TANGGUNG JAWAB NEGARAA PELUNCUR ATAS KERUGIAN YANG DITIMBULKAN ANTARIKSA BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION Waode Zessica Harta Setiati.

dokumen-dokumen yang mirip
TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA

KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA-BENDA ANGKASA BUATAN.

BAB I PENDAHULUAN. menyadari apa yang akan terjadi bilamana suatu bangsa atau negara secara

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2)

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. negara melakukan tindakan-tindakan yang dianggap menguntungkan kepentingannya yang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Traktat Antariksa 1967 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 dan 3 (tiga) perjanjian internasion

BAB I PENDAHULUAN. cepat dan menghasilkan kejadian-kejadian yang luar biasa, misalnya pesawat

TANGGUNG JAWAB NEGARA PELUNCUR TERHADAP SAMPAH ANGKASA (SPACE DEBRIS)

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG ANGKASA

Latar Belakang. Hukum hadir tentunya dengan. memiliki tujuan. Paul Scholten dengan teori. campuran mengemukakan bahwa hukum

BAB II PEMBENTUKAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN DI RUANG ANGKASA. A. Pengertian Ruang Angkasa dan Hukum Ruang Angkasa

TANGGUNGJAWAB NEGARA PELUNCUR BENDA ANGKASA TERKAIT MASALAH SAMPAH LUAR ANGKASA (SPACE DEBRIS) BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION 1972

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SKRIPSI TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PELUNCURAN BENDA RUANG ANGKASA DITINJAU DARI SPACE LIABILITY CONVENTION

2014, No Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengesahan Treaty on Principles Governing the Activities of the State in the Exploration

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENGGUNAAN SATELIT DALAM BIDANG PERBANKAN

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PELUNCURAN BENDA RUANG ANGKASA DITINJAU DARI SPACE LIABILITY CONVENTION 1972 SKRIPSI. Oleh:

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (selanjutnya disebut GSO).

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IMPLIKASI HUKUM TERHADAP KEGIATAN ASTEROID MINING DITINJAU DARI OUTER SPACE TREATY 1976 DAN LIABILITY FOR DAMAGE CAUSED BY SPACE OBJECTS 1972

TANGGUNG JAWAB NEGARA PELUNCUR TERHADAP SAMPAH RUANG ANGKASA

BAB II KONSEP DAN PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA- BENDA ANGKASA BUATAN

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam (natural resources) tidak lagi

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEGIATAN KOMERSIAL DI RUANG ANGKASA BERDASARKAN HUKUM RUANG ANGKASA INTERNASIONAL

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN RUANG ANGKASA

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014 Online di

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951

BAB I PENDAHULUAN. seperti penemuan ilmiah Johann Kepler dari abad ketujuh belas pada hukum

TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN APABILA TERJADI KECELAKAAN AKIBAT PILOT MEMAKAI OBAT TERLARANG

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

Pertanggungjawaban Pengangkutan Udara Komersial dalam Perspektif Hukum Penerbangan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan pasal..., Ita Zaleha Saptaria, FH UI, ), hlm. 13.

BAB III METODE PENELITIAN. Penyusunan skripsi ini yang berjudul Tindakan Amerika Serikat dalam

GPS (Global Positioning Sistem)

PENGATURAN OUTER SPACE TREATY 1967 TERHADAP PENELITIAN YANG DILAKUKAN OLEH AMERIKA SERIKAT DI PLANET MARS

TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA

TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN BRISTISH PETROLEUM

Keywords: Role, UNCITRAL, Harmonization, E-Commerce.

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017. Kata kunci: Tindak Pidana, Pendanaan, Terorisme.

