BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini masyarakat mulai menyadari arti pentingnya sebuah jaminan akan kepastian hukum terhadap perbuatan dan tindakan sehari-hari, sehingga banyak orang yang menuangkannya didalam akta notaris, baik itu yang berbentuk perikatan yang melibatkan pihak lain maupun sekedar untuk menyatakan maksud tertentu agar dijadikan sebagai dokumen legal yang mempunyai kekuatan hukum, dengan harapan untuk mendapatkan kepastian hukum dikemudian hari. Perbuatan hukum sehari-hari seperti hutang-piutang maupun perikatanperikatan lain yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi seseorang, banyak yang dituangkan kedalam bentuk akta notaris agar menjadi otentik dan mengikat secara hukum bagi para pihak guna menjamin terlaksananya hak dan kewajiban yang timbul bagi para pihak. Peristiwa hukum tertentu bahkan harus dituangkan kedalam akta notaris karena perintah undang-undang, seperti misalnya ketika dua orang atau lebih bersepakat hendak mendirikan sebuah badan usaha, maka kesepakatannya harus dituangkan kedalam akta yang dibuat dihadapan notaris berbentuk akta pendirian yang nantinya menjadi anggaran dasar dari badan usaha tersebut.
Akta notaris lahir karena adanya kepentingan dan kebutuhan dari masyarakat, dalam hal ini pihak ataupun para pihak yang menghadap kepada notaris. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menguraikan secara otentik mengenai perbuatan dari pihak penghadap baik yang sifatnya perikatan maupun sekedar pernyataan yang dikehendaki dan dinyatakan oleh penghadap. Tugas notaris adalah mendokumentasikan perbuatan hukum para penghadapnya kedalam bentuk akta notaris yang bersifat otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna secara yuridis. Notaris adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan oleh undang - undang untuk membuat akta otentik. Notaris memiliki kewenangan dalam memberikan kepastian hukum kepada masyarakat khususnya dalam lingkup perdata yang terjadi karena perikatan. Namun demikian, kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum tersebut tidak terus berbanding lurus dengan pemahaman masyarakat atas hukum itu sendiri. Tidak sedikit orang yang semula mencatat perbuatan hukumnya dihadapan notaris agar mempunyai kekuatan dokumentasi legal, kemudian berusaha keras untuk mengingkari perbuatan hukum yang pernah mereka catatkan kedalam akta tersebut. bahkan kemudian menyeret-nyeret notaris pendokumentasi aktanya kedalam ranah hukum pidana. Banyak masyarakat ataupun para penegak hukum dan bahkan para notaris sendiripun masih banyak yang kurang memahami peranan tugas dan tanggung jawab notaris dalam masyarakat terutama dalam membuat akta
otentik. Notaris merupakan profesi mulia (officium nobile) hal ini dikarenakan profesi notaris sangat erat hubungannya dengan kemanusiaan. Akta yang dibuat notaris dapat menjadi alas hukum atas status harta benda, hak dan kewajiban bagi seseorang. Kekeliruan atas akta notaris dapat menyebabkan hilangnya hak seseorang dan bahkan terbebaninya seseorang atas suatu kewajiban. 1 Ketika seseorang menghadap kepada notaris untuk membuat akta otentik, banyak orang hanya beranggapan bahwa keterangannya dalam akta tersebut telah menjadi bukti dan mempunyai kekuatan hukum, namun tidak memahami tanggung jawab yang timbul oleh akta otentik tersebut, sehingga beberapa saat kemudian berusaha dengan berbagai cara termasuk menempuh cara hukum pidana untuk mengingkari apa yang telah mereka nyatakankan kedalam akta otentik. Ketika seseorang baik pihak bersangkutan dalam akta maupun pihak lain yang berkepentingan dengan akta yang berusaha mengingkari keterangan yang telah dinyatakan dalam akta otentik melalui jalan hukum pidana dengan cara melaporkan pihak-pihak lain yang terdapat dalam akta, mulai dari pihak lain dalam akta, para saksi akta dan bahkan notaris sebagai pendokumenter akta otentik, maka banyak yang berkesimpulan bahwa notaris adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas terbitnya hak dan kewajiban yang 1 Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan etika, UII Press, Yogyakarta, hlm.1
