BAB III LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pola Aliran

Gambar 1. Mekanisme Aliran Akibat Pola Aliran Air di Sekitar Pilar (Sumber: Miller, 2003)

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. perubahan morfologi pada bentuk tampang aliran. Perubahan ini bisa terjadi

BAB III LANDASAN TEORI. A. Gerusan Lokal

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akan memperpanjang aliran dan membentuk meander. Sungai dengan tikungan

BAB III LANDASAN TEORI

PENGARUH BENTUK PILAR JEMBATAN TERHADAP POTENSI GERUSAN LOKAL

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. bangunan sungai seperti abutment jembatan, pilar jembatan, crib sungai,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. Sungai atau saluran terbuka menurut Triatmodjo (2003:103) adalah saluran

Disampaikan pada Seminar Tugas Akhir 2. Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta NIM :

ANALISIS NUMERIK GERUSAN LOKAL PADA PILAR

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Data Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akan memperpanjang aliran dan membentuk meander. Sungai dengan tikungan

BAB III LANDASAN TEORI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

NASKAH SEMINAR 1. ANALISIS MODEL MATEMATIK GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN DENGAN ALIRAN SUBKRITIK (Studi Kasus Pilar Kapsul dan Pilar Tajam)

NASKAH SEMINAR 1. ANALISIS MODEL FISIK TERHADAP GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN (Studi Kasus Pilar Kapsul dan Pilar Tajam Pada Aliran Subkritik)

BAB I PENDAHULUAN. terbentuk secara alami yang mempunyai fungsi sebagai saluran. Air yang

ANALISIS GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN MENGGUNAKAN METODE CSU

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Analisis Gradasi Butiran sampel 1. Persentase Kumulatif (%) Jumlah Massa Tertahan No.

PENGARUH ARAH ALIRAN TERHADAP GERUSAN LOKAL DISEKITAR PILAR JEMBATAN. Skripsi

PENGENDALIAN GERUSAN DI SEKITAR ABUTMEN JEMBATAN

BAB II LANDASAN TEORI

MEKANISME GERUSAN LOKAL DENGAN VARIASI BENTUK PILAR (EKSPERIMEN)

BAB III LANDASAN TEORI

Kata Kunci: Abutmen Spill-Through Abutment dan Vertical Wall Without Wing, Gerusan Lokal, Kedalaman Gerusan Relatif

POLA EROSI DAN SEDIMENTASI SUNGAI PROGO SETELAH LETUSAN GUNUNG MERAPI 2010 Studi Kasus Jembatan Bantar Kulon Progo

GERUSAN LOKAL 8/1/14 19:02. Teknik Sungai

TUGAS AKHIR PERBEDAAN POLA GERUSAN LOKAL DI SEKITAR PILAR JEMBATAN ANTARA PILAR SILINDER DENGAN ELLIPS

2.6. Pengaruh Pemecah Gelombang Sejajar Pantai / Krib (Offshore Breakwater) terhadap Perubahan Bentuk Garis Pantai Pada Pantai Pasir Buatan...

POLA GERUSAN LOKAL PADA MODEL PILAR JEMBATAN LINGKARAN GANDA (DOUBLE CIRCULAR)

MEKANISME PERILAKU GERUSAN LOKAL PADA PILAR TUNGGAL DENGAN VARIASI DIAMETER

BAB III METODE PENELITIAN. fakultas teknik Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian yang dilakukan

BAB III LANDASAN TEORI

PENGARUH VARIASI DEBIT ALIRAN TERHADAP GERUSAN MAKSIMAL DI BANGUNAN JEMBATAN DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM HEC-RAS

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

dimana: Fr = bilangan Froude U = kecepatan aliran (m/dtk) g = percepatan gravitasi (m/dtk 2 ) h = kedalaman aliran (m) Nilai U diperoleh dengan rumus:

PENGARUH KECEPATAN ALIRAN TERHADAP GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN DENGAN PERLINDUNGAN GROUNDSILL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MODEL PENGENDALIAN GERUSAN DI SEKITAR ABUTMEN DENGAN PEMASANGAN GROUNDSILL DAN ABUTMEN BERSAYAP

MEKANISME PERILAKU GERUSAN LOKAL PADA PILAR SEGIEMPAT DENGAN VARIASI DEBIT

ANALISIS BENTUK PILAR JEMBATAN TERHADAP POTENSI GERUSAN LOKAL (Model Pilar Berpenampang Bujur Sangkar, Bulat dan Jajaran Genjang) Oleh: Anton Ariyanto

ANALISIS SUSUNAN TIRAI OPTIMAL SEBAGAI PROTEKSI PADA PILAR JEMBATAN DARI GERUSAN LOKAL

UPAYA PENGENDALIAN GERUSAN DI SEKITAR ABUTMEN JEMBATAN

KAJIAN GERUSAN LOKAL PADA AMBANG DASAR AKIBAT VARIASI Q (DEBIT), I (KEMIRINGAN) DAN T (WAKTU)

DAFTAR PUSTAKA. Aisyah, S Pola Gerusan Lokal di Berbagai Bentuk Pilar Akibat Adanya

PENGARUH PENEMPATAN TIRAI 3 BARIS LURUS DAN 3 BARIS LENGKUNG TERHADAP KEDALAMAN GERUSAN LOKAL

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terutama bagi kehidupan manusia. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan

BED LOAD. 17-May-14. Transpor Sedimen

ek SIPIL MESIN ARSITEKTUR ELEKTRO

PENGARUH PENEMPATAN TIRAI SEGITIGA LURUS DAN SEGITIGA LENGKUNG TERHADAP KEDALAMAN GERUSAN LOKAL

MEKANISME GERUSAN LOKAL PADA PILAR SILINDER TUNGGAL DENGAN VARIASI DEBIT

STUDI PENGARUH KELOMPOK TIANG TERHADAP GERUSAN THE EFFECT OF PIER GROUPS ON SCOUR STUDY HAMZAH AL IMRAN

BAB III LANDASAN TEORI

DEGRADASI-AGRADASI DASAR SUNGAI

PENGARUH DEBIT TERHADAP POLA GERUSAN DI SEKITAR ABUTMEN JEMBATAN (UJI LABORATORIUM DENGAN SKALA MODEL JEMBATAN MEGAWATI)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS SEDIMENTASI DI MUARA SUNGAI PANASEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sungai

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sungai

BAB II. Tinjauan Pustaka

LAMPIRAN 1 DISTRIBUSI UKURAN BUTIRAN

I Putu Gustave Suryantara Pariartha

ANALISIS MODEL FISIK GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN

PENGARUH STRUKTUR BANGUNAN KRIB TERHADAP SEDIMENTASI DAN EROSI DI SEKITAR KRIB DI SUNGAI

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana.