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

Perkembangan Prinsip Tanggung Jawab (Bases Of Liability) dalam Hukum Internasional dan Implikasinya terhadap Kegiatan Keruangangkasaan

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi dan eksploitasi yang berlebih lebihan dari sumber daya alam yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN TERHADAP KERUGIAN YANG DIALAMI PENUMPANG

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN

BAB III PERKEMBANGAN MENGENAI KEGIATAN MILITER DI RUANG ANGKASA. A. Aktivitas Negara Space Powers di Ruang Angkasa

BAB I PENDAHULUAN. memiliki mobilitas yang tinggi, seperti berpindah dari satu tempat ke tempat lain

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

PENGATURAN TENTANG CABOTAGE DALAM HUKUM UDARA INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA SKRIPSI

SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENEMUAN TEKNOLOGI BARU DI RUANG ANGKASA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL OLEH. Oleh:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

BAB I PENDAHULUAN. Subhan Permana Sidiq,2014 FAKTOR DOMINAN YANG BERPENGARUH PADA JUMLAH BENDA JATUH ANTARIKSA BUATAN SEJAK

KAJIAN REZIM HUKUM ANTARIKSA MODERN DARI PERSPEKTIF SPACE FARING STATES DAN NON SPACE FARING STATES

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1978 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN MENGENAI PENCEGAHAN PENYEBARAN SENJATA-SENJATA NUKLIR

BAB I PENDAHULUAN. khususnya menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari zaman kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat informasi (information

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM

KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDONESIA MENJALIN KERJASAMA KEANTARIKSAAN DENGAN TIONGKOK

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION

KEABSAHAN PERJANJIAN ASURANSI DALAM HUKUM KEPERDATAAN

STATUS KEWARGANEGARAAN INDONESIA BAGI PENDUKUNG ISIS (ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA)

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SEJARAH PEPERANGAN ABAD MODERN DOSEN : AGUS SUBAGYO, S.IP., M.SI

Grace Gabriella Binowo. Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hukum tentang Hubungan Transnasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia

ANALISIS DAMPAK KOMERSIALISASI GEO STATIONARY ORBIT (GSO) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM RUANG ANGKASA

PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

Tanggung Jawab atas Damage yang Disebabkan Oleh Tabrakan yang Terjadi di Ruang Angkasa: Studi Kasus Cosmos Iridium 33

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya perang dunia kedua yang dimenangkan oleh tentara sekutu

Transkripsi:

TANGGUNG JAWAB NEGARAA PELUNCUR ATAS KERUGIAN YANG DITIMBULKAN BENDA ANTARIKSA BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION 1972 Waode Zessica Harta Setiati Dosen Pembimbing I Agus Pramono, Dosen Pembimbing II Soekotjo Hardiwinoto Abstrak Berkembangnya komersialisasi ruang angkasa pada dewasa ini telah membawa kita kepada sebuah era baru dikegiatan keruangangkasaan. Indikator dari hal ini adalah meningkatnya jumlah benda ruang angkasa yang ditempatkan diruang angkasa. Atas hal tersebut kemungkinan timbulnya kerugian atau dampak negatif dari benda antariksa juga akan semakin besar. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pengaturan hukum internasional yang mengatur mengenai masalah-masalah hukum angkasa, salah satu peraturan hukum angkasa tersebut yaitu Liability Convention 1972 yang mengatur pertanggungjawaban negara peluncur atas kerugian atau kerusakan yang di timbulkan benda antariksa. Kata Kunci : Tanggung Jawab Negara Peluncur, Liability Convention 1972 Abstract The growing commercialization of outer space today has led us to a new era of space activities. Indicator of this is the increasing number of space objects which are placed the room in space. Above it is the possibility of loss or negative impact from a space object willl also be greater. Therefore we need an international legal arrangements governing the legal issues space, one of that space law is the Liability Convention 1972 about governing state liability for any loss or damage launcher that caused the space object. Keyword: Responsibility of Launcher State, Liability Convention 1972 1

