I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wirausaha memiliki peran penting dalam perkembangan ekonomi suatu negara, salah satu contohnya adalah negara adidaya Amerika. Penyumbang terbesar perekonomian Amerika bukan perusahaan-perusahaan besar berteknologi tinggi, melainkan dunia wirausaha yang menciptakan ribuan lapangan kerja (Riyanti 2003). Semangat berwirausaha merupakan salah satu elemen penting dalam pembangunan sumberdaya manusia. Negara-negara maju di dunia sebagian besar dapat berkembang pesat perekonomiannya dikarenakan tumbuh dan berkembangnya berbagai usaha yang didorong oleh semangat kewirausahaan (Azzahra 2009). Di Indonesia, dalam hal pendidikan kewirausahaan (entrepreneurship) masih tertinggal jauh dengan luar negeri. Misalnya, di negara negara Eropa dan Amerika Utara pendidikan kewirausahaan sudah dimulai sejak tahun 1970-an (Kasmir 2006). Padahal, kewirausahaan memiliki peranan yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Sebagai salah satu faktor produksi, kewirausahaan memungkinkan pengorganisasian dan penggabungan faktor produksi lainnya (tanah, tenaga kerja, modal) untuk menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan masyarakat secara efisien dan menguntungkan (Sukirno 1981). Berdasarkan data BPS tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia pada bulan Mei mencapai 237.556.363 jiwa mengalami peningkatan sebanyak 32,5 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,49 persen. Seiring dengan pertambahan penduduk, jumlah angkatan kerja di Indonesia juga mengalami peningkatan. Pada Februari 2010, jumlah angkatan kerja mencapai 116 juta orang, bertambah 2,26 juta orang dibandingkan pada Februari 2009, yaitu sebanyak 113,74 juta orang dengan tingkat pengangguran 7,41 persen. Bertambahnya jumlah angkatan kerja akan meningkatkan kebutuhan akan lapangan pekerjaan. Sedangkan, kenaikan lapangan pekerjaan tidak sebanding dengan kenaikan jumlah angkatan kerja. Hal ini menimbulkan masalah bagi pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja baru. 1
Kewirausahaan (entrepreneurship) memiliki peranan yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Kewirausahaan dapat menjadi salah satu solusi dalam mengurangi tingkat pengangguran dan pengentasan kemiskinan. Kewirausahaan memiliki peran untuk menambah daya tampung tenaga kerja, generator pembangunan, contoh bagi masyarakat lain, membantu orang lain, memberdayakan karyawan, hidup efisien, dan menjaga keserasian lingkungan. Jiwa kewirausahaan akan mendorong seseorang memanfaatkan peluang yang ada menjadi sesuatu yang menguntungkan. Pendorong utama meningkatnya kebutuhan akan entrepreneurship adalah munculnya ragam kesempatan berusaha dalam produksi, distribusi, dan pemasaran barang dan jasa (Azzahra 2009). Indonesia membutuhkan sumber daya manusia tangguh yang memiliki jiwa kewirausahaan untuk mengembangkan sektor pertanian sebagai suatu sektor yang memiliki basis sumber daya alam. Salah satu sektor yang terkait dengan pertanian adalah sektor agribisnis yang meliputi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan, kehutanan dimana potensi dari masing masing sektor tersebut belum dimanfaatkan secara optimal oleh para pelaku pembangunan. Sektor agribisnis menghadapi tantangan yang cukup besar di era persaingan global saat ini yang menuntut keunggulan, baik keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif. Sehingga, untuk menghadapi tantangan tersebut diperlukan sumber daya manusia yang