PENGARUH KEDALAMAN ALIRAN TERHADAP PERILAKU GERUSAN LOKAL DI SEKITAR ABUTMEN JEMBATAN. Skripsi

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

KAJIAN KEDALAMAN GERUSAN DISEKITAR ABUTMEN JEMBATAN TIPE WING WALL DAN SPILLTHROUGH TANPA PROTEKSI UNTUK SALURAN BERBENTUK MAJEMUK

PERSAMAAN BERNOULLI I PUTU GUSTAVE SURYANTARA P

TUGAS AKHIR. OLEH : Mochamad Sholikin ( ) DOSEN PEMBIMBING Prof.DR.Basuki Widodo, M.Sc.

AWAL GERAK BUTIR SEDIMEN

MODEL LABORATORIUM PENGARUH VARIASI SUDUT ARAH PENGAMAN PILAR TERHADAP KEDALAMAN GERUSAN LOKAL PADA JEMBATAN DENGAN PILAR CYLINDER GROUPED

BAB V HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

9. Dari gambar berikut, turunkan suatu rumus yang dikenal dengan rumus Darcy.

MODEL LABORATORIUM GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN TIPE CYLINDER GROUPED DENGAN PENGAMAN PILAR TIPE TIRAI PADA SUNGAI BERBELOK

Stenly Mesak Rumetna NRP : Pembimbing : Ir.Endang Ariani,Dipl. H.E. NIK : ABSTRAK

PENELITIAN KARAKTERISTIK BLOK BETON TERKUNCI UNTUK PENGENDALIAN GERUSAN LOKAL DAN DEGRADASI DASAR SUNGAI

I-I Gambar 5.1. Tampak atas gerusan pada pilar persegi

STUDI NUMERIK PERUBAHAN ELEVASI DAN TIPE GRADASI MATERIAL DASAR SUNGAI

Persamaan Chezy. Pada aliran turbulen gaya gesek sebanding dengan kuadrat kecepatan. Persamaan Chezy, dengan C dikenal sebagai C Chezy

BAB IV METODE PENELITIAN

PENGARUH POLA ALIRAN DAN PENGGERUSAN LOKAL DI SEKITAR PILAR JEMBATAN DENGAN MODEL DUA DIMENSI ABSTRAK

ANALISIS GERUSAN LOKAL DI SEKITAR SEMI-CIRCULAR-END ABUTMENT DENGAN PERLINDUNGAN GROUNDSILL PADA FROUD NUMBER (Fr) 0,2

BAB IV METODE PENELITIAN

2015 ANALISIS SEDIMEN DASAR (BED LOAD) DAN ALTERNATIF PENGENDALIANNYA PADA SUNGAI CIKAPUNDUNG BANDUNG, JAWA BARAT INDONESIA

bangunan- Gangguan tersebut dapat merupakan dan kedalaman normal.

ANALISIS GERUSAN DI HILIR BENDUNG TIPE VLUGHTER (UJI MODEL LABORATORIUM)

MODEL LABORATORIUM GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN TIPE GROUPED CYLINDER. Arie Perdana Putra 1) Mudjiatko 2) Siswanto 2)

PERENCANAAN PERBAIKAN TEBING BENGAWAN SOLO HILIR DI KANOR, BOJONEGORO. Oleh : Dyah Riza Suryani ( )

ANALISIS BENTUK PILAR JEMBATAN TERHADAP POTENSI GERUSAN LOKAL (Studi kasus Model Pilar Penampang Persegi Panjang dan Ellips) Antón Ariyanto ABSTRACT

Transkripsi:

BAB III LANDASAN TEORI A. Gerusan Gerusan adalah fenomena alam yang terjadi karena erosi terhadap aliran air pada dasar dan tebing saluran alluvial atau proses menurunnya atau semakin dalamnya dasar sungai di bawah elevasi permukaan alami (datum) karena interaksi antara aliran dengan material dasar sungai (Hoffmans and Verheij, 1997 dalam Rahmadani, 2014). Gerusan merupakan proses alam yang mengakibatkan kerusakan pada struktur bangunan didaerah aliran air. Penambahan gerusan akan terjadu dimana ada perubahan setempat dari geometri sungai seperti karakteristik tanah dasar setempat dan adanya halangan pada alir sungai berupa bangunan sungai. Adanya halangan tersebut akan menyebabkan perubahan pola aliran yang mengakibatkan terjadinya gerusan lokal disekitar bangunan tersebut. Perubahan pola aliran terjadi karena adanya halangan pada aliran sungai tersebut berupa bangunan sungai seperti pilar dan abutmen jembatan, krib sungai, pintu air dan sebagainya. Bangunan semacam ini dipandang dapat merubah geometri alur dan pola aliran yang selanjutnya diikuti gerusan lokal disekitar bangunan (Legono, 1990). 1. Jenis Gerusan Menurut Legono (1990), gerusan dibedakan menjadi: a. Gerusan umum di alur sungai, gerusan ini tidak berkaitan sama sekali dengan terdapat atau tidaknya bangunan sungai. Gerusan ini disebabkan oleh energi dari aliran sungai. b. Gerusan terlokalisir di alur sungai, terjadi karena penyempitan alur sungai, sehingga aliran menjadi lebih terpusat. c. Gerusan lokal disekitar bangunan, terjadi karena pola aliran lokal disekitar bangunan sungai. 2. Gerusan Lokal Gerusan lokal (local scouring) ini menurut Yulistiyanto dkk (1998) merupakan gerusan yang terjadi disekitar abutmen jembatan atau pilar, disebabkan oleh pusaran air (vortex system) karena adanya gangguan pada pola aliran akibat rintangan. Aliran yang mendekati pilar dan tekanan stagnasi akan 6

