RUANG PERSONAL SEBAGAI PELARIAN DARI MODERNITAS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. bentuk atau gambar. Bentuk logo bisa berupa nama, angka, gambar ataupun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penciptaan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. lagi pendekatan yang mencoba berebut nafas yaitu pendekatan Post

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku Ketika Indonesia Dipertanyakan ) SKRIPSI

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

BAB V PENUTUP. menengah perkotaan, mereka menyadari bahwa penampilan memegang peranan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. (denotasi) yang dihadirkan dalam film American Sniper. Selanjutnya, dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Nuke Farida ÿ. UG Jurnal Vol. 7 No. 09 Tahun Kata Kunci: Semiotika Pierce, Iklan, Hedonisme

BERINGIN GROUP. Learn, Share and Profit HUMAN INTEREST. A. Pendahuluan

Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

2 sendiri tak bisa dilepaskan dari perkembangan sejarah kehidupan dan budaya manusia. Studi tentang gaya busana, pakaian atau fashion pun sudah banyak

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut

I. PENDAHULUAN. Dunia fotografi sangatlah luas, perkembangannya juga sangat pesat. Di

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu yang membanggakan. Banyak unsur yang membuat foto tampak lebih

BAB I PENDAHULUAN. bukan hanya cerita khayal atau angan-angan dari pengarangnya, melainkan wujud

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB VI PENUTUP. ditemukannya teknologi pencitraan tiga dimensi. Video game memiliki efek

T E M A. widiantoro. Fakultas Arsitektur dan Desain. Progdi Desain Komunikasi Visual

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Media televisi merupakan media massa yang sering digunakan sebagai media

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis menyimpulkan inti permasalahan yang dihadapi, sebagai berikut :.

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga

BAB III METODE PENELITIAN

Semiotika, Tanda dan Makna

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. selalu berinovasi dan memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen tersebut. Bukan

BAB IV KONSEP DESAIN. Camera Angle ( Sudut Pengambilan Gambar )

HASRAT, MEDIA, DAN GAYA HIDUP. Audifax 1

BAB I PENDAHULUAN. merupakan mediator utama dalam mengekspresikan pikiran, mengonseptualisasi, menafsirkan

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa. Negara Indonesia di masa yang lampau sebelum. masa kemerdekaan media massa belum bisa dinikmati oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

JURNAL PENA INDONESIA (JPI) Jurnal Bahasa Indonesia, Sastra, dan Pengajarannya Volume 2, Nomor 1, Maret 2016 ISSN:

BAB VI KESIMPULAN. dalam kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang menjadi pilihan bebas bagi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik

BAB V PENUTUP. Kondisi trotoar di Kota Yogyakarta tidak difungsikan dengan baik. Jalur

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Paradigma didefinisikan bermacam-macam, tergantung pada sudut

Simbol dan Repetisi bersama Albert Yonathan Febrina Anindita (F) berbincang dengan seniman Albert Yonathan (A)

METODOLOGI. Hutan untuk Masa Depan Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

More-Than-Human Sociology: Pentingnya Peran Materi dalam Kehidupan Sosial

BAB I PENDAHULUAN. menyertakan emosinya saat melihat isi berita yang dimuat oleh surat kabar.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menggambarkan representasi diskriminasi agama Islam di balik teks media yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia merupakan mahkluk hidup yang tidak dapat hidup tanpa

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Pandangan konstruktivis memelihat realitas sebagai hasil konstruksi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas

BAB V PENUTUP. Setelah menganalisis dan menginterprestasikan foto potret instagrammer

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi

BAB I PENDAHULUAN. tontonan dan lain lain. Kini terdapat jasa tour di beberapa kota yang mengajak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sany Rohendi Apriadi, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anita Indriana, 2014 Wacana Polemik Pemberitaan Rokok dalam Harian Umum Kompas

BAB II KERANGKA TEORI. yang ditandai dengan konsumsi terhadap simbol gaya hidup yang sama. Ketika

