PENGETAHUAN LOKAL PEMANENAN MADU HUTAN TESSO NILO BIDHIN LINTANG ANGGRAHENI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGETAHUAN LOKAL PEMANENAN MADU HUTAN TESSO NILO BIDHIN LINTANG ANGGRAHENI"

Transkripsi

1 PENGETAHUAN LOKAL PEMANENAN MADU HUTAN TESSO NILO BIDHIN LINTANG ANGGRAHENI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengetahuan Lokal Pemanenan Madu Hutan Tesso Nilo adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Oktober 2012 Bidhin Lintang Anggraheni NIM. E

3 ABSTRACT BIDHIN LINTANG ANGGRAHENI. Local Knowlegde on The Tesso Nilo Forest Honey Harvesting. Under supervised by ARZYANA SUNKAR and DIDIK SUHARJITO Forest honey is one of the potential non timber forest products and played an important commodity for the local communities. Forest honey utilization is an activity undertaken based as inherited livelihood as a form of local knowledge based on cultural values. This research was aimed to study (1) the local harvesting procedure for forest honey in Tesso Nilo National Park (TNNP); (2) the implication of the harvesting activity on the conservation of TNNP; (3) the effect of commercialization of forest honey on Tesso Nilo forest in term of its sustainability. Data were collected within the frame of qualitative approach using participatory observation and in-depth interviews with key informants comprising of forest honey farmers and other stakeholders, as well as supported through literature study. The results indicated that local knowledge supported the harvesting sustainability of forest honey as well as showed positive impacts on the conservation of biodiversity and TNNP. The commercialization of forest honey was positively influenced by harvesting process to produce a cleaner, more hygienic and environmentally friendly honey, although some changes on the local harvesting process must be made. Furthermore some of these changes during the process supports the conservation of the honey bee themselves. Key words: forest honey, local knowledge, commercialization, Tesso Nilo National Park

4 RINGKASAN BIDHIN LINTANG ANGGRAHENI. Pengetahuan Lokal Pemanenan Madu Hutan Tesso Nilo. Dibimbing oleh ARZYANA SUNKAR dan DIDIK SUHARJITO. Madu hutan merupakan HHBK potensial yang menjadi komoditas penting bagi masyarakat sekitar Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Provinsi Riau. Pemanfaatan madu hutan Tesso Nilo oleh masyarakat merupakan proses budaya sebagai bentuk aplikasi pengetahuan lokal yang dilakukan turun temurun. Madu hutan tersebut merupakan produk yang jumlahnya terbatas dan tergantung ketersediaannya dari alam. Meningkatnya permintaan terhadap produk madu yang berasal langsung dari alam menyebabkan terjadinya komersialisasi terhadap produk madu Tesso Nilo. Komersialisasi menyebabkan terjadinya peningkatan harga yang disertai dengan beberapa perubahan dalam tatacara panen dan prosesing produk. Keberadaan pohon sialang sebagai tempat lebah madu Apis dorsata bersarang yang berada dalam kawasan TNTN menjadikan penelitian ini penting dilakukan karena berkaitan dengan pengetahuan lokal masyarakat yang berada di sekitar TNTN dalam memanfaatkan sumber daya alam dalam kawasan. Lokasi penelitian adalah Desa Lubuk Kambang Bunga dan Desa Air Hitam Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan: 1) desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo, dan 2) penggunaan pengetahuan lokal dalam memanen madu hutan. Penelitian dilakukan selama bulan April sampai dengan Juni Kajian dilakukan dengan pendekatan kualitatif, dengan prosedur pengumpulan data melalui : (1) observasi partisipatif; (2) wawancara mendalam dengan informan dari kelompok petani madu yang dipilih berdasar convenience sampling, Kepala Desa, Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo, Tetua adat, Ketua APMTN, pihak dari Dewan Kesenian dan Dinas Pariwisata Kabupaten Pelalawan serta pihak terkait lainnya; dan (3) studi literatur. Keberadaan pohon sialang yang sudah dikenali sebagai tempat lebah madu bersarang merupakan aset berharga bagi yang menguasainya. Penguasaan ini terbagi atas penguasaan secara adat, pribadi dan kelompok. Penguasaan secara adat dilakukan pada jenis pohon Kruing/bao kaluang (Dipterocarpus spp) sedangkan jenis-jenis yang lain bisa dikuasai secara pribadi maupun kelompok. Adanya penguasaan terhadap sialang akan berpengaruh terhadap bagi hasil madu panenan, yang telah menjadi kesepakatan bersama. Pohon sialang yang menjadi penguasaan pribadi dan kelompok didapatkan melalui pencarian dalam hutan dengan menilainya berdasarkan tuah dan pertanda fisik berupa terdapatnya bekasbekas sarang. Tata cara pemanenan madu merupakan perwujudan dari sikap menghargai alam diantaranya terhadap pohon sialang juga lebah-lebah penghasil madu. Hal tersebut tercermin melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam memanen madu, upaya perlindungan yang dilakukan terhadap pohon sialang dan aturanaturan adat yang bersifat melindungi sialang beserta lingkungan di sekitarnya. Persiapan untuk pemanenan meliputi proses survei, pembagian tugas dan persiapan panen. Kemudian prosesi panen yang melalui tahapan menumbai, kaji,

5 dan pembacaan pertanda alam. Pada saat syarat-syarat dalam prosesi panen terpenuhi maka pada saat itu sialang boleh dipanjat untuk dipanen madunya. Pengolahan hasil panenan diawali dengan penyortiran kepala madu oleh juagan. Kepala madu dibersihkan dari tai masam/bee pollen untuk menjaga kualitas madu. Madu hutan Tesso Nilo dikenal sebagai madu hitam, karena secara umum madu yang dihasilkan cenderung kemerahan dan gelap. Madu akan lebih encer pada saat sarang masih baru, sedangkan sarang dengan larva yang sudah besar dan warna sarang sudah berwarna kehitaman, maka akan lebih kental dan semakin pekat warnanya. Petani madu mengenalnya dengan istilah sambang jalu. Bagi mereka madu tersebut lebih bagus dibanding yang lain, meskipun demikian tidak ada pembedaan dengan yang lain, hasil madu yang seperti itu tetap dicampur jadi satu. Penyortiran akan dilakukan lagi oleh peniris di bawah pohon sehingga dihasilkan madu yang bersih dari tai masam. Pemasaran madu hutan Tesso Nilo oleh petani madu dilakukan langsung kepada konsumen dan melalui APMTN (Asosiasi Petani Madu Tesso Nilo) untuk kepentingan ekspor ke Malaysia dan pembuatan madu dalam kemasan. Transfer pengetahuan tentang pemanfaatan madu hutan dilakukan secara turun temurun. Pemanjat akan menurunkan ilmunya pada anak, menantu atau kerabatnya sepersukuan yang bersedia untuk belajar dan bernyali untuk mampu memanjat pohon sialang. Proses memanjat sialang membutuhkan kemampuan untuk melakukan prosesi pemanenan secara adat sebagai suatu pengetahuan yang bagi masyarakat petalangan merupakan bagian dari tradisi lisan turun temurun, tunjuk ajar dalam memanfaatkan sumber daya alam. Proses pembelajaran akan dilakukan dengan mengikuti kegiatan yang dilakukan pemanjat saat memanen madu, memperhatikan, dan mengingat senandung yang dituturkan. Masuknya perkembangan baru dalam pemanenan madu mengakibatkan terjadinya pergeseran pengetahuan lokal masyarakat dalam memanfaatkan madu hutan. Pemanjat generasi muda sudah bersedia melakukan panen siang dengan pertimbangan jika menunggu tanggal bulan gelap maka hasil madu akan berkurang. Pemanfaatan madu hutan Tesso Nilo sudah dalam taraf komersialisasi disertai makin meningkatnya permintaan pasar terhadap produk madu yang alami dan organik. Untuk semakin memantapkan posisi harga dan kualitas produk tersebut maka dibentuklah Asosiasi Petani Madu Tesso Nilo (APMTN). Komersialisasi yang dapat dilakukan terhadap madu hutan Tesso Nilo tersebut menunjukkan besarnya produksi sekaligus juga permintaan yang tinggi terhadap produk. Organisasi APMTN memberikan pengaruh baru tentang proses mengolah madu secara lebih baik. Pohon-pohon sialang yang berada dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo merupakan potensi untuk menarik peran serta masyarakat berkontribusi pada pengelolaan taman nasional. Terusiknya pohon sialang karena terjadinya perambahan mampu mendorong masyarakat mewujudkan kepeduliannya pada taman nasional. Hubungan baik yang terjalin akan menjadikan keberadaan otoritas pengelola yang memiliki tupoksi sebagai kawasan perlindungan alam memungkinkan aset masyarakat lokal bisa lebih terjaga beserta segala bentuk pemanfaatan tradisionalnya dengan aturan yang telah disepakati. Kata Kunci : Madu Hutan, Pengetahuan Lokal, Komersialisasi, Taman Nasional Tesso Nilo

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 PENGETAHUAN LOKAL PEMANENAN MADU HUTAN TESSO NILO BIDHIN LINTANG ANGGRAHENI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

8 Judul Tesis : Pengetahuan Lokal Pemanenan Madu Hutan Tesso Nilo Nama : Bidhin Lintang Anggraheni NRP : E Program Studi : Konservasi Keanekaragaman Hayati Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc. Ketua Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

9 Penguji luar komisi pada ujian Tesis : Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M. ScF. Trop

10 PRAKATA Puji syukur kepada ALLAH SWT hingga pada akhirnya penulisan tesis yang menjadi syarat penyelesaian studi di Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati dapat terlaksana dengan baik. Penulisan tesis ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan selama bulan April-Juni Terselesaikannya studi penulis di Institut Pertanian Bogor dari awal hingga akhir tidak akan lepas dari komitmen banyak pihak yang sangat berperan memberikan bantuannya. Oleh karenanya terima kasih sebesarnya disampaikan kepada: 1. Suami terkasih, Luluk Permono S.Hut atas keikhlasan juga pengorbanannya memberikan sebagian besar waktu yang seharusnya merupakan kebersamaan dan pengabdian seorang istri, demi tugas dan cita-cita penulis. Iringan doa dan keridhaanmu menjadikan langkahku semakin ringan. 2. Anak-anakku tersayang, mas M. Dwipa Mahendra Permono dan gadis kecilku Khadija Sekar Kinasih, kerinduan teramat besar selalu untuk kalian. Terima kasih untuk lantunan doa-doa yang memperlancar semua pekerjaan bubu. 3. Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan RI, yang telah memberikan ijin dan beasiswa untuk terlaksananya pendidikan penulis di Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati. 4. Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc. dan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. selaku komisi pembimbing atas pencerahan, arahan, koreksi, dan saran yang sangat membantu dalam penyusunan tesis ini. 5. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi M.ScF. Trop selaku dosen penguji luar komisi yang telah berkenan menyumbangkan pemikiran demi kebaikan isi dari tesis ini. 6. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si selaku Ketua Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati (lama dan baru). 7. Keluarga Bantul, babeku Drs. H. Much Awali HA dan mamiku tersayang Hj. Sayidah, maafkan karena selalu merepotkan babe mami, dan terimakasih tak terkira untuk semua pengorbanan dan doa-doa babe mami yang selalu teriring disetiap langkah dalam hidup ririn. Masku M. Danang Anggoro, S.Si, M.Si. dan keluarga di Balikpapan dan Temanggung. 8. Keluarga Purwodadi, bapak Hadi Parjono, mbak Heni dan keluarga, mbak Iyoed dan keluarga, Piping dan keluarga. 9. Ichal selaku Ketua Asosiasi Petani Madu Tesso Nilo atas informasi dan kesediannya menjadi guide selama penelitian. 10. Masyarakat petani madu di Desa Lubuk Kambang Bunga dan Air Hitam yang berkenan berbagi informasi. 11. Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo untuk ijin tugas belajar, ijin penelitian dan kemudahan selama penelitian berlangsung.

11 12. Rekan-rekan di Balai Taman Nasional Tesso Nilo, khususnya crew inventarisasi sialang: Andi, Didin, Joni, Gobel dan Aming, Pak Iskandar dan rekan-rekan polhut, Santoso dan rekan-rekan evlap untuk data-datanya. 13. Semua rekan KKH 2010 atas kebersamaan penuh suka pun terselip duka ternyata mampu menjadi 2 tahun dalam masa hidup yang penuh warna dan memperkaya hati. The gank of sosialita (Mas Buday dan Ferdi), the gank of rumpies Ziara Valley (Mbak Lusi, Via, Mirta), Mbak Mina, Mbak Leni, Mbak Imas, Mbak Desi, Mas Parjoni, Mas Yarman, Mas Nyoto, Mas Ucup, Teguh, Cahyo, Septi, Hendra, Mas Ndog. 14. Bi Uum dan Pak Udin untuk support urusan konsumsi dan kelas KKH yang selalu bersih. 15. Semua pihak yang membantu terselesaikannya tesis ini. Besar harapan penulis karya ilmiah ini dapat memberikan sedikit pencerahan tentang perlunya pengelolaan kawasan konservasi dengan mengedepankan kepentingan masyarakat dalam bentuk penghargaan terhadap pengetahuan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya alamnya. Secara khusus semoga penelitian ini dapat berguna bagi upaya pengelolaan Taman Nasional Tesso Nilo terutama terkait dengan hubungannya bersama masyarakat sekitar kawasan. Bogor, Oktober 2012 Bidhin Lintang Anggraheni

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Oktober 1978 di Malang, Jawa Timur, merupakan anak bungsu dari dua bersaudara dari pasangan bapak Drs. H. Much Awali Hadi Atmojo dan ibu Hj. Sayidah. Pada tahun 1991 penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN Kebonwaris Pasuruan, tahun 1993 menamatkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Situbondo, dan tahun 1997 menamatkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Bantul Yogyakarta. Kemudian penulis diterima sebagai mahasiswa S-1 Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sejak bulan Juli 2005 sampai tahun 2008, penulis bekerja sebagai Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat di Jambi. Kemudian mengajukan mutasi ke Balai Taman Nasional Tesso Nilo di Riau dan bertugas sebagai Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan dari tahun Pada bulan Oktober 2010 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi S-2 melalui beasiswa Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... ii DAFTAR GAMBAR... iii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA Pengetahuan Lokal Komersialisasi Hasil Hutan Bukan Kayu Pengenalan Jenis Lebah Penghasil Madu... 7 III. METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Metode dan Teknik Pengumpulan Data Penentuan Informan Kebutuhan Data Pengumpulan Data Metode Analisis Data IV. KONDISI UMUM Taman Nasional Tesso Nilo Sejarah Kawasan Keanekaragaman Hayati Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Permasalahan Kawasan Asosiasi Petani Madu Tesso Nilo (APMTN) i

14 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengetahuan dan Penguasaan Pohon Sialang Pemanenan Madu Persiapan Pemanenan Prosesi Panen Hasil Panenan Pengolahan Hasil dan Kualitas Madu Pemasaran Madu Transfer Pengetahuan dan Perubahan Komersialisasi dan Adopsi Inovasi Produk Pemanenan Madu Hutan Tesso Nilo dan Implikasinya terhadap konservasi Dampak Pemanenan Madu Hutan Tesso Nilo terhadap Konservasi Kawasan TNTN SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN ii

15 DAFTAR TABEL Halaman 1. Data yang dikumpulkan Sejarah pembentukan TNTN Jenis-jenis pohon sarang lebah madu Penentuan bagi hasil panenan berdasarkan penguasaan pohon sialang Tahapan dalam persiapan pemanenan madu hutan Prosesi panen madu hutan Tahapan penirisan madu Komposisi kandungan madu Apis dorsata dan standar madu dalam SNI Perubahan tata cara panen dan prosesing produk Pemanenan madu hutan dan implikasi terhadap konservasi keanekaragaman hayati iii

16 DAFTAR GAMBAR Halamaan 1. Kerangka pemikiran Peta lokasi penelitian Pengenalan fisik pohon yang dipilih lebah untuk bersarang Tangga yang digunakan untuk memanjat sialang Prosesi memanjat pohon sialang Ilustrasi dan tampilan sialang yang dipanjat oleh juagan saat panen Susunan sarang lebah madu Apis dorsata iv

17 DAFTAR LAMPIRAN Halamaan 1. Peralatan dalam pemenenan madu hutan Peralatan pengurang kadar air dan produk akhir Komponen pembentukan harga madu hutan Tesso Nilo dan biaya pengiriman ke Malaysia v

18 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan penyedia berbagai sumber daya yang dibutuhkan manusia demi kelangsungan hidupnya. Secara tradisional manusia mengembangkan pemanfaatan hasil hutan secara lestari dan bijaksana, terbukti dengan sistem pengetahuan mereka yang bersumber pada nilai-nilai budaya, mampu bersifat lentur dalam menghadapi berbagai tantangan dan dapat bertahan dari generasi ke generasi (Adimiharja 2008). Keberadaan pengetahuan lokal semakin diperhatikan karena ternyata mampu memberikan kontribusi terhadap konservasi biodiversitas, spesies langka, kawasan yang dilindungi, proses ekologi dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan (Gadgil et al. 1993, Colding 1998, Johannes 1998, Alcorn 1989, Schmink et al. 1992, dalam Berkes et al. 2000). Sumberdaya hutan dalam bentuk produk hasil hutan dibagi menjadi dua, yaitu: Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Eksploitasi hasil hutan kayu dalam sejarahnya berperan besar terhadap terjadinya deforestasi dan penurunan biodiversitas, sehingga kemudian HHBK menjadi komoditas yang menjanjikan untuk dikembangkan. HHBK menguntungkan secara ekonomi, selain itu juga umumnya pemungutannya tidak menimbulkan kerusakan ekosistem hutan dan pemanenannya dilakukan secara gradual, sedikit demi sedikit, sehingga dapat mereduksi tingkat kerusakan hutan (Aliadi dan Djatmiko 1998). Pemanfaatan HHBK pada kawasan konservasi juga dapat menjadi strategi konservasi hidupan liar yang secara simultan bertujuan untuk mengurangi kemiskinan (Belcher dan Schreckenberg 2007; Gubbi dan Mac Millan 2008). Bahkan di India pengumpulan HHBK merupakan aktifitas legal yang dilindungi oleh negara bagi masyarakat yang menetap di dalam kawasan konservasi (Gubbi dan Mac Millan 2008). Pemanfaatan HHBK juga berperan untuk memberikan pemahaman tentang fungsi dan peran kawasan konservasi dalam bahasa yang dapat diterima masyarakat dan aplikatif dalam keseharian mereka yaitu manfaat

19 2 yang dapat mereka rasakan secara langsung sehingga mewujudkan partisipasi dan dukungan terhadap kawasan (Lusigi 1995). HHBK sebagai produk yang langsung diambil dari alam memiliki daya tarik yang lebih tinggi dibanding produk yang sama hasil budidaya (Ingram dan Bongers 2009; Aravindhakshan et al. 2011). Sebagai contoh madu hutan dengan keunggulan bebas dari pestisida dan bahan kimia lain, memberikan daya saing yang tinggi, pada saat yang dibutuhkan konsumen adalah produk dengan kualitas dan keamanan pangan yang tinggi (Hartmann 2004). Madu hutan bagi banyak masyarakat lokal merupakan HHBK yang menjadi komoditas penting dalam kehidupan, seperti masyarakat di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Provinsi Riau. Madu hutan Tesso Nilo dihasilkan oleh spesies lebah Apis dorsata yang bersarang di pohon sialang. Pohon sialang merupakan penyebutan bagi berbagai jenis pohon yang menjadi tempat lebah madu membuat sarang. Peran A. dorsata dalam komunitas hutan sangatlah penting sebagai salah satu serangga penyerbuk bagi kelangsungan hidup tumbuhan penyusun hutan, bahkan untuk beberapa jenis tumbuhan, lebah ini menjadi agen penyerbuk utamanya (Momose et al. 1998). Oleh karenanya lebah hutan menempati posisi penting dalam kelestarian keanekaragaman hayati. Pemanfaatan madu hutan Tesso Nilo oleh masyarakat merupakan proses budaya sebagai bentuk aplikasi pengetahuan lokal yang dilakukan turun temurun. Pengetahuan tersebut diperoleh setelah melewati proses panjang berupa akumulasi pengalaman, eksperimen informal, dan melalui pemahaman yang tinggi terhadap lingkungan sekitarnya dalam konteks budaya. Sardjono dan Samsoedin (2001) menyimpulkan bahwa sistem lokal umumnya memberikan ciri memelihara dan melindungi sumberdaya alam dan biodiversitas. Namun pengetahuan lokal tidak statis sehingga merupakan proses dinamis yang dapat berubah sejalan dengan keberadaan sumberdaya dan permintaannya (Becker dan Ghimire 2003; Watson et al. 2003), sebagaimana juga masuknya pengaruh baru terhadap pengetahuan lokal masyarakat dalam pemananenan madu hutan Tesso Nilo. Pemanenan madu hutan merupakan tradisi turun temurun masyarakat lokal sekitar kawasan TNTN. Hal tersebut menjadi nilai-nilai warisan budaya tentang pemanfaatan sumberdaya alam yang sampai saat ini dapat dilihat wujud

