BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness diartikan oleh Peplau & Perlman (dalam Brage, Meredith &

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Individu dalam tahapan dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan orang lain. Manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang

BAB II LANDASAN TEORI. yang saling mendukung antara yang satu dengan yang lain.

BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB II KAJIAN TEORITIK. perasaan dirugikan dan tidak terpuaskan yang dihasilkan dari. kesenjangan antara hubungan sosial yang diinginkan dan hubungan

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja

BAB II LANDASAN TEORI. Rosenberg (1965) mendefinisikan self esteem sebagai evaluasi yang

2015 PENGARUH DATING ANXIETY DAN KESEPIAN TERHADAP ADIKSI INTERNET PADA DEWASA AWAL LAJANG DI KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa.

BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian. dan terpisah dari mereka yang ada sekitar anda (Beck & Dkk dalam David G.

BAB II LANDASAN TEORI. sebagai perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN. A. Deskripsi Penelitian Pada penelitian ini pengambilan data penelitian dilakukan pada beberapa

BAB 1 PENDAHULUAN. Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. kecanduan internet merupakan ketergantungan psikologis pada internet, apapun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian (loneliness)

BAB I PENDAHULUAN. kalangan. Orang dewasa, remaja maupun anak-anak sekarang sudah

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Teknologi yang berkembang pesat saat ini

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian merupakan fenomena yang umum di seluruh dunia. Kesepian

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia berinteraksi dengan manusia yang lain. Miler (dalam Daryanto, 2011) menjelaskan,

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan peristiwa dimana sepasang mempelai atau sepasang

BAB II LANDASAN TEORI

PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP KESEPIAN PADA LANSIA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. tanpa kehadiran orang lain. Dengan adanya kebutuhan untuk mengadakan

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB II LANDASAN TEORI. Keintiman berasal dari bahasa latin intimus yang artinya terdalam. Erikson

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan dunia dalam berbagai aspek menyebabkan mudahnya

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kompetensi Sosial. memiliki kompetensi sosial dapat memanfaatkan lingkungan dan diri pribadi

BAB II LANDASAN TEORI. sebagai sembarang respon (reaksi, tanggapan, jawaban, alasan) yang dilakukan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. yang praktis dan berguna bagi setiap lapisan masyarakat. Melalui internet

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 49% berusia tahun, 33,8% berusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

Bab 2 Tinjauan Pustaka

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Manusia menjalani hidupnya dalam berbagai rentang kehidupan. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

Proses Keperawatan pada Remaja dan Dewasa. mira asmirajanti

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

xvi BAB I PENDAHULUAN

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bekerja sama

5. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN

Teori Perkembangan Psikososial. Oleh : Yulia Ayriza

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. Hampir semua orang, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan pernah

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. sudah menjadi masalah emosi yang umum. Depresi merupakan salah satu

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan

BAB II. Tinjauan Pustaka

15. Lampiran I : Surat Keterangan Bukti Penelitian BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki arti tersendiri di dalam hidupnya dan tidak mengalami kesepian.

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB II LANDASAN TEORI. A. Perilaku Kecanduan Situs Jejaring Sosial Facebook. 1. Pengertian Perilaku Kecanduan Situs Jejaring Sosial Facebook

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. muda. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi pada setiap tahun ajaran baru, puluhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dan individu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Erikson. Rizki Dawanti, M.Psi., Psikolog. 8 tahap psikososial. Daftar Pustaka. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Loneliness 1. Pengertian Loneliness Loneliness diartikan oleh Peplau & Perlman (dalam Brage, Meredith & Woodward, 1998) sebagai perasaan dirugikan dan tidak terpuaskan yang dihasilkan dari kesenjangan antara hubungan sosial yang diinginkan dan hubungan sosial yang dimiliki. Deaux, Dane & Wrightsman (1993) menyimpulkan bahwa ada tiga elemen dari defenisi loneliness yang dikemukakan oleh Peplau & Perlman, yaitu : a. merupakan pengalaman subyektif, yang mana tidak bisa diukur dengan observasi sederhana. b. loneliness merupakan perasaan yang tidak menyenangkan. c. secara umum merupakan hasil dari kurangnya/terhambatnya hubungan sosial. Menurut Robert Weiss (dalam Santrock, 2003), loneliness merupakan reaksi dari ketiadaan jenis-jenis tertentu dari hubungan. Loneliness terjadi ketika adanya ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan seseorang dan kenyataan dari kehidupan interpersonalnya, sehingga seseorang menjadi sendiri dan kesepian (Burger, 1995). Selanjutnya, loneliness akan disertai oleh berbagai macam emosi negatif seperti depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri (Anderson, 1994) dan malu (Jones, Carpenter & Quintana, 1985).

