77 VI. EVALUASI TINGKAT PENCEMARAN MINYAK DI PERAIRAN SELAT RUPAT Abstrak Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil di Selat Malaka yang terletak di antara pesisir Kota Dumai dangan Pulau Rupat. Berbagai aktivitas transportasi, penyimpanan, pengolahan dan distribusi minyak maupun kegiatan industri di pesisir Dumai menyebabkan perairan Selat Rupat rawan terhadap pencemaran minyak. Posisi Selat Rupat yang semi tertutup dengan kondisi pasang-surut semidiurnal berpotensi menyebabkan terjadinya akumulasi minyak di perairan yang dapat menimbulkan kerusakan ekosistem perairan. Metode yang digunakan adalah metode perbandingan dengan baku mutu (KepMenLH No.51 Tahun 2004) dan referensi tingkat pencemaran (Lee et al. 1978). Pada umumnya konsentrasi minyak di perairan Selat Rupat telah melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut (DO) dan BOD 5 perairan Pulau Ketam, Lubuk Gaung dan Pelintung termasuk kriteria tercemar ringan, Aktivitas transportasi laut di Pelabuhan Dumai di Selat Rupat merupakan sumber polutan minyak dari laut. Kata Kunci: Selat Rupat, pencemaran minyak, tercemar ringan 6.1. PENDAHULUAN Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil di Selat Malaka dan secara geografis terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan Pulau Rupat Propinsi Riau yang memiliki panjang ± 72.4 km dan lebar (dari garis pantai Dumai hingga pantai Pulau Rupat) 3.8 8 km. Pulau Rupat merupakan sebuah pulau yang termasuk wilayah admistrasi Kabupaten Bengkalis dan pada umumnya masih belum memiliki aktivitas selain perkebunan rakyat. Oleh sebab itu, kondisi di daratan Pulau Rupat secara signifikan tidak mempengaruhi ekosistem perairan Selat Rupat, namun aktivitas industri dan domestri di Kota Dumai sangat mempengaruhi kondisi lingkungan perairan Selat Rupat. Selat Rupat memegang peranan penting dari segi ekologis maupun ekonomis bagi masyarakat sekitarnya karena memiliki keanekaragaman hayati berbagai jenis mangrove yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan, melindungi pantai dari terjangan angin gelombang laut dan aberasi pantai. Selanjutnya dari segi ekonomis Selat Rupat merupakan daerah tangkapan sehingga banyak dari masyarakat di wilayah ini yang berprofesi sebagai nelayan.
78 Selat Rupat berfungsi sebagai pelabuhan utama yang mampu menunjang perekonomian Propinsi Riau. Pada beberapa lokasi di sekitar kawasan pesisir Dumai telah ditetapkan sebagai kawasan industri (Pelintung dan Lubuk Gaung). Hal ini berpotensi meningkatkan pencemaran minyak di Perairan Selat Rupat. Selain itu, Pelabuhan Dumai juga merupakan pelabuhan terbesar di pantai timur Sumatera dengan kunjungan kapal setiap tahunnya berkisar 4.089 7.332 kali dengan jumlah penumpang berkisar 731.188 hingga 1.012.529 orang (ADPEL Dumai 2009). Pesisir Dumai merupakan pangkalan utama operasi dua perusahaan minyak terbesar (nasional dan multinasional) sebagai lokasi penimbunan minyak mentah dari berbagai sumur minyak di Propinsi Riau dan mengolah minyak mentah menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan kapasitas 170.000 barel perhari yang didukung oleh tangki timbun dan pelabuhan (Bappeko 2008). Pelabuhan Dumai juga mengapalkan produksi minyak ke berbagai wilayah pemasaran dalam dan luar negeri. Berbagai aktivitas transportasi, penyimpanan, pengolahan dan distribusi minyak maupun kegiatan industri dan domestik di pesisir Dumai dapat menyebabkan perairan Selat Rupat rawan terhadap pencemaran minyak. Pencemaran minyak dapat membahayakan ekosistem laut karena ekosistem dan biota perairan sangat rentan terhadap minyak (Mukhtasor 2007). Posisi Selat Rupat yang semi tertutup dengan kondisi pasang-surut semidiurnal berpotensi menyebabkan terjadinya akumulasi minyak di perairan yang dapat menimbulkan kerusakan ekosistem perairan termasuk mangrove. Menurut Darmono (2001), komponen hidrokarbon aromatis dari minyak bumi (benzena dan toluene) merupakan senyawa toksik yang mampu membunuh biota perairan saat terjadinya pencemaran minyak di perairan. Mengingat kondisi Selat Rupat sangat berpotensi terjadinya akumulasi minyak yang dapat berpengaruh buruk terhadap ekosistem perairan, maka perlu dilakukan evaluasi tingkat pencemaran minyak di perairan Selat Rupat berdasarkan sumbernya (inputnya) dari daratan dan aktivitas pelabuhan (transportasi laut).