20 3 pelaksanaannya dalam bentuk tata cara adat/lokal dalam pengambilan madunya. Unsur-unsur budaya yang masih dipegang teguh melalui ritual-ritual adat yang masih dilakukan merupakan penghormatan atas semua unsur kehidupan dan menjadi nilai penting dalam pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Ngakan et al. (2006) menyatakan walaupun pengetahuan lokal bertujuan untuk mengelola alam sekitarnya dalam rangka mencukupi kebutuhan hidup, namun tidak selamanya dapat diharapkan memberikan kearifan lokal. Pada saat budaya konsumtif sudah mempengaruhi, maka akan dibutuhkan sumberdaya yang lebih banyak untuk dapat mencukupi keinginannya (Neumann & Hirsch 2000; Ngakan et al. 2006) dan hal ini berdampak negatif terhadap komersialisasi HHBK. Akibatnya komersialisasi seringkali tidak sukses menurunkan kemiskinan maupun bermanfaat bagi upaya konservasi (Marshall et al. 2003) karena beresiko pada penipisan sumber daya alam (Kusters et al. 2006). Terjadinya komersialisasi terhadap produk madu hutan Tesso Nilo merupakan upaya untuk memberikan tambahan penghasilan yang lebih baik bagi masyarakat. Komersialisasi terhadap HHBK dalam perspektif kesejahteraan adalah upaya untuk meningkatkan nilai produk dalam perdagangan dengan tujuan peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja, sedangkan dari perspektif konservasi memiliki tujuan untuk memberikan insentif bagi spesies maupun lingkungan dimana produk diperoleh (Belcher dan Schreckenberg 2007; Belcher dan Kusters 2004). Komersialisasi menuntut adanya perbaikan pada kualitas produk seperti kebersihan dan higienitas, sebagai upaya penyesuaian terhadap keinginan konsumen untuk mendapatkan jangkauan pasar lebih luas. Keberadaan produk secara berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan konsumen sangat penting dalam komersialisasi, sedangkan pemanenan madu dari alam menghadapi kendala karena jumlahnya yang terbatas dan tergantung ketersediaannya di alam, sehingga akan selalu terjadi fluktuasi kualitas dan kuantitas produk. Kondisi yang terjadi akhir-akhir ini adalah terdapatnya penurunan jumlah produksi madu yang dapat dipanen, karena lebah madu yang tidak bersarang di pohon sialang. Hal-hal tersebut menyebabkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan lokal pemanenan

21 4 madu hutan TNTN sebagai upaya memenuhi tuntutan perbaikan terhadap produk madu juga ketersediaannya. I.2. Perumusan Masalah Penelitian ini menjelaskan hubungan antara pengetahuan lokal, komersialisasi HHBK madu hutan dan konservasi, dengan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1) bagaimana pengetahuan lokal petani madu Tesso Nilo dalam pengambilan sumberdaya madu hutan; (2) bagaimana implikasi pemanenan madu hutan terhadap konservasi TNTN; dan (3) bagaimana dampak komersialisasi madu hutan terhadap kelestarian hutan Tesso Nilo Tujuan 1. Menjelaskan hubungan antara pengetahuan lokal pemanfaatan madu hutan Tesso Nilo dengan konservasi keanekaragaman hayati. 2. Menjelaskan dampak komersialisasi terhadap pengetahuan lokal pemanfaatan madu hutan Tesso Nilo. 3. Menghubungkan pengetahuan lokal dan komersialisasi madu hutan Tesso Nilo dengan kawasan konservasi dan keanekaragaman hayatinya Manfaat Penelitian Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan pemahaman terhadap pengetahuan lokal masyarakat petani madu di sekitar kawasan Taman Nasional Tesso Nilo sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan pihak taman nasional dalam membuat program kerjanya. Upaya adopsi pengetahuan lokal pemanenan madu hutan dapat menciptakan hubungan timbal balik antara pemanfaatan potensi kawasan berbasis pengetahuan lokal dengan pengelolaan TNTN, sehingga terwujud upaya pemberdayaan masyarakat, perlindungan spesies lebah madu (A.dorsata), habitat tempat bersarangnya dan lingkungan sekitarnya, maupun kelangsungan keberadaan produk yang dapat dimanfaatkan masyarakat. Pemanenan madu hutan oleh petani madu secara bijaksana ditengah-tengah gencarnya komersialisasi merupakan promosi penting bagi pengelolaan kawasan TNTN karena dapat berperan sebagai ikon

22 5 pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan baik secara ekologis maupun bagi kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan.

23 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan Lokal Pengetahuan berdasarkan definisi secara umum merupakan luaran dari pembuatan model tentang bagaimana memfungsikan alam semesta, dengan cara melogika bagaimana alam semesta berjalan kemudian menerapkan apa yang didapatkan demi memanipulasi lingkungan sekitarnya (Gadgil et al. 1993). Manusia secara bijaksana berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya sehingga menciptakan bentuk hubungan timbal balik yang menuju keseimbangan. Pemanfaatan alam untuk mencukupi kebutuhan memberikan alasan bagi manusia bagi penciptaan suatu aturan-aturan dalam penggunaannya demi terjaminnya kelangsungan hidup. Pengembangan pengetahuan manusia secara tradisional merupakan hasil pengendapan pengalaman dan praktek selama beberapa generasi yang melahirkan kompleksitas dan kemampuan tinggi dalam mengenali sumberdaya alamnya (Berkes et al. 2000). Sebagai contoh pengenalan terhadap kualitas gaharu yang masih didasarkan pada pengetahuan masyarakat tradisional terhadap performa fisik gubal gaharu dan wangi yang dihasilkan setelah dibakar, karena ternyata pembedaan kualitas berdasarkan resin yang dikandung sulit untuk distandartkan (Santoso et al. 2007). Sedangkan masyarakat Himalaya di Nepal memiliki pengetahuan tradisional untuk mengenali tumbuhan obat, mulai dari distribusinya, habitat yang disukai, ukuran populasi maupun keberadaannya di alam (Ghimire et al. 2004). Keberadaan pengetahuan yang merupakan proses terus-menerus tersebut mampu menciptakan suatu bentuk yang solid yang selalu berkembang. Hal tersebut menjadikan pengetahuan lokal dan tradisional tidak bersifat imun dan terisolasi karena terjadinya kontak antar manusia dan dipercepat lagi oleh adanya revolusi terhadap komunikasi dan transportasi (Adimiharja 2008). Pada awalnya istilah-istilah tradisional dan lokal terhadap pengetahuan seringkali diperdebatkan. Pengetahuan disebut tradisional pada saat bersifat sederhana, liar dan statis (Warren 1995 dalam Berkes et al. 2000). Sedangkan disebut lokal pada saat merujuk pada penggunanya yang bukan masyarakat

24 7 setempat, tidak memiliki keterikatan turun temurun dengan lingkungan sekitarnya, namun kemudian memiliki kearifan, pengalaman dan praktek-praktek yang diadaptasi dari ekosistem yang ada di sekitarnya (Berkes dan Folke 1998 dalam Balard dan Hunsinger 2006). Perkembangan baru mendorong terminologi tentang lokal dan tradisional tidak lagi diperdebatkan dan semakin berkembang dengan munculnya hal baru yaitu Traditional Ecological Knowledge (TEK). TEK semakin berkembang karena ternyata berisi pelajaran-pelajaran penting yang didapatkan manusia sepanjang sejarah peradabannya dalam mengelola sumberdaya alam untuk mencukupi kebutuhan hidupnya (Berkes et al. 2000). Pengetahuan tradisional manusia yang selalu berkembang untuk beradaptasi dengan lingkungannya seringkali dapat dibuktikan secara ilmiah dengan penelitian sains terkini. Persamaan yang bisa didapatkan dari TEK dengan sains modern adalah keduanya berusaha untuk memaparkan realitas dalam kehidupan yang dapat diterima oleh pemikiran manusia (Berkes et al. 1995). Sedangkan perbedaan TEK dengan dengan sains modern adalah :1) skala observasi yang terbatas pada suatu tempat, 2) lebih kepada trial and eror daripada eksperimen sistematik, 3) ketiadaan bangunan teori untuk menggeneralisasi pengetahuan. Kemampuan manusia berkembang melalui pengetahuan tradisional dengan kearifan yang mampu memberikan kelangsungan sumberdaya alam dan ramah terhadap ekosistem pendukungnya. Walaupun bersifat spesific site namun akan memberikan pemahaman yang penting bagi pengelolaan sumber daya alam beserta upaya konservasinya. Untuk itulah pemahaman aktifitas manusia dan aturan-aturannya dalam konservasi merupakan dasar bagi konservasi yang efektif, dengan kata lain pemahaman terhadap faktor manusia merupakan bagian yang sangat penting dalam konservasi (Clauss et al. 2010) Komersialisasi Hasil Hutan Bukan Kayu Ketertarikan terhadap pemanfaatan HHBK sebagai komoditas yang menjanjikan secara ekonomi dimulai pada sekitar akhir tahun 80-an atau awal tahun 90-an sebagai perkembangan dari perhatian masyarakat global pada isu-isu lingkungan terutama kehilangan luasan hutan yang besar dan upaya peningkatan taraf hidup masyarakat sekitar hutan dengan mengedepankan konsep pembangunan berkelanjutan (Belcher et al. 2005). Sekaligus merupakan upaya

25 8 mencurahkan perhatian yang lebih besar terhadap hutan sebagai sebuah ekosistem sekaligus pemberi kesejahteraan bagi masyarakat sekitar atau di dalam hutan (Byron dan Arnold 1997). Upaya pengembangan HHBK merupakan wujud perubahan paradigma sektor kehutanan yang semula dalam kerangka pikir hutan sebagai suatu ekosistem yang merupakan interaksi antara flora fauna dan segala siklus alami yang terjadi di dalamnya atau faktor ekologis tanpa memasukkan unsur sosial atau pengaruh keberadaan manusia yang juga melingkupinya (Contreras 2001). Kemudian berkembang pada pemikiran bahwa keberadaan masyarakat sekitar kawasan konservasi tidak mungkin dilepaskan dari unit pengelolaan kawasan, karena interaksi mereka dengan lingkungan telah berkembang sejak sebelum ditetapkannya kawasan. Sektor kehutanan kemudian bergerak menjadi sektor yang menghasilkan suatu produk yang lebih multifungsi, multiguna dan dimanfaatkan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, juga memiliki keunggulan komparatif yang paling bersinggungan denngan kepentingan masyarakat sekitar hutan (Dephut 2009). Departemen Kehutanan RI melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. 35/Menhut- II/2007 kemudian menetapkan jenis-jenis HHBK yang terdiri dari 9 kelompok HHBK dari 558 spesies tumbuhan dan satwa dan 5 jenis HHBK prioritas yaitu rotan, bambu, lebah, sutera dan gaharu (Dephut 2009). Pengelolaan pemanfaatan HHBK merupakan bagian dari upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi dengan tujuan untuk meningkatkan partisipasi aktif dalam mengelola dan menjaga keutuhan kawasan. Sebagaimana dibuktikan dalam penelitian tentang perilaku melestarikan hutan lindung oleh petani tepi hutan pada 12 Desa di Propinsi Lampung oleh Budiono et al. (2006), hasil yang diperoleh adalah bahwa aspek sosial ekonomi merupakan hal yang sangat penting diperhatikan dalam pengelolaan hutan, karena ternyata peningkatan ekonomi petani akan meningkatkan kepeduliannya terhadap kelestarian hutan Pengenalan Jenis Lebah Penghasil Madu Lebah penghasil madu yang sesungguhnya adalah dari genus Apis. Lebah ini memiliki perilaku sosial menyimpan bahan makanan berupa madu dalam jumlah banyak untuk melalui masa paceklik pakan, dan persediaan makanan

26 9 inilah yang dimanfaatkan manusia dari dulu hingga saat ini (Bradbear 2009). Hanya sedikit spesies yang dikenali sebagai lebah madu, meliputi 11 jenis yang berbeda dalam tipe persarangannya: 1) single combs, terdiri dari: A.andreniformis, A.binghami, A.breviligula, A.dorsata, A.laboriosa A.florea, 2) multiple combs, terdiri dari: A.koschevnikovi, A.mellifera, A.nigrocincta, A.nuluensis, A.cerana. Jenis lebah dengan tipe persarangan multiple comb akan bersarang di tempat yang tertutup, sedangkan pada tipe persarangan single combs lebah bersarang ditempattempat yang terbuka. Tipe persarangan juga dapat menunjukkan kemudahannya untuk upaya budidaya, multiple combs akan lebih mudah dibudidayakan karena secara alami bersarang di tempat tertutup sebagaimana upaya budidaya yang dilakukan di kotak-kotak buatan (Bradbear 2009). Lebah penghasil madu yang dimanfaatkan oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah dari jenis A.dorsata, famili Apidae dan ordo Hymenoptera. Terdapat 3 subspesies dari A.dorsata yaitu: A.d.dorsata, A.d.binghami, dan A.d.breviligula, dari ketiga sub spesias terdapat dua yang merupakan lebah asli Indonesia yakni A.d.dorsata, dan A.d.binghami (Hadisoesilo dan Kuntadi 2007). Secara morfologis lebah hutan A.dorsata memiliki ukuran tubuh yang paling besar sehingga seringkali juga disebut sebagai giant bee, panjang sayap depan berkisar mm, panjang kaki belakang antara 10,5-11,5mm, panjang proboscis mencapai 6,5mm (Hadisoesilo 1990 dalam Hadisoesilo dan Kuntadi 2007). Lebah madu merupakan serangga sosial yang mengenal pembagian kerja dalam koloni, sehingga terdapat lebah ratu, pejantan dan lebah pekerja. Lebah ratu berfungsi sebagai penghasil telur yang dikawini oleh pejantan, sedangkan lebah pekerja akan membagi tugas sesuai tingkatan umurnya, lebah muda bertugas memelihara sarang, lebah remaja bertugas menerima pakan hasil pencarian lebah pekerja yang telah dewasa. Lebah ratu akan menempatkan telur dalam sel-sel sarang, calon lebah pejantan akan menempati sel sarang yang lebih luas, calon lebah pekerja menempati sarang yang lebih sempit, sedangkan calon lebah ratu akan memiliki sel sarang dengan bentuk besar dan tersendiri. Masa pembentukan dari telur hingga menjadi individu lebah yang baru membutuhkan 18 hari bagi lebah

27 10 pekerja, 15 hari untuk lebah ratu dan 22 hari untuk lebah jantan (Oldroyd dan Wongsiri 2006). Lebah madu memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan sesamanya melalui tarian-tarian (waggle dance). Bagi lebah pekerja, tarian dilakukan berupa lingkaran-lingkaran yang semakin besar lingkarannya maka semakin jauh jarak yang ditempuh untuk mendapatkan pakan. Kemampuan komunikasi lebah untuk menunjukkan sumber pakan pada koloninya inilah yang menyebabkan keutamaan lebah madu sebagai polinator yang efisien (Seely 1995 dalam Van Engelsdrop dan Meixner 2010). Lebah madu memiliki kekhasan dalam kegiatan foragingnya, yakni mengambil nektar tumbuhan yang sama, sepanjang masih ada nektar dari tumbuhan tersebut, dan tidak berpindah-pindah ke tumbuhan yang lain dalam satu trip perjalanannya mencari pakan, perilaku yang berbeda dengan seranggaserangga yang lain (Bradbear 2009).

28 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Pendekatan terhadap sumber daya alam yang dikandung dalam sistem budaya tradisional adalah bersifat holistik dan bottom up sejalan dengan nalar yang berwawasan lingkungan dan keberlanjutan meskipun dikemas dalam berbagai mitologi, kepercayaan dan upacara-upacara suci (Sagbadja et al. 2006; Adimiharja 2008). Adanya unsur tabu dan aturan-aturan merupakan mekanisme sosial untuk konservasi sumber daya alam dan membangun kelenturan dalam ekosistem (Berkes et al. 2000). Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses panjang berupa akumulasi pengalaman, eksperimen informal, dan pemahaman yang tinggi terhadap lingkungan, sehingga merupakan proses dinamis yang selalu berubah (Becker dan Ghimire 2003; Watson et al. 2003). Berdasarkan konsepkonsep tersebut maka penelitian ini berupaya mengidentifikasi dan mengkaji mekanisme pemanenan madu hutan Tesso Nilo berdasarkan pengetahuan lokal dan praktek-praktek yang berkontribusi pada konservasi. Unsur-unsur yang menjadi bagian dari mekanisme pengetahuan lokal dan praktek-praktek konservasi ditelaah secara spesifik melalui beberapa hal, diataranya adalah: 1) tata cara pemanenan yang merupakan warisan budaya turun temurun masyarakat yang melibatkan berbagai aktifitas berkaitan dengan ritual dan aturan-aturannya, 2) sistem pengetahuan dan penguasaan tentang pohon sialang yang merupakan hal penting karena berkaitan dengan hak untuk memanen sarang, bagi hasil dan keberlanjutan sumberdayanya, 3) Transfer pengetahuan dan perubahan, pewarisan pengetahuan antara generasi, masuknya pengaruh-pengaruh baru memungkinkan terjadinya perubahan dan memunculkan gap antara generasi tua dan muda. HHBK pada dasarnya merupakan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dengan penggunaan yang bijaksana. Pengetahuan tentang hal tersebut senantiasa berkembang karena adanya pembaruan, penciptaan suatu inovasi baru. Penerimaan terhadap inovasi baru adalah karena kesadaran adanya kekurangan-kekurangan dan ketidakpuasan dengan keadaan, sehingga memunculkan keinginan untuk memperbaiki mutu

29 12 (Koentjaraningrat 1990). Demikian juga yang terjadi pada komersialisasi madu hutan Tesso Nilo yang diiringi dengan adanya transfer pengetahuan yang selama ini belum dikenali oleh masyarakat petani madu. Oleh sebab itu kemudian akan ditelaah juga mengenai perubahan terhadap tata cara panen dan adopsi inovasi terhadap produk. Penelitian ini menggunakan informan utama petani madu Tesso Nilo, tetua adat, dan beberapa pihak yang lain. Petani madu adalah pelaku dari kegiatan pemanfaatan madu hutan yang menggunakan pengetahuan lokal mereka, dan juga akan terimbas langsung oleh terjadinya perubahan permintaan terhadap produk dan inovasi terhadap produk. Sedangkan tetua adat merupakan pengemban warisan budaya turun temurun yang memegang sejarah adat dalam pemanfaatan madu hutan. Informan lain adalah Ketua Asosiasi Petani Madu Tesso Nilo (APMTN), dimana melalui organisasi tersebut terjadi inovasi berupa perubahan perlakuan terhadap produk untuk memenuhi keinginan konsumen sekaligus menjangkau pasar yang lebih luas. Kepala Desa yang menjadi pemimpin lembaga formal dalam masyarakat yang masih memegang tradisi dan peran sertanya dalam mengadopsi keberadaan adat pada peraturan desa yang mengatur kepemilikan sialang. Informasi dari pihak Balai Taman Nasional Tesso Nilo diperlukan karena perannya sebagai pengelola kawasan dimana pohon sialang berada, bagaimana menyikapi semakin besarnya permintaan madu hutan Tesso Nilo, dan keberadaan pohon sialang, serta pembinaan yang telah dilakukan Balai TNTN khususnya bagi petani madu. Keberadaan pengetahuan lokal dengan kearifannya dalam memanfaatkan sumberdaya alam menjadi hal yang penting dipelajari dalam upaya pengelolaan kawasan konservasi yang mengemban mandat untuk menjaga keberlangsungan sumber daya alam dan ekosistemnya. Pemanenan madu hutan merupakan pengetahuan lokal sebagai salah satu warisan turun temurun yang dapat disaksikan pelaksanaannya hingga saat ini. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

30 13 Pengelolaan TNTN Perlindungan Pemanfaatan Pengawetan Pemanfaatan oleh masyarakat HHBK Madu Hutan - Aspek Sosial - Aspek Ekonomi - Aspek Budaya Pengetahuan Lokal Tata cara panen Penguasaan Pohon sialang Pembagian keuntungan Transfer Pengetahuan Komersialisasi dan transfer teknologi - Inovasi produk - Adopsi inovasi - Perubahan tata cara panen Implikasi terhadap keanekaragaman hayati dan konservasi kawasan Gambar 1 Kerangka Pemikiran Keterangan : = Fokus Penelitian

31 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama bulan April sampai dengan bulan Juni 2012 di dua desa yaitu Desa Lubuk Kambang Bunga dan Desa Air Hitam yang terletak di Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau. Faktor penentu lokasi desa contoh tersebut adalah: 1) berbatasan langsung dengan kawasan TNTN, 2) penggunaan pengetahuan lokal untuk pemanenan madu hutan bagi masyarakat yang memanfaatkannya, 3) terdapatnya APMTN yang berada di Desa Lubuk Kambang Bunga. Desa Lubuk Kambang Bunga Desa Air Hitam Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian (Sumber: TNTN 2010) 3.3. Alat dan Bahan Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara Metode dan Teknik Pengumpulan Data Penentuan Informan Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif sehingga jumlah informan tidak menjadi bahan pertimbangan secara khusus. Adapun hal yang menjadi bahan pertimbangan adalah: 1) tepat tidaknya pemilihan informan, dan 2)

