BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Koperasi merupakan badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) adalah koperasi yang kegiatan usahanya bergerak di bidang pembiayaan, investasi, dan simpanan sesuai pola bagi hasil (syariah) (Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, 2007). Baitul Maal Wat Tamwil Bina Ummat Sejahtera (BMT BUS) merupakan koperasi jasa keuangan syariah yang telah mengalami peningkatan bisnis yang ditunjukkan dengan dimilikinya 101 kantor cabang di berbagai daerah (www.bmtbus.co.id). BMT BUS mencatatkan aset sebesar Rp. 667 miliar di tahun 2015. Semua organisasi atau perusahaan memiliki risiko kecurangan. Kecurangan secara garis besar telah menyebabkan jatuhnya organisasi, kerugian investasi yang besar, biaya hukum yang signifikan, penahanan sosok kunci organisasi, dan terkikisnya kepercayaan di pasar modal. Perilaku kecurangan oleh pejabat kunci organisasi yang dipublikasikan berdampak pada reputasi, merek, dan citra organisasi (Bishop et al., 2008). Association of Certified Fraud Examiners, 2014, menyebutkan bahwa pada tahun 2014 terdapat 1.483 kasus kecurangan kerja yang diklasifikasikan menjadi tiga kategori utama yaitu penyelewengan aset, korupsi dan kecurangan laporan keuangan. 1
Kecurangan merupakan sebuah konsep hukum yang luas dan auditor tidak bisa menentukan secara hukum apakah kecurangan tersebut terjadi atau tidak (American Institute of Certified Public Accountants, 2002). Kecurangan merupakan sebuah konsep luas yang mengacu secara umum untuk melakukan tindakan yang disengaja mengamankan keuntungan yang tidak adil atau melanggar hukum (PricewaterhouseCoopers, 2003). Kecurangan keuangan terbagi dalam empat kategori yaitu 1) kecurangan laporan keuangan, 2) penyelewengan aset, 3) pengeluaran dan hutang untuk tujuan yang tidak tepat, dan 4) kecurangan untuk memperoleh pendapatan dan aset, menghindari biaya dan pengeluaran (PricewaterhouseCoopers, 2004). Teori kecurangan secara klasik menjelaskan motivasi untuk melakukan kecurangan dengan adanya kesempatan (opportunity), tekanan (pressure), dan rasionalisasi (rasionalitation). Ketiganya disebut fraud triangle yang merupakan hal penting dalam melakukan kecurangan yang menguntungkan pelaku secara langsung seperti kecurangan oleh karyawan atau kecurangan yang menguntungkan satu organisasi seperti kecurangan dalam laporan keuangan (Albrecht, 2008). Program anti korupsi (PAK) dimaksudkan sebagai suatu program yang dirancang untuk melindungi entitas (harta, pendapatan, biaya, bantuan, serta hak) dari kemungkinan kejadian korupsi yang ditandai dengan eksistensi dan implementasi atribut tertentu. PAK seharusnya berisi: 1) garis besar struktur organisasi, 2) pernyataan (statement) tentang dasar pemikiran dan pendekatan menyikapi korupsi, 3) suatu ikhtisar tentang risiko terjadi korupsi yang 2
teridentifikasi, 4) rincian strategi dalam menyikapi risiko kemungkinan terjadi korupsi, 5) rincian strategi untuk menjamin ketaatan dengan elemen strategi lainnya (Commonwealth Attorney-General s Department Australia, 2002, dalam BPKP, 2006). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (2006) menyebutkan bahwa pengertian korupsi mencakup 30 perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan yang merugikan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Selain itu, terdapat tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi pada UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2011 seperti merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka, saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu, orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu, dan saksi yang membuka identitas pelapor. Pendekatan manajemen risiko berbasis bisnis yang efektif untuk kecurangan dan tindak kesalahan difokuskan terhadap PAK yang meliputi pencegahan, pendeteksian, dan penindakan (KPMG, 2006). Upaya pencegahan terjadinya kecurangan perlu diterapkan penerapan PAK berupa pengendalian internal. Pengendalian internal sangat penting bagi manajemen dalam melakukan pengendalian yang efektif untuk memenuhi hal-hal sebagai berikut: 1) kehandalan laporan keuangan, 2) kepatuhan terhadap hukum dan aturan, 3) operasi yang efektif dan efisien. Pengendalian internal suatu institusi yang lemah akan 3