79 6.2 METODE PENELITIAN 6.2.1 Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari survei lapangan meliputi konsentrasi minyak, oksigen terlarut dan BOD 5 di muara sungai (Sungai Buluhala, Sungai Mampu, Sungai Mesjid, Sungai Dumai dan Sungai Pelintung), konsentrasi minyak di perairan Selat Rupat (Perairan Pulau Ketam, Lubuk Gaung, pelabuhan umum, pelabuhan migas dan perairan pelintung). Data sekunder yang dikumpulkan meliputi konsentrasi minyak di efluent industri, pelabuhan dan muara sungai serta data keluar-masuk kapal di Pelabuhan Dumai yang diperoleh melalui instansi terkait (Badan Lingkungan Hidup Propinsi Riau, Kantor Lingkungan Hidup Kota Dumai, ADPEL 2009 dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau) dan studi pustaka. Lokasi pengumpulan data dapat dilihat pada Gambar 16. 6.2.2 Metode Analisis Data Metode yang digunakan untuk mengevaluasi tingkat pencemaran minyak di Selat Rupat adalah metode deskriptif. Data hasil pengukuran kandungan minyak di perairan dibandingkan dengan Baku Mutu (KepMenLH No.51 Tahun 2004 lampiran I dan III), (PerMenLH No. 04 tahun 2007 lampiran III) dan referensi tingkat pencemaran berdasarkan kandungan oksigen terlarut dan BOD 5 (Lee et al.1978). Selanjutnya dianalisis secara deskriptif dengan membandingkannya dengan kondisi eksisting yang ada di Selat Rupat. Tabel 12 Kriteria kualitas air berdasarkan kandungan DO No Kadar oksigen terlarut (mg/l) Kriteria Pencemaran 1 6,5 Tidak tercemar 2 4,5 6,4 Tercemar ringan 3 2,0 4,4 Tercemar sedang 4 < 2,0 Tercemar berat Sumber: Lee et al. (1978) Tabel 13 Kriteria kualitas air berdasarkan nilai BOD 5 No Nilai BOD 5 (mg/l) Kriteria Kualitas Air 1 2,9 Tidak tercemar 2 3,0 5,0 Tercemar ringan 3 5,1-14,9 Tercemar sedang 4 15 Tercemar berat Sumber: Lee et al. (1978)
80 1 Gambar 16 Peta lokasi pengambilan sampel air
81 6.3 HASIL DAN PEMBAHASAN Perairan Selat Rupat di pengaruhi oleh aktivitas di daratan Kota Dumai dan aktivitas transportasi di Selat Rupat itu sendiri. Minyak dari daratan masuk (input) ke perairan Selat Rupat dari aktivitas industri baik secara langsung maupun tidak langsung. Aktivitas industri di pesisir pantai Dumai langsung mengalirkan effluent ke laut melalui saluran outlet, sedangkan aktivitas lain yang ada di daratan mengalirkan efluennya ke sungai dan melalui muara sungai masuk ke laut. Input polutan dari pelabuhan dan transportasi kapal dapat diketahui dari konsentrasi minyak terukur di pelabuhan. Berdasarkan hal itu, secara aktual pencemaran minyak di perairan Selat Rupat dapat dievaluasi dari konsentrasi minyak di perairan laut Selat Rupat dibandingkan dengan referensi dan baku mutu yang telah ditetapkan. 6.3.1 Sumber minyak dari industri migas yang masuk ke Selat Rupat Industri migas di pesisir Pantai Dumai merupakan sumber utama minyak yang langsung masuk ke Selat Rupat setelah melalui proses pengolahan. Data konsentrasi minyak dan debit effluent tahunan (1999 2009) dari industri migas dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17 Debit dan konsentrasi minyak rata-rata effluent industri migas di Pesisir Dumai tahun 1999-2009 Berdasarkan Gambar 17, konsentrasi minyak di outlet efluen industri migas yang masuk ke Selat Rupat memperlihatkan adanya fluktuasi. Konsentrasi