dapat menciptakan keunggulan tersebut, diantaranya adalah wirausaha melalui proses kreatif dan inovatif yang mereka lakukan (Fawaqa 2006). Adanya jiwa wirausaha yang kuat di dalam masing-masing pelaku agribisnis akan menunjang keberhasilan suatu usaha. Faktor tersebut akan menentukan berfungsinya masing masing sub sistem-sub sistem agribisnis, mendukung kelancaran proses dari hulu sampai ke hilir. Kewirausahaan tidak terlepas dari usaha kecil. Wirausaha seringkali dikaitkan dengan situasi kegiatan bisnis seseorang yang dimulai dalam skala usaha kecil dan umumnya dikelola sendiri (Krisnamurthi 2001). UKM selalu digambarkan sebagai sektor yang mempunyai peranan penting dalam 2
pembangunan ekonomi di Indonesia. Industri kecil menyumbang pembangunan dengan berbagai jalan, menciptakan kesempatan kerja, untuk perluasan angkatan kerja, urbanisasi, dan menyediakan fleksibilitas kebutuhan serta inovasi dalam perekonomian secara keseluruhan (Partomo & Soejoedono 2002). Pemberdayaan usaha kecil merupakan kunci bagi kelangsungan hidup sebagian besar rakyat Indonesia. Usaha kecil dapat digunakan sebagai penggerak utama dalam mempercepat pemulihan perekonomian Indonesia. Usaha kecil juga dapat digunakan sebagai kunci pemacu ekspor serta peningkatan kesejahteraan rakyat (Riyanti 2003). Jumlah UMKM lebih banyak jika dibanding usaha besar, bahkan dari tahun 2005-2007 jumlah UMKM mengalami peningkatan sebesar 6,23 persen dari 47.017.062 unit usaha pada tahun 2005 hingga mencapai 50.145.800 unit usaha pada tahun 2007. Sampai dengan tahun 2009, jumlah UMKM di Indonesia telah mencapai 1.354.991 unit dengan penyerapan tenaga kerja di tahun yang sama yaitu 96.211.332 orang. Berdasarkan data, secara keseluruhan jumlah unit usaha pangsa UMKM mencapai 99 persen, sementara sisanya adalah usaha besar. Hal ini menunjukkan terbukanya lapangan kerja yang semakin meningkat pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah. Tabel 1. Jumlah Unit Usaha Mikro Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar Tahun 2005-2007 Tahun Indikator TAHUN 2005 TAHUN 2006 TAHUN 2007 Jumlah Pangsa Jumlah Pangsa Jumlah Pangsa (Unit) (%) (Unit) (%) (Unit) (%) Unit Usaha (A+B) 47.022.084 49.026.380 50.150.263 A. UMKM 47.017.062 99,99 49.021.803 99,99 50.145.800 99,99 B. Usaha Besar 5.022 0,01 4.577 0,01 4.463 0,01 Sumber : Depkop Indonesia, 2010 Semakin meningkatnya jumlah unit usaha, penyerapan terhadap tenaga kerja juga semakin bertambah. Pada tahun 2007 usaha besar hanya mampu menyerap tenaga kerja sebesar 2,73 persen atau sebanyak 2.535.411 tenaga kerja. 3
Sementara, UMKM di Indonesia telah menyerap 90.491.930 tenaga kerja pada tahun 2007 atau sebesar 97,27 persen dari total usaha yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan penyerapan tenaga kerja akan mengurangi tingkat pengangguran secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Tabel 2. Penyerapan Tenaga Kerja oleh Unit Usaha Mikro Kecil, Menengah dan Usaha Besar Tahun 2005-2007 Indikator Tahun Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Jumlah Pangsa (%) Jumlah Pangsa (%) Jumlah Unit Usaha (A+B) 86.305.825 90.350.778 93.027.341 Pangsa A. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah 83.586.616 96,85 87.909.589 97,30 90.491.930 97,27 (UMKM) B. Usaha Besar 2.719.209 3,15 2.441.181 2,70 2.535.411 2,73 Sumber : Depkop, Indonesia 2010 (%) Peningkatan jumlah serta tingkat penyerapan tenaga kerja juga diiringi dengan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 2007 sektor UMKM telah menyumbang sebesar 56,28 persen, lebih tinggi jika dibandingkan pada tahun 2005, yaitu sebesar 53,87 persen sedangkan industri besar menyumbang 46,13 persen pada tahun 2005 dan terus mengalami penurunan hingga tahun 2007 hanya menyumbang sekitar 43,72 persen. Adapun total ekspor non migas pada sektor UMKM masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan usaha besar yaitu hanya sebesar 17,66 persen sedangkan usaha besar mencapai 82,34 persen (Depkop Indonesia, 2010). Hal ini terkait dengan keterbatasan dari sisi skala usaha antara lain, modal, kapasitas produksi, kualitas, standarisasi, dan teknologi. Berdasarkan fakta yang telah dipaparkan, menunjukkan besarnya potensi usaha kecil yang masih dapat dikembangkan, baik dalam produktivitas maupun daya saing (Riyanti 2003). Pada umumnya, usaha kecil di Indonesia memiliki keterbatasan sumber daya manusia termasuk aspek kewirausahaan (Bappenas 4
2004). Oleh sebab itu, untuk mencapai keberhasilan salah satunya adalah dengan memperhatikan faktor sumberdaya manusia yang terkait dengan sikap kewirausahaan. Para pakar wirausaha berpendapat bahwa aspek sifat merupakan faktor penting dalam keberhasilan wirausaha. Sebagian besar keberhasilan usaha, khususnya usaha kecil, sangat ditentukan oleh faktor wirausaha. Kepribadian wirausaha merupakan faktor utama, menyusul sesudahnya faktor kemampuan, faktor teknologi, dan faktor lain. Usaha sektor pertanian masih mendominasi jika dibandingkan dengan sektor usaha lainnya. Pada tahun 2006 jumlah pengusaha kecil sebanyak 26208 ribu unit atau sekitar 53,67 persen dari total unit usaha kecil yang ada. Fakta tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian memiliki potensi dalam hal pengembangan bisnis kecil. Dilihat dari sisi kuantitas, jumlah industri kecil pada sektor industri pengolahan cukup banyak, yaitu sebesar 3201 ribu unit usaha. Jumlah usaha kecil pada sektor industri tersebut masih dapat dikembangkan karena peranannya dalam mengolah bahan baku menjadi produk yang memiliki nilai tambah sehingga dapat meningkatkan penghasilan. Tabel 3. Jumlah Unit Usaha Kecil, Menengah, dan Usaha Besar Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2006 No. Sektor Jumlah Unit Usaha Sektor Ekonomi Usaha Kecil (Ribu Unit) Usaha Menengah (Ribu Unit) Usaha Besar (Ribu Unit) 1. Pertanian 26208 1.68 0.05 2. Pertambangan 265.68 0.62 0.12 3. Industri 3201 16.89 2.56 4. Listrik, Gas, Air Bersih 14.50 0.96 0.21 5. Bangunan 162.14 8.76 0.32 6. Perdagangan 13247 57.65 1.74 7. Pengangkutan 2697 4.76 0.32 8. Keuangan 71.43 11.22 1.27 9. Jasa-jasa 2956 6.92 0.61 Total 48822.75 109.46 7.2 Sumber: (Heatubin, 2008) 5
Industri pengolahan yang sangat berperan dan menjadi pendukung sektor pertanian berada pada subsistem agribisnis hilir (agroindustri), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi produk olahan baik produk antara maupun produk akhir. Sektor agroindustri menjadi bagian dari industri kecil yang mampu membantu dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini terkait dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, potensi bahan baku lokal dari subsistem usahatani yang dapat diolah secara optimal sehingga memiliki nilai tambah. Dengan demikian, keunggulan bersaing produk dapat dibangun sekaligus memperkuat sistem agribisnis melalui forward linkage. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan orientasi berupa peningkatan nilai tambah sesuai dengan permintaan pasar serta harus selalu mampu merespon perubahan selera konsumen secara efisien. Hal ini mengacu pada sikap kewirausahaan pelaku usaha dalam melakukan inovasi sehingga peningkatan daya saing produk dapat terwujud, khususnya industri pengolahan skala kecil yang pada umumnya masih menggunakan teknologi sederhana. Di beberapa wilayah di Jawa Tengah khususnya Kabupaten Semarang, unit usaha mikro, kecil, dan menengah mendapat perhatian lebih untuk dikembangkan. Hal ini terkait dengan peran yang dimiliki UMKM dalam membangun perekonomian daerah. Menurut Wakil Bupati (Fathonah 2008), pengembangan UMKM dan koperasi merupakan salah satu upaya peningkatan pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi berbagai masalah bidang tenaga kerja, tingginya angka pengangguran, banyaknya angkatan kerja tidak terampil dan tidak profesional serta terbatasnya lapangan kerja di sektor formal. Jumlah industri kecil di Kabupaten Semarang terdiri atas industri kecil formal, sentra industri kecil, dan industri kecil informal. Total jumlah usaha kecil masih mendominasi yaitu mencapai 9.502 unit usaha, atau sekitar 98,84 persen dari keseluruhan jumlah kelompok industri, sementara sisanya oleh industri besar dan industri menengah, namun jumlah penyerapan kerja tidak signifikan jika dibandingkan dengan industri besar yang mampu menyerap tenaga kerja hingga mencapai 55.275 orang. Hal ini karena jumlah industri berskala besar di Kabupaten Semarang pada umumnya berupa pabrik-pabrik besar yang memerlukan tenaga kerja relatif banyak. Meskipun demikian, industri kecil juga 6
berpotensi dalam membantu meningkatkan pendapatan daerah, sehingga perlu adanya arahan dan dukungan pemerintah agar industri kecil juga mampu bersaing dalam menciptakan produk yang berkualitas. Tabel 4. Potensi Industri Besar / Menengah dan Kecil Kabupaten Semarang, Jawa Tengah No. Kelompok Industri Jumlah Penyerapan Investasi Perusahaan / Tenaga Kerja (Rupiah) Sentra (orang) 1. Industri Besar 63 3.967.000.000.000 55.275 2. Industri Menengah 48 13.038.697.934 6.707 3. Industri Kecil Formal 757 16.297.942 5.588 4. Sentra Industri Kecil 106 1.038.285.000 21.033 5. Industri Kecil Informal 8.639 1.805.626 8.292 Sumber : semarangkab, 2010 Sumbangan sektor industri pengolahan terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Semarang tahun 2003 sebesar 42,45 persen dan selalu menempati urutan pertama dalam struktur pertumbuhan ekonomi Kabupaten Semarang. Artinya sektor ini tidak hanya memenuhi Kabupaten Semarang saja, tetapi memenuhi kebutuhan dari luar daerah lainnya. Dengan kata lain, sektor ini merupakan sektor yang berpotensi ekspor. Sektor ini memiliki kinerja sektor yang dapat diandalkan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (Saerofi 2005). Dengan demikian, industri pengolahan pada subsistem agribisnis hilir memiliki potensi untuk berkembang dan mempunyai peran dalam pembangunan ekonomi daerah. Salah satu usaha kecil sektor pengolahan yang menjadi sentra oleh-oleh khas dan berperan dalam menyumbang PDRB Kabupaten Semarang adalah Tahu Serasi Bandungan. Unit usaha ini berada di bawah Kelompok Wanita Tani Damai Desa Kenteng, Kecamatan Bandungan. Jumlah anggota yang menjadi pelaku usaha Tahu Serasi Bandungan sampai tahun 2011 berjumlah 36 orang. Unit usaha ini mengalami perkembangan hingga saat ini dengan bertambahnya jumlah asset dan laba usaha. Namun, tingkat pertumbuhannya tidak signifikan. Hal tersebut ditandai dengan kapasitas produksi yang mengalami penurunan tiga tahun terakhir 7
