setiap tahunnya. Salah satunya Negara Indonesia yang jumlah kasus Demam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama
Lebih terperinciPenyakit DBD merupakan masalah serius di Provinsi Jawa Tengah, daerah yang sudah pernah terjangkit penyakit DBD yaitu 35 Kabupaten/Kota.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah sub tropis dan tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan bahwa Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita
Lebih terperinciKEPADATAN JENTIK Aedes aegypti sp. DAN INTERVENSI PENGENDALIAN RISIKO PENULARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA PADANG TAHUN 2015
KEPADATAN JENTIK Aedes aegypti sp. DAN INTERVENSI PENGENDALIAN RISIKO PENULARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA PADANG TAHUN 2015 Aidil Onasis (Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang) ABSTRACT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini ditemukan nyaris di
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. hampir di seluruh belahan dunia terutama negara tropik dan subtropik sebagai
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyakit Demam Berdarah Dengue atau DBD merupakan penyakit akibat infeksi virus dengue dan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang mengalami peningkatan beberapa
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
40 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Uji Efektivitas Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi dan Laboratorium Kimia Organik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah salah. satu penyakit yang menjadi masalah di negara-negara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah salah satu penyakit yang menjadi masalah di negara-negara tropis, termasuk Indonesia. Jumlah penderita DBD cenderung meningkat
Lebih terperinciHUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I
0 HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat Disusun
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO)
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Di Indonesia,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di seluruh Indonesia, serta sering menimbulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina yang telah terinfeksi salah satu dari empat subtipe virus dengue (Sulehri, et al.,
Lebih terperinciBAB I. Pendahuluan UKDW. data dari World Health Organization (WHO) bahwa dalam 50 tahun terakhir ini
BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) telah menjadi masalah kesehatan utama di negara - negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Hal ini diperkuat dengan data dari World Health
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. banyak ditemukan didaerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan yang banyak ditemukan didaerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukan Asia menempati urutan
Lebih terperinciWALI KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH
SALINAN WALI KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA PALU, Menimbang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. oleh virus dengue. DBD merupakan penyakit dengan jumlah kasus yang tinggi di
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue. DBD merupakan penyakit dengan jumlah kasus yang tinggi di daerah tropis dan subtropis
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. mempercepat persebaran penyakit perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan permukiman yang terus meningkat dan pengelolaan lingkungan serta ditunjang oleh kondisi iklim, akan mempercepat persebaran penyakit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue, yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini ditemukan di daerah tropis dan sub tropis, dan menjangkit
Lebih terperinciPengaruh Penggunaan Repelen Masal Jangka Panjang Pada Suatu Pemukiman terhadap Keberadaan Nyamuk Aedes aegypti (L.) (Diptera: Culicidae)
Perhimpunan Entomologi Indonesia J. Entomol. Indon., April 2008, Vol. 5, No. 1, 27-35 Pengaruh Penggunaan Repelen Masal Jangka Panjang Pada Suatu Pemukiman terhadap Keberadaan Nyamuk Aedes aegypti (L.)