32 15 kompleksitas dan keragaman sosial yang diteliti (Bungin 2007). Pemilihan informan dari petani madu dilakukan berdasarkan convenience sampling, dengan pertimbangan kemudahan yang bisa didapatkan peneliti, karena informan yang sulit diketahui keberadaannya. Jumlah Informan sebanyak 18 orang, terdiri dari 5 orang pemanjat, 2 orang tukang tiris, 2 orang tukang sambut, Ketua APMTN, Kepala Desa Air Hitam, Bathin, Kepala Desa Lubuk Kambang Bunga, Kepala Balai TNTN, Sekretaris Dewan Kesenian Kabupaten Pelalawan, Staf Dinas Pariwisata Kabupaten Pelalawan, LSM dan 2 orang informan dari Desa Tanjung Air Hitam dan Desa Lipai Bulan untuk keterangan tentang penguasaan sialang dan pembagian keuntungannya di desa mereka Kebutuhan Data Data yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Data-data yang dikumpulkan Parameter Variabel Informan Cara Pengambilan Pengetahuan Tradisional Pemanfaatan Madu Hutan Tesso Nilo Tata cara pemanenan - Proses Survey - Pembagian tugas - Persiapan panen (alat dan bahan) - Prosesi Panen - Prosesing Hasil dan Kualitas Madu - Petani Madu - Tetua Adat - Observasi partisipatif - wawancara mendalam - studi literatur Penguasaan pohon sialang - Model penguasaan - Kewenangan dalam mengelola - Perlakuan pada pohon termasuk upaya perlindungannya - Pewarisan - Petani Madu - Tetua Adat - wawancara mendalam - studi literatur Pembagian keuntungan Proporsi pembagian keuntungan : - Pemilik pohon sialang - Pekerja - Tetua Adat - Desa - Petani Madu - Tetua adat - wawancara mendalam Transfer pengetahuan antar generasi dan perubahan - Pewarisan pengetahuan - Gap antar generasi - Petani Madu - Tetua adat - wawancara mendalam Peraturan Desa Peraturan Desa tentang Sialang Kepala Desa - wawancara mendalam - studi literatur

33 16 Tabel 1 Lanjutan Menelaah pengaruh terjadinya komersialisasi terhadap pemanfaatan madu hutan Perubahan tata cara panen - Standarisasi dalam proses memanen - Perlakuan terhadap produk - Petani Madu - Ketua APMTN - wawancara mendalam - observasi partisipatif Adopsi Inovasi produk - Kemampuan petani madu untuk mengadopsi pengetahuan baru - Penerapan - Petani Madu - Ketua APMTN - wawancara mendalam - observasi partisipatif Pengelolaan oleh Balai Taman Nasional Tesso Nilo Kebijakan Balai Pengelolaan oleh TNTN Kepala Balai - wawancara mendalam - studi literatur Pengumpulan Data Penelitian dirancang dengan pendekatan studi kasus. Studi kasus bersifat menguraikan dan menjelaskan secara komprehensif mengenai berbagai aspek sehingga penelitian diupayakan untuk menelaah sebanyak mungkin data mengenai subyek yang diteliti, mendalam dan detail serta menggunakan berbagai instrumen untuk mengumpulkan data (Faisal 2003). Pendekatan penelitian studi kasus bersifat mengeksplorasi proses, peristiwa-peristiwa dan aktifitas (Cresswell 2010). Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui metode pengambilan data berupa observasi partisipatif dan wawancara mendalam dengan informan. Data sekunder diperoleh lewat studi literatur dari berbagai sumber dengan tidak menutup kemungkinan dari literatur akan menjadi data primer yang didasarkan pada kepentingannya terhadap penelitian ini. Prosedur pengumpulan data yang dilakukan menggunakan tiga strategi sebagai berikut : 1. Observasi partisipatif Pengumpulan data mengenai aktifitas pemanenan madu dilakukan dengan pengamatan langsung ke lapangan untuk mengamati aktifitas individu-individu di lokasi penelitian. Pengamatan diantaranya dilakukan dengan mengikuti kegiatan panen madu. Pemanenan madu dilakukan pada pohon sialang yang berada di pinggir sungai sehingga akses ke lokasi dilakukan dengan menggunakan perahu pompong. Aktifitas tersebut diikuti pada malam hari mulai dari tahap persiapan

34 17 hingga panen madu berakhir, sehingga detil-detil dalam pemanenan madu, penggunaan ritual beserta tata caranya dapat tergambar dengan jelas. 2. Wawancara Wawancara dilakukan dengan bertatap muka secara langsung. Panduan wawancara digunakan agar proses pengambilan data dan informasi tetap dalam koridor kebutuhan data-data yang diinginkan. Metode wawancara dengan in depth interview (wawancara mendalam) dimana ada keterlibatan langsung pewawancara dengan aktifitas informan, membutuhkan waktu yang lama dan berkali-kali (Bungin 2007). 3. Studi Literatur Dilakukan dengan pencarian pustaka yang memiliki keterkaitan dengan penelitian dan sesuai dengan kebutuhan data Metode Analisis Data Data yang diperoleh berupa transkrip wawancara dengan para informan yang dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian, data yang terkumpul dan kebenarannya diuji keabsahannya dengan triangulasi sumber data dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, membandingkan hasil wawancara dengan literatur yang bersangkutan, dan melakukan cross check terhadap berbagai informasi yang didapatkan (Bungin 2007). Tema-tema dibangun berdasarkan sejumlah sumber data atau perspektif dari partisipan sehingga meningkatkan validitas penelitian (Cresswell 2011).

35 18 IV. KONDISI UMUM 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo Sejarah Kawasan Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo mulanya dikenal sebagai kawasan hutan langgam yang difungsikan sebagai Hutan Produksi terbatas untuk mencukupi kebutuhan bagi kayu industri dan kebutuhan kayu lainnya. Namun seiring berjalannya waktu dengan semakin hilangnya hutan, pada tahun 1980-an muncul permasalahan gajah karena kawasan hutan dibuka untuk kepentingan transmigrasi. Muncul konflik-konflik kepentingan satwa dengan manusia, karena gajah masuk kampung dan merusak lahan dan tanaman yang dimiliki masyarakat. Sejarah pembentukan Taman Nasional Tesso Nilo disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Sejarah pembentukan TNTN No Tahun Peristiwa Peningkatan gangguan gajah sehingga pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup mencadangkan habitat untuk gajah yang diantaranya di Tesso Nilo. (tidak terealisasi) Survey untuk Rencana Daerah Pengungsian Gajah dan Satwa Liar Lainnya di sebagian hutan Tesso Nilo oleh Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi Riau. Menteri Kehutanan pun mengusulkan hal yang sama (tidak terealisasi) April 2001 Gubernur Riau kembali mengusulkan kawasan Tesso Nilo seluas ha sebagai kawasan konservasi gajah dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, antara lain : 1. Bupati Pelalawan, surat No. 050/EK/IV/2001 tanggal 7 april 2001 dicabut kembali melalui surat No. 661/Bappeda/488 April Bupati Kampar, surat No. 50/EK/IV/200 tanggal 7 April DPRD Kuantan Singingi, surat No. 66/DPRD- KS/170/2001 tanggal 5 April DPRD Kabupaten Kampar, surat No. 170/124/DPRD/2001 tanggal 7 April DPRD Kabupaten Pelalawan, surat No.66/DPRD/IV/2001 Tanggal 16 april DPRD Propinsi Riau, surat No. 446/2001-4/UM/246 tanggal 6 April 2001

36 19 Tabel 2 Lanjutan No Tahun Peristiwa 4 17 September 2001 Kepala Badan Planologi Departemen Kehutanan melalui surat No. 650/VII-Set/2001 memberikan dukungan bagi langkah-langkah yang dilakukan oleh Gubernur Riau Sehingga kemudian dilakukan pertemuan antara Dirjen PHKA, Badan Planologi Kehutanan, Pemerintah Daerah Provinsi, Dinas Kehutanan Provinsi dan BKSDA Riau Juli 2002 Gubernur Riau menerbitkan surat No /EK/1678 yang mendukung kawasan Tesso Nilo sebagai areal konservasi gajah dengan sistem pengelolaan bersama dengan kegiatan HPH Agustus 2003 Menteri Kehutanan mengeluarkan SK No. 282/Kpts- II/2003 tentang pencabutan ijin areal PT Inhutani IV dan meminta Gubernur Riau persiapan penunjukan kawasan hutan Tesso Nilo sebagai kawasan konservasi gajah Menteri Kehutanan menunjuk Tesso Nilo sebagai Taman Nasional dengan kawasan yang sebelumnya berada pada areal PT Inhutani IV, melalui surat keputusan No.255/Menhut-II/2004 tentang perubahan fungsi sebagian kawasan Hutan Produksi Terbatas di kelompok Hutan Tesso Nilo yang terletak di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu Propinsi Riau seluas Hektar Perluasan TNTN melalui surat keputusan No. SK.663/Menhut-III/2009 tentang Perubahan fungsi Sebagian Kawasan Hutan Produksi Terbatas Kelompok Hutan Tesso Nilo seluas Hektar yang terletak di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau menjadi Taman Nasional sebagai Peluasan Taman Nasional Tesso Nilo. Sehingga luasan TNTN menjadi Hektar Keanekaragaman Hayati 1. Ekosistem Penyusun Secara umum penyebaran dari formasi vegetasi di kawasan Tesso Nilo dibagi dalam beberapa tipe hutan yaitu : a. Hutan Dataran Rendah Lahan Kering yang terbuka b. Hutan Dataran Rendah Lahan Kering yang kanopi hutannya lebih tertutup c. Hutan Rawa Dataran Rendah (lahan basah) yang terbuka d. Hutan Rawa Dataran Rendah dengan kanopi relatif tertutup e. Bukaan hutan untuk perkebunan sawit Masyarakat (small holder palm oil) f. Kawasan eks penanaman HTI Akasia

37 20 2. Flora Sebuah studi yang komperatif yang dilakukan oleh Gillison (2001) menunjukkan bahwa hutan dataran rendah Tesso Nilo, Riau memiliki keanekaragaman spesies tumbuhan vaskular tertinggi di dunia sebanyak 218 spesies. Metode pencatatan yang dilakukan mengindikasikan bahwa tidak ada daerah lain di dunia ini yang memiliki keanekaragaman tumbuhan selain di Tesso Nilo. Secara umum kondisi habitat di kawasan ini cukup baik dengan penutupan vegetasi lebih dari 90 %, umumnya ditumbuhi jenis kempas (Kompassia malaccensis), keranji (Dialium platysepalum), durian burung (Durio lanceolatus), medang (Litsea resinosa), rengas (Gluta rengas), meranti (Shorea sp.), bintangur (Calophyllum macrocarpum) dan beberapa jenis lainnya. 3. Fauna Untuk jenis fauna, penelitian LIPI tahun 2003 pernah mencatat keanekaragaman jenis fauna dimana mereka menjumpai 34 jenis mamalia, 18 jenis berstatus dilindungi undang-undang, 16 jenis rawan punah (IUCN 2009). Hasil metode tangkap lepas dengan jaring kabut, pengamatan tambahan dan wawancara mencatat 107 jenis burung dari 27 famili, termasuk diantaranya terdapat 16 jenis burung langka dan dilindungi dan 33 jenis Herpetofauna Keadaan Sosial, Ekonomi dan Budaya 1. Statistik Kependudukan a. Demografi Jumlah penduduk di Desa Lubuk Kambang Bunga adalah 3953 orang (Monografi Desa Lubuk Kembang Bunga 2012), sedangkan jumlah penduduk di Desa Air Hitam sejumlah 2142 orang (Monografi Desa Air Hitam 2012). b. Pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat desa sekitar kawasan TNTN relatif masih rendah. Hampir sebagian besar penduduk hanya berpendidikan SD atau tidak Tamat SD. Hal ini disebabkan karena kurang mampu untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi dan dipengaruhi oleh keterbatasan fasilitas pendidikan di desa dan jauhnya akses menuju fasilitas tersebut. Faktor lain yang juga sangat mempengaruhi adalah rendahnya dorongan orang tua pada anaknya

38 21 untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Monografi Desa Lubuk Kembang Bunga 2012; Monografi Desa Air Hitam 2012). c. Mata Pencaharian Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan sektor dominan yang berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian masyarakat desa di sekitar TNTN adalah sektor perkebunan seperti kelapa sawit dan karet, dan lainnya. Sebagian kecil masyarakat desa-desa di pinggiran sungai memiliki mata pencaharian sebagai nelayan pencari ikan di sungai sekitar permukiman mereka. Kegiatan berternak sapi dan kerbau serta memelihara ayam juga dijumpai di sejumlah desa, tetapi umumnya masih kurang berkembang. Cara berternak sapi misalnya secara umum masih dilakukan dengan sistem dilepas dan biasanya memang belum dijadikan andalan pendapatan keluarga. Sektor lainnya antara lain pegawai negeri, buruh harian dan karyawan perusahaan. Sumber mata pencaharian lain yang cukup menghasilkan yaitu pemanenan madu lebah hutan. 2. Kondisi Sosial Budaya a. Tipologi Desa dan Suku Suku - Tipologi desa asli dengan ciri-ciri utamanya mayoritas penduduk desa adalah penduduk tempatan atau penduduk asal setempat yang mengklaim diri secara umum sebagai suku bangsa Melayu Riau. Sebagian besar desa ini merupakan desa-desa tua. Namun demikian ditemukan juga adanya desa-desa asli dengan riwayat pembentukannya relatif baru sebagai hasil ekspansi penduduk tempatan (BTNTN, 2010) - Tipologi desa transmigrasi dengan ciri-ciri utamanya mayoritas penduduk desa terdiri dari warga transmigran asal Pulau Jawa. Sebagai desa yang dibentuk secara resmi oleh pemerintah menjadi desa permanen, dengan sendirinya warga desa-desa transmigrasi ini juga telah menjadi penduduk permanen. Program transmigrasi ini merupakan program nasional sejak tahun 1970an, dan umumnya keluarga kaum transmigran tersebut telah memiliki 2-3 generasi. - Tipologi desa campuran dengan ciri-ciri utama komposisi penduduknya terdiri atas beragam latar belakang suku bangsa yang merupakan campuran

39 22 antara penduduk yang berasal dari desa-desa asli sekitarnya yaitu suku Melayu Riau dan penduduk pendatang yang berasal dari Batak, Jawa, Nias, Minangkabau dan lain-lain. Desa-desa tipologi ketiga ini umumnya berdiri lebih akhir dibandingkan desa-desa dari kedua tipologi desa lainnya. Desadesa campuran ini umumnya berdiri melalui proses transmigrasi swakarsa yang mengikuti berlangsungnya pembukaan hutan dan lahan yang telah meningkat sangat pesat di kawasan ini di era akhir tahun 1970an dan 1980an. b. Sistem Organisasi Sosial Kehidupan masyarakat desa sekitar kawasan hutan Tesso Nilo perlu dipahami dari sudut pandang sosial budaya yang meliputi sistem organisasi sosial tradisional masyarakat desa sekitar kawasan ini. Apabila merujuk pada pembagian sosio-kultural masyarakat tempatan, desa-desa sekitar kawasan hutan Tesso Nilo dapat pula dibagi ke dalam desa-desa yang mengikuti sistem perbathinan adat Melayu Petalangan, Gunung Sahilan dan Logas. Struktur keluarga dalam masyarakat desa-desa tempatan di sekitar kawasan Tesso Nilo memperlihatkan gabungan antara sistem patrilineal dengan sistem matrilineal. Pada masyarakat desa-desa dengan sistem perbathinan, pengaruh sistem patrilineal agak lebih menonjol dibandingkan pada masyarakat desa-desa yang menganut sistem kepenghuluan. Kenyataannya pada banyak desa sekitar kawasan Tesso Nilo pengaruh sistem organisasi sosial dan kepemimpinan tradisional umumnya semakin memudar. Bahkan ada sejumlah desa yang sebenarnya sistem organisasi sosialnya tidak lagi dapat dikategorikan ke dalam sistem organisasi sosial berbasis kebudayaan penduduk asli. Hal ini terutama dapat dijumpai pada sebagian besar desa-desa bentukan baru melalui transmigrasi yang diprakarsai oleh pemerintah maupun betuk transmigrasi swakarsa. Desa-desa ini biasanya mayoritas berpenduduk pendatang dengan tipologi desa transmigrasi dan desa campuran Permasalahan Kawasan Berdasarkan analisis permasalahan (BTNTN 2010) dijabarkan beberapa permasalahan pokok sebagai berikut :

40 23 1. Data dan Informasi Belum Lengkap untuk Pengelolaan Sebagai taman nasional yang baru ditetapkan pada 2004 dan memiliki unit pengelolaan pada tahun 2007 ketersediaan data base dan informasi penting tentang potensi dalam kawasan masih sangat minim untuk kepentingan pengelolaan. 2. Rendahnya Ekonomi Masyarakat sekitar TNTN Desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNTN umumnya adalah masyarakat petani yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian/perkebunan serta hasil hutan. Degradasi hutan yang terjadi pada kawasan yang berdekatan dengan desa-desa tersebut mengindikasikan interaksi yang kuat masyarakat dengan hutan yang didorong oleh rendahnya perekonomian 3. Pembalakan Liar Akses ke dalam kawasan yang sangat terbuka memicu pembalakan liar mudah terjadi di dalamnya. Pembalakan yang dilakukan bukan merupakan tujuan akhir, karena tujuan utamanya adalah untuk membuka lahan perkebunan sawit. Pembalakan muncul akibat tingginya permintaan kayu, rendahnya pengawasan dan penegakan hukum dan kemiskinan masyarakat sekitar kawasan. 4. Perambahan dan Pemukiman dalam Kawasan Katergantungan masyarakat terhadap kawasan dibuktikan dengan terjadinya perambahan untuk tempat bermukim dan berusaha. Perambahan menunjukkan trend peningkatan dari tahun ke tahun yang disebabkan karena tidak adanya kontrol terhadap keluar masuknya penduduk suatu desa. 5. Kebakaran Hutan Kebakaran yang terjadi seringkali merupakan akibat dari kegiatan pembukaan lahan dengan cara dibakar. Kebakaran hutan dapat berakibat berkurangnya biodiversitas dalam kawasan dan mengganggu kehidupan satwa liar dalam kawasan Asosiasi Petani Madu Tesso Nilo (APMTN) Madu hutan merupakan komoditas yang selama ini dimanfaatkan

41 24 oleh masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Tesso Nilo untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap produk dan untuk memenuhi keinginan konsumen pada produk yang lebih baik maka dibentuklah APMTN. APMTN merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh para petani madu dengan inisiasi dari pihak Taman Nasional Tesso Nilo dan WWF- Riau Programme. Tujuan terbentuknya APMTN adalah untuk mewadahi para petani madu dalam pemanfaatan sumber daya alam madu hutan yang selama ini masih kesulitan dalam meluaskan cakupan pemasaran akibat mutu dan kualitas produk yang belum sesuai dengan keinginan konsumen dalam jangkauan yang lebih luas yaitu terstandarisasi pada mutu dan higienitas.

