BAB V PEMBAHASAN A. Analisis Data Univariat Usia responden merupakan salah satu karakteristik responden yang berkaitan dengan pengalaman dan daya berpikir seseorang, Semakin bertambah umur seseorang cenderung memiliki pengalaman yang banyak serta memiliki daya berpikir yang lebih positif dalam mengendalikan masalah. Bandura 1997 mengungkapkan bahwa self efficacy membuat individu untuk mampu menguasai situasi dan memproduksi hal positif. Schwarzer (2005) berpendapat bahwa dengan adanya self efficacy, individu akan lebih memilih latar belakang yang menantang serta menjelajahi lingkungan, individu yang mampu menguasai berbagai situasi akan mengetahui langkah-langkah untuk bertindak sehingga perlu menambah wawasan diri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang sedang menyelesaikan tugas akhir memiliki self efficacy rendah sebanyak 32 responden (64%), sedangkan 18 responden memiliki self efficacy yang tinggi (36%). Hasil penelitian ini secara umum, menunjukkan bahwa self efficacy yang dirasakan oleh mahasiswa D IV Bidan Pendidik UNS berada dalam kategori rendah. Hal ini berarti mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir kurang memiliki self efficacy. Berdasar tabel 4.1 diperoleh bahwa mayoritas mahasiswa D IV Bidan Pendidik memiliki usia 22 tahun dengan tingkat self efficacy paling banyak dalam kategori rendah, sedangkan
mahasiswa dengan usia di atas 22 tahun, hampir semua memiliki self efficacy tinggi. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya pengalaman yang lebih banyak dimiliki mahasiswa dengan usia di atas 22 tahun dibanding dengan mahasiswa dengan usia 22 tahun sehingga lebih mampu menguasai situasi. Berdasar hasil pengisian kuesioner responden, didapatkan bahwa mahasiswa D IV Bidan Pendidik UNS dengan self efficacy rendah, didominasi oleh aspek generality. Hasil tersebut disebabkan oleh karena mahasiswa merasa kurang mendapat dukungan dari dosen pembimbing dan teman, serta merasa dirinya kurang yakin dapat menyelesaikan tugas akhir sebelum batas akhir waktu yang telah ditentukan oleh akademik. Hal ini berkaitan dengan aktivitas lain yang menjadi salah satu kendala mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akhir. Namun, berbeda pada mahasiswa dengan self efficacy yang tinggi cenderung memiliki aspek strenght tinggi. Mereka berusaha meyakinakan diri untuk tidak mudah menyerah dalam memperbaiki dan menghadapi berbagai kendala dalam menyelesaikan tugas akhir. Penelitian yang berbeda mengenai tingkat self efficacy mahasiswa menunjukkan bahwa self efficacy mahasiswa berada paling banyak pada kriteria tinggi sebanyak 60 orang (56%) dan pada kriteria sedang sebanyak 47 orang (44%), penelitian ini diungkapkan oleh Rizky (2014). Meskipun demikian, perbedaan tingkat self efficacy ini tidak menjadi masalah, karena tingkat self efficacy pada masing-masing individu tidak selalu sama meski pada beban tugas yang sama.