7 menurun dan menyebabkan aliran kebawah (down flow) yaitu aliran dari kecepatan tinggi menjadi rendah. Kekuatan down flow akan mencapai maksimum ketika berada tepat pada dasar saluran. Penggerusan lokal (Garde dan Raju, 1977 dalam Rahmadani, 2014) terjadi akibat adanya turbulensi air yang disebabkan terganggunya aliran, baik besar maupun arahnya, sehingga menyebabkan banyutnya material-material dasar atau tebing sungai. Turbulensi disebabkan oleh berubahnya kecepatan terhadapt waktu, dan keduanya. Penggerusan lokal pada material dasar dapat terjadi secara langsung oleh kecepatan aliran sedemikian rupa sehingga daya tahan material terlampaui. Secara teoristik tegangan geser yang terjadi lebih besar dari tegangan geser kritis dari butiran dasar. Variabel-variabel yang berpengaruh pada gerusan lokal, meliputi : a. Kondisi fluida, yaitu : i. Kerapatan ( ) ii. Kekentalan (v) iii. Gravitasi (g) iv. Kecepatan (U) v. Kedalaman aliran (d o ) b. Kondisi dasar sungai i. Diameter butiran sedimen (Ds) ii. Kerapatan massa ( ) iii. Distribusi butiran iv. Bentuk butiran c. Faktor ginetik pilar i. Tebal pilar (b) ii. Panjang pilar (L) iii. Bentuk muka pilar iv. Sudut arah pilar ( ) v. Jenis antar pilar ( ) Karena variable sangat banyak maka dikaji yang relative dominan dan kedalaman gerusan (d s ) merupakan fungsi : d s = f (, vd, D s,, d o, U, b,, ).

8 3. Mekanisme Gerusan Gerusan lokal umumnya terjadi pada alur sungai yang terhalang pilar jembatan akibatnya menyebabkan adanya pusaran. Pusaran tersebut terjadi pada bagian hulu pilar. Isnugroho (1992) dalam Aisyah (2004) menyatakan bahwa adanya pilar akan menggangu kestabilan butiran dasar. Bila perubahan air hulu tertahan akan terjadi gangguan pada elevasi muka air di sekitar pilar. Selanjutnya aliran akan berubah secara cepat. Karena adanya percepatan aliran maka elevasi muka air akan turun. Pada permukaan air, interaksi aliran dan struktur membentuk busur ombak (bow wave) yang disebut sebagai gulungan permukaan (surface roller). Pada saat terjadi pemisahan aliran pada struktur bagian dalam mengalami wake vortices. Gambar 3.1 Mekanisme gerusan akibat pola aliran air di sekitar pilar (Sumber: Breusers dan Raudkivi, 1991) dalam Syarvina, 2013) Menurut Breusers dan Raudkivi (1991) dalam Syarvina (2013), proses gerusan dimulai pada saat partikel yang terbawa bergerak mengikuti pola aliran dari bagian hulu kebagian hilir saluran. Pada kecepatan tinggi, partikel yang terbawa akan semakin banyak dan lubang gerusan akan semakin besar baik ukuran maupun kedalamanya. Kedalaman gerusan maksimum akan tercapai pada saat kecepatan aliran mencapai kecepatan kritik. Berikut ini adalah hubungan antara kedalaman gerusan terhadap waktu gambar 3.2 dan hubungan antara kedalaman gerusan dengan kecepatan geser gambar 3.3.

9 Gambar 3.2 Hubungan kedalaman gerusan dengan waktu (Sumber: Breusers dan Raudkivi, 1991 dalam Syarvina, 2013) Gambar 3.3 Hubungan kedalaman gerusan dengan kecepatan geser (Sumber: Breusers dan Raudkivi, 1991 dalam Syarvina, 2013) Grafik diatas meunjukkan bahwa kedalaman gerusan untuk clear water scour dan live-bed scour merupakan fungsi dari kecepatan geser. Kesetimbangan gerusan tergantung pada keadaan yang ditinjau yaitu gerusan dengan air tanpa sedimen (clear-water scour) atau gerusan dengan air besedimen (live-bed scour). Pada clear-water scour, gerakan dasar sungai diasumsikan hanya terjadi pada sekitar pilar. Kesetimbanagn tercapai bila tegangan geser yang terjadi di dekat permukaan lubang gerusan sudah tidak mampu untuk mengangkut material karena clearwater scour cenderung terjadi pada material dasar yang kasar. Sedangkan pada keadaan live-bed scour, gerakan dasar sungai terjadi pada hampir sepanjang dasar sungai. Proses terjadinya gerusan ditandai dengan berpindahnya sedimen yang menutupi pilar jembatan serta erosi dasar sungai yang terjadi akan mengikuti pola

