instansi yang belum maksimal. Hal tersebut menyebabkan jamu masih saja belum menjadi produk unggulan.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Indonesia memiliki sumber daya hayati dan merupakan salah satu negara

ANALISIS DAYA SAING, STRATEGI DAN PROSPEK INDUSTRI JAMU DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, perumusan masalah, tujuan serta manfaat dari penelitian yang

2016, No Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG PENGELOMPOKAN OBAT BAHAN ALAM

DALAM PENGAWASAN DAN PENINGKATAN DAYA SAING

BAB I PENDAHULUAN. apoteker Indonesia, masih belum dapat menerima jamu dan obat herbal terstandar

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. khasiat sebagai obat. Bahkan, sekitar 300 spesies dimanfaatkan sebagai bahan

BAB I PENDAHULUAN. bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian atau galenik, atau

Disampaikan oleh: Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada Rakernas GP Jamu 2016

I. PENDAHULUAN. Indonesia yang berada di daerah tropis merupakan negara yang kaya

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 007 TAHUN 2012 TENTANG REGISTRASI OBAT TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG

KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGEMBANGAN PUSAT PENGOLAHAN PASCA PANEN TANAMAN OBAT DAN PUSAT EKSTRAK DAERAH UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN BAHAN BAKU OBAT

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN PRODUK HERBAL BERBASIS RISET

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II DESKRIPSI INDUSTRI

I. PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD

Obat tradisional 11/1/2011

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN OBAT HERBAL BIOMUNOS PADA PT. BIOFARMAKA INDONESIA, BOGOR

Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera, serta memperkuat perekonomian negara dan daya saing bisnis

Intisari Roadmap Jamu Nasional dan Perkembangan Riset Jamu

BAB I PENDAHULUAN. rempah yang sudah diakui dunia, berbagai tanaman yang tumbuh disetiap

Obat dan Makanan Terjamin Aman, Bermutu dan Bermanfaat

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 73 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN PROVINSI BALI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk menunjang penampilan seseorang, bahkan bagi masyarakat dengan gaya

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

Biodiversitas adalah berbagai variasi yang ada di antara makhluk hidup dan lingkungannya Sekitar 59% daratan Indonesia merupakan hutan hujan tropis

UPAYA PENGUATAN BIDANG INDUSTRI FARMASI DAN SARANA DISTRIBUSI UNTUK MENDUKUNG KETERSEDIAAN OBAT DI FASYANKES

KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG

STANDARISASI BAHAN BAKU HERBAL DENGAN DUKUNGAN LABORATORIUM TERAKREDITASI

BAB I PENDAHULUAN. berpengaruh terhadap keberadaan dan ketahanan hidup manusia. Mengingat kadar

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN KESEHATAN. Industri. Usaha Obat. Tradisional. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA REPUBLIK INDONESIA

TUGAS POKOK DAN FUNGSI

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor : HK T e n t a n g

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan kebutuhan terpenting bagi manusia sehingga

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 003/MENKES/PER/I/2010 TENTANG SAINTIFIKASI JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS PELAYANAN KESEHATAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KABUPATEN TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG

PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005

LAMPIRAN PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN PERDAGANGAN

2016, No. -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambah

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERKELAPASAWITAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR : 16 TAHUN 2001 TENTANG

GUBERNUR SUMATERA BARAT

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA PEMBUKAAN PAMERAN INDUSTRI KOSMETIK DAN JAMU JAKARTA, 1 SEPTEMBER 2015

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian jamu dalam Permenkes No. 003/Menkes/Per/I/2010 adalah bahan atau

Lampiran 1. Indikator dan Parameter Faktor Internal. No Indikator Parameter Skor 1. Ketersediaan bahan baku obat tradisional

BAB I PENDAHULUAN. adalah pasar yang sangat besar dan potensial untuk kegiatan ekonomi dan bisnis.

PELAKSANAAN P4TO - PED KOTA PEKALONGAN. Disampaikan Dalam Acara Rakontek Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Makasar, 24 April 2014

Resep Alam, Warisan Nenek Moyang. (Jamu untuk Remaja, Dewasa, dan Anak-anak)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era modern seperti saat ini, kemajuan teknologi berkembang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan tempat pelayanan kesehatan (DepKes RI, 2002). paling tepat dan murah (Triyanto & Sanusi, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam yang tinggi. Kekayaan hayati yang dimiliki Indonesia diperkirakan

KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Terlaksananya kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan. Terlaksananya penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006 TAHUN 2012 TENTANG INDUSTRI DAN USAHA OBAT TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Bidang Kesehatan , < pdf>, diakses 31 Mei 2013.

WALIKOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN WALIKOTA NOMOR 60 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KOPERASI, PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 86 TAHUN 2016 TENTANG

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

LAMPIRAN. Hasil wawancara dengan Ibu Meilani Susanto selaku pimpinan harian CV.Angsoka.

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga

b. Kepala Sub Bagian Keuangan; c. Kepala Sub Bagian Program, Evaluasi dan Pelaporan.

julukan live laboratory. Sekitar jenis tanaman obat dimiliki Indonesia. Dengan kekayaan flora tersebut, tentu Indonesia memiliki potensi untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN DAN KEHUTANAN NOMOR: 453/Kpts/TN.260/9/2000 TENTANG OBAT ALAMI UNTUK HEWAN MENTERI PERTANIAN DAN KEHUTANAN,

I. PENDAHULUAN. kesehatannya banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat mulai dari melakukan

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktifitas dengan baik dibutuhkan badan yang sehat. Pola hidup sehat,

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Analisis SWOT untuk menentukan Strategi Pengembangan Industri. Biofarmaka Daerah Istimewa Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. Traditional Medicine/Complementary and Alternative. Medicine (TM/CAM) marak diperbincangkan penelitian,

POLICY BRIEF KAJIAN KESIAPAN SEKTOR PERTANIAN MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN 2015

BAB VI PENUTUP. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah : kepada oknum Dokter maupun Apoteker yang memang tidak mengindahkan

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN N0M0R : 02001/SK/KBPOM TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN SUPLEMEN KESEHATAN

BAB IV PENUTUP. A. Kesimpulan

PERATURAN OBAT ASLI INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA PENINJAUAN PEMBANGUNAN PABRIK BAHAN BAKU OBAT PT. KALBE FARMA Tbk CIKARANG, JAWA BARAT RABU, 27 JANUARI 2016

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

10. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan daerah.

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH NOMOR: 3 SERI: D TAHUN: 2005 NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH

Regulasi Produksi dan Distribusi Kefarmasian

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB VI KESIMPULAN Permenkes RI No. 760/Menkes/Per/IX/1992 tentang Fitofarmaka sebagai dasar upgrading jamu menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka nyatanya belum mampu mengoptimalkan sumber daya alam Indonesia berupa melimpahnya jenis tanaman obat. Hingga kini, jamu yang mampu di-upgrade menjadi obat herbal terstandar hanya 25 buah dan menjadi fitofarmaka sebanyak 5 buah saja, meskipun sudah 22 tahun peraturan menteri kesehatan tersebut berjalan. Meskipun pemerintah telah menetapkan berbagai standar regulasi terkait obat tradisional, belum ada hukum kesehatan Indonesia yang mengintegrasikan obat tradisional ke dalam sistem pelayanan kesehatan. Alasannya karena kurangnya bukti ilmiah karena obat tradisional masih didasarkan atas uji empiris atau pengetahun turun-temurun. Untuk itu pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengembangkan jamu melalui Kebijakan Obat Tradisional Nasional atau KOTRANAS. Kebijakan ini meliputi pengembangan jamu dari hulu hingga hilir dengan melibatkan berbagai instansi seperti lembaga penelitian, Kementerian Pertanian, perguruan tinggi, industri jamu, BPOM, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Perdagangan. Kebijakan ini mencakup beberapa aspek seperti penelitian dan pengembangan, budi daya tanaman obat, standarisasi, pembinaan industri jamu, jaminan mutu dan keamanan, pengembangan pasar domestik dan ekspor, serta perintisan penggunaan produk upgrading jamu pada sistem pelayanan kesehatan. KOTRANAS yang sudah berjalan kurang lebih tujuh tahun dengan melibatkan banyak instansi terkait masih saja menemui kendala. Masing-masing pihak telah melakukan serangkian program untuk mendukung kebijakan tetapi belum terjalin koordinasi yang baik antara instansi sehingga instansi dari hulu hingga hilir belum berjalan sinergis. Di tambah lagi, kinerja masing-masing 98