Metode Penelitian Kuantitatif

ANALISIS WACANA KRITIS : ALTERNATIF MENGANALISIS WACANA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Semiotika I. Disusun Oleh: Muhammad Kafrawi, S.S., M.Sn

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, media kampanye

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk yang berbahasa, berkomunikasi melalui simbol-simbol,

MEDIA & CULTURAL STUDIES

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

METODE PENELITIAN. penelitian kualitatif. Seperti pendapat yang dikemukakan Bog dandan Taylor

Kata Kunci: Teknologi Simulasi, Simulasi Desain, Realitas Virtual, Citra, Posrealitas.

Esensial Tip Memotret Foto dengan Tablet

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. (komunikator) mampu membuat pemakna pesan berpola tingkah dan berpikir seperti

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan merupakan jenis penelitian deskriptif, dimana

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan periklanan di dalam masyarakat dewasa ini sudah

Transkripsi:

RUANG PERSONAL SEBAGAI PELARIAN DARI MODERNITAS Sandi Jaya Saputra 1 Justito Adiprasetio 2 1 Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran. 2 Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran. Sandijayasaputra85@gmail.com justitoadiprasetio@gmail.com ABSTRACT This article discusses personal and communal spaces as an escape from modernity by using the medium of documentary photography and semiology Barthesian. The goal of is to demonstrate how personal and communal spaces in everyday reality is connected with the narrative of modernity. In this article, the authors show the relation of daily practice that is trivial with the great discourse of modernity in kostan contained in Bandung is oppositional and counterproductive. This study shows that activities in the personal and communal spaces, representing leisure and uselessness at the extreme level when viewed from the measure of efficiency and effectiveness of the spirit of modernism. ABSTRAK Dalam artikel ini penulis membedah keseharian Ruang Personal sebagai Pelarian dari Modernitas dengan mengunakan medium fotografi dokumenter dan semiologi Barthesian. Tujuannya adalah untuk mendemonstrasikan bagaimana ruang personal dan komunal dalam realitas keseharian terhubung dengan narasi modernitas. Dalam artikel ini, penulis menunjukan relasi praktik keseharian yang remeh temeh dengan wacana besar modernitas di kostan yang terdapat di Bandung bersifat oposisif dan kontraproduktif. Penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitasaktivitas yang terdapat di ruang personal, merupakan representasi leisure dan ketidak-bergunaan di level ekstrim bila dipandang dari ukuran efisiensi dan efektifitas semangat modernisme. Kata-kata Kunci: Foto dokumenter, fotografi, identitas, personal. 43