10 aliran. Proses terus berlanjut dan lubang gerusan akan semakin berkembang, semakin lama semakin besar dengan mencapai kedalaman tertentu (maksimum). Melville dalam Miller (2003) menjelaskan tahap-tahap gerusan yang terjadi antara lain sebagai berikut : a. Peningkatan aliran yang terjadi pada saat perubahan garis aliran di sekeliling pilar. b. Pemisahan aliran dan peningkatan pusaran tapal kuda yang lebih intensif sehingga menyebabkan pembesaran lubang gerusan. c. Longsor/turunnya material disekitar lubang gerusan pada saat lubang cukup besar setelah terkena pusaran tapal kuda. Nakagawa dan Suzuki dalam Miller (2003) membedakan gerusan dalam empat tahap : a. Gerusan di sisi (kanan dan kiri) pilar yang disebabkan kekuatan tarikan dari arus utama (main flow). b. Gerusan di depan pilar yang diakibatkan pusaran tapal kuda (horseshoe vortex). c. Pembesaran gerusan oleh pusaran stabil yang mengalir melewati pilar. d. Periode reduksi gerusan selama penurunan kapasitas transpor di lubanggerusan. 4. Pola Gerusan Lokal di Sekitar Pilar Dalam (Ikhsan dan Hidayat, 2006) gerusan lokal yang terjadi disekitar pilar akan membentuk suatu pola gerusan tertentu. Pola gerusan setiap pilar diamati setelah proses gerusan terjadi. Gambar 3.4 Pola gerusan lokal pada pilar jajar genjang (Sumber: Ikhsan dan Hidayat, 2006)

11 Gambar 3.5 Pola gerisan lokal pada pilar bulat (Sumber: Ikhsan dan Hidayat, 2006) Gambar 3.6 Pola gerisan lokal pada pilar bujur sangkar (Sumber: Ikhsan dan Hidayat, 2006) Dari ketiga gambar di atas dapat dilihat bahwa pola kedalaman gerusan lokal disekitar pilar adalah sama untuk posisi pilar yang sejajar dengan arah aliran yang datang, proses gerusan terjadi pada depan dan belakang pilar, gerusan maksimum terjadi pada depan pilar, tetapi yang berbeda adalah nilai kedalaman gerusan yang berbeda seiring bertambahnya debit ditunjukkan pada gambar 3.5 dan gambar 3.6. Pola kedalaman gerusan lokal di sekitar pilar yang posisinya membentuk sudut terhadap arah aliran yang datang, proses gerusan terjadi pada depan, samping dan belakang pilar kedalaman gerusan maksimum terjadi di samping pilar seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.4 pola gerusan lokal di sekitar pilar untuk pilar yang sejajar dengan arah aliran dan pilar yang membentuk sudut terhadap arah aliran adalah berbeda.

12 Pilar jajar genjang memiliki karakter yang lain dengan pilar bentuk bulat dan bujur sangkar, karena pilar jajar genjang membentuk sudut terhadap aliran yang dating, sehingga proses gerusan yang terjadi berbeda. Bentuk pilar jajar genjang proses kedalaman maksimum terjadu pada sisi pilar. Semakin besar bentuk sudut yang terjadi terhadap aliran, maka semakin besar kedalaman gerusan yang terjadi pada sisi pilar. 5. Faktor yang Mempengaruhi Kedalaman Gerusan (Syarvina, 2013) kedalaman gerusan yang terjadi disekitar bangunan air, jembatan dan penyempitan air dipengaruhi beberapa faktor yang antara lain adalah : a. Kecepatan aliran pada alur sungai Kedalaman gerusan lokal maksimum rata-rata di sekitar pilar sangat tergantung pada nilai relatif kecepatan alur sungai (perbandingan antara kecepatan rerata aliran dan kecepatan geser), nilai diameter butiran (butiran seragam/ tidak seragam) dan lebar pilar. Dengan demikian maka gerusan lokal maksimum rerata tersebut merupakan gerusan lokal maksimum dalam kondisi setimbang. b. Gradasi sedimen Gradasi sedimen dari sedimen transpor merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kedalaman gerusan pada kondisi air bersih (clear water scour). Dari Gambar 3.4, kedalaman gerusan (ys/b) tak berdimensi sebagai fungsi dari karakteristik gradasi sedimen material dasar (σ/d 50 ). Dimana σ adalah standar deviasi untuk ukuran butiran dan d50 adalah ukuran partikel butiran rerata. Nilai kritikal dari σ/d 50 untuk melindunginya hanya dapat dicapai dengan bidang dasar, tetapi tidak dengan lubang gerusan dimana kekuatan lokal pada butirannya tinggi yang disebabkan meningkatnya pusaran air.

13 Gambar 3.7 Kedalaman gerusan setimbang di sekitar pilar fungsi ukuran butir relative untuk kondisi aliran air bersih (Sumber: Breusers dan Raudkivi, 1991 dalam Syarvina, 2013) c. Ukuran Pilar dan Ukuran Butir Material Dasar Kedalaman gerusan maksimum pada media alir clear water scour sangat dipengaruhi adanya ukuran butiran material dasar relatif b/d 50 pada sungai alami maupun buatan. Untuk sungai alami umumnya koefisien ukuran butir relatif b/d 50 pada kecepatan relatif U/Uc = 0,90 pada kondisi clear water dan umumnya kedalaman gerusan relatif ys/b tidak dipengaruhi oleh besarnya butiran dasar sungai selama b/d 50 > 25. Ukuran pilar mempengaruhi waktu yang diperlukan bagi gerusan lokal pada kondisi clear-water sampai kedalaman terakhir, tidak dengan jarak relatif (ys/b), jika pengaruh dari kedalaman relatif (y0/b) dan butiran relatif (b/d 50 ) pada kedalaman gerusan ditiadakan, maka nilai aktual dari (ys/b) juga tergantung pada peningkatan dari bed material. Pada kasus gerusan yang mengangkut sedimen (live bed), waktu diberikan untuk mencapai keseimbangan gerusan dan tergantung pada rasio dari tekanan dasar ke tekanan kritikal. d. Bentuk Pilar Bentuk pilar akan berpengaruh pada kedalaman gerusan lokal, pilar jembatan yang tidak bulat akan memberikan sudut yang lebih tajam terhadap aliran dating yang diharapkan dapat mengurangi gaya pusaran tapal kuda sehingga dapat mengurangi besarnya kedalaman gerusan. Hal ini juga tergantung pada panjang dan lebar (l/b) masing-masing bentuk mempunyai koefisien faktor bentuk Ks menurut Dietz (1971) dalam