memungkinkan terjadinya kesalahan dan kecurangan sangat besar (Arens, 2006, dalam Hendriani dan Firman, 2013). Penerapan pengendalian internal berpengaruh terhadap pencegahan kecurangan pengadaan untuk mencegah penyimpangan dalam proses pelelangan (Hermiyetti, 2010). Kompetensi dan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) berpengaruh terhadap pencegahan kecurangan, sebaliknya dengan hanya pendidikan pelatihan SPIP saja tidak begitu berpengaruh kepada pencegahan kecurangan (Hendriani dan Firman, 2013). Rencana pencegahan kecurangan merupakan suatu cara proaktif mengidentifikasi dan menghilangkan penyebab dan yang memungkinkan faktorfaktor yang berkontribusi terhadap kecurangan (McHale-Adams, 2013). Penelitian lain menunjukkan bahwa untuk memitigasi kecurangan dalam perusahaan keuangan dibutuhkan peningkatan edukasi, pelatihan, pendeteksian, pencegahan, dan pengendalian internal. Model terbaru untuk mengurangi kecurangan yaitu dengan teori asosiasi terintegrasi yang berbeda, teori agensi, faktor kecurangan dari dalam dan luar yang dapat membantu menjelaskan dan memprediksi polapola perilaku yang ditunjukkan oleh pelaku kecurangan keuangan (Bejarano, 2008). Seluruh entitas harus memiliki dokumentasi formal program anti kecurangan, kecuali untuk organisasi tersentralisasi dan organisasi dengan keterlibatan langsung CEO dalam pertemuan karyawan, mencapai kesepakatan langsung dengan pelanggan, rekanan dan lainnya. Kesiapan teknik pencegahan kecurangan yang tepat tidak akan menghindari kecurangan sama sekali, setidaknya dapat mengidentifikasi lebih awal dan meminimalkan dampak yang 4
ditimbulkan. Pencegahan dan pendeteksian kecurangan dapat menghemat biaya secara besar dan secara signifikan akan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan (PricewaterhouseCoopers, 2003). Kunci untuk mendeteksi korupsi adalah penerapan model penangkalan multisegi (organization-wide model of deterrence). Model ini mengandalkan keterlibatan penangkalan korupsi pada setiap level dan fungsi pada organisasi (BPKP, 2006). Model ini meliputi tiga komponen yang saling berinteraksi yang dirancang untuk memaksimalkan kesempatan organisasi dalam mendeteksi korupsi, yaitu: a. Pengendalian keuangan (Financial control). b. Sistem non keuangan (Non financial systems). c. Pengawasan dan perilaku manajemen (Management oversight and behaviour). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kecukupan program anti korupsi dalam suatu perusahaan sangat penting untuk meminimalkan potensi korupsi. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian mengenai program anti korupsi terhadap potensi korupsi, masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 01. Apakah program anti korupsi di BMT BUS sudah memadai? 02. Berapa besar adanya potensi korupsi di BMT BUS? 03. Apa hubungan program anti korupsi dan potensi korupsi di BMT BUS? 5
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) kecukupan program anti korupsi, (2) adanya potensi korupsi, dan (3) hubungan antara program anti korupsi dan potensi korupsi di BMT BUS. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. Bagi penulis, penelitian ini dapat memberikan wawasan tambahan terkait dengan penerapan teori (praktik) mengenai program anti korupsi dalam mencegah potensi korupsi. b. Bagi akademisi, penelitian ini dapat memberikan referensi tambahan berkenaan dengan penerapan program anti korupsi dan pencegahan potensi korupsi. c. Bagi perusahaan, penelitian ini dapat mengetahui dan mengidentikasi kecukupan penerapan kebijakan perusahaan dalam pencegahan korupsi, mengukur potensi korupsi, memberikan referensi untuk kegiatan pengawasan, dan memberikan masukan kepada manajemen untuk merumuskan kebijakan pengawasan khususnya untuk meminimalkan potensi korupsi. 6