18 IV. KONDISI UMUM 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo 4.1.1. Sejarah Kawasan Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo mulanya dikenal sebagai kawasan hutan langgam yang difungsikan sebagai Hutan Produksi terbatas untuk mencukupi kebutuhan bagi kayu industri dan kebutuhan kayu lainnya. Namun seiring berjalannya waktu dengan semakin hilangnya hutan, pada tahun 1980-an muncul permasalahan gajah karena kawasan hutan dibuka untuk kepentingan transmigrasi. Muncul konflik-konflik kepentingan satwa dengan manusia, karena gajah masuk kampung dan merusak lahan dan tanaman yang dimiliki masyarakat. Sejarah pembentukan Taman Nasional Tesso Nilo disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Sejarah pembentukan TNTN No Tahun Peristiwa 1 1984 Peningkatan gangguan gajah sehingga pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup mencadangkan habitat untuk gajah yang diantaranya di Tesso Nilo. (tidak terealisasi). 2 1992 Survey untuk Rencana Daerah Pengungsian Gajah dan Satwa Liar Lainnya di sebagian hutan Tesso Nilo oleh Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi Riau. Menteri Kehutanan pun mengusulkan hal yang sama (tidak terealisasi). 3 30 April 2001 Gubernur Riau kembali mengusulkan kawasan Tesso Nilo seluas 153.000 ha sebagai kawasan konservasi gajah dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, antara lain : 1. Bupati Pelalawan, surat No. 050/EK/IV/2001 tanggal 7 april 2001 dicabut kembali melalui surat No. 661/Bappeda/488 April 2001 2. Bupati Kampar, surat No. 50/EK/IV/200 tanggal 7 April 2001 3. DPRD Kuantan Singingi, surat No. 66/DPRD- KS/170/2001 tanggal 5 April 2001 4. DPRD Kabupaten Kampar, surat No. 170/124/DPRD/2001 tanggal 7 April 2001 5. DPRD Kabupaten Pelalawan, surat No.66/DPRD/IV/2001 Tanggal 16 april 2001 6. DPRD Propinsi Riau, surat No. 446/2001-4/UM/246 tanggal 6 April 2001
19 Tabel 2 Lanjutan No Tahun Peristiwa 4 17 September 2001 Kepala Badan Planologi Departemen Kehutanan melalui surat No. 650/VII-Set/2001 memberikan dukungan bagi langkah-langkah yang dilakukan oleh Gubernur Riau Sehingga kemudian dilakukan pertemuan antara Dirjen PHKA, Badan Planologi Kehutanan, Pemerintah Daerah Provinsi, Dinas Kehutanan Provinsi dan BKSDA Riau. 5 31 Juli 2002 Gubernur Riau menerbitkan surat No. 522.51/EK/1678 yang mendukung kawasan Tesso Nilo sebagai areal konservasi gajah dengan sistem pengelolaan bersama dengan kegiatan HPH. 6 25 Agustus 2003 Menteri Kehutanan mengeluarkan SK No. 282/Kpts- II/2003 tentang pencabutan ijin areal PT Inhutani IV dan meminta Gubernur Riau persiapan penunjukan kawasan hutan Tesso Nilo sebagai kawasan konservasi gajah. 7 2004 Menteri Kehutanan menunjuk Tesso Nilo sebagai Taman Nasional dengan kawasan yang sebelumnya berada pada areal PT Inhutani IV, melalui surat keputusan No.255/Menhut-II/2004 tentang perubahan fungsi sebagian kawasan Hutan Produksi Terbatas di kelompok Hutan Tesso Nilo yang terletak di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu Propinsi Riau seluas 38.576 Hektar. 8 2009 Perluasan TNTN melalui surat keputusan No. SK.663/Menhut-III/2009 tentang Perubahan fungsi Sebagian Kawasan Hutan Produksi Terbatas Kelompok Hutan Tesso Nilo seluas 44.492 Hektar yang terletak di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau menjadi Taman Nasional sebagai Peluasan Taman Nasional Tesso Nilo. Sehingga luasan TNTN menjadi 83.068 Hektar. 4.1.2. Keanekaragaman Hayati 1. Ekosistem Penyusun Secara umum penyebaran dari formasi vegetasi di kawasan Tesso Nilo dibagi dalam beberapa tipe hutan yaitu : a. Hutan Dataran Rendah Lahan Kering yang terbuka b. Hutan Dataran Rendah Lahan Kering yang kanopi hutannya lebih tertutup c. Hutan Rawa Dataran Rendah (lahan basah) yang terbuka d. Hutan Rawa Dataran Rendah dengan kanopi relatif tertutup e. Bukaan hutan untuk perkebunan sawit Masyarakat (small holder palm oil) f. Kawasan eks penanaman HTI Akasia