14 Breuser dan Raudkivi (1991) dalam Syarvina (2013) di tujukan dalam tabel berikut : Tabel 3.1 Koefisien faktor bentuk pilar Bentuk Pilar Ks Gambar Bentuk Pilar Silinder 1.0 Persegi (Rectangular) 1 : 1 1.22 1:5 0.99 Persegi dengan ujung setengah lingkaran (rectangular with semi 1 : 3 0.90 circular nose) Ujung setengah lingkaran dengan bentuk belakang lancip 1 : 5 0.86 (semi circular nose with wedge shape tail) Persegi dengan sisi depan miring 1 : 2 0.76 1 : 3 (rectangular with 1 : 4 0.65 wedge shape nose) Elips (Elliptic) 1 : 2 1 : 3 1 : 5 0.83 0.80 0.61 Lenticular 1 : 2 0.80 1 : 3 0.70 Aerofoil 1 : 3.5 0.80 (Sumber : Breuser dan Raudkivi, 1991 dalam Syarvina, 2013)

15 B. iric Nays2DH 1.0 Morpho2D adalah metode penganalisa permasalahan perubahan dasar sungai/saluran pada aliran unsteady (aliran tidak tetap) perhitungan dua dimensi dalam arah horizontal. Program / metode perhitungan ini dikembangkan oleh Hiroshi Takebayashi dari Kyoto University. Persamaan yang mengatur/digunakan dalam metode tersebut telah ditulis sesuai dengan batas sistem koordinat secara umum. Di tahun 2009, metode perhitungan ini digunakan pada RIC-Nays Versi 1.0 yang merupakan program software yang dikembangkan oleh RIC. Beberapa fungsi baru ditambahkan untuk pengembangan dari versi sebelumnya yang kemudian menghasilkan program iric Versi 2.0 pada Maret 2011 dan kemudian sekarang berkembang menjadi iric Nays2DH 1.0. IRIC Nays2DH 1.0 dapat menganalisa aliran tidak seragam dan menghasilkan luaran berupa sebaran material dasar sungai secara horizontal. Sebagai tambahan, generasi, proses perkembangan dan migrasi/perpindahan pada ambang sungai dapat ditiru/dimodelkan. IRIC Nays2DH 1.0 biasanya diaplikasikan/digunakan untuk simulasi sungai-sungai alami. Efek dari vegetasi/tanaman pada perubahan dasar sungai dan proses transportasi sedimen pada dasar sungai yang kasar (contoh: bebatuan) dapat disimulasikan atau dimodelkan. 1. Karakteristik Model Aliran a. Sistem koordinat yang digunakan adalah sistem koordinat secara umum. Bentuk (batas) sungai yang kompleks dapat diperhitungkan / dipertimbangkan pada permodelan. b. Skema TVD-MacCormack (orde ketelitian tingkat 2) biasa digunakan untuk jangka konfeksi pada persamaan momentum sebagai perbedaan metode yang digunakan. c. Model persamaan 0 biasa digunakan untuk perhitungan pada difusi/persebaran aliran turbulen. d. Kondisi batas spasial meliputi kedalaman air bagian hilir akhir dan debit air pada bagian hulu akhir.

16 e. Kedalaman normal rata-rata secara longitudinal/memanjang digunakan sebagai kedalaman air awal. Kemiringan dasar sungai rata-rata secara longitudinal digunakan untuk menghitung kedalaman normal. Ketika elevasi air mula-mula di dalam grid numerik lebih rendah dari elevasi air mula-mula pada bagian hilir, elevasi air mula-mula pada bagian hilir akan digunakan untuk kondisi awal kedalaman air dalam grid numerik. f. Hukum Manning digunakan untuk memperkirakan tegangan geser pada dasar sungai. Angka koefisien Manning dapat didistribusikan secara horizontal. g. Hambatan dalam suatu domain/daerah perhitungan dapat dipertimbangkan berdasarkan data ketinggian area yang tidak tererosi. Dengan menggunakan data tersebut, pilar pada jembatan dan bangunan lainnya dapat dipertimbangkan dalam perhitungan. h. Tanaman vegetasi dapat diperhitungkan/dianggap sebagai gaya tarik atau gaya penahan yang bekerja pada arus aliran. Tingkat/jumlah lapisan yang tertutupi oleh tanaman dan tinggi tanaman dapat digunakan untuk estimasi besarnya gaya tarik atau gaya penahan yang bekerja. 2. Karakteristik Pemodelan Transportasi Sedimen dan Perubahan Dasar Sungai a. Pengguna dapat memilih untuk simulasi/perhitungan aliran air atau simulasi/perhitungan untuk analisa perubahan dasar sungai. b. Pengguna dapat memilih untuk menggunakan simulasi/perhitungan bed load atau bed load + suspended load. c. Aliran sedimen seragam (uniform sediment) dan tidak seragam (nonuniform sediment) dapat disimulasikan. Ketika menggunakan simulasi sediment tidak seragam (non-uniform sediment), ukuran gradasi butiran / ukuran distribusi sedimen dapat diperhitungkan (dijadikan data input untuk analisa perhitungan simulasi). d. Erosi pada bagian tepi/sisi sungai dapat diperhitungkan dengan mempertimbangkan sudut sedimentasi yang terbentuk. Ketika kemiringan dasar sungai lokal (di suatu bagian tertentu) lebih besar dari sudut