42 25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengetahuan dan Penguasaan Pohon Sialang Pohon sialang merupakan penyebutan dari masyarakat Riau terhadap pohon lebah madu hutan yang merupakan jenis pohon-pohon yang secara rutin, khususnya pada saat musim pembungaan menjadi tempat lebah A.dorsata bersarang (Hadisoesilo dan Kuntadi, 2007). Pada mulanya yang disebut sebagai pohon sialang adalah pohon kruing (Dipterocarpus spp), yang bersama pohon pulai (Alstonia scholaris) dikenal dalam istilah masyarakat sebagai sulu batang dan bao kaluang. Kedua jenis pohon ini adalah pohon yang dianggap sati atau angker bagi masyarakat. Penguasaan pohon Kruing secara khusus berada di tangan adat. Dahulu, sebagian besar koloni lebah hutan hanya bersarang di pohon Kruing dan hanya sedikit yang di pohon Pulai. Keunggulan pohon Kruing sebagai tempat bersarang lebah dibanding jenis yang lain adalah karena kemampuannya untuk menahan air/kedap air, sehingga meskipun hujan lebat, air hujan tidak akan mempengaruhi kualitas dari madu. Sebagaimana pohon kruing yang dikelola oleh SU (55 tahun) yang pada saat musim panen, satu pohonnya bisa menghasilkan hingga 1,3 ton madu. Hal tersebut diyakini juga karena adanya tuah dari pohon. Pemanfaatan sialang milik adat dilakukan oleh anggota kelompok sepersukuan. Pihak yang menjadi pengelola ditunjuk oleh adat dan pewarisannya turun temurun kepada persukuan yang bersangkutan. Pada masa lalu hasil madu dibagi-bagikan pada siapapun yang mau atau untuk memenuhi kebutuhan subsisten saja. Saat ini dimana masyarakat mempunyai pencaharian yang beragam, memanen madu hutan merupakan kegiatan yang hanya dilakukan oleh orang-orang dengan keahlian khusus. Keahlian tersebut diantaranya mengetahui ritual-ritual untuk memanen madu sialang, mampu memanjat pohon sialang, serta bersedia kerja beresiko. Oleh sebab itu hanya kelompok-kelompok pemanjat yang mampu melakukannya. Biasanya para pemanjat ini berkerabat dekat dengan bathin (kepala suku) atau keturunan langsung dari pemanjat sialang. Jenis-jenis pohon lain (Tabel 3) diluar penguasaan adat bisa dikuasai secara pribadi maupun kelompok sehingga pengelolaannya melibatkan anak-anak pemilik pohon dan dapat diwariskan. Pohon sialang yang dikuasai secara pribadi

43 26 maupun kelompok merupakan pohon-pohon hasil pencarian dengan masuk ke dalam hutan. Pemilihan pohon yang dapat menjadi tempat lebah madu bersarang dilakukan dengan mengamati pertanda-pertanda sebagai tuah dari pohon atau secara visual terlihat bekas-bekas sarang di dahan pohon. Sebagai pertanda pohon sudah ada pemiliknya dan agar lebah mau bersarang, maka daerah sekitar pohon dibersihkan dari semak dengan luasan selebar tajuk. Pada saat pohon ditemukan kemudian dibersihkan, biasanya dalam jangka waktu 2 3 bulan lebah mulai bersarang. Namun waktu untuk panen hanya bisa ditentukan melalui survey secara teratur. Tabel 3 Jenis-jenis pohon sarang lebah madu No Nama Lokal Nama Ilmiah 1. Randu Ceiba pentandra 2. Cempedak air Artocarpus maingayi 3. Batu Irvingia malayana 4. Kedungdung Spondias pinnata 5. Balau Shorea atrinervosa 6. Ara Ficus spp 7. Meranti Shorea spp 8. Kempas Koompasia malaccesis 9. Rengas Gluta rengas Berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat (komunikasi pribadi dengan MN, AD, BJ, HS, NZ) pertanda adanya tuah suatu pohon melalui penampilan fisik pohon sialang diantaranya adalah: 1) adanya pintu gobang atau pintu gerbang dimana dahan-dahan pohon saling bersilang atau bertemu sehingga membentuk seperti pintu gerbang, 2) perakaran pohon yang saling bertautan, 3) bentuk bagian ujung batang utama yang tumpul tidak berdaun seperti ada sarang burungnya atau seperti tongkat. Adanya salah satu dari pertanda-pertanda tersebut sudah cukup untuk memperkirakan suatu pohon berpotensi menjadi tempat lebah bersarang. Karakter percabangan yang serupa ditemukan dalam penelitian Kahono (2002) yang menggambarkan pohon yang menjadi sarang lebah adalah pohonpohon besar dengan percabangan yang tinggi dan sangat terbuka jika dilihat dari bawah maupun samping, sehingga memudahkan lebah melakukan orientasi dan

44 27 mempunyai ruang terbang yang lebih luas. Meskipun terlihat terlindung, sarang lebah A. dorsata akan dibuat di tempat yang memungkinkan cahaya matahari tetap masuk (Hadisoesilo dan Kuntadi 2007). Berbagai jenis pohon yang dapat menjadi tempat lebah madu bersarang menandakan tidak ada jenis tumbuhan tertentu yang benar-benar menjadi pilihan untuk tempat membangun sarang, kecuali karakteristik fisik seperti pohon yang menjulang tinggi, tajuk tidak terlalu padat dan percabangan relatif terbuka dengan kulit pohon relatif bersih dan halus (Hadisoesilo dan Kuntadi 2008). Oldroyd dan Wongsiri (2006) menyebutkan bahwa lebah hutan banyak dijumpai bersarang di cabang pohon yang memiliki diameter 5 hingga 100cm dengan sudut kemiringan yang disukai 25 o 35 o. Bekas sarang lebah Ujung batang tumpul Terdapat pintu gobang Gambar 3 Pengenalan fisik pohon yang dipilih lebah untuk bersarang Jual beli pohon sialang tidak lazim dilakukan (meskipun pernah juga terjadi) karena dianggap aset yang sangat menguntungkan. Sebagaimana diceritakan oleh HS (34 tahun, komunikasi pribadi) : pernah ada yang mau jual sialangnya, orang dari Lubuk Kambang Bunga, karena dia mau merantau. Saya ditawari harganya 4,5 juta, tapi sedang tidak

45 28 punya uang. Wajar saja harganya segitu, hitungannya upah dia pelihara, nanti dua kali saja lebah naik dan panen bagus sudah balik modal. Yang beli pun orang desa situ jadi tidak kemana-mana Berharganya pohon sialang ditunjukkan juga oleh kepercayaan masyarakat bahwa jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan sialang, yang biasa terjadi adalah pohon yang diperebutkan akan mati, atau lebahnya tidak mau naik, sebagaimana diceritakan oleh MN : kejadian kira-kira dua tahun yang lalu pohon pulai diperebutkan oleh pemanjatnya, adat pun turun tangan dan kemudian kepala desa yang mengambil alih, tidak lama kemudian pohon tersebut mati tersambar petir. Biasa memang begitu kalau sialang sudah diperebutkan kalau tidak tiba-tiba mati ya lebah tidak mau naik lagi Masing-masing pemilik pohon biasanya sudah mempercayakan pemanenan madunya pada satu kelompok pemanjat. Tugas kelompok ini untuk melakukan survey mengenai kondisi sialang, membersihkan dan menyampaikan ke pemilik jika sarang sudah siap panen. Jenis penguasaan pohon sialang akan menjadi penentu dalam pembagian porsi madu yang didapatkan (Tabel 4). Tabel 4 Penentuan bagi hasil panenan berdasarkan penguasaan pohon sialang No Penguasaan Porsi Pembagian 1 Adat - Pemanjat akan mendapat bagian 30% dari jumlah panenan - Ketua adat akan mendapat bagian tergantung kesukarelaan kelompok pemanjat, dan tidak ada kewajiban untuk memberi bagian pada ketua adat - Anggota kelompok pemanjat akan mendapatkan bagi rata dari jumlah madu yang sudah dikurangi oleh pemanjat - Jika pemanjat lebih dari satu maka bagian dari 30% dibagi dengan jumlah pemanjat. Sedangkan bagian untuk anggota, pembaginya menjadi seluruh anggota kelompok termasuk pemanjat 2 Kelompok - Hasil dibagi rata karena biasanya kelompok itu juga termasuk pemanjat dan anggotanya. Maka meskipun hanya anggota karena dia juga termasuk pemilik pohon tidak dibedakan porsinya - Anggota kelompok yang berhalangan hadir dalam kegiatan pemanenan, jika dia mewakilkan perannya pada orang lain maka bisa mendapat bagian,

46 29 Tabel 4 Lanjutan No Penguasaan Porsi Pembagian jika tidak maka tergantung pada hasil panenan jika memang banyak bisa diberi bagian sesuai kerelaan kelompok. Jika hasil tidak memungkinkan tidak ada porsi pembagian untuknya, dan itu sudah dapat diterima. 3 Kepemilikan Pribadi - Pemilik pohon akan mendapatkan bagian sebesar 30% - Pemanjat mendapatkan bagian 30% dari sisa hasil yang sudah diberikan pada pemilik pohon - Anggota kelompok mendapatkan bagi rata dari hasil yang sudah dikurangi dengan jatah pemanjat Kelompok pemanjat biasanya berkerabat, sehingga pembagian porsi seringkali tidak kaku seperti pembagian diatas, kecuali untuk bagian pemilik pohon memang sudah ketentuan umum 30% dari hasil keseluruhan. Pembagian keuntungan dapat juga ditentukan berdasarkan pada penemu pohon. Penemu pohon sialang berhak memilih dahan mana yang menjadi bagiannya, sehingga madu yang dipanen dari sarang yang berada di dahan tersebut akan menjadi haknya. Pada dasarnya penguasaan oleh adat bersifat komunal untuk persukuan, yang kemudian pemeliharaannya diserahkan pada kelompok tertentu oleh adat, dan pembagian hasil dilakukan dengan rata kepada tiap-tiap anggota kelompok tanpa pertimbangan perannya Pemanenan Madu Persiapan Pemanenan Persiapan pemanenan madu hutan akan melalui berbagai proses dari awal berupa tahapan survey untuk mencari sarang siap panen pada pohon sialang, pembagian tugas yang dilakukan oleh kelompok pemanjat pada saat sarang lebah sudah siap dipanen, dan pemilihan waktu yang tepat untuk memanen madu. Tabel 5 Tahapan dalam persiapan pemanenan madu hutan No Tahapan Aktifitas 1 Persiapan Pemanenan a. Survey - Dilakukan untuk mengetahui sudah adanya lebah madu yang bersarang di pohon sialang - Pembersihan tanah di sekitar pohon sialang dari

47 30 Tabel 5 Lanjutan No Tahapan Aktifitas tumbuhan bawah dan semak-semak, jika di bawah tajuk tidak bersih maka lebah akan enggan bersarang. Pembersihan dilakukan dengan luasan sebesar tajuk pohon b. Pembagian Tugas Juagan Tuo - Memimpin ritual dalam pemanenan madu. Saat ini seringkali juragan tuo sudah tidak ikut memanjat, sehingga hanya membacakan mantera, melakukan ritual tata cara adat dalam memanen dan mendampingi selama kegiatan berlangsung - Saat memanen menjadi penyortir pertama madu, dengan membersihkan kepala madu dari tai masam atau bee pollen, serta menjatuhkan sarang tempat anakan lebah Juagan Mudo - Membantu pekerjaan dari juagan tuo, dengan ikut memanjat ke dahan-dahan sialang dan memanen madu - Menggantikan peran juagan tuo untuk memanjat pohon, jika juagan tuo tidak turut naik Tukang Sambut - Membersihkan sekitar pohon sialang sebelum melakukan panen - Menyambut timbo yang diturunkan para juragan dari atas pohon dan menyampaikannya pada tukang tiris. Jika lokasi penirisan tidak dibawah pohon langsung, tugas tukang sambut untuk mengantarkan sampai lokasi penirisan - Menarik kembali timbo keatas Tukang Tiris - Melakukan sortiran berikutnya pada kepala madu yang sudah dipanen dari bee pollen agar kualitas madu benar-benar bersih - Meniris kepala madu hingga tuntas - Karena penirisan memakan waktu dan tempat meniris terbatas biasanya madu yang sudah sebagian besar tertiris disingkirkan ke wadah lain untuk ditiris lagi kemudian. c. Persiapan Panen - Pemanenan akan dipertimbangkan waktu yang tepat madu siap dipanen - Pemanenan madu hutan secara tradisional dilakukan pada malam hari sehingga waktu yang tepat adalah pada saat bulan gelap sehingga suasana malam memang pekat. - Persiapan panen harus mempertimbangkan waktu, karena waktu panen terbatas hingga pukul 04.00, sehingga sarang bisa dipanen keseluruhan pada malam itu juga.

48 31 Pada saat survey, jumlah sarang yang terlihat akan dihitung. Sarang yang ditemukan dianggap layak untuk dipanen jika jumlahnya minimal sarang karena rata-rata mampu menghasilkan 100 kg madu, bahkan jika panen pada waktu yang tepat maka satu sarang bisa menghasilkan hingga 20 kg madu. Lebah madu A.dorsata merupakan penghasil madu yang paling potensial dari jenis lebah lainnya, satu koloni lebah A.dorsata dalam satu kali panen dapat menghasilkan madu sebesar 5-20 kg/koloni, lebah A.mellifera 1-5 kg/koloni, sedangkan A.cerana 1-2 kg/koloni (Adalina 2011). Jumlah minimal sarang yang dapat dipanen diperhitungkan dari modal biaya dan tenaga mereka untuk melakukan pemanenan dengan hasil nantinya yang bisa didapatkan. Jumlah minimal sarang yang dapat dipanen belum tentu dapat memberikan hasil panen yang sesuai harapan, berikut ini informasi yang diperoleh dari pemanjat: ndak brani aku nokok begitu itu, bebohong sudahnya awak tu, aku kalo dari bawah ndak berani ngomong, na iyo kalo pas kalo idak, sudahnya bohong, kalo sudah diatas baru aku tau tu, kalo ndak punya isi bayangan tunam pasti nampak, kalo bayangan tunam tidak nampak bisa jadi ponuh madunya (saya tidak berani menduga-duga, berbohong namanya, kalau hanya dilihat dari bawah tidak berani ngomong, iya kalau benar, juka salah jadinya berbohong, kalau sudah diatas baru bisa tahu, kalau bayangan tunam terlihat maka sarang tidak berisi madu, jika bayangan tunam tidak kelihatan bisa jadi madunya penuh) (MN 72 tahun, pemanjat senior) Pada saat hasil survey menunjukkan jumlah sarang belum memenuhi syarat, biasanya survey akan diulangi 10 hari kemudian. Menurut pengalaman masyarakat, dalam 10 hari biasanya jumlah sarang sudah bertambah 2-3 kali lipat. Hal yang sama juga diamati oleh Woyke et al. (2001) bahwa terjadi penambahan jumlah sarang A.dorsata yang berkoloni di suatu tempat lebih dari 2 kali lipat dalam 2 minggu. Kegiatan pemanenan madu direncanakan setelah jumlah sarang minimal dapat dipanen telah terpenuhi. Pemanenan madu secara tradisional dilakukan pada malam hari. Bahkan pada masyarakat di Sungai Telang Jambi, secara khusus pemanenan dilakukan pada saat tanggal 27 penanggalan bulan, sehingga kondisi bulan tidak terlihat atau

49 32 bulan mati (Aliadi dan Djatmiko 1998). Pertimbangan jarak tempuh ke lokasi panen juga menjadi bahan pertimbangan. Jika lokasi pemanenan jauh maka sejak siang kelompok pemanjat sudah pergi ke lokasi dimaksud, terutama bila masih harus berjalan kaki masuk ke dalam hutan. Alat-alat yang diperlukan dalam pemanenan madu adalah: 1) tangga/salimangkat, 2) timbo (ember), 3) Tunam (obor), 4) pisau pengiris, 5) tali, 6) jerigen dan corong, dan 7) alat peniris madu. Tunam/obor yang dipergunakan masih tradisional dengan memanfaatkan kulit kayu jangkang (Dellenia exenia) untuk mengusir lebah pergi dari sarangnya dan mengecoh lebah agar terbang mengikuti bara api tunam. Bara dari tunam kayu jangkang bisa bertahan lama dan tidak mudah mati. Asap dari bara tunam ini aman dan tidak mematikan lebah madu. Tunam yang masih baru dengan panjang ±1 meter dapat dipakai hingga 2 kali panen. Perlu ketepatan waktu untuk persiapan alat-alat terutama tangga dan tali temali untuk memanjat sialang (Gambar 4). Tangga ini mampu bertahan untuk satu tahun lamanya, sehingga untuk periode panen berikutnya masih bisa dimanfaatkan hanya perlu melihat kondisi rotan yang mengikat pohon dengan tangga yang dibuat. Seringkali tangga juga dimanfaatkan beruang untuk mendapatkan madu, pemangsa madu yang lain adalah burung elang. Untuk perlindungan, biasanya disekeliling pohon ditutup dengan seng. a b Gambar 4 Tangga yang digunakan untuk memanjat sialang (a) induk lie, (b) induk tukis.

50 33 Keterangan : a b : Induk Lie adalah sarana pemanjat untuk naik ke pohon. kayu-kayu diikat di batang pohon dengan menggunakan rotan yang disebut tali pinggang. Masing-masing tali pinggang berjarak ± 1m. Untuk mengikat rotan pada batang kayu agar dapat berfungsi juga sebagai penyekat dan penjejak kaki, maka dipakai potongan kayu kecil sebagai induk sungkit. : Induk Tukis adalah tangga penghubung tanah dengan pohon. Secara keseluruhan tangga untuk memanjat pohon yaitu induk tukis dan induk lie disebut sebagai sali mangkat Prosesi Panen Menurut kepercayaan setempat, pohon sialang dihuni oleh makhlukmakhluk halus atau disebut sebagai akuan, sehingga untuk dapat memanjat pohon harus disertai membaca doa dan monto atau mantera yaitu membacakan atau menyanyikan syair-syair dengan tujuan menenangkan atau membuai-buai sang lebah dan meminta ijin untuk dapat diambil madunya. Oleh sebab itu nyanyiannyanyian mantera disebut dengan menumbai atau mambuai-buai. Ritual-ritual dalam prosesi panen yang dilakukan oleh juagan disajikan pada Tabel 6. Pada saat peralatan telah siap dan bulan telah gelap, maka dimulailah kegiatan panen madu (Gambar 5). Tabel 6 Prosesi panen madu hutan No Tahap Makna dan Aktifitas 1. Prosesi Panen a. Menumbai - dilakukan dibawah pohon sialang sebagai penghormatan terhadap makhluk-makhluk halus atau akuan penghuni pohon - membaca doa dan monto atau mantera dengan tujuan menenangkan atau membuai-buai sang lebah dan meminta ijin untuk dapat diambil madunya b. Kaji - menepuk-nepuk pohon sebanyak tiga kali - saat terdengar dengungan dari lebah dan terdengar juga oleh semua yang ada di bawahnya maka diartikan lebah sudah menjawab - Jika lebah tidak mendengung, pohon kembali ditepuktepuk hingga diulang 3 kali. - Jika belum dijawab juga berarti hari itu sialang belum boleh dipanjat.

51 34 Tabel 6 Lanjutan No Tahap Makna dan Aktifitas c. Tanda alam - melihat bayangan anggota tubuh jari jemari, tangan, kaki, telinga, pada pohon sialang, jika utuh semuanya maka satu syarat lagi telah terpenuhi. - mengamati penampakan hewan-hewan di sekitar pohon seperti: cicak,lipan, kecoak, ular. Bagi kepercayaan mereka kadang kala hewan-hewan ini adalah perwujudan makhluk halus akuan penghuni pohon sialang - Pada saat hewan-hewan tersebut terlihat dengan posisi kepala menghadap ke puncak pohon maka berarti pemilik pohon mengijinkan untuk dipanjat. 2 Memanjat Sialang a. Dahan pertama (Jombang) b. Dahan tempat lebah bersarang (Balai Tonga) - Pembacaan mantera - Mantera disenandungkan berupa pujian untuk sang lebah yang digambarkan sebagai si hitam manis, memuji rumah lebah yang berada di balai tonga sebagai tempat yang cantik elok - sarang disapu menggunakan asap dari bara tunam sambil merapalkan mantera agar lebah pergi dari sarangnya - Bara dari tunam yang berjatuhan akan diikuti oleh lebah, bara tunam yang berhembus sesuai arah angin dapat menguntungkan pekerja karena tidak terganggu dengan lebah yang turun ke bawah Menyalakan Tunam Berdoa Memanjat sialang Gambar 5 Prosesi memanjat pohon sialang

52 35 Pada saat timbo telah penuh terisi madu, maka timbo diturunkan disertai dengan mendendangkan mantera, demikian hingga seluruh sarang dapat dipanen. Untuk mengakhiri kegiatan di atas pohon kembali mantera dinyanyikan sebagai tanda meminta pamit dan berterimakasih untuk nantinya akan berkunjung kembali. Prosesi panen yang dilakukan malam hari menimbulkan nuansa sakral dan penuh penghayatan. Gambar 6 menyajikan ilustrasi pada saat pemanjat berada diatas pohon sialang dan tampilan fisik sialang yang dipanjat oleh juagan. Gambar 6 Ilustrasi (Sumber: Hadisoesilo dan Kuntadi, 2007) dan tampilan sialang yang dipanjat oleh juagan saat panen 5.3. Hasil Panenan Pengolahan Hasil dan Kualitas Madu Bongkahan kepala madu yang telah disortir oleh juagan tuo di atas pohon akan disortir lagi oleh tukang tiris untuk menghilangkan sisa-sisa tai masam yang mungkin masih tertinggal. Tai masam atau bee pollen jika tercampur akan menurunkan kualitas madu sehingga akan diperhatikan sebaik mungkin agar tidak tercampur dengan madu yang ditiris. Setelah itu dilakukan kegiatan penirisan madu yang bertujuan untuk memisahkan cairan madu yang berada dalam kepala madu (Tabel 7). Kepala madu yang belum tertiris sempurna akan ditampung dalam wadah yang lain. Penirisan berikutnya akan dilakukan di rumah. Madu

53 36 hasil tirisan berikutnya ini akan lebih encer karena lebih banyak mengandung air. Biasanya madu ini diperuntukkan bagi konsumsi tetangga yang ingin membeli. Tabel 7 Tahapan penirisan madu No Tahapan Keterangan 1 Persiapan alat peniris madu 2 Hasil panenan dari dalam timbo dituang ke atas alat peniris. Timbo kemudian langsung ditarik lagi ke atas pohon 3 Untuk mendapatkan madu yang bersih maka kepala madu dicek kembali untuk membersihkannya dari sisa-sisa bee pollen yang terlewat oleh pemanjat. 4 Kepala madu diiris melintang dari penampangnya, untuk mengeluarkan cairan madunya. 5 Madu hasil tirisan mengalir ke dalam jerigen melalui corong yang telah diberi kasa sebagai penyaring Sarang lebah madu A.dorsata terdiri atas beberapa bagian yakni: kepala madu, bee pollen dan sarang anakan (Gambar 7).