1. PENDAHULUAN Modernisme telah menyeret manusia untuk terus mengencangkan ikat pinggang, berupaya menggapai efisiensi dan efektifitas dalam berbagai aspek kehidupan. Marx membangun tegangan basis dan suprastruktur dari asumsi modernisme: bahwa, semua berbagai aspek ideologis yang terdapat di dalam dimensi supra-struktur adalah pantulan dari tindak ekonomi manusia ketika berupaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi kaum Marxistorthodox, ekonomi adalah pondasi utama, sedangkan aspek-aspek ideologis: budaya, institusi, struktur politik, peran, ritus, negara, dan keseharian kita akan mengikuti bentuk pondasi yang ada. Dalam kacamata Marxist-orthodox pula, kita dapat menghakimi bahwa keseharian dan ruparupa yang berkait dengan itu, adalah bagian yang integral terhadap upaya pemenuhan ekonomi yang efisien dan efektif. Dalam pandangan marxist-orthodox, hasrat hedonis perlahan-lahan akan tersingkir; waktu luang tidak akan diisi oleh upaya untuk mengejar kenikmatan, dan apa yang bersisa adalah penggunaan secara efisien dan efektif dari waktu luang untuk menopang ekonomi di hari-hari kerja. Namun semua tidaklah bekerja senaif itu. Barthes dengan perangkat metodologinya, pengembangan semiologi Saussurean menunjukkan bahwa problem dalam gaya hidup dan dunia keseharian dengan keekonomian tidaklah se-linear itu. Barthes mendemonstrasikan bagaimana berbagai aspek keseharian salah satu contohnya adalah bagaimana kultur borjuis meminum wine, tidaklah bersifat kausal dengan fungsinya, di mana meminum wine dapat mengantarkan pada masalah kesehatan, dst tidak lah dipengaruhi langsung oleh sifatsifat ke-ekonomiannya, namun dipengaruhi oleh bagaimana kelas borjuis secara historis membangun mitos yang melekatkan wine dengan gaya hidup mewah, dst. Kita dapat membaca uraian lebih jauh terkait bagaimana distingsi yang terbangun di sekitar habitus meminum Wine, dari sosiolog Pierre Bourdieu. Kultur meminum wine tidak terlepas dari aspek ke-ekonomian namun ia adalah hasil tegangan yang tidak sederhana di dalam supra-struktur, dan juga basis yang menjadi wilayah di mana habitus itu bekerja. Tegangan yang tidak sederhana, karena walaupun ia berpola membangun habitus, ia tersusun dari narasi-narasi kecil yang terserak dan tidak pernah benar-benar simetris antara satu sama lain. Kecenderungan memotret habitus dari kacamata dengan perspektif besar adalah hal yang coba ditantang oleh tulisan ini. Tulisan ini berupaya untuk melihat keseharian dari bawah, dari narasi-narasi kecil yang kerapkali luput dilihat oleh kajian-kajian sosiologis yang berkutat dalam perspektif bingkai besar. Subjek dari penelitian ini adalah situasi yang terjadi disalah satu kostan di Bandung. Di mana mereka yang tinggal di kamar kos Bandung tersebut adalah mereka yang berasal dari kalangan mahasiswa maupun kelas pekerja. Dengan medium fotografi dan semiologi, penulis berupaya menunjukkan bagaimana narasi-narasi besar modernisme tidak-lah benar-benar bisa mendikte ruangruang keseharian mereka yang berada dan berputar di dalam roda-roda modernisme. Kamar kos adalah ruang personal dan komunalitas dan menjadi ruang bersahaja yang menjadi field dimana leisure mereka dipraktikkan, dan merupakan sarana eskapis dari rutinitas kerja, vis a vis dengan corakcorak kerja di mana semua hal dan aktivitas 44