yaitu tahun 2008-2010 (Lampiran 8). Hal ini terkait pengelolaan bahan baku yang kurang optimal, akibat dari harga bahan baku utama kedelai yang tidak stabil, selain itu terkait dengan kualitas SDM pelaku usaha yang relatif masih rendah, terutama bidang manajemen. Menurut Sopanah (2009), jumlah UMKM yang meningkat belum diimbangi dengan perkembangan kualitas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (KUMKM). Hal tersebut disebabkan karena beberapa KUMKM yang masih menghadapi permasalahan klasik yaitu rendahnya produktivitas. Keadaan ini secara tidak langsung berkaitan dengan (a) rendahnya kualitas sumberdaya manusia khususnya dalam manajemen, organisasi, teknologi, dan pemasaran; (b) lemahnya kompetensi kewirausahaan; (c) terbatasnya kapasitas UMKM untuk mengakses permodalan, informasi teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya (Pakpahan, 2010). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar industri kecil adalah faktor sumber daya manusia terkait dengan sikap kewirausahaan masing masing pelaku di dalamnya. Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji bagaimana modernitas sikap kewirausahaan pelaku usaha serta kaitannya terhadap laba usaha kecil khususnya pengolahan tahu Serasi KWT Damai. 1.2 Perumusan Masalah Unit usaha KWTD Tahu Serasi Bandungan merupakan industri kecil sektor pengolahan dan menjadi salah satu sentra oleh-oleh khas serta berperan sebagai penyumbang PDRB bagi Kabupaten Semarang. Usaha Tahu Serasi telah menjalankan usaha lebih dari 10 tahun. Akan tetapi, perkembangan usaha ini tidak terlalu signifikan. Hal ini ditandai dengan kapasitas produksi yang dihasilkan masih fluktuatif bahkan mengalami penurunan selama tiga tahun terakhir (2008-2010). Selain itu, laba yang diperoleh selama tiga tahun terakhir mengalami pertumbuhan yang tidak terlalu berarti sekitar 7 persen (Lampiran 8). Kendala tersebut diakibatkan oleh pengelolaan bahan baku yang masih belum optimal dan kualitas SDM yang relatif masih rendah sehingga berpengaruh terhadap produktivitas. Keadaan ini secara tidak langsung berkaitan dengan (a) 8
rendahnya kualitas sumberdaya manusia khususnya dalam manajemen, organisasi, teknologi, dan pemasaran; (b) lemahnya kompetensi kewirausahaan; (c) terbatasnya kapasitas UMKM untuk mengakses permodalan, informasi teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Lemahnya kompetensi kewirausahaan pada KWTD diakibatkan oleh peran serta pemerintah (Dinas Pertanian Propinsi Jawa Tengah) yang mendominasi dalam hal pengembangan produk dan inovasi melalui pelatihan dan pembinaan yang dilakukan secara rutin. Selain itu, pihak pemerintah juga memberikan bantuan berupa modal usaha dan peralatan produksi. Hal tersebut menyebabkan tingkat ketergantungan KWTD terhadap pemerintah menjadi tinggi. Padahal, untuk mencapai sebuah keberhasilan usaha diperlukan kemandirian yang merupakan salah satu ciri sikap wirausaha. Salah satu target yang ingin dicapai oleh KWTD Tahu Serasi Bandungan adalah menjadi unit usaha unggulan dan menjadi icon produsen oleh-oleh khas Kabupaten Semarang, khususnya objek wisata Bandungan. Target tersebut dapat diwujudkan apabila misi dan tujuan usaha dijalankan dengan baik. Kelangsungan usaha Tahu Serasi Bandungan menjadi prioritas KWTD. Oleh sebab itu, kemandirian menjadi salah satu hal yang ingin diwujudkan oleh unit usaha untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap pemerintah. Sikap mandiri yang dipupuk masing-masing