instansi yang belum maksimal. Hal tersebut menyebabkan jamu masih saja belum menjadi produk unggulan. Pada tahapan hulu, banyaknya lembaga penelitian yang melakukan riset tanaman obat menjadi angin segar bagi industri jamu yang membutuhkan inovasi. Penelitian dilakukan oleh banyak pihak seperti perguruan tinggi, Pusat Studi Biofarmaka selaku Pusat Unggulan Iptek dibawah Kementerian Riset dan Teknologi, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional yang berada di bawah Kementerian Kesehatan, bahkan oleh industri jamu sendiri. Banyaknya pihak yang meneliti menjadi hal yang positif, namun yang terjadi adalah banyaknya penelitian yang kurang terkoordinir dan kurang publikasi menyebakan penelitian tersebut tumpang tindih. Hal ini disebabkan karena belum terdapat sistem dokumentasi yang terintegrasi lintas institusi secara nasional, sehingga sering terjadi duplikasi penelitian. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, hendaknya terdapat sistem dokumentasi publikasi penelitian yang terintegrasi secara nasional dan internasional. Selain masalah penelitian, pada tahapan hulu, masih saja banyak tanaman obat yang diambil dari hutan. Belum adanya peraturan penambangan tanaman obat juga semakin memperparah keadaan. Bila tidak segera dilakukan budidaya maka perlahan-lahan tanaman obat yang pertumbuhannya lambat akan menjadi langka. Selain itu, GAP dan SOP nyatanya belum banyak diterapkan karena ketidaktahuan para petani tanaman obat, sehingga sosialisasi perlu lebih ditingkatkan. Di sisi lain, para petani enggan menanam tanaman obat karena harga jualnya yang masih rendah dibanding harga holtikultura maupun jenis tanaman lain. Sementara pada tahapan tengah, tidak semua industri jamu mampu menerapkan CPOTB, terutama industri jamu skala kecil. Hal tersebut dikarenakan modal untuk menerapkan CPOTB yang begitu besar. Ditambah lagi, CPOTB antara industri jamu dan industri farmasi masih disamakan padahal keduanya berbeda. Setelah produk jamu lolos persyaratan pun masih harus bersaing dengan 99

jamu BKO yang jelas melanggar aturan. Jamu BKO sangat meresahkan industri jamu karena dapat merusak citra jamu. Dengan kandungan kimia, jamu BKO menipu konsumen dengan khasiat yang cepat dirasakan dan harga yang murah padahal bahayanya sangat besar. Terakhir, pada tahapan hilir, sudah ada 12 Rumah Sakit Pendidikan, namun belum semua rumah sakit tersebut sudah membuka poli obat tradisional. Ditambah lagi masih rendahnya tingkat kunjungan ke poli tersebut. Dari segi praktisi kesehatan, belum banyak dokter yang mengenal seluk-beluk jamu karena belum didukung oleh sistem pendidikan. Sedangkan perihal pemasaran produk, jamu Indonesia tersaingi oleh produk impor. Belum lagi, untuk menembus pasar internasional terkadang dihalangi oleh penolakan impor negara tujuan. Karena upgrading jamu menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang berjalan lamban, pemerintah mengeluarkan program baru yaitu saintifikasi jamu. Melalui program ini, jamu telah masuk ke dalam sistem pelayanan namun kurang mengembangkan industri jamu karena produk hasil yang berbeda. Produk saintifikasi jamu berupa simplisia, berbeda dengan produk industri yang dijual bebas. Program saintifikasi jamu tidak menjual produk tetapi memberikan resep kepada pasien. Pemerintah sebagai pihak yang merancang policy rents nyatanya belum dapat melaksanakan kebijakan dengan maksimal. Policy rents kurang berjalan karena pemerintah tidak mampu menciptakan entry barriers bagi kompetitor asing. Pemerintah dinilai kurang memberikan proteksi terhadap jamu nasional. Pertama, belum terbentuknya undang-undang yang khusus membahas mengenai jamu. Undang-undang ini akan menjadi payung hukum bagi jamu dari ancaman negara lain karena sudah banyaknya negara lain yang menggunakan nama jamu. Selain itu, undang-undang jamu juga diperlukan karena jamu berbeda dengan produk farmasi. Produk jamu bukan untuk pengobatan saja namun jamu digunakan sebagai kosmetik, food supplement, dan spa. 100