Loneliness berarti suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain (Bruno, 2000). Menurut Brehm & Kassin, loneliness adalah perasaan kurang memiliki hubungan sosial yang diakibatkan ketidakpuasan dengan hubungan sosial yang ada (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003). Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa loneliness merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan disebabkan adanya ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang diharapkan dengan kenyataan kehidupan interpersonalnya akibat terhambat atau berkurangnya hubungan sosial yang dimiliki seseorang. 2. Jenis-jenis Loneliness Weiss (dalam Santrock, 2003) menyebutkan adanya dua bentuk loneliness yang berkaitan dengan tidak tersedianya kondisi sosial yang berbeda-beda, yaitu a. Isolasi emosional (emotional isolation) adalah suatu bentuk loneliness yang muncul ketika seseorang tidak memiliki ikatan hubungan yang intim; orang dewasa yang lajang, bercerai, dan ditinggal mati oleh pasangannya sering mengalami loneliness jenis ini. b. Isolasi sosial (social isolation) adalah suatu bentuk loneliness yang muncul ketika seseorang tidak memiliki keterlibatan yang terintegrasi dalam dirinya; tidak ikut berpartisipasi dalam kelompok atau komunitas yang melibatkan adanya kebersamaan, minat yang sama, aktivitas yang terorganisasi, peran-peran yang berarti; suatu bentuk loneliness yang dapat membuat seseorang merasa diasingkan, bosan, dan cemas.

Menurut Young (dalam Weiten & Lloyd, 2006) loneliness dapat dibagi menjadi dua bentuk berdasarkan durasi loneliness yang dialaminya, yaitu: a. Transient loneliness yakni perasaan loneliness yang singkat dan muncul sesekali, yang banyak dialami individu ketika kehidupan sosialnya sudah cukup layak. Transient loneliness menghabiskan waktu yang pendek dan fase, seperti ketika mendengarkan sebuah lagu atau ekspresi yang mengingatkan pada seseorang yang dicintai yang telah pergi jauh (Meer dalam Newman & Newman, 2006). b. Transitional loneliness yakni ketika individu yang sebelumnya sudah merasa puas dengan kehidupan sosialnya menjadi loneliness setelah mengalami gangguan dalam jaringan sosialnya tersebut (misalnya meninggalnya orang yang dicintai, bercerai atau pindah ke tempat baru). c. Chronic loneliness adalah kondisi ketika individu merasa tidak dapat memiliki kepuasan dalam jaringan sosial yang dimilikinya setelah jangka waktu tertentu. Chronic loneliness menghabiskan waktu yang panjang dan tidak dapat dihubungkan dengan stressor yang spesifik. Orang yang mengalami chronic loneliness bisa saja berada dalam kontak sosial namun tidak memperoleh tingkat intimasi dalam interaksi tersebut dengan orang lain (Berg & Peplau, 1982). Sebaliknya, individu yang memiliki kemampuan sosial tinggi, yaitu meliputi mampu bersahabat, kemampuan komunikasi, kesesuaian perilaku nonverbal dan respon terhadap orang lain, memiliki sistem dukungan sosial yang lebih baik dan tingkat kesepian yang rendah (Rokach, Bacanli & Ramberan, 2000).

3. Penyebab Loneliness Menurut Brehm et al (2002) terdapat empat hal yang dapat menyebabkan seseorang mengalami loneliness, yaitu : a. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki seseorang Menurut Brehm et al (2002) hubungan seseorang yang tidak adekuat akan menyebabkan seseorang tidak puas akan hubungan yang dimiliki. Ada banyak alasan seseorang merasa tidak puas dengan hubungan yang tidak adekuat. Rubenstein dan Shaver (1982) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang yang loneliness, yaitu sebagai berikut : 1). Being unattached; tidak memiliki pasangan, tidak memiliki partner seksual, berpisah dengan pasangannya atau pacarnya. 2). Alienation; merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan dan tidak memiliki teman dekat. 3). Being Alone; pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut, selalu sendiri. 4). Forced isolation; dikurung di dalam rumah, dirawat inap di rumah sakit, tidak bisa kemana-mana. 5). Dislocation; jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan atau sekolah baru, sering pindah rumah, sering melakukan perjalanan (dalam Brehm et al, 2002). Dua kategori pertama dapat dibedakan menurut tipe loneliness dari Weiss yaitu isolasi emosional (being unattached) dan isolasi sosial (alienation). Kelima kategori ini juga dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu

being unattached, alienation dan being alone disebabkan oleh karakteristik individu yang loneliness, sedangkan forced isolation dan dislocation disebabkan oleh karakteristik orang-orang yang berada di sekitar lingkungan individu yang merasa loneliness. b. Terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan Menurut Brehm et al (2002) loneliness juga dapat muncul karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan. Sehingga orang tersebut tidak mengalami loneliness. Tetapi di saat lain hubungan tersebut tidak lagi memuaskan karena orang itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut. Menurut Peplau (dalam Brehm et al, 2002), perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber yaitu : 1). Perubahan mood seseorang. Jenis hubungan yang diinginkan seseorang ketika sedang senang berbeda dengan jenis hubungan yang diinginkan ketika sedang sedih. Bagi beberapa orang akan cenderung membutuhkan orangtuanya ketika sedang senang dan akan cenderung membutuhkan teman-temannya ketika sedang sedih. 2). Usia. Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan seseorang membawa berbagai perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginan orang itu terhadap suatu hubungan. Jenis persahabatan yang cukup memuaskan ketika seseorang berusia 15 tahun mungkin tidak akan memuaskan orang tersebut saat berusia 25 tahun.