Tingkat self efficacy ini sesuai dengan pernyataan yang disebutkan Bandura (1997) bahwa self efficacy seseorang akan meningkat atau menurun tergantung sifat tugas yang dihadapi, penghargaan, peran sosial, dan informasi positif atau negatif tentang diri seseorang sehingga dapat menimbulkan tingkat self efficacy yang berbeda pada masing-masing individu. Menurutnya, keyakinan akan kemampuan diri individu dapat bervariasi pada masing-masing dimensi (level, generality, strenght) (Feist, 2011). Alwisol (2009) sependapat bahwa self efficacy dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan melalui salah satu atau kombinasi dari empat sumber, yakni pengalaman menguasai sesuatu prestasi yang telah dicapai di masa yang telah lalu (performance accomplishment), pengalaman vikarius (vicarious experience) yang diperoleh melalui model sosial, persuasi sosial (social persuation) yang menyebabkan adanya rasa percaya kepada pemberi persuasi, dan pembangkitan emosi (emotional physiological states). Sejalan dengan Locke dan Hanne yang mengungkapkan bahwa self efficacy berkaitan dengan keyakinan individu tentang kapasitas total yang dimilikinya dalam menyelesaikan suatu tugas (Indrastuti, 2012). Self efficacy yang kuat mendorong seseorang berusaha keras dan optimis memperoleh hasil positif atau keberhasilan. Berdasar tabel 4.3 megenai distribusi frekuensi tingkat stres mahasiswa menunjukkan bahwa reaksi fisik dan psikologis yang diakibatkan stressor berbeda pada setiap mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir. Sebagian besar responden mengalami stres sedang yaitu sebanyak 29
responden (58%), 20 responden (40%) mengalami stres dalam kategori ringan dan 1 responden (2%) mengalami stres dalam kategori berat. Hal ini berarti bahwa 2% dari keseluruhan responden merasakan tekanan yang kuat selama menyelesaikan tugas akhir. 58% responden merasakan tekanan dalam menyelesaikan tugas akhir, namun tidak terlalu kuat, dan 40% responden menganggap tugas akhir tidak memberikan dampak yang berarti terhadap dirinya. Mahasiswa dengan tingkat stres sedang sebagian besar memeroleh skor yang didominasi oleh indikator reaksi berlebihan, tegang, dan sulit mentolerir gangguan. Hal ini dapat disebabkan oleh karena mahasiswa menganggap bahwa tugas akhir merupakan tantangan terbesar dalam tugas akademik yang harus diselesaikan sehingga menimbulkan respon fisiologis yang berlebih seperti merasakan jantung berdebar lebih cepat dari biasanya ketika menghadapi ujian validasi proposal dan ujian hasil penelitian. Selain itu, mahasiswa sering merasa gemetar, akral dingin, dan merasa kurang nyaman saat melakukan bimbingan tugas akhir. Hal tersebut dapat terjadi setiap mahasiswa melakukan bimbingan tugas akhir paling sedikit satu minggu satu kali bimbingan. Hasil penelitian ini didukung oleh teori dari Lovibond yang menyatakan bahwa stres sedang, dialami ketika gejala stres seperti berlebihan terhadap suatu situasi, tegang, tidak mampu untuk bersantai, sensitif, mudah marah, mudah terkejut, gelisah dan tidak toleran terhadap gangguan atau keterlambatan terkadang dialami oleh pelajar (Lovibond, 2010).
Selanjutnya mahasiswa dengan tingkat stres ringan ini sebagian besar merasa tidak memiliki banyak ide untuk mengatasi kesulitan saat menyusun tugas akhir, dan merasa sulit bernapas ketika revisi tugas akhir mahasiswa ditolak oleh dosen pembimbing sehingga membuat mahasiswa merasa takut tanpa alasan yang jelas untuk melakukan bimbingan selanjutnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Psychology Foundation of Australia (2010) bahwa stres ringan dapat terjadi beberapa menit atau jam dengan gejala kesulitan bernapas (sering terengah-engah), merasa goyah, takut tanpa alasan yang jelas, dan merasa lega jika situasi berakhir. Berikutnya adalah mahasiswa dengan tingkat stres berat disebabkan oleh karena adanya perselisihan antara mahasiswa dengan dosen pembimbing yang terjadi setiap kali bimbingan tugas akhir sehingga mengakibatkan mahasiswa mengalami sakit fisik pada beberapa waktu. Situasi seperti ini menurunkan keyakinan