dipersengketakan, sehingga notaris dimintai keterangan baik sebagai saksi atau terlapor bahkan sebagai tersangka nantinya dalam suatu perkara pidana. Dalam penanganan pemeriksaan perkara pidana dimana akta notaris menjadi bukti atas perkara pidana yang terjadi, banyak orang sebagai pelapor beranggapan bahwa notaris adalah pihak yang turut serta dan bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang terjadi, sehingga menempatkan notaris sebagai pihak tersangka. Lebih jauh lagi, proses penyidikan terhadap notaris baik sebagai saksi, terlapor maupun sebagai tersangka berkaitan dengan akta yang dibuat dihadapan notaris bersangkutan, lebih banyak menempatkan akta sebagai sumber terjadinya peristiwa pidana. Sudah banyak perkara dimana notaris dipanggil sebagai terlapor ataupun saksi dan bahkan tersangka atas akta yang diterbitkannya, dimana notaris didudukan sebagai pihak yang telah memasukkan keterangan palsu kedalam akta otentik, didakwa berdasarkan Pasal 263, 264, dan 266 KUHP. Sebagai contoh misalnya, perkara yang menimpa notaris Sri Wahyuni, notaris yang berpraktek diwilayah kota Surakarta. Pada april 2014 dilaporkan kepada Polresta Solo karena diduga membuat akta hibah palsu, dimana pelapor menyatakan bahwa pemberi hibah tidak mungkin dapat membubuhkan cap jempol pada akta hibah yang diterbitkan notaris bersangkutan karena pada saat itu sedang sakit stroke. 2 2 Rudi Hartono, Notaris Dilaporkan Polisi, Koran joglosemar, edisi selasa 22 april 2014, hlm 2
Contoh lain adalah perkara yang menimpa notaris Theresia Ponto, notaris yang berpraktek diwilayah Pengadilan Negeri Jayapura. Menjadi terlapor dalam perkara diduga melanggar Pasal 372 KUHP tentang tindak pidana penggelapan, berkaitan dengan proses jual-beli atas sebidang tanah dan akta jual-beli yang bahkan belum diterbitkan oleh yang bersangkutan. Pada pertengahan tahun 2014 notaris bersangkutan dijemput paksa oleh tim dari Polda Papua dan ditahan dilapas Abepura, perkara ini sempat menjadi perhatian dan menimbulkan beberapa reaksi serta protes keras dikalangan notaris. 3 Diwilayah Yogyakarta sendiri beberapa kali notaris menjadi terpidana akibat akta yang dibuat dihadapannya. Pada tahun 2010 misalnya, perkara yang menimpa notaris Hamdani Abdulkadir, notaris kota Yogyakarta dalam putusan nomor 185PK/Pid/2010, dinyatakan terbukti bersalah telah menyuruh memasukan keterangan palsu kedalam suatu surat yang sah tentang hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh surat itu, dengan maksud untuk memakai surat itu sesuai dengan kebenaran. Dimana dalam perkara ini permasalahan utamanya adalah notaris menuangkan pernyataan ahli waris kedalam akta yang kemudian apa yang dinyatakan oleh penghadap tersebut ternyata dapat dibuktikan tidak benar. Selanjutnya pada tahun 2014 dalam putusan nomor 26/Pid.B/2014/PN.Yk, notaris kota Yogyakarta Carlina Liestyani dinyatakan 3 Redaksi, Tolak Kriminalisasi Terhadap Notaris, Majalah Renvoi, nomor:7.139, Desember 2014, hlm 3-4
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan dan pemalsuan akta otentik sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP dan Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP. Pokok perkaranya adalah adanya pengikatan jual-beli yang kemudian dokumen-dokumen pendukung dari pihak penjual ternyata adalah palsu. Kedua perkara tersebut menggambarkan bahwa posisi notaris didalam akta ternyata dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab oleh karena akta yang diformulasikannya ternyata merugikan bagi salah satu pihak dalam akta. Selain itu ada pula yang menganggap notaris terlibat dalam perkara pidana pencucian uang dengan modus jual-beli saham oleh karena akta jualbeli sahamnya dibuat dihadapan notaris. Notaris dianggap bertanggungjawab karena menimbulkan kewajiban yang kurang menguntungkan bagi salah satu pihak dalam akta otentik yang bahkan para pihak dalam akta sebelumnya telah bersepakat dan bermufakat untuk melakukan perikatan yang dituangkan dalam akta otentik Dalam beberapa perkara pidana bahkan, ketika notaris telah dinyatakan bersalah lewat putusan pengadilan karena telah terbukti melakukan suatu tindak pidana, putusan tersebut bahkan tidak membatalkan isi akta yang dibuat notaris bersangkutan atau menjadikan akta tersebut batal demi hukum, akta tersebut tetap sah dan berlaku sebagai akta otentik, namun terbitnya akta tersebut mengakibatkan notaris yang membuatnya harus menjalani hukum