3). Perubahan situasi. Banyak orang tidak mau menjalin hubungan emosional yang dekat dengan orang lain ketika sedang membina karir. Namun, ketika karir sudah mapan orang tersebut akan dihadapkan pada kebutuhan yang besar akan suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional. Brehm et al (2002) menyimpulkan bahwa pemikiran, harapan dan keinginan seseorang terhadap hubungan yang dimiliki dapat berubah. Jika hubungan yang dimiliki orang tersebut tidak ikut berubah sesuai dengan pemikiran, harapan dan keinginannya maka orang itu akan mengalami loneliness. c. Self-esteem Loneliness berhubungan dengan self-esteem yang rendah. Orang yang memiliki self-esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi yang beresiko secara sosial (misalnya berbicara didepan umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal). Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus menerus akibatnya akan mengalami loneliness. d. Perilaku interpersonal Perilaku interpersonal akan menentukan keberhasilan individu dalam membangun hubungan yang diharapkan. Dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami loneliness, orang yang mengalami loneliness akan menilai orang lain secara negatif, tidak begitu menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan dan intensi

(kecenderungan untuk berperilaku) orang lain secara negatif, dan cenderung memegang sikap-sikap yang bermusuhan. Orang yang mengalami loneliness cenderung terhambat dalam keterampilan sosial, cenderung pasif bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami loneliness dan ragu-ragu dalam mengekspresikan pendapat di depan umum. Orang yang mengalami loneliness cenderung tidak responsif dan tidak sensitif secara sosial. Orang yang mengalami loneliness juga cenderung lambat dalam membangun keintiman dalam hubungan yang dimilikinya dengan orang lain. Perilaku ini akan membatasi kesempatan orang itu untuk bersama dengan orang lain dan memiliki kontribusi terhadap pola interaksi yang tidak memuaskan (Peplau & Perlman, Saks & Krupart, dalam Brehm et al, 2002). e. Atribusi penyebab Menurut pandangan Peplau dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) perasaan loneliness muncul sebagai kombinasi dari adanya kesenjangan hubungan sosial pada individu ditambah dengan atribusi penyebab. Atribusi penyebab dibagi atas komponen internal-eksternal dan stabil-tidak stabil. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Tabel 1 Penjelasan Loneliness Berdasarkan Atribusi Penyebab Penyebab Kestabilan Internal Eksternal Stabil Saya kesepian karena saya tidak dicintai. Saya tidak akan pernah dicintai. Orang-orang disini tidak menarik. Tidak satupun dari mereka yang mau berbagi. Saya rasa saya akan pindah. Tidak Stabil Saya kesepian saat ini, tapi Semester pertama memang tidak akan lama. Saya akan selalu buruk, saya yakin menghentikannya dengan segalanya akan menjadi baik pergi dan bertemu orang baru. di waktu yang akan datang. Sumber: Shaver & Rubenstein (dalam Brehm et al, 2002) hlm: 413. Tabel diatas menunjukkan bahwa individu yang mempersepsi loneliness secara internal dan stabil menganggap dirinya adalah penyebab loneliness sehingga individu lebih sulit untuk keluar dari perasaan loneliness tersebut. Sedangkan, individu yang mempersepsi loneliness secara eksternal dan tidak stabil berharap sesuatu dapat merubah keadaan menjadi lebih baik sehingga memungkinkann untuk keluar dari perasaan loneliness tersebut. 4. Perasaan Individu Ketika Mengalami Loneliness Ketika mengalami loneliness, individu akan merasakan ketidakpuasan, kehilangan, dan distress. Namun, hal ini tidak berarti bahwa perasaan ini sama di setiap waktu. Faktanya menunjukkan bahwa orang-orang yang berbeda bisa saja memiliki perasaan loneliness yang berbeda dalam situasi yang berbeda pula (Lopata dalam Brehm et al, 2002). Berdasarkan survei mengenai loneliness yang dilakukan oleh Rubeinstein, Shaver & Peplau (dalam Brehm et al, 2002) diuraikan bahwa terdapat empat jenis perasaan yang dialami oleh orang yang loneliness, yaitu:

a. Desperation Desperation merupakan perasaan keputusasaan, kehilangan harapan, serta perasaan yang sangat menyedihkan sehingga seseorang mampu melakukan tindakan nekat. Beberapa perasaan yang spesifik dari desperation adalah: (1) Putus asa, yaitu memiliki harapan sedikit dan siap melakukan sesuatu tanpa memperdulikan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain, (2) Tidak berdaya, yaitu membutuhkan bantuan orang lain tanpa kekuatan mengontrol sesuatu atau tidak dapat melakukan sesuatu, (3) Takut, yaitu ditakutkan atau dikejutkan oleh seseorang atau sesuatu, sesuatu yang buruk akan terjadi, (4) Tidak punya harapan, yaitu tidak mempunyai pengalaman, tidak menunjukkan harapan, (5) Merasa ditinggalkan, yaitu ditinggalkan/dibuang seseorang, serta (6) Mudah mendapat kecaman atau kritik, yaitu mudah dilukai baik secara fisik maupun emosional, b. Impatient Boredom Impatient Boredom yaitu rasa bosan yang tidak tertahankan, jenuh, tidak suka menunggu lama, dan tidak sabar. Beberapa indikator Impatient Boredom seperti (1) Tidak sabar, yaitu menunjukkan perasaan kurang sabar, sanagt menginginkan sesuatu, (2) Bosan, yaitu merasa jemu, (3) Ingin berada di tempat lain, yaitu seseorang yang merasa dirinya berada di tempat yang berbeda dari tempat individu tersebut berada saat ini, (4) Kesulitan, yaitu khawatir atau cemas dalam menghadapi suatu keadaan, (5) Sering marah, yaitu filled with anger, serta (6) Tidak dapat berkonsentrasi, yaitu tidak mempunyai keahlian, kekuatan, atau pengetahuan dalam memberikan perhatian penuh terhadap sesuatu. c. Self-Deprecation