54 Gambar 7 Susunan sarang lebah madu Apis dorsata (sumber: Hadisoesilo dan Kuntadi, 2007) Keterangan : 1) kepala madu dengan ketebalan dapat mencapai cm, 2) sel penyimpan bee pollen berada diatara sel madu dan sel anakan, 3) sarang anakan dengan ketebalan hanya berkisar 3,5 cm Madu hutan Tesso Nilo dikenal sebagai madu hitam, karena secara umum madu yang dihasilkan cenderung berwarna kemerahan dan gelap. Dikatakan bahwa warna tersebut disebabkan oleh sumber pakan lebah yaitu bunga sawit dan akasia, sebagaimana juga dinyatakan oleh Adalina (2011) tentang madu A.dorsata yang memiliki sumber pakan utama Acacia mangium, namun kurang diyakini oleh petani madu. hal tersebut juga Seringkali didapatkan madu dari pohon sialang yang jauh di dalam hutan pun warnanya hitam, sedangkan madu dengan sialang yang berada di sekitar akasia dan sawit terkadang juga berwarna kekuningan. Jika suatu ketika didapatkan hasil panen dengan madu yang lebih cerah warnanya, bisa jadi pada periode panen berikutnya madu yang dihasilkan berwarna kehitaman. Petani madu tidak secara khusus mengenali jenis-jenis tumbuhan pakan dari lebah madu, namun mengenalinya dari segi rasa. Pada saat bunga mateo banyak bermunculan maka warna madu hutan akan lebih gelap dan berasa pahit manis. Negueruela dan Arquillue (2000) menyatakan bahwa warna madu sangat tergantung oleh kandungan karoten, xanthophylls dan flavonol, seperti juga halnya mineral tanah yang terserap oleh perakaran tumbuhan kemudian mempengaruhi nektar bunga sehingga berpengaruh pada warna madu. Nektar yang berasal dari

55 38 berbagai jenis bunga juga akan memberikan warna madu yang gelap bahkan mendekati hitam (Negueruele dan Arquillue 2000). Kandungan asam amino lebih tinggi terdapat dalam madu berwarna gelap, demikian juga kandungan tyrosine dan tryptophan yang tidak dimiliki oleh madu dengan warna yang lebih muda (Negueruela dan Arquillue 2000). Tryptophan merupakan salah satu bentuk asam amino esensial yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh tubuh, memiliki manfaat untuk membantu mengatasi stress, insomnia, dan mengurangi pre menstrual syndrome (Medical Dictionary 2012). Sedangkan tyrosin merupakan jenis asam amino non essensial dalam tubuh yang bermanfaat untuk menyeimbangkan neurotransmiter otak, meningkatkan energi dan fokus tubuh (Live Strong 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Adalina (2011) tentang komposisi bahan yang terkandung dalam madu dari Apis dorsata yang berada disekitar HTI Acacia Mangium. Hasil tersebut dibandingkan dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk madu yaitu SNI disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Komposisi kandungan madu Apis dorsata dan standar madu dalam SNI No Jenis analisa Hasil analisa SNI 1 Kadar air (%) 25, Fruktosa (%), b/b dan Glukosa %, b/b merupakan gula tereduksi 42,56 35, Sukrosa (%), b/b Tidak terdeteksi 5 b 5 HMF (mg/kg) 0, Enzim diastase (DN) 68, Keasaman (ml N NaOH/kg) 101,38 50 Berdasarkan Tabel 8, kualitas madu Apis dorsata dengan sumber pakan Acacia mangium menunjukkan hasil yang memenuhi standar SNI kecuali untuk kadar air dan keasaman (Adalina 2011) Madu akan lebih encer pada saat sarang masih baru, sedangkan sarang dengan larva yang sudah besar dan warna sarang sudah kehitaman, madu akan

56 39 lebih kental dan semakin pekat warnanya. Petani madu mengenalnya dengan istilah sambang jalu. Bagi mereka madu tersebut lebih bagus dibanding yang lain, meskipun demikian tidak ada pembedaan, hasil madu sambang jalu tetap disatukan dengan madu yang lain. Pengambilan madu dibatasi hingga maksimal pukul pagi, sehingga jika dalam satu pohon tidak bisa tuntas dipanen pada malam itu, maka dilanjutkan pada malam berikutnya. Embun yang sudah mulai turun bisa mempengaruhi hasil madu berkaitan dengan kadar air yang dikandungnya. Sebagaimana penelitian Bogdanov (1999) dalam Sande et al. (2009) yang menyatakan bahwa secara umum kadar air mempengaruhi kualitas dari madu, semakin tinggi kadar air maka semakin mudah terfermentasi yang berakibat menurunnya kualitas. Peristiwa fermentasi lebih mudah terjadi pada madu dengan kadar air diatas 20% yang disebabkan oleh bakteri Khamir (Adalina 2011). Lebah madu hutan A. dorsata belum bisa dibudidayakan, namun mampu memberikan nilai lebih dibanding madu hasil lebah budidaya. Lebah budidaya dapat distimulasi perkembangan koloninya dengan perlakuan berupa pemberian pakan tambahan yakni sukrosa maupun fruktosa dan juga protein buatan (VanEngelsdrop dan Meixner 2010). Hal itu merupakan hasil rekayasa manusia untuk mendapatkan madu dari lebah secara konstan terutama pada saat paceklik pakan, atau juga untuk menggenjot produk selain madu yang dapat dihasilkan oleh lebah, seperti royal jelly, bee pollen. Sedangkan lebah madu hutan secara alami mendapat pakan dari hasil pencarian bermacam jenis tumbuhan dan bermigrasi teratur untuk mencari kecukupan pakan Pemasaran Madu Hutan Madu hutan Tesso Nilo merupakan produk yang sangat diminati oleh konsumen, berapapun jumlah madu yang dihasilkan dengan segera akan habis. Konsumen ini berasal dari berbagai tempat, bisa konsumen lokal yang berada di sekitar desa maupun para transmigran, juga konsumen dari luar daerah. Umumnya petani madu telah memiliki pelanggan tetap yang bisa langsung dihubungi pada saat memiliki stok madu, atau para konsumen ini yang menghubungi mereka langsung untuk menanyakan ketersediaan madu.

57 40 Data dari WWF-Riau Programme yang melakukan survey potensi madu sialang pada tahun 2009 menunjukkan hasil madu per bulan rata-rata di Desa Lubuk Kambang Bunga adalah ± 783kg dari 56 pohon sialang, sedangkan dari Desa Air Hitam ± 96 kg dari 8 pohon sialang yang tercatat dikelola oleh kelompok pemanjat dari desa-desa tersebut. Hasil madu sialang bersifat fluktuatif karena sangat tergantung dengan ketersediannya di alam. Pada saat musim tumbuhan hutan berbunga secara bersamaan, akan terjadi panen raya yang waktunya tidak tentu, sebagaimana pernyataan Momose et al. (1998) bahwasanya siklus pembungaan serentak pada hutan dataran rendah adalah antara 2-10 tahun dan interval tersebut tidak tetap. Produksi madu yang dihasilkan pada tahun-tahun terakhir semakin sulit diprediksi, bahkan mengalami penurunan yang sangat drastis. Menurut petani madu hal tersebut disebabkan oleh kejadian kebakaran juga timbulnya banyak asap sehingga lebah madu enggan bersarang di pohonpohon sialang. Petani madu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Madu Tesso Nilo, terdiri dari 3 kelompok pemanjat yang berasal dari Desa Air Hitam, Desa Lubuk Kambang Bunga dan Desa Gunung Sahilan. Kelompok-kelompok tersebut merupakan penyuplai kebutuhan asosiasi untuk pengiriman madu ke Malaysia. Serapan asosiasi untuk produk madu dari petani yang hanya didasarkan adanya pesanan dari pihak Malaysia menjadikan peran asosiasi menjadi sangat terbatas, sehingga petani lebih banyak menjual sendiri hasil madunya ke konsumen. Saat ini harga madu curah APMTN dihargai Rp47 000,00 per kilogram. Sedangkan jika konsumen langsung membeli pada petani madu maka harga umumnya akan ditawarkan sebesar Rp35 000,00 per kilogram dan jika memang terjadi tawar menawar maka harga berkisar Rp30 000,00 Rp35 000,00 per kilogram. Bahkan jika mendekati masa liburan dimana banyak perantau disana yang hendak mudik seperti para transmigran atau pegawai-pegawai perusahaan di sekitar desa, harga bisa mencapai Rp40 000,00 Rp50 000,00 per kilogram. Harga madu dari petani akan dibeli oleh pihak APMTN sebesar Rp per kilogram. Harga tersebut diperoleh dari hasil kesepakatan diantara para petani sendiri pada saat pembentukan APMTN. Madu curah yang dibeli oleh pihak APMTN terutama digunakan untuk suplai permintaan konsumen dari TLH

58 41 Product Industries Sdn Bhd, Malaysia. Permintaan ini tidak tetap, pada tahun 2011 dilakukan 7 kali transaksi dengan masing-masing sebesar 1 ton madu. Namun sepanjang tahun 2012 hingga bulan Juli 2012 belum ada permintaan kembali. Madu hutan Tesso Nilo di Malaysia biasanya dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan permen, ice cream, juga bahan kosmetik dengan label mereka sendiri. Hal ini tidak masalah bagi pihak WWF selaku pendamping petani madu APMTN karena pihak Malaysia sudah cukup fair dengan memvideokan proses pemanenan untuk kepentingan promosi mereka dengan pernyataan madu berasal dari hutan Tesso Nilo dimana madu hutan melimpah ruah. Proses pengiriman ke Malaysia dilakukan secara langsung dari kantor APMTN di Desa Lubuk Kambang Bunga menuju Pelabuhan Dumai Riau, kemudian menggunakan kapal laut ke Port Klang Malaysia. Pengiriman madu ke Malaysia mereka istilahkan melalui jalur tikus, karena tanpa menggunakan dokumen-dokumen resmi untuk ekspor komoditas. Alasan yang lain adalah karena tidak adanya ekspedisi atau jasa pengiriman yang sanggup untuk melakukan pengiriman madu hingga ke Malaysia. Jangkauan pemasaran untuk produk madu hutan Tesso Nilo belum terlalu luas karena seringkali masih kalah bersaing dengan produk madu Sumbawa yang membawa brand yang cukup kuat untuk kesehatan pria, juga produk madu Danau Sentarum yang terkenal karena berasal dari Borneo. Penampilan atau warna produk madu dari Sumbawa dan Danau Sentarum memang lebih menarik bagi konsumen karena memiliki warna kekuningan jernih, sedangkan madu hutan Tesso Nilo adalah madu hitam dengan pasar yang masih terbatas. Berbagai upaya sudah dilakukan pihak WWF sebagai pendamping petani madu, melalui Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI) dimana APMTN juga menjadi anggotanya untuk semakin memperluas segmen pasar madu hitam, namun belum menampakkan hasil yang menggembirakan. PT Dian Niaga yang selama ini menjadi pemasar madu dari para Anggota JMHI, pernah memesan ± 300 kg madu pada tahun Namun hingga April 2012 belum ada pesanan kembali, karena menurut pihak PT Dian Niaga suplai dari Sumbawa masih mencukupi, dan terkendala dengan minat konsumen yang kurang pada madu yang berwarna gelap. Perlu pembelajaran bagi konsumen

59 42 untuk mengenali kualitas tinggi madu bukan dari warnanya yang lebih terang, karena ternyata madu hitam memiliki kandungan antioksidan yang lebih tinggi dan merupakan hasil nektar berbagai macam jenis tumbuhan. Sangat potensial sebenarnya untuk menjadi madu yang sangat diminati jika konsumen luas mengetahui informasi tersebut. Pihak APMTN juga membuat produk madu kemasan dengan label green and fair product dari pihak WWF. Produk madu dalam kemasan ini merupakan madu hutan yang telah dikurangi kadar airnya, dari sebelumnya dengan kadar air 22% - 24% menjadi hanya ± 18% saja. Untuk 1 kilogram madu akan mengalami penyusutan ± 250ml pada saat telah berkurang kadar airnya. Waktu yang dibutuhkan untuk mengurangi kadar air ± 24jam. Namun kendalanya adalah listrik di Desa Lubuk Kambang Bunga yang hanya tersedia di malam hari, sehingga seringkali membutuhkan waktu hingga 3 hari untuk menjadi produk yang siap dikemas. Madu kemasan dijual dengan harga Rp35 000,00 per 250ml. Produk terutama disediakan atau dijual untuk kepentingan kunjungankunjungan tamu, atau pameran-pameran dan sedikit dilepas di pasaran dengan menitipkannya ke apotik dan toko obat. Pada tahun 2011 tercatat 500 kilogram madu dikurangi kadar airnya dan dikemas. Pembuatan dan pemasaran madu dalam kemasan ini belum dilakukan dengan profesional dan dimanajemen dengan baik karena dibuat hanya berdasarkan pesanan, disamping itu dari segi SDM belum ada upaya pengembangan maupun peningkatan ketrampilan. Produk sampingan lain dari madu hutan adalah lilin lebah. Belum banyak permintaan untuk lilin lebah, terakhir pemesanan dari Yogjakarta sebanyak 200 kilogram pada tahun 2011 dan dari Malaysia sebanyak 50 kilogram, dengan harga Rp15 000,00 per kilogram. Jika tidak ada permintaan lilin ini disimpan saja oleh para petani. Produk bee pollen juga sudah ada yang berminat, biasanya digunakan sebagai bahan baku kosmetik, dan dihargai Rp20 000,00 per kilogram kering. Sayangnya pemanfaatan bee pollen belum populer bagi petani madu Tesso Nilo, terutama karena pertimbangan harga untuk bee pollen kering yang terlalu rendah dibandingkan resiko pengambilannya, menjadikan pengambilan produk ini belum dilakukan untuk kepentingan komersial.

60 Transfer Pengetahuan dan Perubahan Transfer pengetahuan tentang pemanfaatan madu hutan dilakukan secara turun temurun. Pemanjat akan menurunkan ilmunya pada anak, menantu atau kerabatnya sepersukuan yang bersedia untuk belajar dan bernyali untuk mampu memanjat pohon sialang. Proses memanjat sialang membutuhkan kemampuan untuk menumbai, suatu pengetahuan yang bagi masyarakat petalangan merupakan bagian dari tradisi lisan turun temurun, tunjuk ajar dalam memanfaatkan sumber daya alam. Tradisi menumbai merupakan bagian dari tombo/terombo hasil pewarisan adat istiadat, sehingga memiliki pakem saat digunakan baik itu cara bertutur maupun isi syair yang disenandungkan yang sudah tetap. Disebut tradisi lisan karena penyampaiannya memang melalui lisan kepada generasi berikutnya yang memang mau belajar. Proses pembelajaran akan dilakukan dengan mengikuti kegiatan yang dilakukan pemanjat saat memanen madu, memperhatikan, dan mengingat senandung yang dituturkan. Pengalaman-pengalaman dalam memanfaatkan sumber daya alam turut menyumbangkan kematangan masyarakat tradisional dalam mengelola alam, akumulasi dari pengalaman akan bermanfaat untuk pengelolaan sumber daya alam dengan lebih baik. Pengetahuan tradisional untuk mengatur kehidupan secara umum bagi masyarakat suku Melayu Petalangan merupakan suatu bentuk sastra lisan yang saat ini kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Proses pewarisannya terhambat oleh kurang minatnya generasi muda dalam mempelajari budayanya sendiri. Disamping itu terombo yang berisi asal-usul persukuan, tata batas hak wilayat menjadi tak berarti saat disenandungkan, pada saat segala apa yang terucap di dalamnya sudah tidak dapat lagi ditemukan dalam kenyataan. Tradisi lisan disebut sebagai nyanyi panjang dan orang-orang yang menguasai tombo (pebilang tombo) yang dilantunkan dalam nyanyi panjang sebagian besar merupakan generasi yang sudah uzur bahkan banyak sudah wafat. Terkadang juga karena demikian lamanya nyanyian panjang tidak disenandungkan banyak diantaranya yang sudah lupa isi dari tombo.

61 44 Pewarisan nyanyi panjang tombo ke generasi berikutnya memiliki kaidah yang diatur dalam adat, sebagaimana disarikan dari Effendy (2008) sebagai berikut : - Pewaris merupakan anggota persukuan yang dipilih oleh ketua persukuan, pemangku adat dan orang tua-tua adat, dipilih yang memiliki ingatan kuat, cerdas, fasih dan bagus suaranya - Orang-orang terpilih (rata-rata tiga orang, bisa dua laki laki satu perempuan atau dua perempuan satu laki-laki) kemudian dilatih oleh penutur sebelumnya - Setelah dilatih dan dianggap mampu melakukan nyanyi panjang maka diujikan dengan mengundang anggota persukuan untuk menyaksikan mereka bertutur, jika sudah dianggap baik maka mereka akan ditetapkan sebagai penutur nyanyi panjang yang akan mewariskan ke generasi berikutnya. Luruhnya pengetahuan tradisional disebabkan oleh tersingkirnya adat istiadat masyarakat setempat. Manusia saat ini mulai merasa lebih logis dan realistis, sehingga ada yang menganggap adat istiadat sebagai keterbelakangan. Maka tradisi manumbai merupakan tata cara adat turun temurun yang terjaga karena pemanenan madu hutan masih berlangsung hingga saat ini. Masyarakat yang masih berpegang teguh pada ajaran tersebut sesuai tuntunan nenek moyang pun masih dapat ditemukan. Meskipun dari hasil wawancara dengan informan yang masih muda mereka tidak lagi menganggap monto manumbai sebagai sesuatu yang terlalu dibesar-besarkan, sebagaimana diungkapkan sebagai berikut : saya sangat percaya pada aturan adat dengan membaca mantera, dan perlunya perlindungan diri, tapi sebagai orang Islam yang terpenting adalah berdoa dan kondisi fisik bagus dan nyali yang besar untuk mampu memanjat sialang (RN 33 tahun, pemanjat) RN adalah generasi muda pemanjat yang sudah bersedia untuk memanen siang hari, jika kondisi memaksa atau pemilik pohon menginginkannya. Sedangkan pemanjat generasi tua sama sekali tidak mau panen siang karena itu larangan besar dari nenek moyang. Bagi generasi muda, saat ini lebih baik berpikir praktis dan realistis saja, karena jika terlalu lama menunggu maka hasil madu sudah banyak berkurang.

62 45 Pada saat panen memungkinkan dilakukan malam hari, mereka pun lebih memilih waktu tersebut, dengan tetap melaksanakan prosesi ritual dan menghitung saat yang tepat. RN pernah membuktikan saat ritual menepuk pohon dan lebah tidak berdengung meskipun sudah ditepuk hingga tiga kali, maka pada saat sudah berada di atas pohon kawanan lebah menyerangnya. Panen malam itu gagal karena tidak mungkin memaksakan diri dengan kondisi lebah yang agresif sehingga terpaksa harus turun saat itu juga. Panen siang dapat dilakukan kapan pun selama madu sudah siap panen. UP (28 tahun, komunikasi pribadi) adik dari RN masih enggan mempelajari mantera manumbai karena menurutnya merepotkan karena harus menghafal, dan jikapun harus panen malam masih ada orang yang bisa melakukan ritual, dia bertugas memanjat saja. Pada masa lalu madu hutan merupakan produk yang sangat jarang diperjualbelikan lebih banyak menjadi konsumsi keluarga atau masyarakat adat yang memiliki pohon-pohon sialang (kebutuhan subsisten). Pemanenan yang hanya dapat dilakukan setahun sekali, menjadikan madu hutan bukan komoditas yang dapat diharapkan menjadi tumpuan penghidupan. Oleh sebab pemanenan yang hanya dapat dilakukan setahun sekali maka di masa lalu madu hutan disebut sebagai madu taon. Rendahnya nilai pasar bagi madu di masa lalu, perjalanan jauh ke pasar dan kesulitan pengangkutan akibat belum adanya transportasi yang memadai tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membawanya. Harga yang masih rendah dan berbagai kendala tersebut menjadikan kurang minatnya masyarakat memasarkan madu hutan pada saat itu. Sejalan dengan waktu, terjadi pergeseran minat masyarakat luas pada bahan-bahan herbal dan alami untuk menjaga kesehatan dan pengobatan berbagai penyakit dengan efek samping yang minimal bagi tubuh, maka makin meningkat pula permintaan terhadap madu hutan. Permintaan yang semakin meningkat dapat memacu pengelolaan madu hutan secara lebih intensif dalam upaya memperoleh hasil lebih cepat, dengan cara survey keberadaan sarang setiap bulan, membersihkan tumbuhan bawah sekitar sialang agar lebah mau bersarang. Oleh karena itu kemudian madu hutan dapat dipanen 3-4 kali dalam setahun. Adanya panen siang merupakan pengaruh yang dibawa oleh masyarakat dari Sumatera Barat. Bagi generasi tua pemanjat, panen siang inilah yang menjadi

63 46 penyebab 2 tahun ini lebah madu jarang bersarang ke pohon sialang mereka. Panen siang menyebabkan banyak lebah mati dan menjadi jera bersarang di sana. Meskipun mereka tidak melakukan panen siang tapi mendapatkan imbasnya berupa penurunan kuantitas panenan. Perbedaan siang dan malam menurut petani madu memberikan rasa yang berbeda, jika madu dipanen siang akan lebih terasa bau sengatnya dan jumlah yang dapat dipanen lebih sedikit dibanding jika dipanen malam. Perlindungan diri untuk panen siang berupa pakaian berlapis-lapis dan berat, wajah pun dilindungi dengan rapat, untuk menahan serangan lebah. Sedangkan panen malam tidak perlu baju hingga berlapis-lapis dan cukup memakai tudung kepala. (komunikasi pribadi: MN, SO, BU). Hal itu berkaitan dengan agresifitas lebah madu yang dirasakan oleh pemanjat, panen siang akan menyebabkan lebah menyerang jika terusik sarangnya, sedangkan saat panen malam lebah cenderung lebih tenang dan terkendali. Kekhawatirannya adalah pada saat kaum muda sudah kurang memahami esensi dari pengetahuan tradisionalnya sendiri. Kondisi ini memprihatinkan karena lambat laun menumbai sebagai salah satu tunjuk ajar adat budaya yang tersisa akan turut menghilang sebagaimana tombo-tombo persukuan yang lain. Menyikapi kondisi tersebut pihak Dewan Kesenian Kabupaten Pelalawan melalui Asosiasi Tradisi Lisan Riau berusaha untuk menggali kembali tradisi menumbai, menuliskannya, mendokumentasikannya sebagai bentuk pelestarian sebuah falsafah hidup tentang menjaga dan memelihara kelestarian alam (Komunikasi pribadi, Tengku Nahar, Sekretaris Dewan Kesenian Kabupaten Pelalawan) Komersialisasi dan Adopsi Inovasi Produk Trend untuk back to nature dan save the planet menjadikan permintaan konsumen terhadap madu hutan sebagai produk yang lebih bersih dan higienis juga bersahabat dengan alam dalam pemanfaatannya. Permintaan yang tinggi terhadap madu hutan didasari oleh daya tarik utama penghasil madu yaitu lebah hutan liar yang menggambarkan kealamian produk yang dihasilkannya. Kemudahan akses menuju Desa Lubuk Kambang Bunga maupun Air Hitam juga mendukung peningkatan kemampuan pasar madu hutan untuk menembus khalayak yang lebih luas.