harus dilakukan dengan efisien dan efektif. Ruang Personal sebagai Pelarian dari Modernisme. 2. METODE PENELITIAN Merujuk pada subjek penelitian, ini adalah proyek mengenai bagaimana penulis di kostan. Bagaimana realita kamar dan objek-objek yang berada dalam kamar penulis dipindahkan ke medium representasi, yaitu fotografi. Teori Roland Barthes banyak menjadi rujukan apabila membicarakan tentang representasi yang representasinya merujuk kepada proses realitas dan disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra, atau kombinasinya (Fiske, 2004: 282). Representasi juga disebut sebagai cara bagaimana media menginterpretasikan dunia, atau realitas eksternal lainnya (Rayner, 2001: 63). Trifonas menyebutkan representasi sebagai wahana yang dengannya dua hal yang tidak berkaitan dipersatukan untuk mengacu pada sebuah konsep (Trifonas, 2003: 63). Pada dasarnya pandangan representasi ini memiliki semacam korespondensi dengan sesuatu yang direpresentasikan. Untuk menentukan bagaimana representasi dalam mempersoalkan kamar kos penulis pada judul Ruang Personal sebagai Pelarian dari Modernisme adalah seperti halnya yang diungkapkan Barthes. Barthes berpendapat bahwa foto dapat membantu untuk mengembangkan subjektivitas manusia dengan membacanya (Sunardi, 2004: 163-164). Pembacaan yang dimaksud adalah pembacaan Wacana keseharian dalam karya penulis adalah representasi ruang personal dalam keseharian penulis di kos, wacana merupakan salah satu kata kunci dalam pendekatan-pendekatan kontemporer, terutama postrukturalisme. Penulis menggunakana pendekatan foto dokumenter dalam melihat representasi Ruang Personal sebagai Pelarian dari Modernisme. Hal tersebut karena foto dokumenter secara penggambaran lebih dekat dengan realita keseharian itu sendiri. Keseharian yang banal bersifat trivial, terlihat menyimpan misteri yang perlu disingkapkan. Karakter foto dokumenter secara ideologis lebih demokratis karena secara representatif, tidak terlihat menggunakan teknik yang canggih dan memiliki kecendrungan lebih natural. Pendekatan foto dokumenter pada proyek ini mengunakan teknik still life, maka penulis menggunakan kamera digital medium format dengan merek phaseone yang popular dalam pemotretan still life. Tujuannya adalah untuk menghasilkan gambar yang tetap natural dalam merepresentasikan wacana keseharian yang menjadi bentuk baru dalam realitanya, yang penulis bangun menjadi bentuk gambar kotak, mengikuti karakter kamera tersebut. Obyek obyek yang dibidik adalah benda yang ada di sekeliling bahkan keseharian manusia. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil tulisan ini menjelaskan bagaimana Ruang Personal sebagai Pelarian dari Modernitas. Menurut Thomas Weski bahwa cara memilih dan membekukan sebuah citraan akan dunia realitas ke dalam sebuah gambar dengan latar gagasan artistik sebagai kerangka dalam konteks visual art. Thomas Weski memandang karya foto dalam koridor seni kontemporer di mana dalam karyakarya foto yang kini cenderung pada permasalahan makna teks dan konsep, dari pada permasalahan foto itu sendiri. Fotografi 45

dalam era kontemporer sudah tidak lagi membicarakan representasi, tetapi lebih jauh lagi, yaitu fotografi mempermasalahkan persoalan seperti layaknya sebuah karya seni pada umumnya. Hal ini menawarkan dan mengajak para pengamatnya untuk fokus pada subjek-subjek yang berbeda dengan sebuah cara pandang baru yang lebih terbuka (Demos, 2006: 7). Penulis menyuguhkan bagaimana problematika keseharian tersebut dalam medium fotografi. Apa yang ada di kostan penulis, disadari atau tanpa disadari adalah potret kehidupan kontemporer saat in. Dalam hal ini, bagaimana penulis melihat kamar pribadinya sebagai representasi dari identitas yang terbentuk oleh konsekuensi dari modernisme. Untuk membaca karya ini, Perlu diperhatikan konsep struktur dan superstruktur. Struktur adalah sesuatu yang sudah melekat dalam diri penulis atau sesuatu yang dasar atau dalam konteks Ruang Personal sebagai Pelarian dari Modernitas adalah wilayah domestik yaitu kamar penulis, wilayah domestik yang ada dalam kamar kos. Unsur tidak terduga dalam melihat persoalan identitas dan ruang yang penulis eksplorasi, dalam Ruang Personal sebagai Pelarian dari Modernitas adalah identitas yang terkonstruksi dari struktur dan super struktur. Maka dari itu penulis menggambarkan benda-benda keseharian yang setiap hari digunakan dan dilihat oleh penulis, serta bagaimana sudut-sudut kamar melengkapi dan memberikan ruang ketajaman dalam melihat identitas tersebut. Penulis merekayasa tampilan dalam merepresentasikan benda-benda dan sudut kamar penulis. Yang dimaksud merekayasa benda keseharian dan sudut kamar dalam Ruang Personal sebagai Pelarian dari Modernitas adalah motif kesenian. Tujuannya menghadirkan puitisasi, pelebihan, dan penerjemahan dari kebutuhan indrawi yang berakar pada kebutuhan biologis manusia. Alasannya, kebutuhan biologis manusia memiliki sensasi-sensasi yang sangat kuat, untuk mempertajam seleranya, Katya Mondoki dalam bukunya Everday Aesthetics (2007). Gambar 1 Aktivitas merokok di kostan adalah kegiatan personal sekaligus kolektif. Kegiatan yang bisa dilakukan secara personal di bilik kamar masing-masing, tapi dalam momen-momen tertentu ia dilakukan bersama dengan mereka yang bernaung di bawah atap yang sama. Berbagi rokok, berbagi korek adalah penanda kolektivisme dari kegiatan merokok bersama. Perbincangan secara sporadis dapat muncul dalam kegiatan merokok kolektif. Keluhan soal kehidupan sehari-hari, perbincangan remeh-temeh, juga perbincangan serius dapat muncul di antara aktivitas merokok. Aktivitas merokok kolektif adalah aktivitas yang sangat terbuka untuk segala hal, ia dapat dilakukan sembari bermain game atau musik. Secara ideologis, kegiatan merokok memiliki posisi yang vis-à-vis dengan semangat modernisme, karena merokok adalah tindak hedonis yang tidak 46