17 sedimentasi yang terbentuk, sedimen pada grid numerik yang lebih tinggi akan berpindah ke grid numerik yang lebih rendah untuk menjaga nilai kemiringan dasar sungai lokal lebih kecil dari pada nilai sudut sedimentasi yang terbentuk. 3. Lain-lain Fungsi simulasi berkelanjutan dapat digunakan. Simulasi / perhitungan yang baru dapat dimulai dengan menggunakan kondisi akhir dari simulasi sebelumnya. 4. Persamaan dalam Aliran Program / metode perhitungan yang digunakan pada software iric Nays2DH 1.0 (Takebayashi, 2014): a. Persamaan dalam Koordinat Kartesius (Cartesian Coordinate) Pertama, persamaan dalam koordinat Kartesius (x, y) akan ditransformasikan/dirubah ke sistem koordinat umum. [Persamaan Continuum (Rangkaian Kesatuan)] ( ) ( ) ( ) ( )...(1) [Persamaan Momentum] ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )..(2) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )...(3) dimana,,,...(4)

18,, ( )..(5),, ( )...(6) Dimana, t adalah waktu, x adalah koordinat di sepanjang arah memanjang dan y untuk arah melintang. u mewakili/mempresentasikan kecapatan aliran pada kedalamanan rerata di dasar sungai sepanjang aliran arah memanjang dan v untuk arah melintang. Kedalaman rerata- untuk rembesan air dari kecepatan aliran sepanjang koordinat x dan y pada sistem koordinat Kartesius ditunjukkan sebagai u g dan v g secara berturut-turut. z adalah elevasi muka air, z b adalah elevasi dasar sungai. Kedalaman aliran dari permukaan air ditunjukkan sebagai h dan kedalaman rembesan aliran ditunjukkan dengan h g. g adalah nilai untuk gravitasi, ρ adalah kerapatan (massa jenis) air. τ x adalah tegangan geser sepanjang arah memanjang dan τ y untuk arah melintang. τ b adalah tegangan geser di dasar sungai. ɛ adalah nilai koefisien viskositas eddy. u * adalah nilai kecepatan gesekan, u b and v b menunjukkan kecepatan di dekat permukaan dasar sungai pada arah memanjang dan melintang secara berurutan. F vx dan F vy adalah gaya geser sebagai akibat dari vegetasi sepanjang arah memanjang dan melintang. C dv ( 1.0) adalah nilai koefisien dari bentuk gesekan, λ v adalah kerapatan (massa jenis) vegetasi. h v adalah kedalaman air pada daerah/bidang yang ditumbuhi vegetasi. Ketika tinggi tanaman vegetasi lebih besar/tinggi daripada kedalaman air, h v bernilai sama dengan kedalaman air. Ketika tinggi tanaman vegetasi lebih rendah dari kedalaman air, h v bernilai sama dengan tinggi tanaman vegetasi. Ʌ adalah parameter yang terkait dengan porositas dalam tanah, dimana Ʌ = 1 jika z z b dan Ʌ = λ jika z < z b, dimana z b adalah level/elevasi dasar sungai dan λ adalah porositas dalam tanah. Rembesan aliran diasumsikan sebagai kejenuhan air/aliran dalam dua dimensi arah horizontal. b. Perubahan ke Sistem Koordinat Umum Selanjutnya, persamaan yang mengatur dari aliran dua dimensi arah horizontal dalam sistem koordinat Kartesius dirubah kedalam bentuk

19 sistem koordinat umum (ξ, ղ). Dengan menggunakan sistem- koordinat umum, maka grid numerik yang kompleks dapat digunakan. Hubungan antara sistem koordinat Kartesisus dengan sistem koordinat umum adalah berdasarkan:..(7) atau,...(8). / ( ). /...(9) dimana,,,,...(10) sejalan dengan,...(11)...(12) atau. / ( ). /.(13) dimana.(14) karenanya,. / ( ). / ( ). /.(15) dimana, dengan menggunakan hubungan J = ξ x ղ y ξ y ղ x

20 ( ) ( ) (16) karenanya,,,..(17) atau,,,..(18) ( )...(19) karena itu, ( )...(20) (ξ, ղ) komponen dari kecepatan dinyatakan sebagai ( u ξ, u ղ ),...(21)...(22) atau, ( ) ( ) ( ) (23) ( ) ( ) ( ) (24) c. Persamaan dalam Sistem Koordinat Umum Persamaan dalam Sistem Koordinat Umum yang dirubah dari sistem koordiat Kartesius (x, y) adalah sebagai berikut: [Persamaan Continuum (Rangkaian Kesatuan)] ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) (25) [Persamaan Momentum] ( ) ( ) ( ). ( ) ( )/ ( ( ) ( ))

21 ( (( ) ( ) ) ( ) ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) (26) ( ) ( ) ( ). ( ) ( )/ ( ( ) ( )) ( ( ) ) (( ) ( ) ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ).(27) dimana, U dan V menunjukkan kecepatan aliran pada kedalaman rerata contravariant di dasar sungai sepanjang koordinat ξ dan ղ, berurutan. Kecepatan tersebut didefinisikan sebagai.(28) U g dan V g menunjukkan kecepatan aliran rembesan kedalaman rerata contravariant sepanjang koordinat ξ dan ղ, berurutan. Kecepatan ini didefinisikan sebagai (29) τ bξ dan τ b ղ menunjukkan contravariant tegangan geser sepanjang ξ dan ղ, berurutan. Tegangan geser tersebut didefinisikan sebagai

22 (30) Hukum Manning digunakan untuk memperhitungkan kecepatan gesekan (u * ) berdasarkan, ( ) (31) dimana, n m adalah koefisien kekasaran Manning, R adalah radius hidraulika, k s adalah tinggi kekasaran, u b dan v b menunjukkan kecepatan di dekat permukaan dasar sungai sepanjang sumbu x dan y secara berurutan. F v ξ dan F v ղ menunjukkan contravariant gaya geser sebagai akibat dari tanaman vegetasi sepanjang ξ dan ղ, secara berurutan. Gaya geser/seret tersebut didefinisikan sebagai (32) Persamaan momentum dari rembesan aliran air adalah berdasarkan, ( ) ( ).(33) dimana, k gx dan k gy secara berturut-turut adalah koefisien permeabilitas sepanjang arah longitudinal/memanjang dan melintang. d. Metode Perhitungan pada Aliran Turbulen Model persamaan 0 digunakan untuk perhitungan tekanan turbulen di dalam Morpho2D. Secara umum, koefisian viskositas eddy (ɛ) dapat dianggap sebagai hasil dari representasi kecepatan v t dan panjang l berdasarkan persamaan (34) Dalam bidang/daerah aliran yang mana kedalaman air dan kekasaran pada dasar sungai secara bertahap berubah dalam arah melintang, urutan koefisien viskositas eddy dalam arah horizontal dan vertikal diasumsikan sama dan koefisien viskositas eddy ɛ yang diasumsikan bergantung pada kecepatan gesekan dan kedalaman air..(35)

