8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2008. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian
9 3.2. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian adalah satwa reptil, vegetasi yang ada di lokasi penelitian, lem perekat, umpan dan alkohol. Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu : Peta Rupabumi Indonesia Lembar 2114-41 Langko dan Lembar 2014-62 Kulawi untuk menentukan jalur pengamatan. Kompas untuk menentukan arah. Pita meter untuk mengukur diameter vegetasi dan mengukur panjang Snout to Vent Length (SVL) spesimen reptil dari sub ordo Serpentes. Jangka Sorong untuk mengukur SVL dari spesimen reptil dengan ukuran tubuh yang relatif kecil. Jam sebagai alat penunjuk dan pengukur waktu. Kamera foto untuk merekam foto dari spesimen dan kondisi habitatnya. Kantong spesimen untuk menaruh spesimen reptil sementara. Tongkat sebagai alat bantu menangkap ular. Sumpit dan peluru sebagai alat bantu untuk menangkap reptil di pohon yang tinggi. Panduan identifikasi lapangan untuk membantu dalam mengidentifikasi spesimen reptil yang ditemukan. Daftar isian lapangan merupakan alat untuk merekap perjumpaan dengan satwa dan kondisi lingkungannya selama dilapangan. Alat tulis. Global Positioning Sytem Receiver merk Garmin tipe 76 dan 76 CSx untuk mengetahui dan menandai lokasi penelitian serta lokasi ditemukannya spesimen reptil. Perangkat lunak ArcView GIS 3.3, Erdas Imagine 9.1, Global Mapper v11, G7towin, Erdas Er Mapper v6.4, Microsoft Office 2010, dan Adobe Photoshop CS3. Perangkat komputer beserta kelengkapannya (Monitor, Mouse, dan Keyboard).
10 3.3. Pengumpulan Data 3.3.1. Data Primer Data primer diperoleh dari hasil pengamatan langsung di lapangan dan data yang berkaitan langsung dengan penelitian yang didapat dari internet maupun perpustakaan. Data primer yang dikumpulkan terdiri atas : a. Peta tipe habitat, peta kontur, dan peta jaringan sungai di lokasi penelitian. b. Karakteristik habitat, meliputi struktur, komposisi, dan tipe vegetasi serta kelembaban realatif lokasi yang menjadi habitat reptil. c. Data reptil meliputi nama spesies, jumlah spesies, substrat tempat ditemukannya reptil, aktifitas saat ditemukan, posisi vertikal dan horizontal, waktu perjumpaan, serta koordinat posisi ditemukannya spesies reptil. 3.3.2. Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan berupa kondisi umum lokasi penelitian dan pustaka mengenai spesies reptil yang ada di TNLL serta informasi mengenai spesies reptil melalui wawancara dengan masyarakat lokal di lokasi penelitian. 3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Peta Peta tipe habitat didapatkan dari hasil proses klasifikasi citra satelit TNLL. Citra satelit TNLL didapat dari internet melalui web http://www.glovis.usgs.gov. Citra Landsat 7 ETM sejak akhir bulan Mei 2003 memiliki garis (stripping) pada tampilannya. Oleh karena itu, Citra Landsat yang diunduh dari internet terdiri dari dua seri tahun yang berbeda. Citra yang diunduh adalah citra Lansat 7 ETM SLC- OFF path 114 row 061 tertanggal 27 Agustus 2008 dan Landsat ETM SLC-ON tertanggal 24 Agustus 2001 pada Path dan Row yang sama. Garis (gap) yang ada pada citra tahun 2008 diisi dengan citra tahun 2001. Metode pengisian garis pada citra Landsat 7 ETM SLC-OFF mengacu pada Raharjo (2009) di http://www.raharjo.org. Bagan alir tahapan pengolahan citra Landsat guna pembuatan peta tipe habitat dapat dilihat pada gambar 2. Untuk
11 keperluan klasifikasi tipe habitat digunakan kombinasi band 543. Klasifikasi tipe habitat menggunakan metode supervised clasification mengacu pada Dougherty (2001). Gambar 2 Tahapan pembuatan peta tipe habitat.