64 47 Penghasil madu hutan Tesso Nilo yaitu lebah A.dorsata merupakan jenis lebah yang belum mampu dibudidayakan, sehingga ketersediannya sangat tergantung dari keberadaannya di alam. Faktor perilaku lebah A.dorsata yang agresif dan penempatan sarangnya yang secara alami berada di lokasi terbuka menyulitkan untuk dilakukan budidaya. Berbeda dengan jenis A.mellifera dan A.cerana yang memiliki tipe persarangan alami yang diletakkan pada lubanglubang pohon atau tempat tertutup, sehingga memudahkan lebah untuk beradaptasi saat dibudidayakan dalam kotak-kotak untuk tempat bersarang buatan (Bradbear 2009). Produk madu dari lebah yang belum bisa dibudidayakan inilah yang mampu menarik minat konsumen, karena satwa ini akan mencari berbagai sumber pakan alami dari berbagai macam jenis tumbuhan di alam. Oleh sebab itu hal yang sangat penting dilakukan adalah dengan tetap mempertahankan ketersediaan pakan yang cukup bagi keberlangsungan produk dengan cara menjaga kualitas hutan sebagai lingkungan tempat lebah bersarang. Pada tahun 2009 pihak TNTN dan WWF-Riau Programme mengadakan pelatihan singkat tentang pengembangan sistem pengawasan mutu Internal dengan mentor dari ICS (Internal Control System) dan fasilitator dari Aliansi Organik Indonesia (AOI). Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk peningkatan ketrampilan petani madu dalam memperlakukan produk dan memberikan informasi tata cara panen yang lebih ramah lingkungan. Kegiatan tersebut sekaligus menjadi proses pembentukan APMTN. Tabel 9 menyajikan beberapa perubahan dalam tata cara panen dan pengolahan produk. Tabel 9 Perubahan tata cara panen dan pengolahan produk No Pengetahuan Lokal Tata Cara Baru 1. Teknis Pemanenan - Pemanenan dilakukan dengan mengiris semua bagian sarang tanpa menyisakan anakannya. Hal tersebut mempunyai pengaruh negatif bagi kelangsungan populasi lebah (Khan, 1999) - Peralatan panen masih seadanya, pisau pengiris terbuat dari besi yang mudah berkarat - Pemanenan sarang dilakukan hanya pada kepala madu dan meninggalkan anakan lebah. - Menyisakan sedikit kepala madu untuk bahan makanan anakan lebah ±3-4 cm - Teknik pemotongan kepala madu dengan irisan miring bukan vertikal agar sarang mampu bertahan dari terpaan angin.

65 48 Tabel 9 Lanjutan No Pengetahuan Lokal Tata Cara Baru - Pemanenan dilakukan dengan - Peralatan untuk mengiris sarang menghitung jumlah saranf yang menggunakan pisau stainlesstell, memenuhi standar minimal untuk atau irisan bambu yang dipanen ditajamkan (sesuai ajaran nenek moyang, tidak diperkenankan membawa alat semacam besibesi yang tajam), timbo menggunakan ember yang bersih - Pada saat jumlah minimal panen sarang terpenuhi maka harus dilihat kepala madu yang dipanen sudah tebal dan terlihat menggembung 2. Pengolahan produk dan standarisasi alat - madu diperas memakai tangan - sortiran hanya dilakukan diatas pohon oleh pemanjat, hingga sesampai di bawah langsung diperas, tanpa disortir lagi sehingga produk seringkali tercampur anakan dan bee pollen yang turut terperas - belum ada standarisasi untuk peralatan yang bersih - wadah penampung memakai tempat seadanya tanpa pertimbangan kebersihan - madu ditiris dengan menggunakan alat peniris - kepala madu disortir oleh pemanjat, kemudian oleh tukang tiris di bawah, sehingga bersih dari bee pollen maupun anakan yang masih tersisa - penirisan dilakukan selama maksimum 1,5 jam untuk menghindari tingginya kadar air. - penirisan madu menggunakan alat-alat yang bersih : pisau stainlessteel agar bebas karat, sarung tangan dan masker - jerigen penampung hasil adalah jerigen baru yang bersih Aturan tata cara baru untuk menyisakan sarang dan sedikit kepala madu merupakan upaya untuk kelangsungan panen, dapat dilakukan selama 2 kali periode panen. Pada periode panen ke-3, biasanya anakan sudah besar dan mampu terbang maka sarang akan dijatuhkan karena jika tidak dilakukan, sarang yang tersisa dan kosong akan menyebabkan koloni lebah berikutnya enggan bersarang. Woyke et al. (2001) menyatakan bahwa pada saat pertama kali membangun sarang, lebah tidak akan menempati sarang kosong yang masih tersisa mereka akan menggunakan tempat yang lain meskipun itu sangat berdekatan, sehingga

66 49 sisa sarang yang tertinggal akan menghalanginya untuk bersarang di tempat yang sama. Sarang yang telah ditinggalkan suatu koloni biasanya sudah tua, berwarna kecoklatan gelap, sehingga elastisitasnya sudah berkurang, sehingga tidak dapat digunakan lagi sebagai tempat berkembang telur-telur lebah. Pada pemanenan dengan tata cara baru dengan menyisakan sarang, maka periode panenan berikutnya akan menghasilkan madu yang lebih sedikit, namun paling tidak pemanenan dapat dilakukan lebih teratur. Cara tersebut tidak dapat dilakukan untuk setiap sarang yang dipanen, pada saat posisi sarang terlalu dekat dengan ujung dahan, maka sarang dijatuhkan semua untuk mengurangi berat yang ditanggung dahan karena adanya pemanjat di atasnya. Inovasi yang terjadi pada pengolahan produk dengan penirisan awalnya bagi petani madu dianggap merepotkan dan lama, namun terbukti adanya peningkatan kualitas disertai harga maka petani madu bersedia merubah cara peras menjadi tiris. Peningkatan harga madu pada awalnya mengagetkan konsumen. Namun setelah melihat kondisi madu yang tampak lebih bersih dan jernih peningkatan harga tidak menjadi masalah. Pengguna madu meliputi juga masyarakat yang tidak dapat menjangkau harga madu tiris, sehingga untuk segmen ini masih tersedia madu peras yang lebih murah harganya. Namun khusus petani madu yang telah tergabung dalam APMTN, madu yang dipanen sudah diproses dengan cara ditiris, tidak lagi menggunakan cara peras. Sebelumnya tata cara madu tiris sudah diperkenalkan pada petani madu sejak tahun Namun karena harga belum bagus dan masih sama saja dengan peras maka kecenderungan masih banyak memeras agar proses lebih cepat. Sejak terdapat APMTN sebagai wadah petani madu berorganisasi dan sepakat mengenai harga dengan konsekwensi tata cara yang lebih higienis dan ramah lingkungan maka harga madu terdongkrak menjadi lebih baik. Penghasilan dari madu hutan ini memberikan hasil yang sangat cukup meskipun tidak dapat menjadi tempat menggantungkan nafkah karena sifatnya yang tidak kontinu tiap bulan. Gambaran penghasilan yang diperoleh petani madu dengan cara tiris jika diasumsikan panen menghasilkan 100 kg hasil madu dengan sialang penguasaan adat dan kelompok sejumlah 5 orang. Pemanjat akan mendapatkan penghasilan hingga Rp ,00 sedangkan pekerja dibawah akan mendapatkan penghasilan hingga Rp ,00.

67 50 Penghasilan tersebut didapatkan dari panen satu malam dan pada satu pohon sialang, seringkali kelompok pemanjat akan memanen selama beberapa malam untuk beberapa pohon sialang. Inovasi merupakan bentuk upaya mengatasi kekurangan dan ketidakpuasan untuk memperoleh mutu yang lebih baik (Koentjaraningrat 1990), sehingga berbagai perubahan yang terjadi dalam pengetahuan masyarakat merupakan sebuah kewajaran. Kearifan lokal sebagai bagaian dari pengetahuan lokal senantiasa berkembang mengalami penguatan kearah yang lebih baik (Ali Murtopo 1978 dalam Sartini 2004). Menghadapi berbagai dinamika yang terjadi, secara alami sebuah budaya memiliki filter berupa local genius yaitu identitas/kepribadian budaya yang menyebabkan suatu masyarakat mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Sartini 2004). Efek terjadinya komersialisasi menyebabkan perlunya sebuah dialog yang menjembatani antara pengetahuan lokal masyarakat terutama generasi muda yang terus berkembang dengan pemahaman terhadap pengetahuan yang menjadi identitas kulturalnya. Oleh sebab itu secara khusus banyak pemerhati budaya Melayu Petalangan yang concern untuk menggali dan mempertahankan keberadaan tata cara panen yang lestari, ritual manumbai dan panen malam hari sebagai identitas budaya yang patut dipertahankan Pemanenan Madu Hutan Tesso Nilo dan Implikasinya terhadap Konservasi Keanekaragaman Hayati Perlindungan untuk pohon sialang dalam imbo kopungan sialang (rimba kepungan sialang) secara adat adalah seluas ± 2 hektar, sehingga dalam kisaran luasan tersebut lingkungan sekitar sialang tidak diperkenankan diganggu (AI 80 tahun, Bathin hitam, komunikasi pribadi). Untuk kepentingan mendesak seperti pohon harus ditebang maka harus ada upacara adat dengan mengkafani pohon, karena bagi mereka pohon sialang adalah makhluk bernyawa yang setara dengan mereka, sehingga penghormatan dilakukan untuk menghargai kematiannya. Sebagaimana tercermin dalam tunjuk ajar masyarakat petalangan mengenai imbo kopungan sialang (Turner 1997):

68 51 Apo tando kopungan sialang Tompat sialang ampak daan Tompat lobah melotaan saang Imbo dijago dan dipeliao Imbo ta bolei ditobe tobang Bilo ditobe di makan adat Bilo ditobang dimakan undang Apa tanda-tanda hutan sialang Adalah tempat sialang menjulurkan dahan Tempat lebah meletakkan sarang Hutan dijaga dan dipelihara Rimba tidak boleh dibuka dan ditebang Bila dibuka di hukum adat Bila ditebang ada aturannya Keberadaan tunjuk ajar yang demikian menunjukkan bahwa masyarakat dalam pengetahuan lokalnya telah memiliki maksud-maksud yang jelas dalam upayanya melakukan pengaturan terhadap pemanfaatan sumberdaya dalam hutan. Sebuah penelitian dari Dyer dan Seeley (1991) dalam Zurbuchen et al. (2010) mengemukakan tentang kemampuan foraging dari lebah madu A.dorsata yang mencapai 12 km. Hal tersebut mengisyaratkan bahwasanya pengetahuan tradisional masyarakat dengan adanya aturan rimba kepungan sialang menjadi sesuatu yang dapat diterima secara ilmiah. Kepungan sialang akan memberikan ruang bagi lebah untuk leluasa mencari pakan dalam radius yang cukup dan sesuai dengan kemampuan foragingnya. Keberadaan penelitian-penelitian ilmiah yang belum berkembang seperti saat ini, maka kemampuan manusia secara alami untuk belajar dan beradaptasi dengan lingkungan menunjukkan keeratan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Hal tersebut merupakan hasil ekstraksi dari kemampuan masyarakat di masa lalu untuk mempelajari alam lewat pertandapertanda yang diberikan. Keanekaragaman tumbuhan yang tinggi pada wilayah yang berada di sekeliling sialang menjadikan imbo kepungan sialang dilindungi secara khusus dan penggunaannya dibatasi. Imbo menjadi sumber plasma nutfah bagi hutan secara keseluruhan. Sumber daya alam yang berharga bagi masyarakat yaitu madu dan lilin juga tumbuhan obat bisa didapatkan juga dalam imbo. Pohon sialang secara fisik merupakan tumbuhan yang menempati tajuk teratas dari komposisi hutan, memberikan perlindungan bagi banyak kehidupan yang lain. Hal-hal tersebut yang menjadi ajaran adat dari masyarakat Suku Melayu Petalangan (Turner 1997).

69 52 Perlindungan terhadap pohon sialang berarti juga perlindungan bagi serangga penyerbuk seperti lebah madu A.dorsata. Meskipun A.dorsata bukan merupakan pollinator terbaik bagi semua tumbuhan, karena sifatnya yang merupakan pencari nektar, sedangkan beberapa jenis tumbuhan tidak menghasilkan nektar hanya pollen (Kevan 1999). Pollen tetap dibutuhkan sebagai penyedia protein bagi lebah namun dicari sesuai kecukupan kebutuhan koloni saja (Kevan 1999; Minarti 2010). Polen penting bagi perkembangbiakan dan masa hidup lebah (Minarti 2010), sedangkan nektar berguna untuk penyedia energi pergerakan lebah, terutama untuk terbang (Kevan 1999). A.dorsata merupakan pollinator utama bagi beberapa jenis tumbuhan dataran rendah penting seperti dari famili Dipterocarpaceae, Leguminosae, Orchidaceae, Meliaceae, Sterculiaceae (Momose et al. 1998). Masa aktif A.dorsata pada pukul dan hingga malam pukul merupakan jeda waktu dimana serangga sosial lainnya belum aktif atau sudah mengakhiri aktifitasnya. Bagi tumbuhan dengan pembungaan pada jam seperti Dryobalanops spp, Dipterocarpus tempehes, Dillenia exelsa, atau spesies Dipterocarpus spp yang berbunga pada pukul maka A. dorsata yang sangat berperan (Momose et al. 1998). Untuk itulah peran lebah hutan tidak bisa dikesampingkan untuk menjaga kelangsungan adanya jenis-jenis tumbuhan tersebut. Pada kawasan TNTN, ketersediaan pakan lebah dari dalam kawasan ditunjang dengan kekayaan jenis dalam ekosistem hutan dataran rendah. Kawasan hutan Tesso Nilo dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dapat diketemukan jenis tumbuhan per hektar yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku, selain itu ditemukan 82 jenis tanaman obat (LIPI 2003). Jenis-jenis tumbuhan obat biasanya merupakan jenis yang berbunga sepanjang tahun, sehingga menjadi sumber pakan bagi lebah madu. Itulah penyebab madu hutan sekaligus berkhasiat obat karena nektar didapatkan dari tumbuhan dengan beragam manfaat obat. Tumbuhan hasil budidaya dari perkebunan seperti karet, akasia (Acacia mangium), kelapa sawit (Elaeis guinensis), juga menyediakan pakan bagi lebah madu, karena kawasan TNTN berbatasan langsung dengan perkebunan-perkebunan, baik milik masyarakat maupun perusahaan.

70 53 Pengetahuan tradisional masyarakat Melayu Petalangan yang menjadi persukuan utama dari masyarakat Desa Lubuk Kambang Bunga dan Desa Air Hitam tentang penataan hutan dan lahan dalam sejarahnya bukan hanya pada keberadaan pohon sialang. Wujud dari kedekatan mereka dengan hutan dan lingkungan tercermin dalam pengetahuan mereka yang secara tradisional memberikan pengaturan pada penggunaan lahan dan berbagai sumber daya penting yang dapat dimanfaatkan dari dalam hutan. Beberapa penggunaan lahan yang pada masa lalu terdapat dalam adat masyarakat Melayu Petalangan yang merupakan masyarakat asli di kedua desa tersebut adalah : 1) Tanah Kampung sebagai tempat pemukiman, 2) Tanah Dusun sebagai tempat berkebun dan cadangan tanah pemukiman, 3) Tanah Peladangan sebagai tempat berladang secara berpindah-pindah, dan 4) Imbo Laangan, yang terdiri dari imbo kopungan sialang (terdapat pohon-pohon sialang yang dimiliki secara komunal, dapat dimanfaatkan bersama-sama hasil madunya) dan Imbo simpanan/imbo dalam (tempat berbagai jenis pohon beserta hewan-hewan di dalamnya) (Turner 1997; Shomary 2005; Effendy 2008; LPUIR 2009). Satu bagian lain dari imbo laangan adalah imbo simpanan yang bagi tunjuk ajar masyarakat ini dirinci sebagai berikut (Turner 1997) : Apo tando imbo simpanan Tompat kayu amuan umah Tompat kayu lobat bebuah Tompat kayu banyak gotah Tompat gau dengan dame Tompat otan beampaian Tompat ake bejeloan Tompat binatang beanak pinak Tompat sosak dilopean Tompat sompit dilapangkan Tompat nasib ditumpangkan Tompat akuan dibosakan Tompat menjadi sui teladan Apa tanda rimba simpanan Tempat mengambil kayu untuk rumah Tempat pohon berbuah banyak Tempat adanya pohon bergetah Tempat adanya gaharu dan damar Tempat terdapatnya bermacam rotan Tempat akar-akar menjalar Tempat satwa berkembang biak Tempat melupakan kesedihan Tempat rasa sesak dilapangkan Tempat masa depan disandarkan Tempat akuan berasal Tempat sumber suri tauladan untuk kehidupan Kepercayaan yang mereka anut adalah bahwa penggunaan hutan dan lahan tidak diperkenankan sembarangan karena akan mendatangkan musibah (Shomary 2005). Menebang pohon hanya seperlunya tidak mubazir dan harus melalui upacara adat. Pohon hutan yang tidak boleh ditebang adalah, pohon yang buahnya

71 54 bisa di makan, kayu berminyak, kayu induk gaharu, induk kemenyan, induk damar, juga pohon sialang. Kemampuan masyarakat ini secara turun temurun untuk mengatur dan memelihara alam dan sekitarnya merupakan bukti ketinggian ilmu sebagai bagian dari upaya menjaga kelangsungan kehidupan. Hal tersebut secara hakiki merupakan perwujudan pengakuan pada hutan dan lahan sebagai pendukung kehidupan manusia yang harus dihormati untuk memenuhi kebutuhan lahiriah yaitu secara sosial, ekonomi dan batiniah untuk kepentingan budaya secara berkelanjutan (Turner 1997). Pada masa lalu penguasaan atas tanah diatur berdasarkan persukuan dimana mereka telah turun temurun mendiami kawasan tersebut. Wilayah itu disebut sebagai Hutan Tanah Wilayat atau Tanah Wilayat. Hak atas tanah tersebut ditentukan berdasarkan Tombo atau Terombo yang merupakan asal usul hutan tanah dan persukuan pemiliknya juga mengandung petuah-petuah nilai luhur budaya masyarakatnya. Kerajaan Pelalawan sebagai tempat bernaung suku-suku memberikan pengakuan semacam Surat Keterangan Hutan Tanah kepada Kepala Persukuan berdasarkan tombo masing-masing persukuan (Effendy 2008). Sayangnya aturan adat yang telah dengan solid memberikan peraturan yang luhur tentang pengaturan hak milik, dan tata batas atas tanah dan hutan persukuan harus berakhir seiring berubahnya struktur pemerintahan. Kepala suku yang dahulu menjadi pemimpin formal menjadi tergeser perannya dengan adanya Kepala Desa yang dipilih berdasarkan aturan pemerintah Indonesia (Effendy 2008). Tombo yang mereka pegang kemudian seakan-akan tidak berarti dan yang semakin menyakitkan bagi masyarakat lokal adalah pemindahan pemanfaatan hutan mereka kepada perusahaan-perusahaan besar yang mengusahakan HPH, kelapa sawit dan HTI, tanpa mengindahkan keberadaan mereka sebagai masyarakat setempat. Kepemilikan yang diatur oleh negara menjadikan peran hutan sebagai pengemban fungsi ekologi sekaligus pemenuhan kebutuhan bagi manusia menjadi terbagi-bagi berdasarkan sistem yang diatur oleh pemerintah. Kepemilikan oleh negara menyebabkan kearifan yang dimiliki masyarakat dalam mengatur hutan dan lahan dihilangkan sama sekali dan semakin tergerus oleh berbagai