82 minyak tertinggi terlihat pada tahun 2002 dan 2003, namun pada tahun 2004 hingga 2009 kecenderungan terus menurun. Apabila konsentrasi minyak di effluent tersebut dibandingkan dengan bakumutu (PerMenLH No.04 Tahun 2007), maka konsentrasi minyak terukur tahun 2002 hingga 2007 telah melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan, namun pada tahun 2008-2009 konsentrasi minyak telah menurun hingga dibawah bakumutu yang berlaku. Apabila dilihat dari jumlah debit effluent, debit tertinggi terjadi pada tahun 2001, yaitu 906 492 m 3 /bulan dan terendah terjadi pada tahun 1999 yaitu 467 721 m 3 /bulan. Berdasarkan konsentrasi minyak dan debit effluent maka input minyak dari industri migas di perairan Selat Rupat dengan menggunakan pendekatan Mitsch & Goesselink (1993) dapat diketahui (Gambar 18). Gambar 18 Input polutan minyak (ton/bulan) dari industri migas di pesisir Pantai Dumai yang masuk ke Selat Rupat Pada Gambar 18, polutan minyak yang masuk dari aktivitas industri migas ke Selat Rupat setiap bulannya berkisar 5.2 17.6 ton. Jumlah minyak terbesar masuk ke Selat Rupat terjadi pada tahun 2007 dan terkecil terjadi pada tahun 2000. Besarnya input minyak dari industri migas merupakan faktor penting yang mempengaruhi tingkat pencemaran minyak di perairan Selat Rupat. Menurut Supriharyono (2000), tingkat kerusakan akibat pencemaran minyak bergantung pada jumlah dan konsentrasi minyak di perairan, jenis dan sifat kimia minyak yang mencemari serta kepekaan ekosistem terhadap dampak
83 pencemaran minyak tersebut. Pencemaran minyak di laut dapat menyebabkan dampak yang lebih luas karena terbawa arus dan gelombang laut. 6.3.2 Sumber minyak dari sungai yang bermuara ke Selat Rupat Sungai-sungai di Kota Dumai umumnya merupakan sungai abadi yaitu sungai yang airnya dapat mengalir sepanjang tahun. Sungai-sungai tersebut memegang peranan penting bagi masyarakat Dumai karena dapat mendukung akses prasarana transportasi dan industri. Berdasarkan perannya terdapat 5 sungai penting yang mengalir dari daratan dan bermuara ke Selat Rupat, sungai-sungai tersebut adalah Sungai Buluhala, Sungai Mampu, Sungai Mesjid, Sungai Dumai dan Sungai Pelintung. Hasil pengukuran konsentrasi minyak pada air sungai tersebut dapat dilihat pada Gambar 19. Konsentrasi Minyak (ppm) 4 3 2 1 0 2005 2006 2007 2008 2009 S.Bulu Hala S.Mampu S. Mesjid S.Dumai S.Pelintung N a m a S u n g a i Gambar 19 Input minyak (ppm) dari muara sungai ke Selat Rupat Berdasarkan Gambar 19, Sungai Mesjid dan Sungai Dumai merupakan dua sungai yang konsentrasi minyaknya tinggi. Konsentrasi minyak rata-rata di muara Sungai Mesjid dan Sungai Dumai masing-masing adalah 3.8 ppm dan 3.5 ppm. Kedua sungai tersebut memberikan kontribusi besar terhadap input polutan minyak di perairan Selat Rupat dan berpotensi besar terhadap pencemaran minyak di Selat Rupat. Berdasarkan bakumutu, konsentrasi minyak pada air kedua sungai tersebut telah melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Sedangkan tiga sungai lainnya (Sungai Buluhala, Sungai Mampu dan Sungai Pelintung) konsentrasi minyak rata-ratanya masih di bawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Debit air sungai-sungai yang bermuara ke Selat Rupat dapat dilihat pada Gambar 20.