pidana karena dianggap aktanya tidak sesuai prosedur dan atau mengakibatkan seseorang kehilangan hak. Dalam undang-undang nomor 2 tahun 2014 (UUJNP) tentang perubahan atas undang-undang nomor 30 tahun 2004 (UUJN) tentang jabatan notaris. Diatur bahwa ketika notaris menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka notaris dapat dikenai sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik jabatan notaris, dan sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa oleh Peraturan Jabatan Notaris (PJN) maupun dalam UUJN dan kode etik notaris. UUJN dan kode etik jabatan notaris bahkan tidak mengatur tentang adanya sanksi pidana terhadap notaris, terutama berkaitan dengan aturan pelaksanaan jabatan notaris. Dalam prakteknya, ditemukan bahwa suatu tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan notaris yang sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi ataupun sanksi kode etik dan bahkan saknsi perdata, kemudian ditarik dan dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh notaris. Aspek kualifikasi yang meliputi formalitas pembuatan akta notaris, yang apabila terbukti dilanggar oleh notaris, maka notaris yang bersangkutan dapat dijatuhi sanksi perdata atau administratif sesuai dengan amanat UUJN dan kode etik notaris. Tapi disisi lain, kesalahan administratif
tersebut menyeret notaris kedalam aspek hukum pidana, dijadikan sarana untuk menuntut notaris secara pidana. 4 Notaris rawan untuk terkena jeratan hukum, terutama hukum pidana. Bukan hanya karena faktor internal yang berasaldari dalam dirinya sendiri misalnya kecerobohan, tidak patuh prosedur, tidak menjalankan etika profesinya dengan emestinya dan sebagainya. Namun juga dikarenakan faktor internal seperti moral masyarakat dimana notaris dihadapkan pada dokumen dokumen palsu dimana dokumen tersebut mengandung konsekuensi hukum bagi pemiliknya. 5 Dengan kenyataan tersebut, notaris harus menghadapi kemungkinan untuk sewaktu-waktu diperiksa oleh penyidik kepolisian baik sebagai saksi, sebagai terlapor bahkan sebagai tersangka berkaitan dengan perkara pidana yang melibatkan akta otentik yang diterbitkan. Karena dianggap akta notaris merupakan penyebab suatu peristiwa hukum telah terjadi, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban bagi seseorang. Sehingga terkesan bahwa akta notaris adalah titik awal dari perbuatan pidana yang timbul. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka penulis mengambil judul KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA OTENTIK YANG DIBUAT DI HADAPAN NOTARIS DALAM PERKARA PIDANA untuk dijadikan 4 Habib Adjie, 2014, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm.25 5 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2008, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang dan Dimasa Datang, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.226
Thesis dan diajukan kepada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka dapat disimpulkan beberapa rumusan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian akta otentik yang dibuat dihadapan notaris dalam perkara Pidana? 2. Bagaimanakah Tanggung Jawab Notaris terhadap Akta yang dibuat dihadapan Notaris dalam perkara Pidana? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dari penulisan tesis yang berjudul Kekuatan Pembuktian Akta Otentik Yang Dibuat Dihadapan Notaris Dalam Perkara Pidana adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimanakah kekuatan pembuktian dari akta otentik yang dibuat dihadapan notaris apabila digunakan sebagai alat bukti dalam perkara Pidana.
