BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koya adalah bubuk atau serbuk gurih yang digunakan sebagai taburan pelengkap makanan (Handayani dan Marwanti, 2011). Bubuk koya ini pada umumnya sering ditambahkan pada makanan berkuah seperti soto dan mie di daerah Jawa Timur khususnya pada soto lamongan. Tidak hanya di Jawa Timur saja, koya sudah banyak digunakan di berbagai daerah di Indonesia. Pada umumnya bubuk koya terbuat dari kerupuk udang yang dihaluskan bersama bawang putih. Koya merupakan hidangan pelengkap yang perannya cukup penting dalam menu soto. Koya dapat meningkatkan rasa gurih pada makanan yang menyertainya. Namun nutrisi dalam koya tersebut masih kurang diperhatikan mengingat koya hanya terbuat dari kerupuk udang yang dihaluskan bersama bawang putih yang digunakan sebagai penyedap. Dewasa ini masyarakat tidak hanya mencari makanan yang enak saja melainkan juga bergizi. Koya yang sebelumnya hanya sebagai penikmat atau pelengkap makanan juga dapat dikemas sebagai bubuk pelengkap makanan sumber protein. Rata-rata penikmat koya ini sebagian besar adalah anak-anak yang masih dalam usia pertumbuhan. Untuk itu penting adanya alternatif pangan berbentuk taburan sebagai sumber protein. Protein berfungsi sebagai zat pembangun sehingga bisa mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan sel tubuh. Alternatif taburan/topping berbahan alami ini dapat dibuat dalam bentuk koya dengan bahan dasar ikan dan tepung tempe. Protein hewani bisa didapatkan dari berbagai macam ikan terutama ikan gabus. Sedangkan untuk sumber protein nabati dapat ditemukan dalam kacangkacangan terutama kedelai, baik dalam bentuk biji ataupun tempe. Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat dan mudah diperoleh. Di Indonesia, ikan merupakan sumber protein yang banyak dikonsumsi saat ini. Alternatif sumber protein hewani yang saat ini memungkinkan untuk dikembangkan adalah ikan gabus
(Channa striata). Ikan gabus merupakan ikan yang banyak terdapat secara alami di sungai-sungai dan bendungan serta belum pernah dibudidayakan. Selama periode 1998-2008 tangkapan ikan gabus dari perairan umum mengalami kenaikan rata-rata 2,75% per tahun. Sementara itu, produksi budidaya ikan gabus dikeramba telah mengalami peningkatan dari tahun 2004 yang hanya sebesar 4.250 ton menjadi sebesar 5.535 ton pada tahun 2008 (Fadli, 2010). Nilai gizi ikan gabus cukup tinggi, yaitu protein mencapai 20,14%, sedangkan 6,224 % dari protein tersebut berupa albumin (Suwandi dkk., 2014), lemak 1,7 %, dan juga mengandung berbagai mineral dan vitamin A (Suprapti, 2008). Albumin merupakan protein plasma dengan jumlah tertinggi sekitar 60% dan memiliki berbagai fungsi yang berperan penting bagi kesehatan yaitu pembentukan jaringan sel baru, mempercepat pemulihan jaringan sel tubuh yang rusak serta memelihara keseimbangan cairan di dalam pembuluh darah dengan cairan di dalam rongga interstitial dalam batas-batas normal, kadar albumin dalam darah 3,5-5 g/dl. Kekurangan albumin dalam serum dapat mempengaruhi pengikatan dan pengangkutan senyawa-senyawa endogen dan eksoden, termasuk obat-obatan, karena seperti diperkirakan distribusi obat ke seluruh tubuh itu pengikatannya melalui fraksi albumin (Goldstein dkk., 1968; Vallner, 1977; Tandra et al., 1988). Pemanfaatan ikan gabus selama ini hanya sebagai lauk yang dikonsumsi dalam bentuk masakan (dipanggang, digoreng, dimasak berkuah). Ikan gabus mengandung nutrisi tinggi terutama protein albumin. Namun terdapat sebagian orang yang tidak suka mengkonsumsi ikan gabus karena bentuknya yang menyerupai ular dan baunya yang amis. Sehingga nutrisi tidak bisa masuk dan dicerna oleh tubuh. Untuk itu perlu adanya alternatif pengolahan lain supaya nutrisi bisa masuk dan dicerna dalam tubuh, salah satunya adalah olahan dalam bentuk koya. Penambahan kedelai dalam bentuk tepung tempe dapat dilakukan untuk menutupi bau amis dari ikan gabus setelah pengolahan selain fungsinya sebagai sumber protein nabati.