I. Pendahuluan Era globalisasi telah menjadikan dunia tanpa batas ( borderless world), menjadikan negara-negaraa terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologinya khususnya dibidang kerdirgantaraan dan ruang angkasa. Wilayah udara dan ruang angkasa kini telah menjadi suatu sumber daya yang penting bagi kehidupan manusia baik bidang ekonomi, politik, sosial budaya maupun pertahanan dan keamanan. Sejalan dengan apa yang dikemukakan Priyatna Abdurrasyid bahwa: Kini kita hidup dalam abad angkasaa ( Space Age). Ilmu pengetahuan yang selamanya bergerak maju, berkembang pesat dalam 50 tahun terakhir ini, terutama sejak Perang Dunia II. Kemajuan teknologi khususnya teknologi penerbangan pada abad kini memberi akibat yang positif kepada tingkatt kehidupan manusia yang sekarang telah mampu melakukan penerbangan-penerbangan ke dan di ruang angkasa. 1 Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang telah dicapai di bidang keantariksaan telah memungkinkan dan membuka kesempatan yang cukup besar bagi berbagai pihak tertentu untuk melakukan kegiatan di ruang angkasa. 2 Ruang angkasa merupakan warisan bersama umat manusia. Adanya prinsip Commonn Heritage of Mankind (Warisan bagi Seluruh Manusia) di dalam pemanfaatan ruang angkasa, membuat negara-negara maju yang memiliki teknologi tinggi secara berlomba-lomba ingin menguasai pemanfaatan kawasan ruang angkasa tersebut. Penerbangan di ruang angkasa diawali pada keberhasilan Uni Soviet (Rusia) meluncurkan satelit Sputnik I pada tanggal 4 Oktober 1957. Keberhasilan tersebut menimbulkan penghargaann dan pandangan terhadap Uni Soviet yang membumbung tinggi, sekaligus menurunkan gengsi Amerika Serikat yang merupakan negara saingannya. 3 Sejak keberhasilan Uni Soviet meluncurkan satelitnya, maka Amerika Serikat berusaha pula untuk menyainginya atau mensejajarkan kedudukannya dengan pihak Uni Soviet dalam berbagai kemajuan khususnya teknologi ruang angkasa. Pendaratan 1 Priyatna Abdurrasyid, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967, Binacipta, Bandung 1977, Hal 4. 2 Agus Pramono, Dasar-dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Ghalia Indonesia, Bogor 2011, Hal 56. 3 Juajir Sumardi, Hukum Ruang Angkasa (Suatu Pengantar), Pradnya Paramita, Jakarta 1996, Hal 1. 2

yang dilakukan oleh astronot Amerika Serikat di bulan dengan mulus merupakan kejadian yang menggemparkan dunia internasional dan sekaligus kembali menaikan gengsi Amerika Serikat di forum Internasional. Berawal dari persaingan tersebut, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di bidang keantariksaan telah memungkinkan dan membuka kesempatan yang cukup besar bagi berbagai pihak maupun negara tertentu untuk melakukan kegiatan di ruang angkasa. Berbagai penemuan di bidang teknologi keruangangkasaan yang baru seperti satelit bumi buatan, dan penginderaan jarak jauh (remote sensing) telah diciptakan dan merupakan contoh keberhasilan kemajuan teknologi keruangkasaan yang memberi keuntungan besar bagi umat manusia. Salah satu yang sedang berkembang pesat dalam era modern ini adalah komersialisasi ruang angkasa. Komersialisasi ruang angkasa merupakan fenomena baru yang semakin menarik perhatian. Letak ruang angkasa yang jauh dari daratan bumi tidak menghalangi manusia untuk melakukan aktivitas yang memberikan keuntungan berlipat ganda. Aktivitas komersial ini dilakukan oleh semua pihak baik dilakukan oleh badanbadan pemerintah ataupun swasta, nasional maupun badan internasional. Banyak juga aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh badan-badan semi pemerintah yang melibatkan perusahaan swasta atau sebagian sahamnya dimiliki swasta. Bentuk-bentuk aktivitas yang telah atau sedang berkembang untuk di komersialkan adalah 4 : 1. Komunikasi 2. Penginderaan jauh 3. Sistem transportasi ruang angkasa 4. Pengolahan bahan (manufacturing) 5. Pembangkit tenaga 6. Pertambangan (mining) Semua bentuk aktivitas komersial di atas, komunikasi, penginderaann jauh, sistem transportasi khususnya wahana peluncur sangat menentukan tingkat kemajuan di masa yang akan datang mengingat kebutuhan akan pemanfaatannya seperti satelit untuk 4 E. Saefullah Wiradipraja dkk, Hukum Angkasa dan Perkembanganya Remadja Karya, Bandung 1988, hal 165. 3