72 55 kepentingan. Hal tersebut juga terjadi pada masyarakat di Desa Lubuk Kambang Bunga dan Air Hitam, sebagai contoh banyaknya pohon sialang masyarakat adat yang ditebang sia-sia untuk pembukaan perkebunanan dan pemberian ijin konsesi HPH. Kondisi tersebut pengaturan hutan dan lahan oleh masyarakat setempat. menjadi pelengkap semakin menghilangnya budaya Adanya pengetahuan lokal masyarakat Melayu Petalangan yang memanfaatkan madu hutan dengan tata cara tertentu dan terlembaga akan memberikan sumbangan dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara berkesinambungan. Tata cara pemanenan yang merupakan perwujudan dari sikap menghargai alam diantaranya terhadap pohon sialang juga lebah-lebah penghasil madu merupakan bentuk penghormatan bagi penghasil sumberdaya yang bermanfaat bagi kehidupan mereka, sehingga pemanfaatannya tidak akan dilakukan dengan semena-mena. Pemanenan madu hutan dengan menggunakan pengetahuan tradisional dapat memberikan implikasi yang positif maupun negatif terhadap konservasi keanekaragaman hayati (Tabel 10). Tabel 10 hayati Tahapan 1) Persiapan Panen a. Proses Survey b. Pembagian Tugas c. Persiapan Panen Pemanenan madu dan implikasi terhadap konservasi keanekaragaman Implikasi untuk Konservasi - Survey untuk mengetahui kondisi sialang setiap bulan dilakukan sekaligus mengamati kondisi lingkungan yang terjadi, juga pada pohon sialang maupun lebah yang bersarang. Survey merupakan praktek yang umum dilakukan untuk monitoring penggunaan sumber daya alam secara tradisional, sekaligus juga pengamatan terhadap perubahan ekosistem (Berkes et al. 2000).(+) - Berdasarkan hasil survey maka sarang minimal yang dapat dipanen adalah sarang, menurut pemikiran petani madu adalah agar tenaga dan biaya sesuai dengan keuntungan yang nanti diterima. Namun ternyata dapat memberikan kesempatan bagi koloni yang terlebih dahulu bersarang untuk membesarkan beberapa generasi keturunan yang ditandai oleh sarang yang berwarna gelap (Woyke et al. 2001), sehingga dapat memberikan keberlangsungan produk) (+) - Penggunaan tali sebagai alat memanjat pohon menyebabkan pemanenan bisa dilakukan saat jumlah sarang masih sedikit (5 sarang) hal ini bisa mengganggu

73 56 Tabel 10 Lanjutan Tahapan Implikasi untuk Konservasi regenerasi dari lebah madu (-) - Panen madu dilakukan pada malam hari, suasana gelap memberikan kondisi tenang pada lebah. Lebah diusir dengan pelan menggunakan asap tunam sehingga terbang mengikuti perginya bara api. Suatu pengetahuan tradisional yang memahami tentang perilaku satwa, memanfaatkan madu tanpa keinginan mengusik yang merusak. Panen malam akan dilakukan pada saat bulan gelap dan rembulan tidak nampak lagi, karena ternyata jika malam bulan purnama Apis dorsata akan tetap aktif (Warrant 2007) dan juga menunggu saat yang tepat yaitu diatas pukul Karena ternyata memang lebah Apis dorsata aktif sepanjang pagi pukul hingga pukul (Momose, 1998). - Peningkatan harga mendorong dilakukannya panen siang yang bukan budaya petani madu di Desa Lubuk Kambang Bunga dan Air Hitam. Panen siang ternyata memicu agresifitas lebah madu sebagai satwa diurnal, saat terancam lebah akan menyengat dan mengakibatkan kematian baginya, sehingga panen siang lebih beresiko menyebabkan lebih banyak lebah yang mati dibanding panen malam. (-) 2) Prosesi Panen a. Menumbai b. Kaji c. Tanda alam - Detail-detail yang sangat mereka perhatikan tersebut merupakan perlambang dari upaya menangkap pertandapertanda alam. Aktifitas memanfaatkan sumber daya alam disesuaikan dengan kerelaan alam untuk berbagi. Balutanbalutan mitos yang dipegang teguh hingga saat ini merupakan simbolisme kejujuran, ketinggian budi pekerti dalam upaya berjalan beriringan dengan alam dan pemahaman pada hakikat asal usul kehidupan (Turner, 1997). (+) Petani madu menginformasikan bahwa sejak tahun 2008 jumlah panenan mulai menurun, sangat berbeda dengan panenan yang diperoleh dari tahun-tahun sebelumnya. Beberapa pohon sialang yang biasanya secara teratur bisa dipanen madunya, tidak ada lebah yang bersarang hingga sepanjang tahun Hal tersebut diakibatkan oleh kejadian kebakaran hutan dan lahan yang juga menimbulkan kabut asap. Kebakaran sebagaimana menurut Notohadinegoro (2006) mengakibatkan kerusakan habitat karena dapat mempengaruhi kemampuan fotosintesis tumbuhan dan kehidupan satwa. Pada saat daur kehidupan tumbuhan

74 57 sebagai sumber pakan lebah madu terganggu, maka akan berefek buruk pada kelangsungan hidup lebah madu. Selain karena adanya kebakaran hutan dan lahan, diyakini juga sebagai akibat adanya panen siang. Lebah sebagai binatang yang aktif di siang hari akan bereaksi jika terganggu. Sarang yang diambil akan diikutinya hingga ke bawah, padahal lebah jika terendam dalam madu akan langsung mati. Hal tersebut juga yang menyebabkan lebih banyak induk lebah mati pada saat panen siang. Hedge (1999) menyatakan semakin intensifnya penggunaan pestisida juga mampu mengancam kelangsungan hidup lebah madu, sebagaimana diketahui kawasan di sekitar desa dan sekeliling Taman Nasional Tesso Nilo merupakan perkebunan sawit dan HTI yang membutuhkan pestisida untuk perlindungan tanamannya. Sebab lain adalah sifat lebah yang secara teratur bermigrasi (Hadisoesilo dan Kuntadi 2007), sehingga tidak adanya lebah bersarang dapat disebabkan karena peristiwa tersebut. Peristiwa migrasi dimana koloni lebah A.dorsata berpindah tempat dari sarangnya saat ini menuju tempat yang lain merupakan hal yang biasa terjadi. Migrasi tersebut terjadi tahunan dan mampu mencapai jarak hingga puluhan kilometer untuk mendekati lokasi dengan kecukupan pakan yang memenuhi kebutuhan koloninya (Momose et al. 1998; Oldroyd et al 2000; Woyke et al. 2001; Kahono 2002). Migrasi juga dapat diakibatkan karena adanya predasi oleh manusia (Oldroyd et al. 2000). Namun sebenarnya pada kondisi normal koloni yang bermigrasi akan digantikan oleh koloni lain yang akan datang bersarang di lokasi tersebut (Kahono 2002), sehingga kejadian tidak bersarangnya lebah mungkin disebabkan oleh faktor-faktor yang lain Dampak Pemanfaatan Madu Hutan terhadap Konservasi Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo Pengelolaan kawasan yang memiliki kekayaan hayati yang tinggi memerlukan dukungan dari masyarakat yang merupakan pengguna langsung dari sumber daya alam, pengelolaan tidak bisa hanya berdasarkan informasi tentang ekologi dan fungsi kawasan saja (Manalu 2010). Taman nasional sebagai pengelola sumberdaya alam beserta ekosistem di dalamnya dituntut mampu memberikan pemahaman pada masyarakat sekitar kawasan tentang fungsi dan

75 58 peranan kawasan berdasarkan mandat dari undang-undang. Pemahaman tersebut harus dalam bahasa yang dapat diterima masyarakat dan aplikatif dalam keseharian mereka, sehingga dapat menumbuhkan peran serta aktif yang dapat menguntungkan bagi pengelolaan kawasan dan juga bagi masyarakat. Keberadaan pohon sialang yang berada dalam kawasan TNTN merupakan potensi untuk menarik peran serta masyarakat berkontribusi pada pengelolaan taman nasional. Sebagaimana yang terjadi pada saat penelitian berlangsung, kelompok pemanjat yang sedang masuk dalam kawasan taman nasional untuk mensurvey pohon silang menemukan bahwa perambahan dalam kawasan sudah mendekati kepungan sialang milik adat dalam jarak ± 500m. Terancamnya pohon sialang milik persukuan menyebabkan mereka tergerak untuk memberikan informasi kepada pihak pengelola, sehingga bisa secepatnya ditanggulangi. Kejadian tersebut memberikan sudut pandang yang jelas bahwa pengelolaan kawasan konservasi akan lebih berhasil jika masyarakat di sekitar kawasan memberikan kepeduliannya pada taman nasional. Jika semua pihak bisa menyikapi penunjukan taman nasional dengan bijak maka penunjukan suatu kawasan konservasi dengan keberadaan masyarakat tradisionalnya di sekitar kawasan merupakan upaya memelihara suatu media hubungan tradisional manusia dengan alamnya (Watson et al. 2003). Pada saat terdapat otoritas pengelola dan memiliki tupoksi sebagai kawasan perlindungan alam maka memungkinkan aset masyarakat lokal bisa lebih terjaga beserta segala bentuk pemanfaatan tradisionalnya dengan aturan yang telah disepakati. Namun demikian kondisi di lapangan yang terjadi di TNTN adalah begitu kerasnya benturan kepentingan untuk alih fungsi lahan menjadikan permasalahan semakin kompleks dan sukar terurai. Permasalahan perambahan di TNTN dari sisi masyarakat dilatar belakangi juga oleh pengertian bahwa tanah tersebut adalah tanah milik nenek moyang mereka. Jika dirunut berdasarkan kepemilikan suku maka dalam kawasan taman nasional Tesso Nilo terdapat dua persukuan yang dipimpin oleh Bathin Hitam dan Bathin Muncak Rantau. Pembatasan wilayah berdasarkan pada aliran sungai, daerah di sekitar Sungai Sawan merupakan wilayah kekuasaan Bathin Hitam sedangkan daerah sekitar Sungai Nilo merupakan daerah kekuasaan Muncak

76 59 Rantau. Sistem perbathinan sebagai kepala persukuan yang masih terdapat disana dimanfaatkan oleh oknum tertentu demi mendapatkan legalitas semu untuk membuka kawasan dalam taman nasional. Kepala persukuan yang berada di Desa Lubuk Kambang Bunga yaitu Bathin Hitam (AI, 80 tahun, komunikasi pribadi) sempat gusar dengan kejadian pembukaan lahan dalam taman nasional yang terjadi dalam wilayah kekuasaannya. Bathin hitam tidak pernah sekalipun mengeluarkan ijin untuk kegiatan tersebut, sehingga memunculkan kekhawatiran dipalsukannya tandatangan dan stempel bathin dan beliau menjadi terseret dalam kasus. Menurut beliau kawasan tersebut sebenarnya tidak juga diperkenankan dibuka jika sesuai peraturan adat karena telah masuk dalam imbo kopungan sialang. TNTN sebagai Kawasan Pelestarian Alam penunjukannya dilatar belakangi oleh kejadian konflik berulang antara manusia dengan gajah sumatera. Hal tersebut dipicu oleh tingginya frekwensi gangguan terhadap lahan yang diusahakan manusia, sehingga diperlukan suatu habitat yang secara khusus mengakomodir kebutuhan habitat bagi satwa liar dan meminimalkan kejadian konflik yang berulang. Namun permasalahan tidak juga selesai karena kebutuhan lahan yang selalu meningkat, sehingga terjadi kondisi yang berlawanan yaitu masyarakat setempat dan pendatang yang kemudian menjadi pengganggu habitat satwa dan melakukan aktifitas illegal logging serta bermukim dalam kawasan taman nasional. Hal tersebut dilakukan sebagai kegiatan antara untuk menegakkan klaim lahan dalam kawasan taman nasional. Kebutuhan manusia yang tidak hanya sekedarnya dalam memenuhi kebutuhan hidup, menyebabkan konflik penguasaan lahan selalu terjadi dalam kawasan taman nasional. Menurut Kepala Desa Lubuk Kambang Bunga (Tengku Effendy, komunikasi pribadi) memenuhi kebutuhan tidak cukup untuk saat ini saja tapi memikirkan juga nasib anak cucu nantinya, mereka juga butuh lahan untuk mencukupi hidup. Hal itulah yang mendasari tetap maraknya perambahan dalam kawasan. Pemilikan terhadap lahan sangat penting bagi mereka karena mampu meningkatkan status dalam masyarakat dan menjadi simbol kesejahteraan. Komunikasi yang tidak terjalin dengan baik menyebabkan jarak terentang jauh antara pihak pengelola taman nasional dengan masyarakat desa sekitar

77 60 kawasan. Beberapa informan menyatakan bahwasanya mereka mengetahui tentang Taman Nasional Tesso Nilo, namun karena seringnya terjadi konflik dan perasaan adanya ketidakadilan melihat kenyataan di depan mata. Pada saat masyarakat kecil yang membuka lahan untuk urusan perut dikejar-kejar dan ditangkap, sedangkan oknum yang membuka lahan hingga ribuan hektar dibiarkan saja. Informan dari Desa Lubuk Kambang Bunga (NZ, 38 tahun) menyatakan: perambah itu rata-rata pendatang, kita yang orang sini asli jadi penonton saja, masyarakat luar seenaknya bisa punya lahan di sini, dan tidak banyak tindakan untuk mereka Mengenai satwa liar seperti gajah, dimata masyarakat mengapa binatang lebih dipentingkan daripada manusia. Mereka sulit memahami mengapa satwa liar perlu dilindungi, karena dalam pemikiran mereka tidak ada manfaat dari satwasatwa tersebut, hanya merusak dan tidak bisa dikonsumsi. Seringnya kejadian konflik menjadikan fungsi konservasi yang diemban Taman Nasional Tesso Nilo dengan tiga pilar utama berupa perlindungan, pemanfaatan dan pengawetan, dimata masyarakat menjadi sekedar tukang tangkap-tangkap saja. Hal tersebut mengkondisikan taman nasional dan masyarakat berada pada sisi saling berlawanan dan bermusuhan, yang imbasnya kegiatan pengelolaan lebih terfokus untuk pengamanan yang sebenarnya hanya salah satu bagian saja dari fungsi keseluruhan kawasan konservasi sebagai pengelola ekosistem beserta segenap sumberdaya yang ada di dalamnya. Sisi lain dari banyaknya permasalahan yang terjadi adalah terdapatnya potensi madu hutan sebagai penunjang penghasilan masyarakat. Hal tersebut mampu memunculkan kesadaran pada pentingnya keberadaan pohon sialang sebagai tempat lebah madu bersarang. Peraturan Desa (Perdes) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Hutan Kepungan Sialang secara Lestari dan Berkelanjutan telah dibuat oleh Pemerintah Desa Air Hitam pada tahun Perdes tersebut mengatur perlindungan terhadap pohon sialang dengan adanya hutan kepungan sialang sehingga dalam radius 100m 2 tidak boleh dirusak ataupun dibuka untuk dijadikan lahan perkebunan, pertanian maupun pemukiman. Sesuai Perdes, pihak desa akan turut mendapatkan bagian sebesar 2,5%. dari hasil panen madu.

78 61 Desa Lubuk Kambang Bunga belum bersedia untuk membuat Perdes tentang sialang meskipun pernah pihak WWF menawarkan menginisiasinya. Menurut Kepala Desa karena kekhawatiran terjadi tumpang tindih dengan aturan negara, karena posisi sialang yang sebagian juga berada di dalam kawasan taman nasional yang secara peraturan perundangan memiliki fungsi perlindungan. Bibitbibit kesadaran masyarakat tersebut merupakan potensi penting yang dapat dikembangkan dalam komunikasi pengelola kawasan TNTN dengan masyarakat sekitar kawasan. Melalui penghargaan terhadap kekayaan budaya berupa pengetahuan lokal masyarakat tentang pemanenan madu yang juga telah diimbangi dengan kesadaran masyarakat mengenai pohon sialang dan perlunya perlindungan bagi ekosistem di sekelilingnya. Kondisi tersebut dapat menciptakan sinergi yang dapat dikolaborasikan dengan tujuan pengelolaan sebuah kawasan konservasi yaitu perlindungan sumberdaya alam beserta ekosistemnya.

79 62 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Pengetahuan lokal masyarakat sekitar kawasan TNTN dalam pemanenan madu hutan memiliki hubungan dengan konservasi keanekaragaman hayati. Adat istiadat yang dilakukan memiliki kearifan dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Hal tersebut tercermin dari tata cara pemanenan berupa proses survey yang sekaligus pengamatan terhadap kondisi sumberdaya alam, jumlah sarang minimal yang dapat dipanen sehingga memberikan kesempatan bagi lebah madu beregenerasi, luasan kepungan sialang yang memberikan kesempatan foraging bagi lebah dengan leluasa. Penggunaan ritual sebagai bentuk menghargai alam baik itu terhadap lebah penghasil madu maupun terhadap pohon sialang dan pengambilan sumberdayanya dengan cara mengamati pertanda alam sebagai transformasi kerelaan alam untuk berbagi. Masuknya pengaruh baru yang diadopsi masyarakat merupakan upaya perbaikan mutu produk yang selama ini belum berkembang seperti dalam pengolahan hasil madu dan standarisasi penggunaan alat untuk kualitas madu yang lebih baik. 2. Komersialisasi madu hutan berdampak terhadap pengetahuan lokal pemanenan madu hutan Tesso Nilo. Dampak positif terlihat dalam tata cara panen dan perlakuan produk yang lebih bersih, higienis dan ramah lingkungan, sehingga sesuai dengan tuntutan pasar. Terdapat juga perubahan dalam tata cara panen, sehingga bertentangan dengan pengetahuan lokal demi mendapat hasil yang lebih cepat, akibatnya menimbulkan gangguan pada lebah penghasil madu. 3. Pengetahuan lokal memberikan sumbangsih bagi pemanenan madu hutan secara bijaksana sesuai tradisi turun temurun, dan turut berkembang sejalan dengan terjadinya komersialisasi madu hutan. Pada saat komersialisasi madu hutan yang menginginkan keberlangsungan kualitas dan kuatitas produk berpedoman pada pengetahuan lokal dengan kearifannya maka keanekaragaman hayati beserta kawasan TNTN dapat lebih terjaga.

80 63 Saran 1. Mempertahankan pengetahuan lokal yang memberikan kesempatan sumberdaya alam memulihkan diri, pemanfaatan yang bijaksana dan tidak berlebihan, dengan tidak menutup diri pada perkembangan pengetahuan baru yang membuka kesempatan pada produk madu hutan tesso nilo untuk mendapatkan posisi pasar yang lebih baik. 2. Mempertahankan pengetahuan lokal dalam memanfaatkan potensi madu dalam kawasan dan kontrol sesuai aturan yang berlaku, sebagai salah satu jalan untuk mengembangkan pengelolaan kawasan TNTN bersama masyarakat. Adanya aksesibillitas legal masyarakat lokal untuk mendapatkan sumberdaya alam yang telah dimanfaatkannya secara turun temurun akan menjadi sesuatu yang lebih berarti bagi masyarakat karena terlindung dalam koridor aturan yang berlaku. 3. Kualitas madu hutan yang ditentukan oleh ketersediaan pakan yang melimpah dan beraneka ragam dapat menjadi potensi pengembangan produk madu organik dan bebas cemaran berbahaya. Hal tersebut dapat diperoleh dengan terlebih dulu memetakan spot-spot lokasi dimana pohon sialang berada dan penelitian terhadap kualitas madu yang dihasilkan. Produk madu yang dihasilkan pada sialang dengan kondisi lingkungan sekitarnya yang masih baik dan kualitas madu yang tidak tercemar bahan berbahaya dapat dikembangkan menjadi madu eksklusif sebagai brand bagi pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan di kawasan TNTN. 4. Memformulasikan bentuk pemasaran madu hutan Tesso Nilo yang sekaligus juga pembelajaran terhadap konsumen tentang kecenderungan warna madu yang lebih gelap sebagai madu yang lebih berkhasiat.