Self-Deprecation yaitu suatu perasaan ketika seseorang tidak mampu menyelesaikan masalahnya, mulai menyalahkan serta mengutuk diri sendiri. Indikator Self-Deprecation diantaranya (1) Tidak atraktif, yaitu suatu perasaan ketika seseorang tidak senang atau tidak tertarik terhadap suatu hal, (2) Terpuruk, yaitu sedih yang mendalam, lebih rendah dari sebelumnya, (3) Bodoh, yaitu menunjukkan kurangnya intelegensi yang dimiliki, (4) Malu, yaitu menunjukkan perasaan malu atau keadaan yang sangat memalukan terhadap sesuatu yang telah dilakukan, serta (5) Merasa tidak aman, yaitu kurangnya kenyamanan, tidak aman. d. Depression Depression menurut Davison (2004) merupakan tahapan emosi yang ditandai dengan kesedihan yang mendalam, perasaan bersalah, menarik diri dari orang lain, serta kurang tidur. Indikator Depression menurut Brehm et al (2002) yaitu, (1) Sedih, yaitu tidak bahagia atau menyebabkan penderitaan, (2) Depresi, yaitu murung, muram, sedih, (3) Hampa, yaitu tidak mengandung apa-apa atau tidak ada sama sekali, tidak memiliki nilai atau arti, (4) Terisolasi, yaitu jauh dari orang lain, (5) Menyesali diri, yaitu perasaan kasihan atau simpati pada diri sendiri, (6) Melankolis, yaitu perasaan sedih yang mendalam dan dalam waktu yang lama, (7) Mengasingkan diri, yaitu menjauhkan diri sehingga menyebabkan seseorang menjadi tidak bersahabat, serta (8) berharap memiliki seseorang yang spesial, yaitu individu mengharapkan memiliki seseorang yang dekat dengan individu dengan lebih intim. 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Loneliness Faktor-faktor yang mempengaruhi loneliness diantaranya:

a. Usia Orang yang berusia tua memiliki stereotipe tertentu di dalam masyarakat. Banyak orang yang menganggap semakin tua seseorang semakin merasa loneliness. Tetapi banyak penelitian yang telah membuktikan stereotipe ini keliru. Berdasarkan penelitian Ostrov & Offer (dalam Brehm et al, 2002) ditemukan bahwa orang yang paling merasakan loneliness justru berasal dari orang-orang yang berusia remaja dan dewasa awal. Fenomena ini kemudian diteliti lagi oleh Perlman pada tahun 1990 (Taylor, Peplau & Sears, 2000) dan menemukan hasil yang sama bahwa loneliness lebih tinggi di antara remaja dan dewasa muda dan lebih rendah di antara orang-orang yang lebih tua. Menurut Brehm et al (2002) orang-orang yang lebih muda menghadapi banyak transisi sosial yang besar, seperti meninggalkan rumah untuk pertama kali, merantau, memasuki dunia kuliah, atau memasuki dunia kerja full time untuk pertama kalinya, yang mana semuanya ini dapat menyebabkan loneliness. Sejalan dengan bertambahnya usia, kehidupan sosial menjadi semakin stabil. Dengan bertambahnya usia seiring dengan meningkatnya keterampilan sosial seseorang dan menjadi semakin realistik terhadap hubungan sosial yang diharapkan. b. Status Perkawinan Secara umum, orang yang tidak menikah lebih merasa loneliness bila dibandingkan dengan orang menikah (Freedman; Perlman & Peplau; dalam Brehm et al, 2002). Perbedaan ini diperhitungkan dengan membandingkan antara orang yang menikah dengan orang yang bercerai (Perlman & Peplau;

Rubeinstein & Shaver dalam Brehm et al, 2002). Ketika kelompok orang yang menikah dan kelompok orang yang belum menikah dibandingkan, kedua kelompok ini menunjukkan level loneliness yang sama (Perlman & Peplau dalam Brehm et al, 2002). Berdasarkan penelitian ini Brehm menyimpulkan bahwa loneliness lebih merupakan reaksi terhadap kehilangan hubungan perkawinan (marital relationship) daripada ketidakhadiran dari pasangan suami/istri pada diri seseorang. c. Gender Studi mengenai loneliness menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan loneliness antara laki-laki dan perempuan. Menurut Borys dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) laki-laki lebih sulit menyatakan loneliness secara tegas bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan oleh stereotipe peran gender yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan stereotipe peran gender, pengekspresian emosi kurang sesuai bagi laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan (Borys & Perlman, dalam Deaux, Dane & Wrightsman, 1993). d. Status sosial ekonomi Weiss (dalam Brehm et al, 2002) melaporkan fakta bahwa individu dengan tingkat penghasilan rendah cenderung mengalami loneliness lebih tinggi daripada individu dengan tingkat penghasilan tinggi. e. Karakteristik Latar Belakang yang Lain Rubeinsein & Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menemukan satu karakteristik latar belakang seseorang yang kuat sebagai prediktor loneliness. Individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih loneliness bila dibandingkan