kepeluan telekomunikasi, penginderaan jauh, metrologi, navigasi, siaran televisi secara langsung serta kegiatan militer. Di satu sisi aktivitas komersialisasi ruang angkasa ini memang menguntungkan dan memberikan dampak positif bagi kehidupan namun dengan besarnyaa peningkatan frekuensi dan jumlah peluncuran satelit serta penempatan benda antariksa di ruang angkasa jugadapat menimbulkan dampak negatif. Di samping hasil-hasil yang positif dari aplikasi teknologi ruang angkasa, tidak dapat diabaikan begitu sajaa kenyataan bahwa banyak juga akivitas ruang angkasa yang telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat internasional. Akibat negatif dari aktivitas ruang angkasa pada umumnya lebih dari sekedar resiko kehilangan atau kerusakan. Percobaan-percobaan yang berbahaya dapat mempengaruhi keberadaan umat manusia secara keseluruhan, merusak lingkungan bumi, mencemari atmosfer dan menimbulkan gangguan berat terhadap kehidupan. 5 Patut disadari bahwaa dengan meningkatnya benda antariksa yang diluncurkan ke ruang angkasa, kemungkinan malfunction selalu ada. Apalagi dengan peluncuran satelit bertenaga nuklir, dimana pada umumnya satelit jenis ini berorbit rendah sehingga satelit tersebut mudah mengalami malfunction, dan dalam waktu yang singkat satelit berserta muatannya dapat segera jatuh ke permukaan bumi. 6 Mengingat pentingnya masalah ini, banyak negara memperhatikan dan mencari penyelesaian dalam masalah yang ditimbulkan oleh aktivitas komersial ruang angkasa ini. Konsep tentang pertanggung jawaban negara dalam hukum ruang angkasa dirumuskan dalam bentuk pembatasan terhadap kebebasan melakukan aktivitas, termasuk tentunya untuk tujuan komersial. Bila dihubungkan dengan dengan masalah tanggung jawab negara dalam keterkaitan aktivitasnya di ruang angkasa, maka jelaslah negara yang melakukan kegiatan atau memanfaatkan sumber daya ruang angkasa tidak boleh merugikan negara lain. 7 Sehubungan dengan itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan sejumlah pengaturan secara internasional untuk memecahkan berbagai masalah yang 5 Ibid, Hal 167. 6 Juajir Sumardi, Op.cit, Hal 8. 7 E. Saefullah Wiradipraja dkk, Op.cit, Hal 167 4

timbul, Salah satu konvensi yang relevan dengan masalah pertanggungjawaban ini adalah "Convention of International Liability for Damage by Space Objetcs 1972". Konvensi ini berkaitan dengan masalah pengaturan pertanggungjawaban secara internasional yang dibebankan kepada negara-negara yang melakukan kegiatan peluncuran Space Object ke ruang angkasa. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, maka rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian adalah : 1. Bagaimanakah pengaturan hukum internasional terhadap kegiatan di ruang angkasa? 2. Bagaimanakah tanggung jawab negara peluncur atas kerugian yang ditimbulkan benda antariksa menurut Space liability Convention 1972? II. Metode Pendekatan yang dipakai dalam penyusunan hukum ini adalah metode pendekatan yuridis normatif 8, yaitu penelitian hukum yang menekankan pada penelaahan dokumen-dokumen hukum dan bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan pokok permasalahan mengenai tanggung jawab negara atas kerugian yang di timbulkan oleh benda antariksa. Dianalisis dengan metode deskriptif analitis, yaitu studi untuk memberikan gambaran atau menganalisis permasalahan, kemudian menganalisis data yang ada III. Hasil dan Pembahasan A. Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Kegiatan di Ruang Angkasa 1. Proses Pembentukan Hukum Ruang Angkasa Proses pembentukan Hukum Ruang Angkasa didasarkan terutama kepada Hukum Internasional dan kerja-sama internasional. Oleh karena itulah peranan hukum Internasional sangat menentukan. 9 Seperti juga hukum laut maupun udara yang memiliki rezim hukum tersendiri, ruang angkasa pun memiliki rezim hukumnya sendiri. Hukum ruang angkasa dapat 8 Soekanto, Soerjono dan Sri Marmudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 13-14 9 Priyatna Abdurrasyid, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967, (Bandung: Binacipta, 1977), Hal 15. 5