20 2. Flora Sebuah studi yang komperatif yang dilakukan oleh Gillison (2001) menunjukkan bahwa hutan dataran rendah Tesso Nilo, Riau memiliki keanekaragaman spesies tumbuhan vaskular tertinggi di dunia sebanyak 218 spesies. Metode pencatatan yang dilakukan mengindikasikan bahwa tidak ada daerah lain di dunia ini yang memiliki keanekaragaman tumbuhan selain di Tesso Nilo. Secara umum kondisi habitat di kawasan ini cukup baik dengan penutupan vegetasi lebih dari 90 %, umumnya ditumbuhi jenis kempas (Kompassia malaccensis), keranji (Dialium platysepalum), durian burung (Durio lanceolatus), medang (Litsea resinosa), rengas (Gluta rengas), meranti (Shorea sp.), bintangur (Calophyllum macrocarpum) dan beberapa jenis lainnya. 3. Fauna Untuk jenis fauna, penelitian LIPI tahun 2003 pernah mencatat keanekaragaman jenis fauna dimana mereka menjumpai 34 jenis mamalia, 18 jenis berstatus dilindungi undang-undang, 16 jenis rawan punah (IUCN 2009). Hasil metode tangkap lepas dengan jaring kabut, pengamatan tambahan dan wawancara mencatat 107 jenis burung dari 27 famili, termasuk diantaranya terdapat 16 jenis burung langka dan dilindungi dan 33 jenis Herpetofauna. 4.1.3. Keadaan Sosial, Ekonomi dan Budaya 1. Statistik Kependudukan a. Demografi Jumlah penduduk di Desa Lubuk Kambang Bunga adalah 3953 orang (Monografi Desa Lubuk Kembang Bunga 2012), sedangkan jumlah penduduk di Desa Air Hitam sejumlah 2142 orang (Monografi Desa Air Hitam 2012). b. Pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat desa sekitar kawasan TNTN relatif masih rendah. Hampir sebagian besar penduduk hanya berpendidikan SD atau tidak Tamat SD. Hal ini disebabkan karena kurang mampu untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi dan dipengaruhi oleh keterbatasan fasilitas pendidikan di desa dan jauhnya akses menuju fasilitas tersebut. Faktor lain yang juga sangat mempengaruhi adalah rendahnya dorongan orang tua pada anaknya
21 untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Monografi Desa Lubuk Kembang Bunga 2012; Monografi Desa Air Hitam 2012). c. Mata Pencaharian Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan sektor dominan yang berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian masyarakat desa di sekitar TNTN adalah sektor perkebunan seperti kelapa sawit dan karet, dan lainnya. Sebagian kecil masyarakat desa-desa di pinggiran sungai memiliki mata pencaharian sebagai nelayan pencari ikan di sungai sekitar permukiman mereka. Kegiatan berternak sapi dan kerbau serta memelihara ayam juga dijumpai di sejumlah desa, tetapi umumnya masih kurang berkembang. Cara berternak sapi misalnya secara umum masih dilakukan dengan sistem dilepas dan biasanya memang belum dijadikan andalan pendapatan keluarga. Sektor lainnya antara lain pegawai negeri, buruh harian dan karyawan perusahaan. Sumber mata pencaharian lain yang cukup menghasilkan yaitu pemanenan madu lebah hutan. 2. Kondisi Sosial Budaya a. Tipologi Desa dan Suku Suku - Tipologi desa asli dengan ciri-ciri utamanya mayoritas penduduk desa adalah penduduk tempatan atau penduduk asal setempat yang mengklaim diri secara umum sebagai suku bangsa Melayu Riau. Sebagian besar desa ini merupakan desa-desa tua. Namun demikian ditemukan juga adanya desa-desa asli dengan riwayat pembentukannya relatif baru sebagai hasil ekspansi penduduk tempatan (BTNTN, 2010) - Tipologi desa transmigrasi dengan ciri-ciri utamanya mayoritas penduduk desa terdiri dari warga transmigran asal Pulau Jawa. Sebagai desa yang dibentuk secara resmi oleh pemerintah menjadi desa permanen, dengan sendirinya warga desa-desa transmigrasi ini juga telah menjadi penduduk permanen. Program transmigrasi ini merupakan program nasional sejak tahun 1970an, dan umumnya keluarga kaum transmigran tersebut telah memiliki 2-3 generasi. - Tipologi desa campuran dengan ciri-ciri utama komposisi penduduknya terdiri atas beragam latar belakang suku bangsa yang merupakan campuran