menyehatkan namun menghasilkan pleasure yang berpotensi menjadi candu. Kegiatan merokok yang dilakukan bersama-sama adalah representasi kolektif dari tindak hedonisme, ia menjadi kegiatan eskapis dari keseharian, namun dilakukan bersama. Gambar 2 Bir adalah minuman yang menjadi penanda aktivitas waktu luang. Alkohol dengan dosis rendah yang terkandung dalam bir, membuat bir adalah minuman yang dikonsumsi pada waktu-waktu dengan rentang waktu yang tidak pendek. Berbeda dengan alkohol dengan dosis tinggi, meminum bir adalah aktivitas kolektif yang memungkinkan di sela-selanya masih terjadi perbincangan-perbincangan yang panjang. Secara ideologis, bir adalah representasi dari minuman kelas menengah ibukota. Ia berbeda dengan alkohol jenis lain, lebih mahal ketimbang minuman alkohol tradisional atau minuman oplosan, namun tidak semahal alkohol impor. Aktivitas minum bir adalah representasi ideologis dari leisure kelas menengah kota besar di Indonesia. Dalam konteks yang berbeda, bir dipandang sebagai minuman haram bila dilihat dari perspektif islam, agama mayoritas di Indonesia. Minuman beralkohol berelasi dengan aktivitas berdosa dan buruk, di mana dapat mengantarkan pada kondisi mabuk yang berpotensi menjadi penyebab prilaku jahat. Minuman beralkohol kerapkali berelasi dan direlasikan dengan aktivitas bandit atau premanpreman. Pada posisi tersebut aktivitas meminum bir adalah jeda atau eskapis dari doxa yang berlaku dalam peta ideologi dominan di Indonesia. Meminum bir adalah laku untuk tidak tunduk pada ideologi agama Islam. Mabuk-mabukan hingga jackpot adalah habitus kelas menengah. Berbeda dengan bagaimana posisi alkohol bagi kelas elit, di mana aktivitas meminum alkohol seperti Wine adalah bagian gaya hidup yang ber-eratan dengan ideologi kemewahan, dalam posisi ini meminum bir hingga puncak mabuk, adalah bagian dari laku pencarian kenikmatan. Jackpot adalah kondisi yang dituju, sebagai puncak dari aktivitas meminum alkohol itu. Jackpot atau muntah adalah penanda puncak dari laku hedonisme. Jackpot dalam posisi ideologis adalah akhir dari eksapisme atas rutinitas dunia, kejengahan atas rutinitas di hari-hari kerja. Ia adalah tujuan, awal dari ketidaksadaran yang diinginkan, puncak dari pelarian untuk melupakan aktivitas keseharian. Jackpot adalah penanda atas penolakan semangat modernisme Gambar 3 47