diartikan sebagai kumpulan dari berbagai hukum internasional yang mengatur hubungan antar negara, maupun dengan organisasi internasional dalam ruang lingkup aktivitas keruangangkasaan, dalam suatu rezim Hukum Internasional untuk luar angkasa dan benda-benda luar angkasa yang bersesuaian dengan prinsip-prinsip Hukum Internasional. 10 Tahap pertama proses pembuatan Hukum Ruang Angkasa ini ditandai oleh pengajuan serentetan resolusi oleh Majelis Umum. Resolusi ini meliputi petunjuk- penetapan petunjuk dan cara-cara meningkatkan kerja-sama internasional serta prinsip-prinsip dasar tentang peraturannya. 11 Pada sidang yang dilaksanakan tahun 1965 dihasilkan resolusi Majelis Umum PBB tertanggal 21 Desember 1965, yaitu resolusi 2130 (XX) yang menyangkut prinsip-prinsip hukum yang menguasai kegiatan di negara ruang angkasa. Selanjutnya pada tanggal 16 Juni 1966, atas usul Amerika Serikat dan Uni Soviet diajukan konsep Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, the Moon and other celestial bodies. Dengan aklamasi sebuah treaty dalam resolusi no. 2222 (XX) dan di tanda-tangani di Washington, London, Moscow pada tanggal 27 Januari 1967. 12 Treaty yang ditandatangani pada tanggal 27 Januari 1967 tersebut mengatur tentang status ruang angkasa, Bulan dan Benda-benda langit lainnya, serta mengatur usaha-usaha dan kegiatan manusia di ruang angkasa sekaligus menetapkan segala hak dan kewajiban negara-negara. Treaty tersebut selanjutnya disebut Space Treaty 1967 Space treaty 1967 tersebut merupakan hukum dasar bagi penciptaan hukum- Bulan dan hukum dalam masalah aktivitas mannusia di ruang angkasa termasuk benda-benda langit lainnya. Atas dasar prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Space Treaty 1967 tersebut, hingga kini Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Komite Pemanfaatan Ruang Angkasa untuk Tujuan Damainya (United Nation Comitee on the Peaceful Uses of Outer Space yang disingkat UN-COPUOS) telah menciptakan suatu aturan hukum internasional mengenai kegiatan ruang angkasa, yaitu: 13 10 Vinod K. Lall, Danial Khemchand, Encyclopedia of International Law, (India: Anmol Publications, 1997), Hal 74. 11 Priyatna Abdurasyid, Op.Cit, Hal 23. 12 Ibid, Hal 15. 13 Ibid. 6

a. Agreement on the Rescue of Astronauts, the return of Astronauts and the return of Objects launched into Outer Space, yang ditandatangani di London, Moscow, dan Washington pada tanggal 22 April 1968. b. Convention of International Liability for Damage Caused by Space Objects, yang ditandatangani pada tanggal 28 Maret 1972. c. Convention concerning the Registration of Objects launched into Space for Exploration or Use of Outer Space tahun 1975, dan d. Moon Agreement tahun 1979. B. Tanggung jawab Negara atas Kerugian yang Ditimbulkan Benda Antariksa Menurut Liability Convention 1972 Tidak ada suatuu negara pun yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak yang dimiliki oleh negara lain. Oleh karena itu, selain patut memperhatikan kepentingan bangsa atau negara lain, seharusnyalah segala tindakan dan hubungan antara berbagai bangsa / negara itu berlandaskan pada norma-norma Hukum Internasional. Apabila ada suatu negara yang dengan sengaja melanggar kewajiban internasional maka negara tersebut dapat dikenai kewajiban untuk memperbaiki keadaan pelanggaran yang telah dilakukan oleh suatu negara. Dengan kata lain, negara pelanggar tersebut memiliki pertanggungjawaban internasional akibat tindakannya yang merugikan negara lain. Bila dihubungkann dengan masalah tanggung jawab negara dalam keterkaitan aktivitasnya di ruang angkasa, maka jelaslah negara yang melakukan kegiatan atau memanfaatkan sumber daya ruang angkasa tidak boleh merugikan negara lain. Konsekuensi logis dari hal ini adalah bahwa negara pemilik benda angkasa wajib bertanggung jawab terhadap negara yang dirugikan. Tentang kemungkinan kerusakan yang diakibatkan jatuhnya benda-benda angkasa buatan manusia serta dampak negatif dari segenap kegiatan di ruang angkasa, ada 2 perjanjian internasional yang memuat ketentuan-ketentuan dasar mengenai tanggung jawab dalam hukum ruang angkasa yaitu Treaty on Principles Governing the Activities in the Exploration and Use of Outer Space, including Moon and Other 7