Debit Rata-rata (x 1000 M3/jam) 84 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Sungai Buluhala Sungai Mampu Sungai Mes jid Sungai Dumai Sungai P elintung Gambar 20 Debit rata-rata air sungai yang bermuara ke Selat Rupat (m 3 /jam) Berdasarkan Gambar 20, Sungai Mesjid memiliki debit air tertinggi yaitu ±137 862 m 3 /jam, kemudian diikuti oleh Sungai Buluhala dengan besar debit ± 119 000 m 3 /jam. Sebaliknya, Sungai Pelintung merupakan sungai yang memiliki debit air terkecil yaitu ± 55 000 m 3 /jam. Input minyak dari muara sungai tidak seperti halnya input effluen industri, karena penyebaran dan kelarutan minyak tidak sama di berbagai kedalaman sungai hingga sedimen dasar perairan. Menurut Lee et al. (2005), sedimentasi minyak hanya terjadi pada minyak yang memiliki berat jenis lebih besar dari pada air atau pada saat minyak mengikat lebih banyak sedimen sehingga menjadi lebih padat, berat dari air yang akhirnya tenggelam dan bergabung dengan sedimen. Pengukuran konsentrasi minyak pada air permukaan dan sedimen di muara Sungai Dumai dan Sungai Mesjid dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Konsentrasi minyak di air permukaan dan sedimen muara sungai Konsentrasi Minyak (ppm) Muara Sungai Dumai Muara Sungai Mesjid 2006 2007 2008 2009 2006 2007 2008 2009 di permukaan air (ppm) 3.5 3.3 2.9 3.5 3.6 3.9 3.4 3.8 di sedimen (ppm) 0.03 0.08 0.05 0.07 0.05 0.12 0.06 0.09 Ratio minyak di air/sedimen 122.8 40.5 64.4 48.9 69.2 33.3 55.3 43.9 Sumber: PT. CPI, Pelindo dan PT. Pertamina Dumai, PPLH UNRI. Tabel 14 memperlihatkan konsentrasi minyak di air permukaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sedimen. Pada umumnya konsentrasi minyak pada air
85 dan sedimen muara Sungai Dumai dan Sungai Mesjid memperlihatkan adanya fluktuasi setiap tahunnya. Konsentrasi minyak pada air muara Sungai Dumai berkisar 2.9-3.5 ppm dan pada sedimen berkisar 0.028-0.081 ppm, sedangkan di muara Sungai Mesjid konsentrasi minyak di air permukaan berkisar 3.4-3.9 ppm dan pada sedimen berkisar 0.052-0.117 ppm. Pada umumnya rata-rata konsentrasi minyak pada air dan sedimen muara Sungai Mesjid lebih tinggi daripada Sungai Dumai. Pada muara Sungai Mesjid selama empat periode (2006-2009), rata-rata konsentrasi minyak dalam air permukaan adalah sekitar 50 kali konsentrasi minyak pada sedimen, sedangkan di muara Sungai Dumai konsentrasi minyak pada air permukaan mencapai 69 kali konsentrasi minyak dalam sedimennya. Menurut Ali (2008), penyebaran minyak di perairan tergantung pada