12 Peta jaringan jalan dan Peta Tata Batas Kawasan didapat dari Balai Besar TNLL. Peta kontur dibuat dengan menggunakan data ASTER GTM S02E119 dan S02E120. Data ASTER GTM merupakan data bereferensi ketinggian. Bagan alir tahapan pembuatan peta kontur dengan menggunakan data ASTER GTM dapat dilihat pada gambar 3. Peta jaringan sungai diperoleh dengan dijitasi Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar 2114-41 Langko dan Lembar 2014-62 Kulawi. Bagan alir tahapan pembuatan peta jaringan sunga di lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 3. Geo reference Gambar 3 Tahapan pembuatan peta kontur dan peta jaringan sungai. 3.4.2. Analisis Vegetasi Untuk mengetahui struktur dan komposisi spesies vegetasi dilakukan dengan cara analisis vegetasi yang dilakukan dengan cara sampling pada lokasi penelitian. Metode yang digunakan adalah metode garis berpetak dengan lebar jalur 20 m dan panjang jalur 200 m. Jumlah plot yang digunakan sebanyak 10 plot
13 pengamatan atau disesuaikan dengan kondisi di lokasi pengambilan data. Penentuan jumlah, lebar, dan panjang jalur juga disesuaikan dengan kondisi di lokasi pengambilan data. Desain plot transek metode garis berpetak dapat dilihat pada gambar 4. Gambar 4 Desain jalur analisis vegetasi. 3.4.3. Data Reptil Metode pengumpulan data reptil yang digunakan adalah metode survey perjumpaan visual (visual encounter survey, yang disingkat VES). Metode ini menggunakan batasan waktu dalam pengaplikasiannya. Desain yang digunakan adalah garis transek. Tehnik pencatatan spesies reptil yang digunakan yaitu tehnik aktif dan pasif. Tehnik aktif yaitu pengamat berjalan pada suatu area dengan waktu yang terukur dalam lamanya pengamatan. Secara aktif pengamat melakukan pencarian terhadap keberadaan individu-individu spesies reptil. Pencarian dapat difokuskan pada daerah tertentu seperti batang pohon, tumpukan kayu kering, tumpukan batu, onggokan rumput dan serasah. Hal ini karena satwa reptil sering berada didaerah tersebut (Bennet 1999). Desain transek, arah berjalan dalam area transek, dan arah pergerakan pengamat terhadap posisi datangnya cahaya matahari mengacu kepada DFID (2002) dapat dilihat pada gambar 5. Gambar 5 Desain transek dalam pengambilan data reptil.
14 Pengamat berjalan secara acak diantara batang pohon, tumpukan kayu lapuk, atau bebatuan dan mencari keberadaan satwa reptil. Posisi pengamat diusahakan membelakangi arah datangnya cahaya matahari. Pada jalur transek yang mengikuti aliran sungai maka pengamat berjalan dari hilir menuju arah hulu sungai. Tehnik pasif menggunakan jebakan untuk mendapatkan data spesies reptil pada suatu tipe habitat. Jebakan yang digunakan berupa jebakan menggunakan perekat (lem). Jebakan dibuat pada suatu lokasi yang diindikasikan sebagai jalur mobilitas reptil atau merupakan area berjemurnya reptil pada siang hari. Penentuan lokasi penempatan jebakan berdasarkan survei awal pada suatu trip pengamatan. Contoh desain jebakan dapat dilihat pada gambar 6. Supaya jebakan lebih efektif dan mengundang reptil untuk terjebak maka ditempatkan umpan didalamnya. Gambar 6 Jebakan dengan menggunakan perekat. Umpan yang diletakkan pada jebakan juga berfungsi untuk menjebak satwa mangsa reptil yaitu serangga. Kedatangan serangga yang kemudian melekat pada jebakan akan mengundang satwa reptil untuk mendatangi untuk memakan serangga yang terjebak. 3.5. Analisis Data 3.5.1. Analisis Tipe Habitat Tipe penutupan di lokasi penelitian dibedakan menjadi tiga tipe sesuai dengan tipe habitatnya. Ketiga tipe habitat tersebut adalah tipe habitat hutan, kebun, dan daerah peralihan antara hutan dan kebun. Data hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif guna menggambarkan kondisi habitat bagi tiap tipe penutupan lahan.
15 3.5.2. Analisis Vegetasi Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan dominansi suatu spesies vegetasi pada suatu tipe habitat. Dominansi dapat dilihat dari nilai Indeks Nilai Penting yang diperoleh dari penjumlahan nilai kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR). Persamaan yang digunakan adalah (Oasting 1948, diacu dalam Alikodra 2002) : Hasil analisis vegetasi pada tiap tipe habitat akan dideskripsikan guna mendukung penjabaran kondisi habitat tersebut. 3.5.3. Analisis Data Keanekaragaman Spesies Reptil Kekayaan spesies reptil di lokasi penelitian akan ditabulasikan sebagai keanekaragaman tingkat gamma untuk keseluruhan lokasi penelitian secara umum. Keanekaragaman gamma yaitu nilai keragaman dari suatu lanskap yang terdiri dari gabungan beberapa habitat yang homogen. Kekayaan spesies pada masing-masing tipe habitat diukur dengan membandingkan indeks kekayaan spesies yang dihitung dengan persamaan : Indeks Menhinick (Dmn) = S N
16 S N = Jumlah jenis pada tipe habitat i = Jumlah total individu yang teramati pada tipe habitat i S-1 Indeks Margalef (Dmg) = Ln N S = Jumlah jenis pada tipe habitat i N = Jumlah total individu yang teramati pada tipe habitat i Ln = Logaritma natural Keanekaragaman spesies pada masing-masing tipe habitat diukur menggunakan Indeks Shannon-Wiener dengan persamaan sebagai berikut : H = indeks diversitas Shannon ni = Jumlah invidu jenis ke-i N = Jumlah semua individu pada suatu tipe habitat Ln = Logaritma natural Derajat kemerataan kelimpahan individu antar setiap spesies ditunjukkan dengan konsep eveness. Ukuran kemerataan dapat digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi diantara setiap spesies dalam dalam suatu komunitas (Santosa 1995). Apabila setiap spesies memiliki jumlah individu yang sama, maka komunitas tersebut memiliki derajat kemerataan yang maksimum. Nilai kemerataan dihitung dengan menggunakan persamaan : E = indeks kemerataan spesies H = indeks diversitas Shannon S = jumlah jenis yang ditemukan