Celestial Bodies ( Spacee Treaty 1967 ); dan Convention on International Liability For Damage Caused by Space Objects, 1972 ( Liability Convention 1972 ). 14 Space Liability Convention 1972 ini mengandung 4 lingkup atau sudut pandang, yaitu lingkup geografis, lingkup benda (material), fungsional/personal, dan lingkup waktu. Dengan meninjau keempat susut pandang ini, maka dapat terlihat hal-hal seperti: di wilayah ruang mana saja konvensi ini dapat berlaku; dapat dikenakann pada siapa saja serta apa saja yang menjadi tujuan dari konvensi dan akhirnya dapat pula dilihat waktu berlakunya konvensi ini. 1 Lingkup geografis membawa kita pada pengertian tentang wilayah berlakunya konvensi. Jika kita lihat isi Artikel II dari Liability Convention 1972 yang menyatakan bahwa: 16 A Launching State shall be absolutely liable to pay compensationn for damage caused by its space object on the surface of the earth or to aircraft in flight. Dengan demikian maka jelaslah bahwa mempunyai wilayah huni atau dapat diterapkan terhadap segenap kerugian yang disebabkan oleh benda-benda angkasa baik kerugian itu terjadi di wilayah darat, laut, udara dan berlaku pula di ruang angkasa serta laut bebas. Dengan lingkup personal dimaksudkan untuk mengetahui pihak mana saja yang dapat terlibat di dalam pelaksanaan konvensi. Lingkup fungsional dan material dapat terlihat dari Pasal I ayat (b) mengenai harus bertanggung jawab secara internasional atas kerugian yang diderita sebagai akibat jatuhnya benda-benda ruang angkasa ( space objects) di permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang melakukan penerbangan rutin. Dalam kajian ini jelas bahwa Liability Convention 1972 merupakan suatu ketentuan hukum yang mengatur tentang pertanggungjawaban negara dalam aktivitasnya di ruang angkasa atau aktivitasnya berkenaan dengan peluncuran benda-benda ruang angkasa. Peninjauan konvensi dari lingkup waktu terlihat dalam Artikel XXVI yaitu menyangkut berlakunya konvensi yang dapat ditinjau kembali setelah 10 tahun dan 14 Diedericks Verschoor diterjemahkan oleh Bambang Iriana, Op.Cit, Hal 24. 15 Juajir Sumadi, Op.Cit, Hal 38. 16 Lihat Liability Convention 1972 lingkup Liability Convention 1972 itu apa yang dimaksud dengan negara peluncur. Negara peluncur adalah negara yang 15 8

setelah 5 tahun berlakunya konvensi tersebut dapat ditinjau kembali dengan catatan harus mendapatkan persetujuan dari 1/3 negara peserta konvensi. 1. Bentuk-Bentuk Pertanggungjawaban Negara Pelucur Bentuk-bentuk pertanggung jawaban negara peluncur dapat dirumuskan dan dibagi kedalam empat macam klasifikasi yaitu: 17 1. Tanggung jawab secara mutlak (absolute liability) 2. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault) 3. Tanggung jawab secara bersama antar negara dan sebagian negara-negara ( joint and several liability),, dan 4. Pengecualian atau pembebasan dari tanggung jawab (exoneration from liability) Absolute liability (Tanggung Jawab secara mutlak) Negara peluncur harus bertanggung jawab secara mutlak atas segala kerugian yang ditimbulkan oleh benda ruang angkasanya terhadap negara lain baik terhadap benda dan manusia, badan hukum maupun terhadap negara lain baik tehadap harta benda dan manusia, badan hukum manapun terhadap kerugian yang diderita oleh suatu pesawat udara dalam penerbangan sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan keantariksaan oleh negaraa peluncur. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault) Absolute liability (tanggung jawab mutlak) terbatas pada tanah, air, dan ruang angkasa, sedangkan subjek pada prinsip pertanggungjawaban berdasarkan atas kesalahan (fault liability) itu misalnya seperti pada suatu kejadian yang memungkinkan bahwa ada kerugian yang disebabkan oleh benda ruang angkasa di ruang angkasa. Joint and Several Liability (Tanggung jawab antara gabungan atau beberapa negara) 17 Bruce A. Hurwitz, State Liability for Outer Space Activites in Accordance with the 1972 Convention on Intenational Liability for Damage caused by Space Objects, (Martinus Nijhoff Publishers), Hal 117. 9