anggota sebagai unsur manusia yang menjalankan unit usaha diharapkan dapat menjaga kelangsungan usaha sekaligus mengantisipasi apabila suatu saat terlepas dari bantuan pemerintah. Industri kecil dalam sektor ini diharapkan mampu bertahan dan bersaing dengan industri lainnya meskipun dengan menggunakan tingkat teknologi yang pada umumnya masih sederhana. Daya saing produk dapat ditingkatkan dengan adanya suatu inovasi yang terkait dengan sikap kewirausahaan pelaku bisnis dalam mengembangkan usahanya, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sikap kewirausahaan yang modern merupakan ciri sikap yang melekat pada diri seorang wirausaha berhasil. Adapun atribut modernitas sikap kewirausahaan tersebut meliputi: (1) sikap mental mengutamakan prioritas; (2) sikap mental mengambil risiko; (3) sikap mental inovatif; (4) sikap mental yang 9
mengunggulkan kerja keras; (5) sikap mental menghargai waktu; (6) sikap memiliki motivasi berprestasi; (7) sikap mental berprestasi; (8) sikap mental tanggung jawab individual. Pengalaman yang dimiliki anggota dalam menjalankan usaha Tahu Serasi lebih dari 10 tahun serta pengetahuan yang diperoleh melalui pelatihan dan pembinaan akan mempermudah anggota untuk mengadopsi modernitas sikap kewirausahaan. Modernitas sikap kewirausahaan yang dimiliki oleh masing-masing individu diharapkan dapat menentukan keberhasilan dan kelangsungan usaha. Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana modernitas sikap kewirausahaan pelaku usaha KWTD Tahu Serasi Bandungan? 2. Bagaimana hubungan masing-masing tema sikap kewirausahaan terhadap keberhasilan unit usaha KWTD Tahu Serasi Bandungan terkait dengan modernitas sikap kewirausahaan yang dimiliki? 3. Bagaimana hubungan modernitas sikap kewirausahaan pelaku usaha terhadap keberhasilan unit usaha KWTD Tahu Serasi Bandungan yang dijalankan? 1.3 Tujuan Berdasarkan perumusan masalah yang ada, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan modernitas sikap kewirausahaan pelaku usaha KWTD Tahu Serasi Bandungan. 2. Menganalisis korelasi masing-masing tema sikap kewirausahaan dengan keberhasilan unit usaha KWTD Tahu Serasi Bandungan terkait dengan modernitas sikap kewirausahaan yang dimiliki. 3. Menganalisis hubungan modernitas sikap kewirausahaan pelaku usaha dengan keberhasilan unit usaha KWTD Tahu Serasi Bandungan yang dijalankan. 10
1.4. Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Peneliti, merupakan wadah untuk melatih kemampuan analisis penulis serta pengaplikasian konsep-konsep ilmu yang diperoleh dengan melihat fenomena praktis yang terjadi di lapangan. 2. Kalangan akademisi, sebagai bahan kajian atau acuan bagi penelitian selanjutnya. 3. Instansi terkait, dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya mengembangkan sikap kewirausahaan pelaku usaha dalam rangka pengembangan bisnis kecil khususnya KWTD Tahu Serasi Bandungan. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ini mengenai hubungan modernitas sikap kewirausahaan terhadap keberhasilan unit usaha kecil khususnya KWTD Tahu Serasi Bandungan. Alat analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Statistika Deskriptif dan Analisis Korelasi Chi Square. Adapun modernitas sikap kewirausahaan yang diukur terdiri dari 8 indikator, yaitu : (1) mengutamakan prioritas; (2) pengambilan risiko; (3) keinovatifan; (4) sikap terhadap kerja; (5) penghargaan terhadap waktu; (6) motivasi berprestasi; (7) sikap percaya diri; dan (8) tanggung jawab individual. 11