81 64 DAFTAR PUSTAKA Adalina Y Kualitas madu Apis dorsata di hutan tanaman industri acacia mangium (Riau). Bogor: Balitbang Kementerian Kehutanan. Adimiharja K Dinamika Budaya Lokal. Bandung: CV Indra Prahasta. Alcorn JB Process as resources. Advanced in Economic Botany 7: Aliadi A, Djatmiko WA Hasil Hutan Non Kayu Ekstraktif di Desa Sungai Telang Rantau Pandan, Jambi. South East Asia Policy Research Working Paper no.5. ICRAF [29 Maret 2012]. Aravindhakshan S, Negawo WJ, Kabir MH, Waliul Galib M Exploring The Potensial of Non Timber Forest Product: The Case of Ethiopian Honey Export to Denmark. Research Report. Copenhagen: Faculty of Life Science University of Copenhagen. Ballard HL, Huntsinger L Salal harvester local ecological knowledge, harvest, practices and understory management on the Olympic Peninsula, Washington. Human Ecol Becker CD, Ghimire K Sinergy between traditional ecological knowledge and conservation science supports forest preservation in Ecuador. Ecologi and Society 8 [4 April 2012]. Berkes F, Folke C, Gadgil M Traditional ecological knowledge biodiversity, resilience and sustainability. Biodiversity Conservation: Berkes F, Colding J, Folke C Rediscovery of traditional and ecological knowledge as adaptive management. Ecological Aplication 10: Belcher B, Kusters K Forest Product Livelihood and Conservation Case studies of non timber forest product. Volume ke-1, Asia. Bogor: Center for International Forestry Research Belcher B, Ruiz Perez M, Achdiawan R Global pattern and trends in the use and management of commercial NTFPs: implications for livelihoods and conservation. World Development 33: Belcher B, Schreckenberg K Commercialisation of non-timber forest product : a reality check. Development Policy Review 3. Journal Compilation. Berkes F, Folke C, Gadgil M Traditional ecological knowledge, biodiversity, resilience and sustainability. Biodiversity Conservation:

82 65 Bradbear N Bees and Their Role in forest Livelihood. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nation. BTNTN [Balai Taman Nasional Tesso Nilo] Buku Zonasi Taman Nasional Tesso Nilo. Riau: BTNTN Budiono P, Jahi A, Slamet M, Susanto D Hubungan karakteristik petani tepi hutan dengan perilaku mereka dalam melestarikan hutan lindung di 12 desa Propinsi lampung. Jurnal Penyuluhan 2: Bungin MB Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Predana Media Group. Byron N, Arnold M What future of the people of tropical forest. Working paper No. 19. Center For International Forestry Research. Colding J Analysis of hunting option by the use of general food taboos. Ecological Modelling 110:5-17 Contreras AP Forest as social construction: political ecological reflection on production on knowledge of forest management and Governance. Proceeding International Studies Assosiation Conference. Chicago: Feb Cresswell JW Research Design: Pendekatan kualitatif, kuantitatif dan mixed. Yogyakarta: Putaka Pelajar. Dephut [Departemen Kehutanan] Dephut Kembangkan Lima HHBK Prioritas. Siaran Pers 22 Juni [1 Maret 2012]. Desa Air Hitam Monografi Desa. Pelalawan: Desa Air Hitam. Desa Lubuk Kambang Bunga Monografi Desa. Pelalawan: Desa Lubuk Kambang Bunga. Effendy T Bujang Tan Domang: sastra lisan orang petalangan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole Francaise d Extreme Orient. Faisal S Format-Format Penelitan Sosial, Dasar Dasar dan Aplikasi. Jakarta: Raja Garafindo Perkasa. Gadgil M, Berkes F, Folke C Indegenous knowledge for biodiversity conservation. Ambio 22: Gillison AN Vegetation survey and habitat assessment of the Tesso Nilo forest complex. Biodiversity Survey in Tesso Nilo Sumatera Indonesia. WWF-US. Ghimire SK, McKey D, Thomas YA Heterogenity in ethnoecological knowledge and management of medicinal plants in Himalayas of Nepal : Implications for conservation. Ecology and Society 9.

83 66 Gubbi S, Mac Millan DC Can non timber forest product solve livelihood problem, a case study from Periyar Tiger Reserve, India. Fauna and Flora International 42: Hadisoesilo S, Kuntadi Kearifan Tradisional dalam Budidaya Lebah Hutan (Apis dorsata). Bogor: Balitbanghut Departeman Kehutanan. Hartmann I The management of resources and marginalization in beekeping socities of South West Ethiopia. Paper submitted to the conferencee : Bridge Scale and Epistemologies. Alexandria. Hedge P Biodiversity and Honey Bees. Leisa India Supl. Ingram V, Bongers G Valuation of Non Timber Forest Product Chains in The Congo Basin. Cameroon: Ceter for International Forestry Research. [IUCN] International Union for Conservation of Nature The IUCN Redlist of Threatened Species. [2 Oktober 2012]. Johannes RE The case for data-less marine resources management:example from tropical nearshores fisheries. Trends in Ecology and Evolution 13: Kahono S Sebaran daerah persarangan lebah madu Apis dorsata F. (Hymenoptera:Apidae) di Taman Nasional Gunung Halimun dan sekitarnya. Laporan Teknik Proyek Inventarisasi dan Karakterisasi Sumberdaya Hayati. Bogor: Puslitbang Biologi LIPI. Kevan PG Pollinators as bioindicators of the state of the environment : species activity and diversity. Agricultural, Ecosystem and Environment 74: Khan FR Hives abuzz with life (Dharamitra s endeavour to conserve rock bees in Vidharba region). Leisa India Supl. Koentjaraningrat Pengantar Antropologi 2. Jakarta: UI Pess. Kusters K, Achdiawan R, Belcher B, Ruiz Perez M Balancing development and conservation?an assesment of livelihood and environmental outcomes of non timber forest product trade in Asia, Afrika and Latin America. Ecology and Society 11. Live Strong L. Tyrosine Benefits. [8 Agustus 2012]. [LPUIR] Lembaga Peneliti Universitas Islam Riau Masyarakat Hukum Adat Petalangan dan Hak-Hak Tanah adat Tradisionalnya di Propinsi Riau. Pekanbaru: LPUIR. Lusigi WJ How to build local support for protected area. Di dalam: Mc Neelly JA, editor. Expanding Partnership in Conservation. Washington DC:

84 67 International Union for Conservation of Nature and Natural Resouces.Island Press hlm Manalu JP Pengaruh Pendidikan Konservasi tentang Fungsi kawasan Hutan pada Masyarakat Pegunungan Muller Kalimantan Tengan [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Marshall E, Newton AC, Schreckenberg K Commercialisation of non timber foret product : first step in analysing the factors influencing success. International Forestry review 5. Medical Dictionary Tryptophan. freedictionary.com [9 Agustus 2012]. Minarti S Ketersediaan tepungsari dalam menopang perkembangan anakan lebah madu Apis mellifera di areal Randu (Ceiba petandra) dan Karet (Hevea brasilliensis). J Ternak Tropika 11: Momose K, Yumoto T, Nagamitsu T, Kato M, Nagamasu H, Sakai S, Harrison RD, Itioka T, Hamid AA, Inoue T Pollination biology in lowland Dipterocarp forest in Sarawak Malaysia.I.I. Characteristcs of the plant pollinator community in a lowland Dipterocarp Forest. American Journal of Botany 85: Negueruela AI, Arquillue CP Color measurement of rosemary honey in solid state by reflectance spectroscopy with black background. Journal of AOAC International 83: Neumann RP, Hirsch E Commersialisation of Non Timber Forest Product : Review and Analysis of Researh. Center for International Forestry Research & FAO. Ngakan PO, Komarudin H, Ahmad A, Wahyudi, Tako A Ketergantungan, Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Sumber Hayati Hutan. Studi kasus Dusun Pampli Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Bogor: Center for International Forestry Research. Notohadinegoro T Pembakaran dan kebakaran Lahan. Prosiding Simposium dampak Kebakaran hutan terhadap SDA dan lingkungan, Yogyakarta Desember Pusat Studi energi, Pusat Studi Bencana Alam, Pusat Studi Sumber Daya Lahan dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UGM. Ilmu Tanah UGM. Oldroyd BP, Osborne KE, Mardan M Colony relatedness in agregations of Apis dorsata fabricus (Hymenoptera, Apidae). Short communication. Insectes sox 4: Oldroyd BP, Wongsiri S Asian Honey Bee Biology, Conservation and Human Interaction. [8 Oktober 2012].

85 68 Sande SO, Crewe RM, Raina SK, Nicolson SW, Gordon I Proximity to a forest leads to higher honey yield : Another reason to conserve. Biological Conservation 142: Santoso E, Agustini L, Sitepu IR, Turjaman M Efektifitas pembentukan gaharu dan komposisi senyawa resin gaaru pada Aquilaria spp. Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Sardjono MA, Samsoedin I Traditional knowledge and practice of biodiversity conservation, The Benuaq Dayak community of East Kalimantan Indonesia. Di dalam Colfer CJP dan Byron Y, editor. People Managing Forest The Links beetwen Human Wellbeing ang Sustainability. Resouces for The Future, Washington DC USA dan Center For International Forestry Research, Bogor Indonesia. Sartini Mengggali kearifan lokal nusantara, sebuah kajian filsafat. Jurnal Filsafat 37: Scelhas J, Shaw WW Partnership between rural people and protected areas : Understanding landuse and natural resouce decision. Di dalam Mc Neely JA, editor. Expanding Partnership in Conservation. International Union for Conservation of Nature and Natural Resouces. Island Press Washington DC. hlm Shomary S Nyanyi Panjang Orang Petalangan Kabupaten Pelalawan : Analisis morfologi cerita dan pemikiran. Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten Pelalawan. Turner A Cultural survival, identity, and performing art s of kampar Suku Petalangan Riau in Transition [29 Maret 2009]. Van Engelsdrop D, Meixner MD A historical review of managed honey bee populations in Europe and The United States and the factors that may affect them. Journal of Invertebrate Pathology 103: Warrant EJ Nocturnal Bee. Current Biology 17 No. 23. Watson A, Lilian A, Glasspel B The relationship between traditional ecological knowledge, evolving culture and wilderness protection in the Circumpolar North. Conservation and Ecology 8 [4 April 2012]. Woyke J, Wilde J, Wilde M Swarming migrating and absconding of Apis dorsata colony. Chiang Mai, Thailand: Proceeding of Seventh International Conference on Tropical Bees and Fifth Asian Apicultural Association Conference. Zurbuchen A, Landert L, Klaiber J, Muller A, Hein S, Dorn S Maximum foraging ranges in solitary bee: only few individuals have the capability to cover long foraging distance. Biological conservation 143:

86 LAMPIRAN 73

87 75 Lampiran 1 Peralatan dalam pemanenan madu hutan Keterangan : a b c d e f : Timbo Untuk menampung madu hasil panenan, pada masa lalu penampung terbuat dari anyaman rotan : Tunam/obor obor/tunam terbuat dari kulit kayu jangkang (Dellenia exenia) : Pisau i j Untuk mengiris madu yang akan dipanen. Generasi tua pemanjat terdapat juga yang masih meyakini untuk tidak menggunakan alat-alat yang tajam dari besi di atas pohon sehingga masih menggunakan pengiris yang terbuat dari bambu. : Tali Digunakan untuk menaik turunkan timbo yang digunakan untuk menampung madu hasil panenan dari atas pohon : Jerigen dan corong Penampung madu yang telah tertiris. Jerigen yang digunakan adalah jerigen bersih dengan corong yang dilengkapi dengan filter untuk menyaring madu yang tertiris : Pengait Untuk mengait tali yang menghubungkannya dengan timbo sehingga mempermudah pemanjat melaksanakan pekerjaannya

88 76 Lampiran 2 Peralatan pengurang kadar air dan produk akhir a b c d d e f g h i Keterangan : a : Wadah penyimpan alat, mampu menampung hingga 100 kg madu b : Alat pengurang kadar air (dehumidifier) c : Rak dan wadah madu yang akan dikurangi kadar airnya d : Stabilisator arus listrik e : Pocket refractometer, alat pengukur kadar air f : Panci-panci penampung g : Penyaring madu, untuk menyaring kotoran yang mungkin masih tersisa dari madu h : Produk madu dalam kemasannya i : Varian lain dari kemasan madu hutan tesso nilo (belum dilabel)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan Lokal

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan Lokal 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan Lokal Pengetahuan berdasarkan definisi secara umum merupakan luaran dari pembuatan model tentang bagaimana memfungsikan alam semesta, dengan cara melogika bagaimana

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Pendekatan terhadap sumber daya alam yang dikandung dalam sistem budaya tradisional adalah bersifat holistik dan bottom up sejalan dengan nalar yang berwawasan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo Sejarah Kawasan

IV. KONDISI UMUM 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo Sejarah Kawasan 18 IV. KONDISI UMUM 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo 4.1.1. Sejarah Kawasan Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo mulanya dikenal sebagai kawasan hutan langgam yang difungsikan sebagai Hutan Produksi terbatas

Lebih terperinci

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Konflik di Provinsi Riau meningkat seiring dengan keluarnya beberapa izin perkebunan, dan diduga disebabkan oleh lima faktor yang saling terkait, yakni pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Sejarah Perkembangan Status, Penggunaan Lahan, dan Keanekaragaman Hayati Kebun Kelapa Sawit Indonesia

Sejarah Perkembangan Status, Penggunaan Lahan, dan Keanekaragaman Hayati Kebun Kelapa Sawit Indonesia COVER LAPORAN AKHIR RISET GRANT RESEARCH SAWIT Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) JUDUL RISET Sejarah Perkembangan Status, Penggunaan Lahan, dan Keanekaragaman Hayati Kebun Kelapa Sawit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 35/MENHUT-II/2007 Tentang HHBK, definisi HHBK adalah hasil hutan baik

I. PENDAHULUAN. 35/MENHUT-II/2007 Tentang HHBK, definisi HHBK adalah hasil hutan baik 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hasil hutan dapat dikelompokkan menjadi hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 35/MENHUT-II/2007 Tentang HHBK,

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai modal pembanguan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry TINJAUAN PUSTAKA Pengertian hutan kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri

Lebih terperinci

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) Copyright (C) 2000 BPHN PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 62 TAHUN 1998 (62/1998) TENTANG PENYERAHAN

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA Lis Noer Aini Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Arsitektur

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA 1 PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ekosistem hutan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar terdapat di hutan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) Nurul Hidayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 19 TAHUN 2004 TENTANG IJIN HAK PENGUMPULAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU (IHPHH-BK) GUBAL GAHARU DAN KEMEDANGAN KEPADA CV. JAYA MANOKWARI JAYA GUBERNUR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO 1 PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

ARAHAN PENGENDALIAN KONVERSI HUTAN LINDUNG MENJADI KEGIATAN BUDIDAYA DI KAWASAN TAMAN NASIONAL TESSO NILO KABUPATEN PELALAWAN-RIAU

ARAHAN PENGENDALIAN KONVERSI HUTAN LINDUNG MENJADI KEGIATAN BUDIDAYA DI KAWASAN TAMAN NASIONAL TESSO NILO KABUPATEN PELALAWAN-RIAU TUGAS AKHIR PW09-1333 ARAHAN PENGENDALIAN KONVERSI HUTAN LINDUNG MENJADI KEGIATAN BUDIDAYA DI KAWASAN TAMAN NASIONAL TESSO NILO KABUPATEN PELALAWAN-RIAU NASRUDDIN NRP 3606 100 024 PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR Materi ini disusun Dinas Kehutanan Propinsi Papua dalam rangka Rapat Kerja Teknis Badan Planologi Kehutanan Tahun

Lebih terperinci

BAB V PROFIL KAWASAN PENELITIAN

BAB V PROFIL KAWASAN PENELITIAN BAB V PROFIL KAWASAN PENELITIAN 5.1. LATAR BELAKANG DESA KESUMA Kawasan penelitian yang ditetapkan ialah Desa Kesuma, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Desa ini berada pada

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR )

ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR ) ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR ) TEGUH PAIRUNAN PUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

[Type the document subtitle]

[Type the document subtitle] PENGAKUAN KEBERADAAN KEARIFAN LOKAL LUBUK LARANGAN INDARUNG, KABUPATEN KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU DALAM PENGELOLAAN DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP [Type the document subtitle] Suhana 7/24/2008 PENGAKUAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.41 /Menhut-II/2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah kawasan suaka alam yang mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

EVALUASI IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT PADA LAYANAN PERIZINAN DI KEMENTERIAN PERTANIAN RI

EVALUASI IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT PADA LAYANAN PERIZINAN DI KEMENTERIAN PERTANIAN RI EVALUASI IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT PADA LAYANAN PERIZINAN DI KEMENTERIAN PERTANIAN RI Oleh : Ongki Wiratno PROGRAM STUDI MAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 @ Hak cipta

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN RURIN WAHYU LISTRIANA PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 49/Menhut-II/2008 TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN METODE PEMBAYARAN NON-TUNAI

ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN METODE PEMBAYARAN NON-TUNAI ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN METODE PEMBAYARAN NON-TUNAI (PREPAID CARD) LOVITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN (Kasus Kampung Cimenteng, Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten)

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

mendorong menemukan pasar untuk produk yang sudah ada dan mendukung spesies-spesies lokal yang menyimpan potensi ekonomi (Arifin et al. 2003).

mendorong menemukan pasar untuk produk yang sudah ada dan mendukung spesies-spesies lokal yang menyimpan potensi ekonomi (Arifin et al. 2003). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat hutan pegunungan sangat rentan terhadap gangguan, terutama yang berasal dari kegiatan pengelolaan yang dilakukan manusia seperti pengambilan hasil hutan berupa

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : masyarakat adat, Suku Dayak Limbai, Goa Kelasi, aturan adat, perlindungan sumberdaya hutan

ABSTRAK. Kata kunci : masyarakat adat, Suku Dayak Limbai, Goa Kelasi, aturan adat, perlindungan sumberdaya hutan 1 PERAN ATURAN ADAT SUKU DAYAK LIMBAI DALAM PERLINDUNGAN SUMBERDAYA HUTAN : STUDI KASUS GOA KELASI DI ZONA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA, PROVINSI KALIMANTAN BARAT Nurul Iman Suansa, Amrizal

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki banyak hutan tropis, dan bahkan hutan tropis di Indonesia merupakan yang terluas ke dua di dunia setelah negara Brazil

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGENDALIAN HAMA TERPADU (SLPHT) PADA PERKEBUNAN KOPI RAKYAT DI KABUPATEN TEMANGGUNG JAWA TENGAH LAKSMI WIJAYANTI

EFEKTIVITAS PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGENDALIAN HAMA TERPADU (SLPHT) PADA PERKEBUNAN KOPI RAKYAT DI KABUPATEN TEMANGGUNG JAWA TENGAH LAKSMI WIJAYANTI EFEKTIVITAS PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGENDALIAN HAMA TERPADU (SLPHT) PADA PERKEBUNAN KOPI RAKYAT DI KABUPATEN TEMANGGUNG JAWA TENGAH LAKSMI WIJAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyediakan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, obat-obatan, dan

BAB I PENDAHULUAN. menyediakan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, obat-obatan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang mampu menyediakan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, obat-obatan, dan pendapatan bagi keluarga, sehingga hutan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR i ANALISIS MANAJEMEN KEUANGAN, TEKANAN EKONOMI, STRATEGI KOPING DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN KELUARGA NELAYAN DI DESA CIKAHURIPAN, KECAMATAN CISOLOK, KABUPATEN SUKABUMI HIDAYAT SYARIFUDDIN DEPARTEMEN ILMU

Lebih terperinci

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Barat memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang perubahan atas

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG IJIN HAK PENGUMPULAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU (IHPHH-BK) GUBAL GAHARU DAN KEMEDANGAN KEPADA CV. CAHAYA UTAMA PAPUA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PERKEMBANGAN KOLONI LEBAH MADU, Apis cerana Fabr. (HYMENOPTERA : APIDAE)

PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PERKEMBANGAN KOLONI LEBAH MADU, Apis cerana Fabr. (HYMENOPTERA : APIDAE) PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PERKEMBANGAN KOLONI LEBAH MADU, Apis cerana Fabr. (HYMENOPTERA : APIDAE) TESIS MAGISTER Oleh DIDA HAMIDAH 20698009 BIDANG KHUSUS ENTOMOLOGI PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI PROGRAM

Lebih terperinci

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Jakarta, 29 Juli 2011 1 2 3 Progress Legalisasi RTR Pulau Sumatera Konsepsi Tujuan, Kebijakan, Dan Strategi Rtr Pulau Sumatera Muatan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA

SEKOLAH PASCASARJANA ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: Sri Martini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 ANALISIS DAMPAK

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya pemanfaatan sumber daya alam khususnya hutan, disamping intensitas teknologi yang digunakan. Kehutanan

Lebih terperinci

PENGUATAN KAPASITAS LEMBAGA SIMPAN PINJAM RUKUN LESTARI UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN

PENGUATAN KAPASITAS LEMBAGA SIMPAN PINJAM RUKUN LESTARI UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN 136 PENGUATAN KAPASITAS LEMBAGA SIMPAN PINJAM RUKUN LESTARI UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN (KASUS DI RW 04 DUSUN DAWUKAN DESA SENDANGTIRTO KECAMATAN BERBAH KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA) DJULI SUGIARTO

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena kerusakan sumberdaya hutan (deforestasi dan degradasi) terjadi di Indonesia dan juga di negara-negara lain, yang menurut Sharma et al. (1995) selama periode 1950-1980

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI Oleh: Darsini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Hak cipta milik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faktor kepuasan kerja dijelaskan oleh Umam (2010) bahwa terdapat dua indikator yaitu adanya ciri-ciri instrinsik dan ekstrinsik dari suatu pekerjaan yang menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAH DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk lebih meningkatkan

Lebih terperinci

LAPORAN ECOLOGICAL SOCIAL MAPPING (ESM) 2012 FOREST MANAGEMENT STUDENT S CLUB

LAPORAN ECOLOGICAL SOCIAL MAPPING (ESM) 2012 FOREST MANAGEMENT STUDENT S CLUB LAPORAN ECOLOGICAL SOCIAL MAPPING (ESM) 2012 FOREST MANAGEMENT STUDENT S CLUB The Exploration of Resources and Communities Interaction in Gunung Walat University Forest DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi

Lebih terperinci

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL (Studi Kasus di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor) SRI HANDAYANI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 178 TAHUN 2002 TENTANG IJIN HAK PENGUMPULAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU (IHPHH-BK) GUBAL GAHARU DAN KEMEDANGAN KEPADA CV. RIMBA FLORA GUBERNUR

Lebih terperinci