2. Untuk mengetahui tanggung jawab notaris terhadap akta yang dibuat dihadapan notaris apabila akta tersebut menjadi alat bukti dalam perkara pidana. D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran pustaka yang penulis lakukan. Sejauh yang penulis ketahui, penelitian mengenai kekuatan pembuktian akta otentik yang dibuat dihadapan notaris, telah banyak diajukan oleh mahasiswa Magister Kenotariatan, tetapi tidak demikian dengan penelitian tentang kekuatan pembuktian akta otentik didalam lingkup perkara pidana. Penulis menemukan beberapa hasil penelitian dengan tema yang hampir menyerupai dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, diantaranya adalah : 1. Tesis karya Vera Ayu Kristina, pada tahun 2009, Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan judul Penilaian Keotentikan Akta Notaris Oleh Pengadilan (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sleman). 6 Rumusan masalahnya adalah : a. Bagaimana hakim menilai akta notaris didalam pemeriksaan perkara perdata? 6 Vera Ayu Kristina, 2009, Penilaian Keotentikan Akta Notaris Oleh Pengadilan (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sleman), Tesis tidak diterbitkan, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
b. Bagaimana penerapan aturan hukum yang digunakan oleh hakim dalam pembatalan akta notaris? c. Bagaimana tanggungjawab keperdataan bagi notaris terhadap akta yang dibuatnya dibatalkan? Dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa penilaian keotentikan akta sebagai alat bukti di Pengadilan Negeri, khususnya Pengadilan Negeri Sleman adalah mengacu pada Pasal 162 (tentang Pembuktian), Pasal 164 (tentang alat bukti), Pasal 165 (tentang akta otentik), HiR dan Pasal 1868 KUHPerdata, dimana hakim tetap menilai bahwa akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan sempurna. aturan hukum yang dipergunakan oleh hakim sebagi dasar pertimbangan dalam pembatalan akta otentik adalah tidak adanya pelanggaran terhadap unsur-unsur Pasal 1320 KUHAPerdata jo Pasal 1335, Pasal 1336, Pasal 1337 KUHPerdata serta asas-asas yang melengkapi suatu syarat sahnya melakukan perbuatan hukum. tanggungjawab secara perdata oleh notaris yang aktanya dinyatakan menjadi batal demi hukum, maka dapat dimintakan kepada notaris bersangkutan untuk membayar biaya, denda dang anti rugi. 2. Artikel publikasi karya Try Tanty Sukanty Arkiang, pada tahun 2011, yang diterbitkan dalam jurnal Keadilan Progresif, dengan judul
Kedudukan Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Dalam Proses Pemeriksaan Perkara Pidana. 7 Rumusan masalahnya adalah : a. Bagaimanakah kedudukan akta notaris sebagai alat bukti dalam proses pemeriksaan perkara pidana? b. Bagaimanakah pelaksanaan pengambilan akta notaris sebagai alat bukti surat yang dilakukan oleh penyidik? Dengan hasil penelitiannya mengenai kedudukan akta notaris sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana adalah sama dengan alat-alat bukti yang lain yaitu sebagai alat bukti surat. Hal ini dikarenakan dalam acara pidana akta notaris tidak memiliki kekuatan yang sempurna. Sehingga hakim tidak harus mempercayai bahwa isi akta notaris tersebut adalah benar. Dengan demikian nilai alat bukti tersebut bersifat bebas karena yang dicari dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiil maka konsekuensinya hakim bebas untuk menggunakan atau mengesampingkan sebuah alat bukti surat. Sedangkan mengenai pelaksanaan pengambilan akta notaris yang dilakukan oleh penyidik untuk kepentingan proses peradilan maka penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang mengambil fotokopi minuta akta dan/atau 7 Try Yanty Sukanty Arkiang, 2011, Kedudukan Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Dalam Proses Pemeriksaan Perkara Pidana, Jurnal Keadilan Progresif, volume 2 nomor 2 september 2011, hlm.196-208
surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris dan memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, lebih menitikberatkan kepada hal-hal sebagai berikut : a. kekuatan pembuktian akta otentik yang dibuat dihadapan notaris dalam perkara pidana. Dimana dalam pemeriksaan perkara pidana, akta notaris tetap sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, namun tunduk kepada ketentuan minimal alat bukti dalam KUHAP. b. Tanggung jawab notaris terhadap akta yang dibuat dihadapan notaris dalam perkara pidana. Dalam hal ini penulis lebih menitikberatkan penelitian kepada tanggung jawab dan kewajiban notaris apabila akta notaris dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara pidana. Apabila dari artikel maupun penelitian sebelumnya memiliki kesamaan, dan dikemudian hari ditemukan kesamaan subjek maupun objeknya, maka penelitiaan yang dilakukan oleh penulis pada saat ini diharapkan dapat menambah, mendukung dan melengkapi penelitian terdahulu.
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dapat diambil dari diadakannya penelitian ini adalah: 1. Secara Akademis Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menambah perbendaharaan dan literasi bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana dan kenotariatan. 2. Secara Praktis Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan bahan masukan, pemikiran serta sumbangsih yang bermanfaat bagi pihak yang berwenang dalam melakukan penegakan hukum, khususnya yang menyangkut bidang kenotariatan.