Adalah dua buah bentuk pertanggung jawaban antara gabungan atau beberapa Negara, Meliputi pertanggungjawaban karena kerusakan yang diakibatkan oleh benda-benda ruang angkasa yang diluncurkan oleh lebih dari satu negara Pembebasan dari tanggung jawab (Exoneration From Liability) Pembebasan tanggung jawab secara mutlak ini harus diberikan sejauh negara peluncur menyatakan bahwa kerusakan tersebut secara keseluruhan atau sebagian disebabkan oleh kelalaian berat atau kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan dengan maksud menyebabkan kerugian pada pihak penuntut atau terhadap orang- orang, alam dan badan hukum atau negara yang mewakilinya. IV. Kesimpulan 1. Proses pembentukan hukum ruang angkasa bergerak ke arah dua tahap. Tahap pertama ditandai oleh pengajuan serentetan resolusi oleh Majelis Umum PBB. Sebagai tahapan selanjutnya dari pembentukan hukum ruang angkasa ini adalah dengan diterimanya deklarasi prinsip-prinsip hukum untuk mengatur kegiatan- dan kegiatan negara di ruang angkasa yang berhubungan dengan penyelidikan penggunaan ruang angkasa. Hingga kini PBB melalui Komite Pemanfaatan Ruang Angkasa untuk Tujuan Damai (United nation Comitee on the Peaceful Uses of Outer Space yang disingkat UN-COPUOS) telah menciptakan suatu aturan hukum internasional mengenai kegiatan ruang angkasa, yaitu: a) Treaty Banning Nuclear Weapon Tests in the Atmosphere, Outer Space and Underwater, 5 Agustus 1963. b) Treaty on principles Governing the activities of states in the Exploration and use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies, 27 Januari 1967. c) Agreement on the Rescue of Astronauts, Return of Astronauts and Return of Objects Launched into Outer Space, 22 April 1968. d) Convention on International Liability for Damage caused by Space Objects, 28 Maret 1972. e) Convention concerning the Registration of Objects Launched into Outer Space for the Exploration and Use of Space, 1975. f) Agreement Governing the Activities of States on the moon, and Other Celestial Bodies, 14 Desember 1979. 10

2. Bentuk-bentuk tanggung jawab negara peluncur itu dibagi atau dirumuskan menjadi empat macam untuk pertanggung jawaban yaitu pertanggung jawaban secara mutlak (absolute liability), tanggung jawab berdasarkan atas kesalahan (liability based on fault), tanggung jawab antara gabungan atau beberapa negara (joint and several liability) dan suatu pembebasan dari tanggung jawab (exoneration from liability). Empat macam bentuk pertanggungjawaban ini telah dijabarkan dalam Liability Convention 1972 dan dapat dikatakan merupakan inti dari Liability Convention. V. Daftar Pustaka BUKU BUKUU Agus Pramono, Dasar-dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) Bruce A. Hurwitz, State Liability for Outer Space Activites in Accordance with the 1972 Convention on Intenational Liability for Damage caused by Space Objects, (Martinus Nijhoff Publishers) E. Saefullah Wiradiprajaa dkk, Hukum Angkasa dan Perkembanganya, (Bandung: Remadja Karya, 1988) Juajir Sumardi, Hukum Ruang Angkasa (Suatu Pengantar), (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996) Priyatna Abdurrasyid, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space (Jakarta: Pusat Penelitian Hukum Angkasa, 1972) Treaty 1967, Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984) Vinod K. Lall, Danial Khemchand, Encyclopedia of International Law, (India: Anmol Publications, 1997) 11