23 dimana, a adalah nilai konstan. Percobaan yang telah dilakukan oleh Fisher dan Webel * Schatzmann mengindikasikan bahwa nilai a konstan karena terkait dengan perpindahan/transportasi momentum vertikal sebesar 0.07. Karena itu, koefisien viskositas eddy ɛ dapat ditunjukkan dengan menggunakan nilai konstan dari Karman, К, (0.4) berdasarkan persamaan (36) Persamaan pergerakan/perpindahan (transpor) aliran turbulen secara nilai statistik tidak digunakan pada permodelan ini. Karena itu, permodelan disebut dengan persamaan model 0. e. Persamaan Tegangan Geser pada Dasar Sungai Tegangan geser pada dasar sungai dirumuskan berdasarkan Hukum Manning dalam Morpho2D. Koefisien kekasaran Manning dapat didistribusikan secara spasial. Tegangan geser dasar τ x, τ y diperhitungkan berdasarkan kecepatan gesekan u *. Hubungan antara kecepatan gesekan u * dan kekasaran Manning n m adalah berdasarkan persamaan berikut, ( )...(37) f. Persamaan Gaya Geser/Penahan dari Tanaman Vegetasi Gaya geser (penahan) yang diakibatkan oleh tanaman vegetasi dapat diperhitungkan dengan menggunakan nilai koefisien gaya geser C dv, rapat massa tanaman vegetasi λ v dan area proyeksi (tinggi) h v dalam Morpho2D. Rapat massa vegetasi λ v dapat diperhitungkan dengan menggunakan tingkat pelapisan/permukaan yang ditutupi dari tanaman vegetasi pada sel perhitungan c av dan rapat massa maksimum vegetasi λ vb berdasarkan persamaan sebagai berikut, (38) Distribusi spasial dari vegetasi dapat dipertimbangkan berdasarkan perubahan secara horizontal tingkat pelapisan/permukaan yang tertutupi

24 tanaman c av. Sebagai tambahan, dengan menggunakan data tinggi tanaman vegetasi h v, proyeksi area (tinggi) dapat diestimasi lebih akurat. g. Persamaan Transportasi Sedimen Sebagai salah satu permodelan transpor sedimen, Morpho2D dapat menggunakan simulasi [hanya bed load] dan [bed load + suspended load]. Sebagai tambahan, jenis material dasar dapat dipilih dari [sedimen seragam (uniform sediment)] dan [sedimen tidak seragam (non-uniform sediment)]. i. Tegangan Geser Non-Dimensional (Besarnya Tanpa Batas) Tegangan geser non-dimensional digunakan untuk memperhitungkan tingkat transpor sedimen. Ketika nilai tegangan geser non-dimensional ini besar, maka tingkat transpor sedimen juga besar. Begitu pula ketika nilai tegangan geser non-dimensional bernilai kecil, maka tingkat transpor sedimen juga kecil. Tegangan geser nondimensional menggunakan diameter rata-rata dari material dasar sungai dalam perpindahan/pertukaran lapisan material dengan berdasarkan persamaan,..(39) dimana, d m adalah diameter sedimen rata-rata dari pertukaran lapisan, s adalah nilai berat spesifik dari sedimen dalam air. ii. Bed load Debit aliran dengan input bed load dalam arah bed load q bk diperhitungkan oleh Ashida Michiue dengan persamaan sebagai berikut : ( ) ( )( )..(40) dimana, ρ s adalah kerapatan/rapat massa sedimen, dan u *c adalah kecepatan gesekan efektif yang besarnya adalah berdasarkan persamaan ( ( ) ).(41)

25 persamaa Kecepatan gesekan kritis dari kelas ukuran sedimen k berdasarkan ( ).(42).(43) Kecepatan gesekan kritis dari diameter rata-rata sedimen dihitung dengan menggunakan persamaan dari Iwagaki sebagai berikut : (44) (45) (46)..(47) ( ).(48) r b adalah fungsi dari ketebalan pertukaran lapisan berdasarkan (49)...(50) K c adalah fungsi modifikasi dari pengaruh kemiringan dasar sungai lokal pada transpor sedimen ditunjukkan dengan persamaan, ( )..(51) dimana α adalah sudut deviasi didekat/sekitar aliran dasar sungai dari arah sumbu x yang ditunjukkan dengan persamaan ( )...(52) μ s adalah koefisian gesek statis, ϴ x dan ϴ y secara berurutan adalah kecenderungan dasar sungai pada arah x dan y. Kecenderungan ini dievaluasi berdasarkan persamaan ( ) ( ).(53)