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa tertidur atau ketidaksadaran setelah jackpot, puncak dari mabuk, adalah tujuan yang ingin dicapai. Dalam kondisi-nya, ketidaksadaran dapat terjadi di mana saja di kostan. Bergelimpangan di halaman, ubin, atau di kasur. Tempat tidaklah penting, tidak menjadi signifikan, dalam kondisi tersebut. Pada ketidaksadaran, egaliterianisme dan kebebasan secara simbolik terepresentasi. Tidak hanya hasrat atas mabuk sendiri merepresentasikan laku kebebasan dan otonomi atas diri. Namun tempat yang secara acak dapat menjadi lokasi puncak dari kondisi mabuk adalah representasi utama atas kemungkinan akan kebebasan tersebut. Gambar 4 Di kostan yang sama, tempat di mana sebagian orang mengisi leisure time mereka dengan mabuk hingga muntah, terdapat sebagian orang lain yang menjalankan ibadah shalat. Shalat dijalankan di suatu kamar yang terpisah dengan mereka yang minum dan mabuk. Aktivitas shalat sendiri tidak dilakukan secara personal, juga kolektif. Pada posisi yang kontradiktif, bahwa aktivitas ekstrim melanggar hukum agama Islam dilakukan di wilayah yang sama dengan prilaku menjalankan perintah tuhan, shalat. Kontradiksi yang menunjukkan bentuk-bentuk toleransi yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang menjalani dan beraktivitas di ruang tersebut. Secara ideologis, toleransi ada di level ekstrim bahwa mereka akan menjalankan aktivitas masing-masing tidak menggubris satu sama lain, namun jauh dari bentuk totaliterianisme defensif di mana tidak ada percakapan di antaranya, mereka yang shalat, maupun mereka yang mabuk, tetap terhubung sebagai orang-orang yang menghuni bangunan yang sama, dan membuka ruang satu-sama lain. Bahkan aktivitas shalat pun dilakukan dengan pintu terbuka. 4. SIMPULAN Setelah menelusuri berbagai paparan di atas, maka terdapat tiga simpulan. Pertama medium fotografi adalah medium yang tepat untuk membedah keseharian karena unsur dalam keseharian sepenuhnya tidak rasional, maka mewacanakan keseharian secara rasional justru menghilangkan keunikan subtansi keseharian tersebut (Featherstone, 1995: 55). Dengan, medium fotografi dokumenter yang memiliki sifat terlihat nyata sebagai medium representasi ideologis. Kedua adalah ruang personal yang merupakan kostan dan menjadi subjek penelitian menunjukkan diri sebagai ruang yang berisi aktivitas antitesis dari modernitas. Aktivitas-aktivitas yang terdapat di ruang personal dan komunal kostan, merupakan representasi leisure dan ketidakbergunaan di level ekstrim bila dipandang dari ukuran efisiensi dan efektifitas semangat modernisme. Ketiga, bagaimana penulis merepresentasikan Ruang Personal sebagai 48

Pelarian dari Modernitas melalui medium fotografi dokumenter adalah. Dengan begitu tujuan pencapaian estetik dan bagaimana wilayah personal dapat direpresentasikan dengan tepat. Georg Simmel (1858-1918) berpendapat dalam menampilkan kembali narasi kecil atas kontruksi modernitas, maka keseharian modern dialami sebagai bombardemen sensoris yang agresif dan mengaburkan arah (disorienting). DAFTAR PUSTAKA Barthes, R. 2013. Mythologies. New York: Hill and Wang. Bourdieu, P., Nice, R., & Bennett, T. 2015. Distinction: A social critique of the judgement of taste. New York: Routledge. Demos, T.J. 2006. Vitamin Ph: New Perspectives in Photography. New York: Phaidon Press Featherstone, M. 1995. Undoing Culture: Globalization, postmodernization abd identity. London: Sage Fiske, J. 2004. Cultual and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra Katya, M. 2007. Everday Aesthetics. Ashgate England. Rayner, P. Peter, W, Stephen, K. 2001. Media Studies: The Essential Introduction. New York: Routledge Sunardi, S.T. 2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta : Penerbit Buku Baik Trifonas, P. P. 2003. Seri Posmodern: Barthes dan Imperium Tanda. Yogyakarta: Penerbit Jendela 49