Lebih terperinciBAB I. dalam kurun waktu yang relatif singkat. Penyakit menular umumnya bersifat akut
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui berbagai media. Penyakit jenis ini merupakan masalah kesehatan yang besar di hampir semua negara berkembang
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati
Lebih terperinciSTATUS KERENTANAN NYAMUK Aedes aegypti TERHADAP INSEKTISIDA MALATION 5% DI KOTA SURABAYA. Suwito 1 ABSTRAK
STATUS KERENTANAN NYAMUK Aedes aegypti TERHADAP INSEKTISIDA MALATION % DI KOTA SURABAYA Suwito 1 ABSTRAK Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan utama di Kota Surabaya. Salah satu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakann penyakit yang. berkaitan erat dengan kenaikan populasi vektor Aedes aegypty.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakann penyakit yang berkaitan erat dengan kenaikan populasi vektor Aedes aegypty. Menurut Wijana, (1982) Ae. aegypty adalah satu-satunya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbahaya ini cenderung menurun bersamaan dengan terus membaiknya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Insiden Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia dari waktu ke waktu terus bertambah, namun demikian jumlah korban jiwa akibat serangan penyakit berbahaya ini cenderung
Lebih terperinciWALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE
SALINAN WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang : a.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dengan kasus 58 orang anak, 24 diantaranya meninggal dengan Case Fatality Rate (CFR) = 41,3%. Sejak itu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 2011a). Tahun 2010 Indonesia tercatat sebagai negara dengan angka kejadian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di sebagian kabupaten/kota di Indonesia (Kementerian
Lebih terperinciSKRIPSI PERBEDAAN PENGETAHUAN DAN SIKAP JUMANTIK KECIL SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN PELATIHAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI MIN KETITANG
SKRIPSI PERBEDAAN PENGETAHUAN DAN SIKAP JUMANTIK KECIL SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN PELATIHAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI MIN KETITANG Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. ditularkan melalui gigitan nyamuk yang banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis di
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit infeksi yang ditularkan melalui gigitan nyamuk yang banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis
Lebih terperinciWALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 51 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI,
WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 51 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang : a. bahwa Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue. hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit virus yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit virus yang berbahaya karena dapat menyebabkan penderita meninggal dalam waktu yang sangat
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan berkelanjutan 2030/Suistainable Development Goals (SDGs)
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan berkelanjutan 2030/Suistainable Development Goals (SDGs) poin ketiga yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma pembangunan kesehatan yang harus lebih mengutamakan upaya promotif, tanpa mengabaikan upaya kuratif dan
Lebih terperinciBUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG,
BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis terbesar di dunia. Iklim tropis menyebabkan timbulnya berbagai penyakit tropis yang disebabkan oleh nyamuk dan sering
Lebih terperinciHUBUNGAN SIKAP DAN UPAYA PENCEGAHAN IBU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GUNTUNG PAYUNG
HUBUNGAN SIKAP DAN UPAYA PENCEGAHAN IBU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GUNTUNG PAYUNG Hilda Irianty, Norsita Agustina, Adma Pratiwi Safitri Fakultas Kesehatan Masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah. kesehatan utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas penyebaran DBD semakin bertambah sejak kejadian pertama di
Lebih terperinciUniversitas Lampung. Abstrak. Larvacide Effects of Leaf Extract Aloe vera (Aloe vera) Against Third Instar larva of Aedes aegypti.
Efek Larvasida Ekstrak Daun Lidah Buaya (Aloe vera) Terhadap Larva Aedes aegypti Instar III Shella Arivia 1), Betta Kurniawan, Reni Zuraida 2) Email: pocha_hontas91@yahoo.co.id 1) Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) pada dekade terakhir menjadi masalah kesehatan global, ditandai dengan meningkatnya kasus DBD di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan
Lebih terperinciHUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK DI RT 3 RW 4 DESA KEMBANGBAHU KECAMATAN KEMBANGBAHU KABUPATEN LAMONGAN
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK DI RT 3 RW 4 DESA KEMBANGBAHU KECAMATAN KEMBANGBAHU KABUPATEN LAMONGAN Dian Nurafifah.......ABSTRAK....... Setiap wilayah yang terdapat nyamuk
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN UKDW. kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) dan ditularkan oleh nyamuk
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang disebabkan oleh virus kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti ini masih menjadi
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Deskripsi hasil penelitian mencakup tentang lokasi penelitian, survai larva dan rearing nyamuk Ae. aegypti, survai penggunaan insektisida,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi demam akut yang disebabkan oleh empat serotipe virus dengue dari genus Flavivirus ditularkan melalui gigitan nyamuk
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Aedes,misalnya Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit DBD dapat
129 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan nyamuk dari genus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN UKDW. yang menjadi vektor dari penyakit Demam Berdarah ini dikenal dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyamuk dikenal sebagai hewan yang menjadi vektor berbagai jenis penyakit. Salah satu penyakit yang penyebarannya melalui nyamuk adalah penyakit Demam Berdarah atau Demam
Lebih terperinciBUPATI PAKPAK BHARAT PROVINSI SUMATERA UTARA
1 BUPATI PAKPAK BHARAT PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN BUPATI PAKPAK BHARAT NOMOR 37 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT,
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE
PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih me rupakan salah satu masalah
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih me rupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya
Lebih terperinci