Kedelai merupakan salah satu kacang-kacangan yang dapat digunakan sebagai sumber protein nabati. Kedelai mengandung protein rata-rata 35%, bahkan dalam varietas unggul kandungan proteinnya dapat mencapai 40-44%. Protein kedelai sebagian besar (85-95%) terdiri dari globulin. Menurut Harrow dkk. (1962), globulin merupakan salah satu golongan protein yang tidak larut dalam air, mudah terkoagulasi oleh panas, mudah larut dalam larutan garam dan membentuk endapan dengan konsentrasi garam yang tinggi. Globulin disusun oleh dua komponen yaitu legumin dan vicilin. Jika dibandingkan dengan kacang-kacangan lain, susunan asam amino pada kedelai lebih lengkap dan seimbang. Selain itu kedelai juga dapat digunakan sebagai sumber serat, vitamin, dan mineral (Santosa, 2005). Di samping mengandung senyawa-senyawa bermanfaat, kedelai juga mengandung senyawa-senyawa nirgizi dari senyawa penyebab off flavor (penyimpangan cita rasa dan aroma pada produk pengolahan kedelai). Di antara senyawa anti gizi yang sangat mempengaruhi mutu produk olahan kedelai ialah antitripsin, hemaglutinin, asam fitat, oligosakarida penyebab flatulensi (timbulnya gas dalam perut sehingga perut menjadi kembung). Sedangkan senyawa penyebab off flavor pada kedelai ialah glukosida, saponin, estrogen, dan senyawa penyebab alergi. Dalam pengolahan, senyawa-senyawa tersebut harus dihilangkan atau diinaktifkan untuk menghasilkan produk olahan kedelai dengan mutu yang baik dan aman untuk dikonsumsi manusia. Salah satu proses penghilangan senyawa-senyawa yang tidak diinginkan tersebut adalah dengan proses fermentasi yaitu mengolah kedelai menjadi tempe (Santosa, 2005). Tempe merupakan bahan makanan hasil fermentasi dari kacang kedelai menggunakan jamur Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae. Tempe umumnya dibuat secara tradisional dan merupakan sumber protein nabati. Di Indonesia pembuatan tempe sudah menjadi industri rakyat. Astuti dkk. (2000) melaporkan bahwa tempe merupakan sumber protein, vitamin B 12, antioksidan, fitokimia dan senyawa bioaktif lainnya. Beberapa penelitian menunjukan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap dan
dimanfaatkan tubuh dibandingkan dengan yang ada dalam kedelai. Namun pada umumnya tempe termasuk bahan makanan yang mudah rusak. Umur simpan tempe segar hanya selama 2-3 hari pada suhu ruang. Setelah melewati masa itu enzim proteolitik akan merombak protein tempe sehingga tempe menjadi busuk (Sarwono, 1996). Oleh karena itu perlu teknologi yang mampu meningkatkan periode kemanfaatan tempe, salah satunya dengan pengolahan menjadi tepung tempe. Tepung tempe ini dihasilkan dari tempe segar yang dikeringkan dan digiling halus. Pemanfaatan tepung tempe telah banyak digunakan dalam pengolahan makanan sebagai subtitusi terigu atau sebagai bahan pembuatan cookies, mie instan, bolu kukus, biskuit, dan snackbar, tetapi belum pernah digunakan dalam pembuatan koya. Dengan penambahan tepung tempe ini diharapkan dapat melengkapi protein nabati koya dan dapat menutupi bau amis dari ikan gabus setelah pengolahan. Koya ikan dalam penelitian ini dibuat dari bahan pangan berprotein tinggi yaitu ikan gabus (Channa striata) dan tepung tempe kedelai. Koya ikan tersebut akan diteliti formulasi terpilih berdasarkan karakteristik sensorisnya. Pada penelitian ini akan dikaji lebih lanjut tentang karakteristik kimia koya ikan gabus dan tepung tempe berdasarkan formulasi terpilih yang telah didapatkan. Pengujian tentang umur simpan produk koya ikan gabus dan tepung tempe juga penting untuk diteliti. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana karakteristik kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein, lemak, karbohidrat) dari ikan gabus (Channa striata) dan tepung tempe yang digunakan? 2. Bagaimana formulasi koya ikan berbahan dasar ikan gabus (Channa striata) dan tepung tempe yang terpilih berdasarkan sifat sensoris? 3. Bagaimana karakteristik kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein, lemak, karbohidrat) dari koya ikan berbahan dasar ikan gabus (Channa striata) dan tepung tempe berdasarkan formulasi terpilih dari analisis sensoris?
4. Bagaimana umur simpan dari koya ikan berbahan dasar ikan gabus (Channa striata) dan tepung tempe formula terpilih berdasarkan pengujian sifat sensoris? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini antara lain untuk: 1. Mempelajari karakteristik kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein, lemak, karbohidrat) dari ikan gabus (Channa striata) dan tepung tempe. 2. Menentukan formulasi koya ikan berbahan dasar ikan gabus (Channa striata) dan tepung tempe yang terpilih berdasarkan sifat sensoris. 3. Mempelajari karakteristik kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein, lemak, karbohidrat) dari koya ikan berbahan dasar ikan gabus (Channa striata) dan tepung tempe berdasarkan formulasi terpilih dari analisis sensoris. 4. Menentukan umur simpan dari koya ikan berbahan dasar ikan gabus (Channa striata) dan tepung tempe formula terpilih berdasarkan pengujian sifat sensoris. D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi tentang formulasi yang tepat dan disukai konsumen dalam pembuatan koya ikan gabus dan tepung tempe. 2. Memberikan diversifikasi produk koya dengan bahan dasar ikan gabus dan tepung tempe sebagai alternatif pangan sumber protein. 3. Memberikan informasi terkait umur simpan produk koya ikan berbahan dasar ikan gabus dan tepung tempe. 4. Bagi peneliti lain dapat digunakan sebagai bahan pembanding untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang sejenis sehingga didapatkan hasil yang lebih baik dari peneliti sebelumnya atau sebagai bahan inspirasi untuk penelitian lanjutan.