22 antara penduduk yang berasal dari desa-desa asli sekitarnya yaitu suku Melayu Riau dan penduduk pendatang yang berasal dari Batak, Jawa, Nias, Minangkabau dan lain-lain. Desa-desa tipologi ketiga ini umumnya berdiri lebih akhir dibandingkan desa-desa dari kedua tipologi desa lainnya. Desadesa campuran ini umumnya berdiri melalui proses transmigrasi swakarsa yang mengikuti berlangsungnya pembukaan hutan dan lahan yang telah meningkat sangat pesat di kawasan ini di era akhir tahun 1970an dan 1980an. b. Sistem Organisasi Sosial Kehidupan masyarakat desa sekitar kawasan hutan Tesso Nilo perlu dipahami dari sudut pandang sosial budaya yang meliputi sistem organisasi sosial tradisional masyarakat desa sekitar kawasan ini. Apabila merujuk pada pembagian sosio-kultural masyarakat tempatan, desa-desa sekitar kawasan hutan Tesso Nilo dapat pula dibagi ke dalam desa-desa yang mengikuti sistem perbathinan adat Melayu Petalangan, Gunung Sahilan dan Logas. Struktur keluarga dalam masyarakat desa-desa tempatan di sekitar kawasan Tesso Nilo memperlihatkan gabungan antara sistem patrilineal dengan sistem matrilineal. Pada masyarakat desa-desa dengan sistem perbathinan, pengaruh sistem patrilineal agak lebih menonjol dibandingkan pada masyarakat desa-desa yang menganut sistem kepenghuluan. Kenyataannya pada banyak desa sekitar kawasan Tesso Nilo pengaruh sistem organisasi sosial dan kepemimpinan tradisional umumnya semakin memudar. Bahkan ada sejumlah desa yang sebenarnya sistem organisasi sosialnya tidak lagi dapat dikategorikan ke dalam sistem organisasi sosial berbasis kebudayaan penduduk asli. Hal ini terutama dapat dijumpai pada sebagian besar desa-desa bentukan baru melalui transmigrasi yang diprakarsai oleh pemerintah maupun betuk transmigrasi swakarsa. Desa-desa ini biasanya mayoritas berpenduduk pendatang dengan tipologi desa transmigrasi dan desa campuran. 4.1.4. Permasalahan Kawasan Berdasarkan analisis permasalahan (BTNTN 2010) dijabarkan beberapa permasalahan pokok sebagai berikut :
23 1. Data dan Informasi Belum Lengkap untuk Pengelolaan Sebagai taman nasional yang baru ditetapkan pada 2004 dan memiliki unit pengelolaan pada tahun 2007 ketersediaan data base dan informasi penting tentang potensi dalam kawasan masih sangat minim untuk kepentingan pengelolaan. 2. Rendahnya Ekonomi Masyarakat sekitar TNTN Desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNTN umumnya adalah masyarakat petani yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian/perkebunan serta hasil hutan. Degradasi hutan yang terjadi pada kawasan yang berdekatan dengan desa-desa tersebut mengindikasikan interaksi yang kuat masyarakat dengan hutan yang didorong oleh rendahnya perekonomian 3. Pembalakan Liar Akses ke dalam kawasan yang sangat terbuka memicu pembalakan liar mudah terjadi di dalamnya. Pembalakan yang dilakukan bukan merupakan tujuan akhir, karena tujuan utamanya adalah untuk membuka lahan perkebunan sawit. Pembalakan muncul akibat tingginya permintaan kayu, rendahnya pengawasan dan penegakan hukum dan kemiskinan masyarakat sekitar kawasan. 4. Perambahan dan Pemukiman dalam Kawasan Katergantungan masyarakat terhadap kawasan dibuktikan dengan terjadinya perambahan untuk tempat bermukim dan berusaha. Perambahan menunjukkan trend peningkatan dari tahun ke tahun yang disebabkan karena tidak adanya kontrol terhadap keluar masuknya penduduk suatu desa. 5. Kebakaran Hutan Kebakaran yang terjadi seringkali merupakan akibat dari kegiatan pembukaan lahan dengan cara dibakar. Kebakaran hutan dapat berakibat berkurangnya biodiversitas dalam kawasan dan mengganggu kehidupan satwa liar dalam kawasan. 4.2. Asosiasi Petani Madu Tesso Nilo (APMTN) Madu hutan merupakan komoditas yang selama ini dimanfaatkan
24 oleh masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Tesso Nilo untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap produk dan untuk memenuhi keinginan konsumen pada produk yang lebih baik maka dibentuklah APMTN. APMTN merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh para petani madu dengan inisiasi dari pihak Taman Nasional Tesso Nilo dan WWF- Riau Programme. Tujuan terbentuknya APMTN adalah untuk mewadahi para petani madu dalam pemanfaatan sumber daya alam madu hutan yang selama ini masih kesulitan dalam meluaskan cakupan pemasaran akibat mutu dan kualitas produk yang belum sesuai dengan keinginan konsumen dalam jangkauan yang lebih luas yaitu terstandarisasi pada mutu dan higienitas.