dengan individu dengan orang tua yang tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orangtuanya bercerai semakin tinggi tingkat loneliness yang akan dialami orang tersebut ketika dewasa. Tetapi hal ini tidak berlaku pada individu yang orangtuanya meninggal ketika individu tersebut masih kanakkanak, individu tersebut tidak lebih loneliness ketika dewasa bila dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang berpisah semasa kanakkanak atau remaja. Menurut Brehm et al (2002) proses perceraian meningkatkan potensi anak-anak dengan orangtua yang bercerai untuk mengalami loneliness ketika anak-anak tersebut dewasa. 6. Reaksi Terhadap Loneliness Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Shaver & Rubeinstein (1982, dalam Brehm et al, 2002) disimpulkan beberapa reaksi terhadap loneliness, yaitu: a. Melakukan kegiatan aktif Reaksi terhadap loneliness berupa kegiatan-kegiatan aktif dan membangun terhadap diri sendiri seperti: belajar atau bekerja, menulis, mendengarkan musik, melakukan olahraga, melakukan hobi, pergi ke bioskop, membaca atau memainkan alat musik. b. Membuat kontak sosial Reaksi terhadap loneliness berupa membuat kontak sosial dengan orang lain seperti: menelepon teman, mengunjungi seseorang.

c. Melakukan kegiatan pasif Reaksi terhadap loneliness yang sifatnya pasif seperti: menangis, tidur, duduk dan berpikir, tidak melakukan apapun, makan berlebihan, memakan obat penenang, menonton televisi, mabuk. d. Kegiatan selingan yang kurang membangun Reaksi terhadap loneliness berupa menghabiskan uang dan berbelanja. B. Internet Addiction 1. Addiction Addiction merupakan suatu hubungan emosional dengan suatu objek atau kejadian, dimana individu yang mengalaminya mencoba untuk menemukan kebutuhannnya terhadap intimasi. Addiction (pada tingkat yang paling dasar) adalah sebuah usaha untuk mengontrol dan memenuhi keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan (Ivan, 2007). Menurut Arthur T. Horvart (1989) dari Center for Cognitive Therapy, addiction adalah: An activity or substance we repeatedly carve to experience, and for which we are willing if necessary to pay a price (or negative consequences). Berdasarkan defenisi di atas addiction berarti tidak hanya hanya terhadap zat saja tetapi juga terhadap aktivitas tertentu yang dilakukan secara berulangulang dan menimbulkan dampak negatif. Masih menurut Hovart, contoh kecanduan bisa bermacam-macam, diantaranya karena zat atau aktivitas tertentu seperti sexual activity, gambling, overspending, shoplifting, dan sebagainya.

Addiction tidak selalu menjadi kuat seiring dengan berjalannya waktu. Jika kenyamanan yang diperoleh dari addiction merupakan reduksi dari mood yang negatif maka addiction dapat menjadi coping stress. Addiction yang kuat akan menyebabkan perilaku adiktif tersebut terintegrasi dalam aspek kehidupan individu. 2. Tahap-tahap Addiction Tashman (2006) mengungkapkan addiction terdiri dari 3 tahapan. Ketiga tahapan tersebut yaitu: a. Tahap pertama disebut dengan internal change (perubahan internal) Tahap ini ditandai dengan individu yang mulai menyadari perubahan mood yang dialaminya ketika individu tersebut terlibat dengan sumber addiction. Perasaan menjadi mudah marah, dan pada umumnya, menarik diri dan menjauhkan dirinya dari masalah-masalah dan perasaan yang tidak menyenangkan. Individu akan makin merasa addict dengan sumber addiction ketika merasakan stress. Mulai tahap ini, individu mulai merasa addict dengan sumber addiction. Individu akan menjauh dari orang lain dan mengalami pengalaman kecanduan. b. Tahap kedua disebut dengan life style change (perubahan gaya hidup) Pada tahap ini, individu membangun kehidupannya disekitar sumber addiction. Saat ini individu berapa pada tingkat tidak dapat mengontrol tingkah lakunya. Individu akan berupaya mengatur kehidupannya disekitar sumber addiction. Ketika individu tersebut tidak berhubungan langsung dengan sumber addiction, maka individu akan terus-menerus memikirkannya.

c. Tahap ketiga disebut dengan life breakdown (rusaknya kehidupan) Pada tahap ini, individu menganggap semua yang dilakukan benar, menurut dirinya. Tidak ada yang salah atau gagal. Individu menjadi sulit mengendalikan perasaannya dan sangat sulit berdiskusi mengenai masalah dalam kehidupannya. 3. Pengertian Internet Addiction Ferris (1997) mengungkapkan bahwa sebagaimana addiction yang lainnya, internet addiction dapat diartikan sebagai suatu gangguan psikofisiologis yang meliputi tolerance (penggunaan dalam jumlah yang sama akan menimbulkan respon minimal, jumlah harus ditambah agar dapat membangkitkan kesenangan dalam jumlah yang sama), withdrawal symptom (khususnya menimbulkan tremor, kecemasan, dan perubahan mood), gangguan afeksi (depresi, sulit menyesuaikan diri), dan terganggunya hubungan sosial (menurun atau hilang sama sekali, baik dari segi kualitas maupun kuantitas). Internet addiction diartikan Young (1998) sebagai sebuah sindrom yang ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online (dalam Weiten & Llyod, 2006). Orang-orang yang menunjukkan sindrom ini akan merasa cemas, depresi, atau hampa saat tidak online di internet (Kandell dalam Weiten & Llyod, 2006). Berdasarkan pengertian pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa internet addiction adalah penggunaan internet yang bersifat patologis, yang ditandai dengan ketidakmampuan individu untuk mengontrol waktu menggunakan