mahasiswa terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan tugas akhir. Stres berat dapat terjadi dalam beberapa minggu dengan gejala tidak kuat lagi melakukan suatu kegiatan, merasa tidak ada harapan masa depan, sedih dan tertekan, merasa tidak berharga, putus asa, dan berpikir bahwa hidup tidak bermanfaat (Psychology Foundation of Australia, 2010). Fika Scarfi (2014) mengungkapkan hasil penelitian yang serupa tentang Pengaruh Self Efficacy dan Dukungan Sosial Terhadap Tingkat Stres pada Mahasiswa Tingkat Akhir di Universitas Andalas yang menunjukkan bahwa secara umum stres yang dialami oleh mahasiswa yang sedang menyelesaikan
skripsi di Universitas Andalas berada pada kategori sedang, dan terdapat pengaruh yang signifikan self efficacy dan dukungan sosial terhadap stres mahasiswa. Namun, self efficacy hanya memberikan sedikit pengaruh terhadap stres mahasiswa. Menurut Sarafino dan Timothy (2012), stres terjadi karena persepsi yang tidak akurat antara tuntutan lingkungan dan sumber daya yang sebenarnya. Hal ini berarti bahwa setiap orang akan merasakan tekanan yang berbeda dari stressor yang sama. Farber menyatakan bahwa stres terjadi ketika ada ketidakseimbangan yang besar antara tuntutan lingkungan dan kemampuan respon individu (Weafer, 2000). Mahasiswa sering mengalami tuntutan di lingkungan akademik terkait dengan proses menyelesaikan tuntutan akademik seperti kemampuan menyelesaikan tugas mata kuliah, ujian semester, tugas akhir dan kemampuan menjalankan kewajibannya sebagai mahasiswa. Tuntutan tersebut dapat menimbulkan tekanan yang dapat menjadi pemicu terjadinya stres pada mahasiswa di lingkungan akademik (Kalat, 2013). Farber mengungkapkan bahwa apabila mahasiswa mengalami tuntutan yang banyak dari lingkungan namun ia tidak menganggap tuntutan yang ada di lingkungannya sebagai ancaman untuknya, maka ia tidak akan merasakan tekanan yang kuat. Sebaliknya jika mahasiswa mengalami tuntutan yang banyak dari lingkungan kemudian ia menganggap tuntutan yang ada di lingkungan sebagai ancaaman, maka ia akan merasakan tekanan yang kuat (Weafer, 2000).
B. Analisis Data Bivariat Hasil penelitian mengenai tabel silang pada tabel 4.4 menunjukkan korelasi antara dua variabel dengan hasil responden yang memiliki tingkat self efficacy rendah paling banyak mengalami stres sedang sebanyak 23 responden (46%), stres ringan sebanyak 8 responden (16%), dan stres berat 1 responden (2%). Selanjutnya, self efficacy dalam kategori tinggi mayoritas responden mengalami stres ringan sebanyak 12 responden (24%), sedangkan responden yang mengalami stres sedang sebanyak 6 responden (12%), dan tidak ada responden dengan stres berat. Berdasar data tersebut di atas berarti bahwa reaksi psikologis yang diakibatkan oleh penyusunan tugas akhir berbeda pada setiap mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir. Stres yang dialami oleh mahasiswa D IV Bidan Pendidik UNS dengan self efficacy rendah sebagian besar berada pada kategori sedang, artinya mahasiswa yang kurang yakin terhadap kemampuannya, maka dapat mengahambat penyusunan tugas akhir. Selanjutnya mahasiswa dengan self efficacy tinggi mengalami tingkat stres yang ringan. Hal ini menjelaskan bahwa mahasiswa cenderung mengalami dorongan yang kuat untuk meyakini kemampuannya dalam menyelesaikan tugas akhir sehingga tidak menganggap tugas akhir sebagai tekanan atau tuntutan yang kuat terhadap dirinya. Hasil analisis data pada tabel 4.5 diperoleh nilai p-value = 0,002 dan koefisien korelasi (r) sebesar -0,427. Nilai tersebut menunjukkan bahwa p < 0,05 artinya hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima
yaitu ada pengaruh yang signifikan self efficacy terhadap tingkat stres tugas akhir mahasiswa D IV Bidan Pendidik UNS. Selanjutnya, nilai koefisien korelasi menunjukkan arah negatif dengan kekuatan sedang sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi self efficacy, maka semakin rendah tingkat stres, dan sebaliknya semakin rendah self efficacy, maka semakin tinggi tingkat stres. Self efficacy dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya pengalaman terdahulu, modeling sosial, persuasi sosial, serta kondisi fisik dan emosional. Hal-hal yang memengaruhi self efficacy ini mendorong aspek-aspek self efficacy (General, Level/Magnitude, dan Strenght) menghasilkan dampak self efficacy yaitu berupa tingkat self efficacy yang dimiliki oleh mahasiswa D IV Bidan Pendidik UNS yang dapat memengaruhi tingkat stres mahasiswa. Adapun tingkat stres mahasiswa dipengaruhi oleh beberapafaktor lain yaitu pengalaman terdahulu, perkembangan diri, kemampuan kontrol, dukungan sosial, dan karakteristik diri yang dapat menimbulkan dampak tingkat stres berupa gangguan fisik dan psikologis. Hasil penelitian serupa juga diungkap Utami (2015) tentang Hubungan Antara Self efficacy dengan Stres Akademik pada Siswa Kelas XI di MAN 3 Yogyakarta yaitu ada hubungan negatif dan signifikan antara Self efficacy dengan stres akademik pada siswa kelas XI di MAN 3 Yogyakarta. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien korelasi (r) sebesar -0,495 dan p = 0.000 (p<0,05), artinya semakin rendah Self efficacy maka semakin tinggi stres akademik, dan sebaliknya semakin tinggi Self efficacy maka semakin rendah
stres akademiknya. Sumbangan efektif dari Self efficacy terhadap stres akademik sebesar 24,5%, dengan demikian sumbangan sebesar 75,5% berasal dari faktor lain. Luis (2016) dalam penelitiannya The Evolution of Academic Self Efficacy and Academic Stress on The University Students in Mexico juga mengungkapkan bahwa ada hubungan negatif yang bermakna antara self efficacy dan stres akademik pada mahasiswa. Mahasiswa di Mexico memiliki self efficacy dan stres akademik dalam kategori sedang. Sejalan dengan hasil penelitian Siska (2011) tentang Hubungan Self efficacy dengan Stres Mahasiswa yang sedang Mengerjakan Skripsi pada Mahasiswa UIN SUSKA Riau Pekanbaru dengan hasil analisis data menunjukkan r = - 0,678 (p=0.01), artinya terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara Self efficacy dengan stres mengerjakan skripsi, sehingga hipotesis dapat diterima. Koefisien determinasi (Rsq) yang diperoleh = 0,460 artinya sumbangan variabel Self efficacy terhadap stres dalam mengerjakan skripsi sebesar 46 %. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Luthans (2004) yang mengungkapkan bahwa self efficacy secara langsung mempengaruhi daya tahan terhadap stres sehingga orang dengan self efficacy rendah cenderung mengalami stres dan kalah karena mereka gagal, sementara orang dengan self efficacy tinggi memasuki situasi penuh tekanan dengan percaya diri dan kepastian dengan demikian dapat menahan reaksi stres. Macan juga menjelaskan bahwa self efficacy yang tinggi, akan mengurangi stres lebih baik (Lyrakos, 2012).
Self efficacy yang kuat mendorong seseorang berusaha keras dan optimis memperoleh hasil positif atau keberhasilan. Orang yang lemah atau self efficacy rendah memperlihatkan sikap tidak berusaha keras, karena pesimis untuk berhasil, sedangkan orang dengan self efficacy tinggi aktualisasi dirinya lebih optimal dibanding orang dengan self efficacy rendah. Self efficacy yang tinggi membantu individu untuk menyelesaikan tugas dan mengurangi beban kerja secara psikologis maupun fisik sehingga stres yang dirasakan pun kecil. Self efficacy mengacu pada keyakinan individu mengenai kemampuannya untuk memobilisasi motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan agar berhasil melaksanakan tugas dalam konteks tertentu (Luthans, 2005). Menurut Hangerhahn, mahasiswa perlu meningkatkan self efficacy agar segala yang diinginkan akan tercapai (Razak, 2006). Khan (2013) juga mengungkapkan mahasiswa yang yakin bahwa ia dapat menyelesaikan berbagai tuntutan di perguruan tinggi, dapat mempengaruhi dirinya mengatasi berbagai kendala dan tekanan yang datang ketika menjalankan peran sebagai mahasiswa. C. Keterbatasan Penelitian Peneliti tidak bisa mengendalikan variabel luar yang bisa berpengaruh terhadap hasil penelitian, yaitu faktor yang dapat memengaruhi tingkat stres selain faktor personal diri (dukungan sosial, motivasi, dan persuasi sosial).