26 q bξk dan q b ղk secara berurutan adalah bed load dari ukuran kelas k pada arah ξ dan ղ, yang dihitung dengan persamaan (54) q bxk dan q byk secara berurutan adalah bed load dari ukuran kelas k pada arah x dan y yang dihitung berdasarkan persamaan..(55) Kemiringan dasar sungai lokal sepanjang arah bed load dengan diameter rerata sedimen (ϴ) didapatkan berdasarkan persamaan...(56) dimana β m adalah sudut deviasi/penyimpangan dari bed load dengan diameter rerata untuk arah sumbu x. Sudut deviasi dari bed load dengan kelas ukuran k untuk arah x (β k ), yang bergantung pada aliran di sekitar dasar sungai dan kecenderungan/condong ke dasar, dihitung dengan ( ) ( )..(57)..(58) Θ y =, Θ y = Θ y + (59) dimana, K Id ( 0.85) adalah rasio gaya angkat untuk gaya gesek/seret. iii. Perhitungan Kecepatan di sekitar Dasar Sungai Kecepatan aliran di sekitar dasar sungai dievaluasi menggunakan radius/jari-jari lengkung dari garis/batas sungai berdasarkan persamaan u b = u bs cos α s - v bs sin α s, v b = u bs sin α s + v bs cos α...(60) u bs = 8.5u *,V bs = -..(61) dimana, u b dan v b secara berurutan menunjukkan kecepatan di dekat permukaan dasar sungai sepanjang koordinat x dan y. α s = arctan (v/u), N Ф

27 sebesar 7.0 7) dan r jari-jari lengkung dari garis/batas sungai yang didapatkan dari kedalaman digabungkan dengan bidang aliran. iv. Jari-jari Lengkung dari Garis/Batas Sungai Jari-jari lengkung dari garis/batas sungai r dihitung dengan menggunakan hubungan persamaan sebagai berikut = ( ), ( ) ( )-..(62) v. Suspended Load / Beban Sedimen yang Tersuspensi Pengguna dapat memilih persamaan dari Lane & Kalinske 9) atau persamaan dari Itakura dan Kishi 10). Konsentrasi keseimbangan dari suspended load pada ketinggian referansi (c sbek ) dari persamaan Lane & Kalinske 9) menggunakan persamaan c sbek = 5.55. ( )/ r b (Unit;ppm).(63) Ketika konsentrasi dari distribusi arah vertikal pada sedimen tersuspensi diasumsikan sebagai distribusi eksponen (uraian distribusi), hubungan antara konsentrasi suspensi pada kedalaman rerata (c sk ) dan konsentrasi tersuspensi dari sedimen dengan kelas ukuran k pada tingkat referansi (c sbk ) dihitung dengan persamaan c sk = ( ( ) ) (64) =.(65) dimana, D h adalah koefisien penyebaran/dispersi pada arah vertikal. Untuk penyederhanaan, ɛ digunakan sebagai D h. Kecepatan pengendapan dari sedimen yang tersuspensi (w fk ) diestimasi dengan menggunakan persamaan W fk =. ( ) ( ) / ( )..(66) Keseimbangan konsentrasi dari suspended load pada tinggi referansi (c sbck ) dari persamaan Itakura dan Kishi 10) dihitung sebagai berikut

28 q su = * +.(67) [ ] Ω=..(68) α =,, K=0.008..(69) dimana, q su adalah beban sedimen tersuspensi dari dasar sungai per unit area, w f adalah kecepatan pengendapan dari suspended load yang menggunakan persamaan dari Rubey 12). B * adalah koefisien konversi dengan nilai yang biasa digunakan sebesar B * = 0.143. vi. Persamaan Transportasi Sedimen Tersuspensi Kedalaman rerata konsentrasi tersuspensi pada ukuran kelas k dievaluasi dengan rangkaian persamaan dari sedimen tersuspensi sebagai berikut : ( ) ( ) ( ) = [ ( )] + ( ( ( ) ( ) ) ( ) ).(70) dimana, D x dan D y secara berurutan adalah koefisien dispersi/penyebaran dalam arah x dan y. (untuk penyederhanaan disini maka, D x = D y = ɛ). vii. Persamaan Continuum (Rangkaian) Sedimen Persamaan continuum (kesatuan rangkaian) sedimen untuk bidang dua dimensi arah horizontal dalam sistem koordinat Kartesius adalah sebagai berikut ( ) ( ). ( ) ( ) ( )/...(71)

29 Sedangkan persamaan continuum (kesatuan rangkaian) sedimen untuk bidang dua dimensi arah horizontal dalam sistem koordinat umum menggunakan persamaan berikut.( )/ ( ) ( ). ( ) ( ) ( )/ (72) ( )..(73) viii. Permodelan Aliran Sedimen Tidak Seragam (Non-uniform Sediment) Untuk menghasilkan perhitungan analisa numerik yang melibatkan ukuran distribusi sedimen, maka ukuran distribusi sedimen di bagi kedalam n ukuran kelas sedimen. Ukuran kelas sedimen menunjukkan ukuran sedimen yang direpresentasikan/digunakan d k dan konsentrasi dari k sebagai ukuran kelas sedimen f bk. Ukuran diameter rata-rata d m ditunjukkan berdasarkan persamaan berikut..(74) dimana, d k menunjukkan ukuran sedimen dari kelas ukuran sedimen k. Persamaan kekekalan/konservasi massa (mass conservation equation) dari setiap ukuran kelas sedimen dalam lapisan pertukaran dan lapisan deposisi/pengendapan adalah berdasarkan persamaan berikut ( ) ( ) ( ) ( ( ) ( ) ( ))

30.(75) ( ) ( ).(76) dimana, f bk adalah konsentrasi dari bed load pada kelas ukuran k dalam lapisan bed load, f c adalah konsentrasi sedimen pada kelas ukuran k dalam lapisan sedimen kohesif, f dmk adalah konsentrasi sediment pada kelas ukuran k dalam lapisan dasar mth, c b adalah konsentrasi kedalaman rerata dari bed load. E bc adalah keseimbangan/kesetimbangan (equilibrium) dari ketebalan lapisan bed load; yang dihitung berdasarkan persamaan ( ) (77) dimana, d m adalah diameter rerata dari bed load, Ф adalah sudut peletakan (pengendapan) dan τ Фm adalah tegangan geser non-dimensional (besarnya tanpa batas) dari diameter rerata. E sd adalah ketebalan lapisan sedimen pada dasar sedimen kohesif. E b adalah ketebalan lapisan bed load yang dihitung dengan persamaan..(78)..(79)