internet, merasa dunia maya lebih menarik dibandingkan kehidupan nyata, dan mengalami gangguan dalam hubungan sosialnya. 4. Penyebab Internet Addiction Ferris (dalam Duran, 2003) mengungkapkan beberapa penyebab seseorang mengalami internet addiction dilihat dari berbagai pandangan, yaitu: a. Pandangan behavioris Menurut pandangan behavioral, internet addiction didasari oleh teori B. F Skinner mengenai operant conditioning. Individu mendapatkan reward positif, negatif, atau hukuman atas apa yang dilakukannya. Sebagai contoh, pada individu yang selalu merasa malu untuk bertemu dengan orang baru dan berkenalan. Bagi individu yang seperti ini, internet dapat memberikan arti mengenai pengalaman mencintai, membenci, merasa kepuasan, dan berarti tanpa interaksi tatap muka dengan orang lain. Pemberian reward pada pengalaman ini menjadi penguat perilaku pada diri individu tersebut. b. Pandangan psikodinamika dan kepribadian Pandangan ini mengungkapkan addiction berkaitan antara individu tersebut dengan pengalamannya. Tergantung pada kejadian pada masa anak-anak yang dirasakan individu tersebut saat masih anak-anak dan kepribadiannya yang terus berkembang, yang juga mempengaruhi perkembangan suatu perilaku addictive, ataupun yang lainnya. Subjek atau aktivitas bukan merupakan hal yang penting dalam kasus ini, tetapi individunya, dan apa yang mendasari individu tersebut menjadi addictive.

Pelajar asing yang mengikuti program pertukaran pelajar kemungkinan akan berinternet agar merasa betah dan dalam proses ini sangat mungkin dikarenakan keinginan mental individu tersebut sepanjang waktu. c. Pandangan sosiokultural Pandangan sosiokultural menunjukkan ketergantungan ini tergantung pada ras, jenis kelamin, umur, status ekonomi, agama, dan negara. d. Pandangan biomedis Pandangan ini menekankan pada adanya faktor keturunan dan kesesuaian, antara keseimbangan kimiawi antara otak dan neurotrasmiter. Alasan ini menyerupai penggunaannya dalam menjelaskan pasien ketergantungan obat-obatan yang membutuhkan penyeimbangan zat kimia pada otaknya, atau individu yang memiliki kecenderungan terlibat dalam perjudian. 5. Penggolongan Internet Addiction Young, Pistner, O Mara & Buchanan (1998) mengungkapkan internet addiction dapat digolongkan atas lima kelompok, yaitu: a. Cybersexual Addiction Individu yang mengalami kecanduan cybersex atau pornografi melalui internet ditandai dengan ketergantungan melihat, men-download, dan berlangganan pornografi secara online atau individu dewasa yang terlibat dalam chat-rooms dengan fantasi seks dewasa. b. Cyber-Relational Addiction Individu yang mengalami kecanduan terhadap chat rooms, IM, atau situs hubungan pertemanan yang menimbulkan ketergantungan yang berlebihan

terhadap hubungan online. Teman online menjadi lebih penting bagi individu dalam kehidupannya nyatanya termasuk keluarga dan temanteman lain. Dalam banyak kasus, ini akan menimbulkan ketidakharmonisan rumah tangga dan gangguan dalam perkawinan. c. Net Compulsions Kecanduan pada permainan online, perjudian online, dan berbelanja secara online yang berlangsung dengan cepat dapat menimbulkan masalah mental baru pada zaman internet ini. Melalui akses cepat ke casino virtual, permainan interaktif, dan ebay (situs jual beli online) para pecandu kehilangan sejumlah uang dan terkadang menyebabkan gangguan pada pekerjaannya atau hubungan dengan orang terdekat. d. Information Overload Sejumlah data yang tersedia pada World Wide Web dapat menimbulkan perilaku kompulsif yang menuju pada ketergantungan melakukan web surfing dan pencarian sejumlah data. Individu akan menghabiskan sejumlah waktu untuk mencari dan mengumpulkan data dari web dan mengatur informasi tersebut. Kecenderungan obsessive compulsive dan penurunan produktivitas kerja umumnya dihubungkan dengan perilaku ini. e. Computer Addiction Pada tahun 1980-an, permainan di komputer seperti Solitaire dan Minesweeper diprogram untuk setiap komputer dan penelitian menunjukkan bahwa bermain game komputer yang terus menerus menimbulkan masalah dalam lingkungan organisasi karena pekerja