jumlah, karakteristik dan tipe minyak, kondisi cuaca, gelombang dan arus. 6.3.3 Sumber minyak dari pelabuhan Perairan Selat Rupat merupakan perairan yang semi tertutup karena di wilayah ini dalam waktu 24 jam terjadi dua kali pasang dan dua kali surut. Pada umumnya polutan minyak yang berasal dari daratan (industri migas dan muara sungai) dan lautan (transportasi dan pelabuhan) di perairan ini hanya mengalami pergerakan di Selat Rupat saja tanpa mampu keluar mencapai laut lepas (Selat Malaka). Hal ini disebabkan karena pengaruh tipe pasang-surut harian ganda (6 jam pasang dan 6 jam surut). Oleh sebab itu, untuk jenis minyak yang sukar terurai (resisten) kondisi ini potensi akumulasi dapat terjadi di perairan ini. Menurut Mukhtasor (2007), fraksi minyak bumi yang tidak larut dapat menyebabkan kerusakan karena dapat menempel pada organisme dan menyebabkan kematian organisme. Selain itu, minyak juga dapat menyebabkan terkontaminasinya organisme perairan yang biasanya dikonsumsi. Konsentrasi minyak pada air permukaan di Pelabuhan Dumai dapat dilihat pada Gambar 21.
86 Konsentrasi minyak (ppm) 7 6 5 4 3 2 1 0 Pelabuhan Migas Pelabuhan Umum T a h u n 2006 2007 2008 2009 Gambar 21 Konsentrasi minyak di Pelabuhan Dumai Berdasarkan Gambar 21, konsentrasi minyak di Pelabuhan Dumai menunjukkan adanya fluktuasi pada berbagai waktu dan lokasi selama empat periode tahun 2009. Konsentrasi minyak yang tinggi terdapat di pelabuhan migas dengan konsentrasi rata-rata adalah 5.7 ppm, sedangkan di pelabuhan umum adalah 5.9 ppm. Apabila dibandingkan dengan bakumutu (KepMenLH No.51 Tahun 2004 Lampiran I), konsentrasi minyak di kedua pelabuhan tersebut telah melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Berdasarkan konsentrasi minyak tersebut terlihat bahwa aktivitas Pelabuhan Dumai (pelabuhan umum dan pelabuhan migas) merupakan sumber polutan minyak utama dari perairan. Menurut IPIECA (2001), pada saat minyak masuk ke lingkungan laut sebagai pencemar, minyak segera mengalami perubahan fisik dan kimia melalui proses penyebaran (spreading), penguapan (evaporation), dispersi (dispersion) emulsifikasi (emulsification), pelarutan (dissolution), oksidasi (oxidation) dan sedimentasi (sedimentation) serta penguraian secara biologis (biodegredation). Semua proses ini merupakan proses pelapukan (weathering) yang merupakan penguraian komponen minyak di perairan. Distribusi minyak pada air dan sedimen di pelabuhan Pertamina dan Pelabuhan Umum (Pelindo) menunjukkan adanya fluktuasi selama 2006-2009 (Tabel 15).