Kedua adalah mengenai hak kekayaan intelektual. Beberapa negara telah mematenkan tanaman obat asli Indonesia. Ini merupakan ancaman dan jelas merugikan. Obat tradisional yang pasarkan perusahaan asing dengan bahan baku asal Indonesia yang telah dipatenkan harganya berkali lipat lebih mahal. Selain itu, perusahaan lokal yang hendak memproduksi produk harus terikat dengan negara paten. Selanjutnya, pemerintah juga dinilai masih lemah dalam memproteksi jamu. Jamu impor sangat mudah masuk Indonesia sedangkan jamu asal Indonesia susah menembus pasar internasional. Negara tujuan ekspor biasanya menghambat jamu Indonesia dengan biaya perizinan yang tinggi serta standarisasi yang ketat. Sementara di pasar domestik, jamu harus bersaing dengan produk impor dan MLM yang semakin menjamur. Bila melihat pada struktut industri jamu, pasar didominasi oleh ara pemain besar. Struktur menjadi tidak seimbang karena dikuasai oleh beberapa perusahaan jamu berskala besar. Selain itu, tingkat persaingan antar perusahaan jamu yang cukup tinggi dipengaruhi oleh skala ekonomi, kemampuan finansial/modal, dan teknologi. Hal ini menimbulkan pertanyan, apakah ada intergrasi perusahaan jamu berskala kecil terhadap perusahaan yang berskala besar agar pemain kecil dapat berkembang. Namun, pada kenyataannya tidak terdapat integrasi semacam itu. Yang terjadi adalah adanya relasi yang kuat antara perusahaan jamu dengan supplier dan kolektor. Hubungan tersebut bersifat parental, yakni seperti bapak dan anak. Mengenai peran pemerintah dalam industri jamu, ini dinilai masih kurang. Tidak terlihat kerjasama yang kuat antara pemerintah dan industri jamu. Dari keempat macam governed interdependence, pemerintah tidak bertindak sebagai discipline support dan public risk absobtion. Dengan demikian pemerintah tidak melakukan penertiban maupun mendisiplinkan para perusahaan jamu. Pemerintah juga tidak menetapkan standar maupun public goals. Karena tidak adanya public goals tersebut, maka pemerintah sulit untuk memonitor kinerja perusahaan privat. 101

Terlebih lagi, bila timbul kerugian maupun resiko dalam upgrading, pemerintah tidak ikut menanggung kerugian tersebut. Dengan peran yang demikian, perusahaan jamu terutama yang tidak berskala besar akan enggan untuk mengembangkan produknya. Mereka tidak mendapat jaminan dari pemerintah. Disamping kerugian yang harus mereka tanggung, mereka juga masih harus menyediakan target pasar secara mandiri. Meskipun tidak menunjukkan peran pemerintah sebagai discipline support dan public risk absobtion, pemerintah ternyata berperan sebagai private sector alliance. Namun peran tersebut hanya ditemukan pada salah satu industri saja. Perusahaan tersebut ditunjuk sebagai temapt belajar dan kunjungan perusahaan skala kecil. Dengan demikian, pemerintah menginginkan adanya standar produksi jamu. Selanjutnya mengenai peran pemerintah sebagai public private alliances, ini ditemukan pada industri yang lainnya. Maka dari itu, tidak semua industri jamu berkerjasama langsung dengan pemerintah dalam proses upgrading. Ada yang secara mandiri melakukan proses upgrading tanpa campur tangan pemerintah, namun ada pula yang bekerjasama dengan pemerintah. Yang menjadi catatan adalah apakah prosentse kerjasama dalam proses upgrading tersebut berimbang atau tidak. Mengacu pada teori governed interdependence dan keempat jenisnya, dapat disimpulkan bahwa tidak tercipta governed interdependence antara pemerintah dengan industri jamu. Tidak ada kerjasama dimana pemerintah dan industri jamu sama-sama berperan kuat. Peran pemerintah dinilai masih minor. Begitu pula dengan perusahaan jamu berskala kecil, peran pemerintah juga masih kurang. Meskipun pemerintah telah memberikan bantuan berupa administrasi, dana pinjaman, peralatan produksi, dan promosi, mereka masih kesulitan dalam hal peralatan produksi. Alat produksi masih terbatas. Selain itu, izin edar juga dirasa sangat memberatkan pengusaha jamu kecil karena mahalnya biaya uji laboratorium. 102