menghabiskan sebagian hari kerjanya untuk bermain dibandingkan bekerja. Permainan ini tidak melibatkan interaksi dan permainan tidak dilakukan secara online. 6. Kriteria Diagnostik Internet Addiction Diagnosis untuk internet addiction saat ini belum ada dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-Fourth Edition Text Revision-DSM IV- TR (APA, 2000). Berdasarkan semua diagnosis yang ada dalam DSM IV-TR, pathological gambling dipandang paling mendekati dengan penggunaan internet yang bersifat patologis ini. Menggunakan pathological gambling sebagai model, internet addiction dapat didefenisikan sebagai sebuah gangguan pengontrolan yang bersifat impulsif yang tidak termasuk dalam intoxicant (Young, 1996). Young (1996) mengembangkan delapan item kuesioner singkat yang disebut sebagai Diagnostic Questionnaire (DQ) yang merupakan modifikasi kriteria untuk pathological gambling sebagai alat ukur dalam mengenali penggunaan internet yang menyebabkan addiction, yaitu: a. Merasa terikat terus dengan internet (memikirkan aktifitas online sebelumnya atau membayangkan sesi online berikutnya). b. Merasa membutuhkan tambahan waktu dalam penggunaan internet agar mendapatkan kepuasan sesudahnya. c. Berulangkali merasa gagal berusaha untuk mengontrol, mengurangi, atau menghentikan menggunakan internet.

d. Merasa memiliki waktu yang terbatas untuk beristirahat, mudah berubah perasaan, depresi, dan sulit menyesuaikan diri ketika mencoba mengurangi atau menghentikan penggunaan internet. e. Tetap online lebih lama daripada waktu yang sebenarnya sudah direncanakan sebelumnya. f. Merasakan akan timbul bahaya atau resiko kehilangan suatu hubungan, pekerjaan, pendidikan atau kesempatan karir yang signifikan karena penggunaan internet. g. Merasa harus berbohong pada anggota keluarga, terapis, atau orang lain mengenai tingkat ketergantungan terhadap internet. h. Menggunakan internet sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah atau menghilangkan perasaan yang tidak menyenangkan (misalnya merasa helplessness, merasa bersalah, cemas, depresi). C. Dewasa Awal 1. Pengertian Dewasa Awal Istilah adult berasal dari kata kerja Latin, seperti juga istilah adollesceneadolescer yang berarti tumbuh menjadi kedewasaan. Akan tetapi, kata adult berasal dari bentuk lampau partisipel dari kata kerja adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Oleh karena itu, orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock,1990).

Selama masa dewasa yang panjang ini, perubahan fisik dan psikologis terjadi pada waktu-waktu yang diramalkan seperti pada masa kanak-kanak dan individu yang juga mencakup periode yang cukup lama. Saat terjadinya perubahan-perubahan fisik dan psikologis tertentu, masa dewasa biasanya dibagi menurut periode yang menunjukkan pada perubahan-perubahan tersebut, bersama dengan masalah-masalah penyesuaian diri dan tekanan-tekanan yang timbul akibat perubahan tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, Hurlock (1999) membagi masa dewasa dibagi kedalam tiga fase, yaitu : 1. Fase dewasa awal : usia 18 tahun sampai 40 tahun 2. Fase dewasa madya : usia 40 tahun sampai 60 tahun 3. Fase dewasa akhir : usia 60 tahun sampai kematian Menurut perkembangan psikososial, dewasa awal ditandai dengan adanya penemuan keintiman dengan keterasingan. Keintiman dapat terjadi karena kita telah mengenal diri kita dan merasa cukup aman dengan identitas yang kita miliki (Erikson dalam Shaffer, 2005). Pada masa dewasa awal inilah individu membuat komitmen personal yang dalam dengan orang lain, yakni dengan membentuk keluarga. Apabila individu pada masa ini tidak mampu melakukannya, maka akan merasa kesepian dan krisis keterasingan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa masa dewasa awal yaitu masa yang ditandai dengan tercapainya perkembangan fisik yang optimal, mencapai kemandirian dan masa membangun hubungan yang baru

dengan orang lain dalam rangka membentuk keluarga yang berusia 18 sampai 40 tahun. 2. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal Menurut Havigurst (dalam Hurlock, 1999), setiap masa perkembangan memiliki tugas-tugas perkembangan. Tugas-tugas perkembangan memiliki peranan penting untuk menentukan arah perkembangan yang normal. Tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa awal yaitu mulai bekerja, memilih pasangan hidup, belajar hidup dengan tunangan, mulai membina keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga negara dan mencari kelompok sosial yang menyenangkan. Tingkat penguasaan tugas-tugas ini pada tahun-tahun awal masa dewasa akan mempengaruhi tingkat keberhasilan mereka ketika mencapai puncak keberhasilan pada waktu setengah baya. Tingkat penguasaan ini juga akan menentukan kebahagiaan mereka saat itu maupun selama tahun-tahun terakhir kehidupan mereka. D. Pengaruh Loneliness terhadap Internet Addiction Individu yang berada dalam tahapan dewasa awal, dalam perkembangan psikososial, menghadapi tugas perkembangan untuk membentuk hubungan intim dengan orang lain (Erikson dalam Santrock, 2003). Kebutuhan akan intimasi adalah suatu hal yang universal dan sudah menetap pada diri setiap manusia sepanjang hidupnya.