87 Tabel 15 Konsentrasi minyak di perairan dan di sedimen Pelabuhan Dumai Konsentrasi Minyak (ppm) Pelabuhan migas Pelabuhan umum (Pelindo) 2006 2007 2008 2009 Ratarata 2006 2007 2008 2009 Ratarata Permukaan air 6.1 5.3 4.7 5.9 5.5 5.6 4.8 5.1 5.7 5.3 Sedimen 0.18 0.19 0.16 0.18 0.18 0.15 0.22 0.11 0.17 0.16 Ratio di air/sedimen 33.9 27.7 28.4 33.5 30.9 37.5 22.2 44.7 32.9 34.3 Sumber: PT. CPI, Pelindo dan PT. Pertamina Dumai, PPLH UNRI. Tabel 15 memperlihatkan bahwa kosentrasi minyak pada air permukaan di Pelabuhan Dumai (pelabuhan umum dan pelabuhan migas) lebih besar dari konsentrasi minyak di sedimen. Konsentrasi minyak di air permukaan pelabuhan migas berkisar 4.7-6.1 ppm dan di sedimen berkisar 0.165-0.191 ppm, sedangkan di pelabuhan umum (Pelindo) konsentrasi minyak di air berkisar 4.8-5.7 ppm. Pada Tabel 16, rata-rata konsentrasi minyak pada air permukaan di pelabuhan migas adalah adalah 5.5 ppm dan di sedimen adalah 0.178, sedangkan di pelabuhan umum konsentrasi rata-rata minyak di air adalah 5.3 ppm dan di sedimen adalah 0.163 ppm. Berdasarkan hal itu, maka konsentrasi minyak pada air permukaan di pelabuhan adalah 30.9-34.3 kali konsentrasi minyak di sedimennya. Menurut Lee et al. (2005), konsentrasi minyak terlarut di perairan lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi minyak pada sedimen, karena umumnya sedimentasi hanya terjadi pada minyak yang memiliki berat jenis lebih besar dari pada air. Berdasarkan sumbernya, selama empat periode (2006-2009), rata-rata konsentrasi minyak di air permukaan muara sungai (Sungai Mesjid dan Dumai) adalah 50-69 kali konsentrasi minyak di sedimen sedangkan di pelabuhan (pelabuhan umum dan pelabuhan migas) konsentrasi minyak di air permukaan adalah 30.9-34.3 kali konsentrasi minyak di sedimennya. Tingginya konsentrasi minyak di sedimen pelabuhan disebabkan oleh kondisi Selat Rupat yang semi tertutup dengan tipe pasang-surut harian ganda sehingga untuk jenis minyak yang berat dan sukar terurai (resisten) didukung pula oleh arus pelabuhan yang relatif tenang menyebabkan adanya kesempatan bagi droplet minyak untuk mengalami proses sedimentasi. Hal ini menyebabkan konsentrasi minyak di sedimen pelabuhan lebih tinggi dibandingkan muara sungai. Menurut Chen et al. (2004),
88 minyak yang memiliki berat molekul besar di perairan yang arusnya relatif tenang dapat meningkatkan distribusi minyak ke perairan yang dalam karena proses sedimentasi. 6.3.4 Evaluasi Tingkat Pencemaran Minyak di Selat Rupat Menurut Lee et al. (1978), tingkat pencemaran perairan dapat dievaluasi berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut dan BOD 5 di perairan tersebut. a). Tingkat Pencemaran Berdasarkan Oksigen Terlarut Oksigen terlarut berperan penting bagi organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Menurut Clark (2003), konsentrasi minyak yang tinggi di perairan akan menyebabkan tingginya pemakaian oksigen terlarut untuk proses penguraian (degradasi) sehingga konsentrasi oksigen terlarut menurun. Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut di perairan Selat Rupat dapat dilihat pada Gambar 22. Konsentrasi oksigen terlarut (ppm) 6.2 6.15 6.1 6.05 6 5.95 5.9 Pulau Ketam (TR) Lubuk Gaung (TR) Pelintung (TR) DO (ppm) 6.2 6 6.1 Lokasi wilayah perairan Selat Rupat Gambar 22 Tingkat pencemaran di perairan Selat Rupat berdasarkan oksigen terlarut Gambar 22 memperlihatkan bahwa konsentrasi oksigen terlarut rata-rata di perairan Selat Rupat berkisar 6.0-6.2 ppm. Konsentrasi minyak yang tinggi membutuhkan oksigen yang banyak untuk menguraikannya sehingga konsentrasi oksigen terlarut di perairan menjadi rendah. Berdasarkan konsentrasi oksigen terlarutnya, maka perairan Selat Rupat termasuk kriteria tercemar ringan (TR). Menurut Mangkoedihardjo (2005), penyebab utama berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air disebabkan karena adanya zat pencemar organik termasuk minyak yang dapat mengkonsumsi oksigen. Konsentrasi oksigen terlarut
89 meningkat di lokasi yang berjauhan dengan pelabuhan. Di Perairan Lubuk Gaung dan perairan Pelintung konsentrasi oksigen terlarut masing-masing 6,0 ppm dan 6.1 ppm. Oksigen terlarut tertinggi terdapat di Perairan Pulau Ketam yaitu dengan konsentrasi rata-rata 6.2 ppm. Apabila dibandingkan dengan lokasi lain, perairan Pulau Ketam relatif lebih baik karena tidak banyak aktivitas pelabuhan dan industri yang mempengaruhinya. Namun di perairan ini masih terdapat minyak dengan konsentrasi yang hampir mendekati bakumutu (1 ppm). Keberadaan minyak di wilayah ini berasal dari sumber-sumber pelabuhan (transportasi kapal) dan input dari daratan (muara sungai dan effluent) yang ikut terbawa oleh arus saat surut. Kriteria tingkat pencemaran yang disebabkan oleh pencemaran minyak juga dapat di ketahui dari nilai BOD 5 (Gambar 23). BOD5 di Perairan Selat Rupat (ppm) 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 Per. Pulau Ketam Per. Lubuk Gaung Perairan Pelintung (TR) (TR) (TR) BOD-5 3.3 4.8 4.1 Lokasi wilayah perairan Selat Rupat Gambar 23 Tingkat pencemaran di perairan Selat Rupat berdasarkan BOD 5 BOD 5 merupakan indikator untuk mengetahui besarnya pemakaian oksigen terlarut oleh mikroorganisme dalam proses penguraian minyak. Semakin banyak jumlah minyak yang diuraikan oleh mikroorganisme akan semakin banyak pula oksigen yang dibutuhkan dan semakin tinggi nilai BOD. Berdasarkan Gambar 23, BOD 5 di perairan Selat Rupat berkisar 3.3-4.8 ppm. Berdasarkan nilai BOD 5, Perairan Pulau Ketam, Lubuk Gaung dan Pelintung termasuk kriteria tercemar ringan.. Semakin jauh dari wilayah pelabuhan makin kecil nilai BOD 5 seiring dengan berkurangnya konsentrasi minyak di perairan. Perairan Pulau Ketam merupakan perairan yang memiliki BOD 5 terkecil yaitu 3.3 ppm. Indikator ini menunjukkan semakin mengecilnya pengaruh pencemaran minyak di wilayah
90 perairan tersebut. Kriteria tercemar ringan merupakan alasan utama bagi stakeholders terkait khususnya pemerintah (ADPEL, Pelindo dan Kantor Lingkungan Hidup Dumai), pengusaha migas dan pengelola angkutan kapal dalam melakukan penyelamatan terhadap ekosistem Perairan Selat Rupat. 6.4 KESIMPULAN Selat Rupat merupakan perairan semi tertutup dengan tipe pasang-surut setiap selang waktu enam jam sekali sehingga input polutan minyak dari daratan dan laut berpotensi terakumulasi di perairan yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem perairan termasuk mangrove. Industri migas yang berada di pesisir Pantai Dumai, muara sungai (Sungai Mesjid dan Sungai Dumai) memiliki kontribusi besar terhadap input minyak dari daratan. Aktivitas transportasi kapal di pelabuhan (pelabuhan umum dan pelabuhan migas) merupakan sumber polutan minyak dari laut. Berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut dan BOD 5, Perairan Pulau Ketam, Lubuk Gaung dan Pelintung termasuk kriteria tercemar ringan.