Apabila individu dewasa awal dapat membentuk persahabatan yang sehat dan hubungan dekat yang intim dengan individu lain, maka intimasi akan tercapai Namun, jika individu tidak berhasil mengembangkan intimasinya, maka individu tersebut akan mengalami isolasi, merasakan loneliness dan krisis keterasingan. Sullivan mengungkapkan bahwa loneliness merupakan suatu perasaan yang sangat tidak menyenangkan dan menimbulakan pengalaman yang berhubungan dengan tidak terpenuhinya dan terhambatnya kebutuhan atas intimasi manusia yang diperlukan untuk intimasi interpersonal (dalam Brehm et al, 2002). Weiten & Llyod (2006) mengungkapkan bahwa loneliness merupakan suatu keadaan ketika individu memiliki lebih sedikit hubungan interpersonal dibandingkan yang diharapkannya atau ketika hubungan tersebut tidak memuaskan seperti yang diharapkannya. Weiss (dalam Weiten & Llyod, 2006) mengungkapkan bahwa loneliness disebabkan bukan karena kesendirian, tetapi karena tidak adanya hubungan tertentu yang diharapkan. Loneliness selalu muncul sebagai respon terhadap ketidakhadiran beberapa atau tipe-tipe hubungan khusus atau lebih tepatnya sebuah respon terhadap ketidakadaan suatu hungan yang diharapkan. Saat ini internet dianggap sebagai salah satu cara untuk mengurangi loneliness, meskipun pendekatan ini sendiri dianggap dapat menjadi pedang yang bermata dua (McKenna & Bargh dalam Weiten & Llyod, 2006). Di satu sisi, penggunaan internet pada individu yang mengalami loneliness biasanya menimbulkan keuntungan seperti mengurangi loneliness, mengembangkan

perasaan mendapat dukungan sosial, dan membentuk persahabatan secara online (Shaw & Gant; Morahan-Martin & Schumacher dalam Weiten & Llyod, 2006). Selanjutnya, bila orang yang mengalami loneliness menghabiskan banyak waktu online di internet, maka orang tersebut akan menyediakan waktu yang lebih sedikit untuk hubungan tatap muka di dunia nyata (Weiten & Llyod, 2006). Penelitian lain menunjukkan bahwa pada individu yang mengalami loneliness lebih sering menunjukkan penggunaan internet juga menyebabkan gangguan dalam fungsi kehidupan sehari-harinya (Morahan-Martin & Schumacher dalam Weiten & Llyod, 2006) serta memicu timbulnya internet addiction (Nalwa & Anand dalam Weiten & Llyod, 2006). Individu yang mengalami loneliness menganggap menggunakan internet memberikan manfaat positif pada dirinya, seperti mengurangi rasa malu dan rasa takut untuk dikenali orang lain seperti yang dialami saat di dunia nyata. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa internet telah menciptakan sebuah alam yang kondusif untuk pelarian dari ketegangan mental yang dialami, yang pada akhirnya dapat memperkuat ke arah pola perilaku kecanduan terhadap internet tersebut (dalam Rachamawati, dkk, 2002). Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Ivan (2007) bahwa addiction merupakan suatu hubungan emosional dengan suatu objek atau kejadian, dimana individu yang mengalaminya mencoba untuk menemukan kebutuhannnya terhadap intimasi. Addiction (pada tingkat yang paling dasar) adalah sebuah usaha untuk mengontrol dan memenuhi keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan. Sehingga dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa

perilaku addiction individu terhadap internet tersebut merupakan upaya yang dilakukannya dalam memenuhi kebutuhannnya akan intimasi. Internet addiction oleh Young (1998) diungkapkan sebagai sebuah sindrom yang ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online. Orang-orang yang menunjukkan sindrom ini akan merasa cemas, depresi, atau hampa saat tidak online di internet (Kandell dalam Weiten & Llyod, 2006). Penggunaan internetnya sangat berlebihan, sehingga pada akhirnya menganggu fungsinya dalam pekerjaan, di sekolah, atau di rumah, serta menyebabkan korbannya mulai menyembunyikan tingkat ketergantungannya terhadap internet tersebut. Penggunaan internet yang bersifat patologis biasanya selalu dihubungkan dengan kerusakan yang signifikan terhadap bidang sosial, psikologis dan pekerjaannya (Young, 1997). Beberapa orang menunjukkan penggunaan internet secara patologis untuk satu tujuan tertentu, seperti layanan seks secara online atau perjudian secara online, sedangkan yang lainnya menunjukkan sesuatu yang bersifat lebih umum, yaitu keseluruhan bentuk internet addiction (Davis dalam Weiten & Llyod, 2006).

E. Kerangka Berpikir Penelitian Loneliness Lack of intimacy Need of intimacy Individu dewasa dini (Intimacy vs isolation) Tidak terpenuhi Terpenuhi Internet Addiction Kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain, keakraban. Internet Addiction Keterangan garis: Disebabkan oleh Menyebabkan/menimbulkan Saling mempengaruhi pada F. Hipotesis Penelitian 1. Hipotesa Penelitian Utama Terdapat pengaruh positif loneliness terhadap internet addiction. Artinya semakin besar loneliness yang dirasakan pengguna internet maka semakin tinggi mengalami internet addiction.

2. Hipotesa Penelitian Tambahan a. Terdapat perbedaan loneliness berdasarkan usia b. Terdapat perbedaan loneliness dan internet addiction berdasarkan jenis kelamin. c. Terdapat perbedaan loneliness dan internet addiction berdasarkan status pekerjaan d. Terdapat perbedaan loneliness dan internet addiction berdasarkan banyak waktu menggunakan internet per minggu. e. Terdapat perbedaan internet addiction berdasarkan tujuan menggunakan internet. f. Terdapat perbedaan internet addiction berdasarkan aplikasi internet yang digunakan saat menggunakan internet.